Museum Bank Indonesia :Sepenggal kisah proses pembangunan (2004 – 2009) Bagian 1


Pesta Kostum UKMBI Desember 2008 @ Museum Bank Indonesia

Saya bergabung dengan UKMBI (Unit Khusus Museum Bank Indonesia) pada Mei 2004. Waktu itu UKMBI, organisasi ad hoc dalam lingkungan Bank Indonesia baru saja dibentuk meneruskan Tim Pembangunan Museum Bank Indonesia (TPMBI). TPMBI ini pertama kali dibentuk oleh pimpinan Bank Indonesia pada Juni 1999 dengan target Museum Bank Indonesia (MBI) akan dapat diwujudkan pada tahun 2001. Karena belum kesampaian mewujudkan MBI, maka TPMBI kembali diremajakan pada Juni 2001 itu. TPMBI ini terdiri dari beberapa pegawai Bank Indonesia, dengan Pak Rachmat Saleh (mantan Gubernur Bank Indonesia) dan Pak Achwan (mantan Deputi Gubernur) duduk sebagai Penasehat. Lalu ada semacam General Advisor yang terdiri dari beberapa konsultan ahli dalam bidang museum, arsitektur, sejarawan. Beberapa pensiunan pegawai Bank Indonesia yang concern terhadap rencana pembentukan Museum Bank Indonesia juga ada dalam Tim tersebut.

Nama-nama seperti Soedarmadji J.H Damais (Aji Dame’), Wagiono, Mohammad Iskandar ada dalam tim awal pembangunan Museum Bank Indonesia itu. Tim itu bekerja mungkin hingga periode 2001 - 2003 dan menghasilkan blue-print museum (versi pertama) yang tak pernah diwujudkan pembangunannya. Pada suatu kesempatan di 2008, saya bertemu dengan Aji Dame’ dan bertanya sebenarnya siapa yang pertama kali mencetuskan rencana pembangunan Museum Bank Indonesia? Beliau menegaskan bahwa Rachmat Saleh, mantan Gubernur Bank Indonesia, yang memintanya untuk bergabung dalam TPMBI. Lokasi museum telah ditentukan, yaitu gedung Bank Indonesia Kota, eks bangunan De Javasche Bank, yang sejak 1994 – 1995 telah tidak digunakan lagi sebagai kantor oleh Bank Indonesia, meski sisa emas moneter masih tersimpan di dalamnya hingga 2005.

Berbeda dengan TPMBI, UKMBI adalah organisasi yang lebih formal. Dipimpin seorang direktur (golongan delapan) dan mempunyai anggaran pembiayaan yang lebih jelas. Pada awal saya bergabung dengan UKMBI, struktur organisasi itu belum sempurna dan belum dapat mewujudkan rencana kerja yang ideal dan terstruktur dengan baik. Saat itu, selain direktur yaitu, M. Ashadi, UKMBI hanya terdiri dari dua orang pegawai golongan empat, yaitu Tri Woro (sekretaris direktur) dan Gede Aryana (kepala seksi), dua orang staf golongan tiga, Adi Purwantoro dan Dicky Colanus, serta dua orang tenaga konsultan, Achwan, pensiunan Deputi Gubernur Bank Indonesia dan R. Hardjo Santoso, pensiunan kepala Arsip Bank Indonesia.

Dalam formasi ini, Pak Achwan mengambil peran sebagai sosok yang meneruskan atau menjabarkan gagasan museum yang dilontarkan Rachmat Saleh, menjadi sebuah kenyataan. Sementara Pak Hardjo adalah seorang pengabdi Bank Indonesia yang tak kenal lelah. Sejak pension pada tahun 1986 beliau terus bekerja di lingkungan Bank Indonesia. Uniknya, beliau rajin mengumpulkan arsip, menterjemahkan dokumen-dokumen berbahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia, memerhatikan detail sejarah De Javasche Bank, dan berkisah tentang kondisi Bank Indonesia di masa lalu.

Pada 2004 itu, saya bergabung bersama beberapa orang pegawai lainnya. Maria Arinta, lulusan Sastra Perancis FSUI yang telah melanglang buana di dunia advertising, bergabung sebagai Manajer Program Publik. Lalu Pak Gatot, pensiunan kurator Museum Nasional, lulusan IKJ yang mahir dalam konservasi dan menduplikasi benda-benda bersejarah, beliau bergabung sebagai Asisten Kurator Numismatik. Bersama Pak Gatot, ada Haslim Hasanuddin, pensiunan pegawai golongan enam Bank Indonesia yang bertugas sebagai Asisten Kurator Non Numismatik. Kemudian Pak Wahyono, juga pensiunan kurator Museum Nasional, lulusan Arkeologi FSUI, sahabat Soe Hok Gie legenda angkatan 66.

Belakangan saya mengetahui bahwa pak Wahyono adalah .penulis kebudayaan yang handal dan museolog yang mempunyai gagasan murni dan cemerlang. Ia kemudian menjadi semacam “mentor” bagi saya selama di UKMBI. Dengan kemampuan yang mumpuni dalam bidang museum, Pak Wahyono cukup rendah hati untuk duduk sebagai staf Kurator di UKMBI. Terakhir adalah Astiningrum, lulusan sarjana Ekstensi Kearsipan FSUI yang bertugas sebagai asisten Pustakawan. Sementara, saya sendiri bertugas sebagai asisten Peneliti Sejarah Kebijakan.

Itulah UKMBI pada awal mulanya, penuh dengan keterbatasan. Staf terbatas dan lokasi kantor yang juga terbatas. UKMBI menempati sayap kanan lantai dasar Gedung D di Komplek Bank Indonesia Thamrin. Pada mulanya UKMBI, lebih dikenal dengan satuan kerja pensiunan. Maklum selain beberapa orang yang telah saya sebutkan di atas, ada beberapa orang pensiunan lagi yang juga bekerjasama dengan UKMBI dalam menyusun buku sejarah Bank Indonesia. Tim ini disebut dengan TPSBI (Tim Penulis Sejarah Bank Indonesia). Setahun kemudian, pada 2005, barulah secara bertahap bergabung satu persatu staf Bank Indonesia lainnya. Dari mulai kepala bagian, staf administrasi, para peneliti, para guide museum, dan beberapa rekan staf desain grafis, serta ahli komputer lainnya.

Tahapan Pembangunan Museum
Tahun 2004, pembangunan Museum Bank Indonesia diarahkan secara bertahap.Tahap pertama, Museum Bank Indonesia direncanakan dibuka pada Desember 2006. Tahap pertama ini mulanya akan dibangun di gedung Kebon Sirih, Komplek Bank Indonesia Thamrin, sembari menunggu tuntasnya konservasi gedung Bank Indonesia (BI) Kota. Museum tahap pertama di gedung Kebon Sirih itu dirancang dengan bentuk sederhana, tidak begitu banyak benda bersejarah yang akan dipamerkan. Tujuannya sebelum dibangun secara total, format ringkas museum telah dapat disaksikan oleh masyarakat luas dengan segera. Mendahului pembukaan museum tahap pertama itu, materi sejarah Bank Indonesia dan beberapa informasi lainnya, terutama koleksi numismatik, telah disiapkan dalam bentuk virtual.



Bagian Lantai 2 Bank Indonesia Kota yang menjadi ruang museum pada tahap I

Seiring dengan perkembangan yang terjadi, Museum Bank Indonesia Tahap I akhirnya dibangun dengan menggunakan BI Kota. Proses pengerjaan museum tahap pertama ini dilakukan secara simultan dengan renovasi bangunan BI Kota. Oleh karena itu tidak semua bagian bangunan eks De Javasche Bank yang digunakan untuk area museum. Mungkin hanya 20% - 30% dari seluruh bangunan yang digunakan untuk ruang museum, terutama pada sisi bagian depan bangunan di lantai 2. Sementara beberapa ruang utama, seperti ruang direksi, ruang hijau, ruang rapat direksi di lantai 2 bangunan belum digunakan sebagai museum, tapi masih terus dilakukan proses renovasi. Demikian halnya dengan bagian lantai 1 bangunan, hingga Desember 2006, saat Museum Bank Indonesia Tahap I diresmikan untuk umum, bagian itu masih dalam kondisi renovasi.

Setelah museum tahap pertama dibuka, UKMBI melanjutkan tugas untuk membangun Museum Bank Indonesia Tahap II, tahap yang final. Tahap dimana setiap ruang dan ruas bangunan eks De Javasche Bank itu akan digunakan sebagai museum. Tadinya saya menduga bahwa tahap kedua akan melanjutkan konsep museum yang sama dengan tahap pertama, khususnya untuk konsep ruang sejarah. Ternyata, pada tahap kedua itu, ruang sejarah ditampilkan secara berbeda dengan tahap sebelumnya. Nama-nama seperti Achadiat, Sunaryo dan Pintor Sirait mulai masuk dalam babak pengerjaan museum tahap dua ini. Sebelumnya saya mendengar bahwa nama-nama kondang perupa seperti Dolorosa Sinaga dan Agus Suwage juga diajak untuk bergabung dalam tim konsultan yang akan merancang ruang sejarah Museum Bank Indonesia tahap II ini, tapi konon kedua perupa itu menolak tawaran UKMBI.


Bagian Lantai 2 Bank Indonesia Kota yang menjadi ruang museum pada tahap II

Periode 2007 hingga 2008 saya bergulat dengan pengerjaan materi dan konsep ruang sejarah, khususnya untuk masa Pra Bank Indonesia dan Periode I dan II dari sejarah Bank Indonesia yang akan saya jelaskan lebih detail dalam bagian yang lain dalam tulisan ini. Selain tiga ruang periode itu, saya juga ambil bagian dalam penyusunan beberapa detail materi sejarah lainnya, termasuk sejarah uang dan numismatik, perkembangan kelembagaan Bank Indonesia hingga masa reformasi, serta bagian yang paling membanggakan saya, yaitu merekonstruksi Jung Jawa. Proses penelitian literature Jung ini sebenarnya sudah saya mulai sejak tahun 2005 dan baru semakin intens dan mewujud dalam hal yang kongkret pada tahun 2008.

Periode akhir 2008, adalah masa terakhir saya dalam mengerjakan apa yang terkait dengan materi dan konsep ruang sejarah Museum Bank Indonesia Tahap II. Setelah masa itu saya mendapatkan tugas lanjutan untuk menulis buku, materi panel layar sentuh dan menyelesaikan materi ruang Hall of Fame, hingga kemudian saya memutuskan untuk hengkang dari UKMBI pada Maret 2009. Akhirnya pada Juli 2009 Museum Bank Indonesia resmi berdiri secara total, 90% ruang gedung eks De Javasche Bank itu telah berubah menjadi Museum Bank Indonesia.



Ruang Emas Moneter salah satu bagian yang menawan dalam Museum Bank Indonesia Tahap Akhir

Lekuk Tubuh Museum Bank Indonesia
Meski saya tak lagi sempat mengikuti babak akhir dari pengerjaan museum itu, tapi ada satu teks di sudut gedung itu yang terus membuat saya tak dapat melupakan Bank Indonesia. Kata-kata itu memesona saya sejak lama, sejak pertama saya mengenal gedung kolonial yang megah itu pada tahun 2004. Teks itu tertulis pada suatu Cippus (istilah arsitektur; tugu prasasti) terbuat dari marmer berwarna merah keabu-abuan, terletak di lantai dua unit bangunan di pinggir Kali Besar, persis dekat pintu masuk ruang Presiden (kemudian menjadi ruang rapat direksi). Teks itu berbunyi:

SEDULA PROPELLIT / COLUMENQUE DECUSQUE / MINSTRAT / ARGENTARIA / DUX ATRIBUS / ATQUE COMES

Secara bebas dapat diartikan :
“bank yang aktif mendirikan tiang-tiang dan menjunjung seni hias menjadi pelopor dan pendukung kesenian”.

Teks itu menyadarkan saya, bahwa sejak semula bangunan De Javasche Bank itu didirikan untuk tujuan keindahan dan kesenian, bukan hanya sekedar menjadi gedung bank saja. Tapi juga dimaksudkan dengan sengaja sebagai gedung bank yang mengeksplorasi ornamen-ornamen keindahan pada setiap lekuk tubuhnya! Cobalah kita tengok beberapa detail molek tubuh gedung ini dari beberapa gambar berikut:



Prasasti sang Biro Arsitektur “Fermont and Cuypers”

Saya menemukan bagian prasasti kecil ini secara tidak sengaja, maklum saya bukan seorang arsitek, yang paham betul seluk-beluk gedung kolonial seperti Gedung BI Kota ini. Waktu itu saya mencoba mengambil gambar tangga depan pada pintu masuk menuju Lobby Utama. Nah, prasasti itu terdapat pada dinding bagian tengah (bawah) antara dua pintu masuk tersebut. Teks yang tercantum cukup sederhana “:ARCH. EN. INGRS. BUR: FERMONT-CUYPERS”. Teks itu menunjukkan nama dari biro arsitektur yang membangun gedung De Javasche Bank selama periode 1910 -1935, yaitu: N.V. Architecten-Ingenieursbureau Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam.

Biro konsultan arsitektur tersebut berdiri pada 1910 yang terdiri dari gabungan antara dua Biro Arsitek Cuypers & Hulswit dan Biro Arsitek Fermont. Nama biro tersebut tampaknya diambil dari nama-nama arsitek yang mendirikan biro konsultan tersebut, yaitu M.J. Hulswit, E.H.G.H. Cuypers dan AA Fermont. Selain De Javasche Bank di Jakarta, beberapa kantor De Javasche Bank di beberapa daerah di Indonesia yang dibangun pada periode tersebut, juga ditangani oleh biro konsultan ini.



Megah dan Indah: Ornamen pada salah satu bagian dinding Museum Bank Indonesia

Sebagaimana kita ketahui, mulanya De Javasche Bank yang kemudian menjadi Bank Indonesia, menggunakan bangunan bekas rumah sakit yang terletak di pinggir Kali Besar. Arsip sejarah mencatat bangunan itu dengan nama Binnen Hospitaal (rumah sakit dalam tembok kota). Hingga kemudian dengan sentuhan tangan para arsitek Belanda itu, bangunan lama De Javasche Bank kemudian berubah secara bertahap menjadi bangunan seperti yang ada pada saat ini.

Sentuhan dekoratif yang indah dan menawan mulai merambah bangunan bank ini sejak pada 1910 secara bertahap gedung bekas rumah sakit mulai direnovasi. Sebagai unsure dekoratif muncullah elemen-elemen baru seperti dormer window, louvre, balustrade serta beberapa ornamen hiasan berbentuk relief floral yang menghiasi beberapa dinding bangunan bank. Coba saja langkahkan kaki anda pada lobby utama bangunan Museum Bank Indonesia saat ini. berdirilah persis di tengahnya. Maka kita akan terkesima melihat keindahan dan kerumitan format arsitektur yang dipersembahkan oleh Vermont and Cuypers kepada kita hingga saat ini.


Sunglass atau Sumur Cahaya yang mengakomodasi cahaya dari luar menerangi lobby utama

Pada tahun 2004 saya mendapatkan tugas pertama untuk menelusuri lekuk tubuh gedung De Javasche Bank ini. Saat itu saya harus menemani dua orang kru rumah produksi yang akan mengabadikan beberapa sudut bangunan ini. Saya kagum menyaksikan keindahan dan kecerdasan bangunan kolonial ini, terutama untuk dua hal, yaitu sun-glass atau sumur cahaya yang terdapat tepat di tengah ruang looby utama dan kaca patri yang berada di lobby pintu masuk bagian depan. Sumur Cahaya itu mulanya untuk memberi penerangan ke dalam ruang lobby secara alami, tanpa menggunakan bantuan lampu. Saya pernah berkesempatan naik ke atap lobby itu dan berdiri di atas kaca gelas cembung setebal 1 meter yang tak lain adalah Sumur Cahaya itu. Sayang sumur cahaya itu pada saat ini tak banyak berfungsi sebagai penerang. Tapi sebagai ornament yang memperindah ruangan, tentu sun-glass cembung itu masih berfungsi dengan baik.

Tak kalah menariknya adalah ventilasi yang terletak pada dinding atas pada bagian kanan dan kiri lobby utama. Tepatnya tepat berada di atas pintu menuju ruang loket kas Jakarta dan ruang bagian kliring (sistem pembayaran). Ventilasi itu memanjang secara vertical, megah dan cantik karena terdiri dari beberapa ornament dengan bentuk yang berupa-rupa uniknya.


Ventilasi pada Looby Utama terdiri dari beberapa ornament yang unik

Lalu lekuk tubuh bangunan Museum Bank Indonesia yang tak dapat saya lupakan adalah hiasan kaca patri yang terdapat di beberapa bagian ruang gedung eks BI Kota tersebut, antara lain di bagian lobby depan dan Ruang Hijau (ruang rapat direksi). Mengingat kaca patri, saya tentu akan mengingat Wahyono. Rekan kerja dan sekaligus mentor saya itu. Beliaulah yang ditugasi oleh UKMBI untuk kembali meneliti kaca patri yang penuh arti itu. Dari Pak Wahyono saya memperoleh beberapa informasi bahwa kaca patri tersebut dipesan secara khusus dari studio Jan Schoulten di Delft Belanda. Wah, bersungguh-sungguh sekali rupanya De Javasche Bank ini dalam menghiasi gedungnya!

Kaca patri bangunan ini, memang bukan sekedar kaca patri biasa. Tapi ia adalah kaca patri yang mempunyai banyak arti. Kaca patri ini dibuat dengan cara dilukis dan diberi warna lalu dibakar dalam temperature 1100 derajat celcius, sehingga menghasilkan warna yang sangat baik kualitasnya. Di beberapa bagian bila kita perhatikan kaca patri tersebut menggambarkan berbagai aspek kehidupan masyarakat Nusantara pada masa itu, terutama dalam hal perdagangan dan kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu di bagian lain kaca patri tersebut menggambarkan beberapa dewa dewi Yunani dan lambang kota-kota perdagangan penting di Jawa, dimana De Javasche Bank berada. Untuk mengurus kaca-kaca patri itu Museum Bank Indonesia melibatkan Brian Yaputra, salah satu maestro seniman kaca patri, yang kembali membawa seni kaca patri ke Indonesia sejak tahun 1981.



Kaca Patri yang syarat Arti

Demikianlah beberapa lekuk tubuh Museum Bank Indonesia yang memesona. Sekali lagi saya bukan arsitek, sehingga banyak informasi tentang seluk-beluk arsitektur dan ornament gedung yang saya juga belum mengerti dan mengenalnya dengan baik. Sebagai seorang staf peneliti sejarah yang terlibat dan dilibatkan secara intensif oleh para pimpinan UKMBI dalam merancang dan membangun Museum Bank Indonesia, saya cukup mengamati berbagai proses dengan baik. Banyak hal-hal menarik diluar tangung jawab kerja saya, yang diam-diam juga saya dalami dan saya geluti secara pribadi. Tentunya dengan berbagai keterbatasan yang saya miliki, tapi saya tak menutup mata dan telinga. Saya merekam setiap proses, membuat penilaian, membuat rencana ini itu, sembari berharap kelak semua yang saya rasakan dan saya amati dalam persinggahan saya di UKMBI itu akan bermanfaat sebaik mungkin.

Membuat Naskah Film Dokumenter
Pada tahun 2004, saat pertama kali berkerja untuk UKMBI, tak banyak yang saya mengerti apa dan bagaimana program pembangunan Museum Bank Indonesia akan dilaksanakan. Saya masih banyak belajar, bagaimana sistem birokrasi dalam lingkungan Bank Indonesia bekerja. Namun demikian, tugas pertama-tama yang harus saya lakukan adalah menulis draft naskah film dokumenter sebagai salah satu materi yang nantinya akan disajikan dalam Museum Bank Indonesia.

Tanpa terasa dalam waktu kurang lebih lima bulan, saya berhasil menyusun tujuh sampai delapan draft naskah film dokumenter. Jumlah itu, lebih dari separuh jumlah film yang disusun oleh UKMBI pada saat itu yaitu, 14 naskah film. Di bawah supervisi Pak Achwan saya menulis dalam tempo yang sangat tinggi. Dalam hal ini saya harus berterima kasih kepada Ibu Arinta, pengetahuan bagaimana menyusun narasi film, pertama kali saya peroleh darinya. Selebihnya saya coba-coba saja. “Asma” atau “Asal maju” begitulah prinsip sederhana yang disampaikan Pak Gede, Kepala Seksi UKMBI, saat itu. Asma bukan berarti bekerja asal-asalan, akan tetapi bagaimana caranya kita bekerja sesuai dengan deadline yang ada dengan kualitas yang baik, tentunya masih dengan berbagai kekurangan yang kita punyai dalam keadaan tergesa-gesa itu.

Agaknya pekerjaan menyusun narasi film ini dan kemudian mewujudkannya bersama-sama dengan rumah produksi yang dibayar oleh UKMBI itu, adalah pekerjaan utama kami di UKMBI selama beberapa waktu. Dua atau tiga tahun lamanya kami terus memproduksi berpuluh-puluh naskah film dokumenter. Kami mempunya klasifikasi untuk film-film tersebut, yaitu Film Storyline I, Film Storyline dan film-film episode. Konsep pembagian ini adalah gagasan dari Pak Achwan yang meyakini bahwa film dalam durasi pendek akan dapat menyampaikan informasi museum dengan lebih mudah kepada masyarakat luas. Sayangnya tema-tema film itu terkadang terlalu berat, terlalu kering dan banyak membosankan pengunjung museum. Namun demikian nilai informasi dan eksistensi film-film itu sebagai salah satu produk historis yang dihasilkan UKMBI sangatlah berarti penting.



Pak Toegono, pelaku sejarah dalam proses pengambilan gambar pada Oktober 2008

Selain pengalaman saya yang cukup menantang di tahun 2004 itu, ada satu pengalaman menarik yang saya rasakan dalam proses membuat film. Film itu adalah film terakhir saya di UKMBI. Terlepas dari berbagai kekurangannya, saya cukup merasa puas dalam proses penyusunan film tersebut. Apa sebabnya? Pertama, kisah yang saya angkat dalam film tentang Kantor Bank Indonesia Dilli itu adalah kisah nyata. Selama dua bulan saya melakukan studi literature dan mewawancarai beberapa narasumber, pelaku sejarah, baik secara langsung maupun hanya melalui korespondensi. Kedua, film itu disajikan dalam format yang cukup baru bagi UKMBI. Pak Purnomo, Deputi Direktur UKMBI saat itu, mengijinkan digunakannya media sketsa dan kartun untuk menggambarkan beberapa kisah dalam film. Ketiga, Film itu untuk pertama kalinya pula menggunakan tehnik reportase, layaknya penyajian materi-materi film dokumenter yang biasa diproduksi oleh stasiun televisi.

Riset Sejarah yang Sepi dan Sepoi Sepoi itu
Sebagai asisten peneliti sejarah core tugas saya adalah meneliti dan memproduksi materi-materi sejarah untuk UKMBI. Karena dedikasi dan prestasi kerja saya, pada tahun 2006 saya mendapatkan semacam reward dari UKMBI. Saya mendapatkan promosi untuk menjadi Analis Program Publik, meski core tugas saya tak berubah. Tetap seperti tugas semula, peneliti dan produser materi-materi sejarah. Dari tangan orang-orang semacam saya di UKMBI, lahirlah naskah-naskah untuk bahan dasar film, materi website, materi layar sentuh, dan berbagai materi panel informasi yang akan disajikan dalam museum. Selain itu, beberapa staf yang bertitel peneliti juga dituntut untuk mempunyai produksi buku episode sejarah, satu buku dalam setahun. Syukurlah saya sudah mempunyai produk tiga buku episode selama bekerja di UKMBI.

Dunia riset sejarah, adalah dunia yang minor di lingkungan Bank Indonesia, bahkan di lingkungan UKMBI sendiri. Hanya beberapa orang sahaja yang cukup concern untuk menjejak prosedur riset sejarah dengan baik. Dalam dunia riset yang sepi itu, saya mempunyai mentor yang cukup handal. R. Hardjo Santoso namanya, sehari-hari kami memanggilnya papi. Perkenalan saya untuk pertama kali dengan beliau berjalan dengan tidak mulus. Ada sedikit problem psikologis-etik yang muncul saat pertama saya mencoba akrab dengan beliau. Cukup lama, saya tidak dianggap mumpuni oleh beliau, terutama karena penguasaan bahasa Belanda saya pas pas saja. Artinya pas dites, saya pas tau artinya, pas kepepet saya pas tiba-tiba paham maknanya. Begitulah mulanya hubungan saya dengan papi Hardjo.

Tapi saya harus bersabar. Dan kesabaran itu membuahkan hasil. Setelah beberapa lama saya berhasil membuktikan kepada papi Hardjo bahwa saya siap menjadi partnernya yang tangguh dalam merambah dunia sejarah Bank Indonesia. Saya bukan penjilat. Kesediaann beliau untuk mengajari saya tentunya berdasarkan penilaian positif beliau kepada saya karena perkembangan pesat yang saya alami dalam bidang riset sejarah Bank Indonesia. Saya punya tips-tips tersendiri dan feeling yang kuat dalam dunia riset. Kuncinya adalah ketekunan dan keuletan. Itu yang saya lakukan dalam menapaki jejak riset sejarah Bank Indonesia. Dengan cara itu akhirnya saya bisa mensiasati bahwa papi Hardjo mempunyai keahliannya sendiri dalam suatu hal, maka saya harus memiliki kelebihan saya sendiri dalam suatu hal yang lain. Dengan demikian, kami saling melengkapi, saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain.

Persahabatan saya dengan pak Hardjo membuahkan hasil. Banyak pengetahuan dan cara pandang baru dalam riset sejarah De Javasche Bank dan Bank Indonesia yang saya peroleh dari beliau. Karena beliau pula saya menjadi lebih leluasa menembus batas-batas ketatnya prosedur kearsipan di lingkungan Bank Indonesia. Untuk ukuran tenaga konsultan, saya telah mencapai batas terdalam pada urat nadi arsip dan dokumen sejarah di lingkungan Bank Indonesia. Saya yakin, konsultan sejarawan sebelum saya, seperti Mohammad Iskandar, misalnya, tidak akan mencapai pada titik dimana saya berdiri pada saat itu. Beliau tentu belum sempat menembus tembok-tembok arsip yang sepi dan sepoi-sepoi ini. Maka, dari itu produk tulisan yang beliau hasilkan untuk TPMBI pada periode sebelumnya belum cukup menggigit dan menggambarkan wujud masa lalu Bank Indonesia secara utuh.




September 2008, saat kami memberi kenang-kenangan untuk Pak Hardjo

Pak Hardjo pula-lah yang berhasil membuat saya semakin penasaran dengan pernak-pernik sejarah De Javasche Bank dan Bank Indonesia lainnya, terutama untuk urusan gedung-gedung De Javasche Bank, kisah-kisah para pemimpin De Javasche Bank, soal administrasi dan kepegawaian Bank Indonesia di masa lalu, dan tentang koleksi uang Bank Indonesia yang cukup beragam. Seiring dengan menurunnya stamina fisik beliau, banyak hal terkait dengan riset sejarah Bank Indonesia yang mulai beliau “serahkan” kepada saya. Dalam dua tahun terakhir sebelum saya meninggalkan UKMBI, saya setia menemani Pak Hardjo untuk terus mereview arsip-arsip Bank Indonesia. Dari situlah semakin banyak pengetahuan yang saya peroleh tentang sejarah Bank Indonesia, yang seakan-akan tidak ada lagi peneliti yang concern terhadapnya.

Begitulah dunia riset sejarah yang sepi di Bank Indonesia. Selain bukan core dari Bank Indonesia untuk berkutat dengan masa lalu, banyak yang beranggapan bahwa urusan sejarah adalah urusan para pensiunan. Pernah suatu ketika saya membuat beberapa staf bagian moneter di Bank Indonesia geleng-geleng kepala, karena kami meminta suatu pertemuan untuk membahas masalah cadangan emas moneter periode perang kemerdekaan. Dari raut mereka tampak terlihat kekecewaan, karena menganggap membuang-buang waktu saja untuk membahas cadangan emas moneter di masa lalu., sedang untuk mengurus cadangan emas moneter yang masa kini saja cukup menyita perhatian mereka! Begitulah. riset sejarah memang belum mendapat tempat mulia di lingkungan Bank Indonesia, meski hal itu adalah keharusan dalam proses pembangunan museum. Apa artinya bangunan megah museum tanpa pengetahuan sejarah? bak raga yang molek tanpa nyawa! Karena itulah sesepi apa dunia riset sejarah itu, saya harus menapakinya. Untungnya di tengah sepi-sepi itu masih ada angin sepoi-sepoi yang berhembus dari keramahan para staf Arsip di Bank Indonesia dan bantuan luar biasa rekan-rekan saya di bagian perpustakaan riset moneter Bank Indonesia.

Antara Jung Jawa dan Uang Setan
Selain menuliskan Bank Tunggal, kemudian mengisahkan kembali kisah tragis KBI Dili, ada hal lain yang juga membuat saya terkesan dalam proses pembangunan Museum Bank Indonesia, yaitu rekonstruksi Jung Jawa dan meneliti pernak pernik uang kuno.

Soal Jung Jawa, adalah Pak Achwan yang terus mendorong saya untuk menelusuri jejak kapal Nusantara ini. Awalnya beliau hanya mengajukan bahan awal riset berupa hasil unduhan informasi dunia maya melalui mesin pencari informasi google. Lalu karena tidak puas, dan hanya menganggap bahwa bahan awal itu masih cukup mentah dan boleh saja keliru karena sumbernya tak dapat kita lacak secara langsung, maka beliau menyarankan saya untuk melakukan riset tentang Jung Jawa secara bertahap. Bukan tugas utama, tapi harus saya kerjakan di sela-sela tugas riset atau menulis saya yang lainnya.



Bertemu dengan pembuat replika Kapal Jung di Mojokerto April 2008

Sejak 2006, saya mondar-mandir ke kampus, perpustakaan nasional, EFEO dan hingga Balai Arkeologi Nasional. Setiap kali saya bertemu dengan peneliti sejarah kawasan Asia Tenggara, saya selalu menyempatkan untuk bertanya tentang kapal Jung. Melalui kerja-kerja itulah akhirnya kami sampai pada suatu informasi yang cukup kuat tentang Jung Jawa. Beberapa petunjuk Nico van Horn terkait tentang Jung ini juga patut mendapatkan apresiasi, karena beliaulah yang memberikan petunjuk akhir terkait literature kuno yang memuat berita dan kisah tentang Jung Jawa.

Adapun soal uang kuno, adalah suatu kebetulan saya lulusan pesantren dan menguasai bacaan huruf arab pego atau arab gundul. Dalam beberapa uang kuno koleksi Museum Bank Indonesia, banyak terdapat uang yang tertulis dalam huruf arab gundul itu. Dalam beberapa kesempatan saya kerap diminta oleh rekan-rekan Museum Artha Suaka untuk membacakan apa yang tertera di atas uang kuno koleksi mereka. Sekedar untuk mengecek kecocokan data pada katalog koleksi mereka. Pada suatu saat ketika saya diminta membaca kalimat apa yang tertera pada keping uang kepeng Banten, salah seorang staf Museum Artha Suaka berseloroh “kamu ini uang kuno maca apa aja kamu bisa baca, jangan-jangan uang setan pun kamu juga bisa baca ya?” mendengar itu saya sempat tergelak.



Saya dalam suatu pameran di Palembang tahun 2005

Selain itu, kebetulan pula sejak 2005 saya kerap diutus UKMBI untuk mengikuti pameran koleksi Museum Artha Suaka yang diadakan di beberapa daerah di Indonesia. Dalam setiap pameran itulah, saya mulai menguji kemampuan saya untuk menjadi guide pameran/museum yang menjelaskan sejarah Bank Indonesia, dan tentunya tentang informasi beberapa koleksi uang kuno itu pula. Terkadang saya harus menghadapi berbagai pertanyaan konyol dari para pengunjung pameran dan harus segera menyiapkan jawaban yang cerdas pula!

Misalnya suatu saat ada seorang pengunjung yang bertanya kenapa tokoh pahlawan daerah asalnya digunakan untuk gambar uang kertas dengan pecahan yang kecil, sementara tokoh pahlawan daerah lain digunakan untuk pecahan yang lebih besar? Saya menjawab bahwa gambar pahlawan di pecahan kecil, bukan berarti merendahkan derajat pahlawan atau daerah asal pahlawan tersebut, tapi malah menjadikan pahlawan itu lebih dikenal luas oleh masyarakat Indonesia yang kebanyakan masih mengunakan pecahan uang kecil daripada uang dengan pecahan besar. Pokoknya, saya harus pandai-pandai berdiplomasi dalam menghadapi setiap pengunjung, baik yang datang dengan pertanyaan yang baik ataupun yang nyleneh.

Pameran demi pameran saya ikuti, dan saya merasa bosan jika harus memberi informasi pengunjung sebatas apa yang telah tercantum dalam buku katalog museum. Dari situlah keinginan saya untuk mulai mempelajari uang kuno mulai tumbuh. Saya lalu mencari berbagai informasi tambahan tentang uang dari berbagai literature yang tersebar di perpustakaan di Jakarta. Juga tentang ORI dan beberapa uang yang bergambar Soekarno, saya harus bekerja keras untuk mendapatkan informasi tentang uang-uang itu, apa keunikannya dan bagaimana proses penerbitannya. Karena dari berbagai daerah banyak pertanyaan tentang uang yang terkait dengan ORI serta uang-uang kertas bergambar Soekarno itu.

Pengetahuan saya tentang koleksi uang tersebut masih sangat terbatas, terutama jika dibandingkan dengan para numismator atau kolektor uang kuno yang benar-benar mengerti seluk-beluk uang kuno atau uang ORI misalnya. Namun demikian, sebagai sejarawan saya berusaha mempunyai informasi yang unik dan berbeda dengan para kolektor tersebut. caranya mudah saja, tentunya dengan banyak keluar masuk ke perpustakaan nasional dan mengorek berbagai majalah atau surat kabar yang kemungkinan memuat informasi tentang uang-uang kuno tersebut. Demikianlah kisah saya dengan uang-uang kuno itu, saya berharap dalam waktu dekat ini saya dapat menuliskan sejarah uang dengan lebih detail lagi. Saya ingin menerbitkannya dan menyebarkan informasi tentang uang itu kepada khalayak luas.

(bersambung....)

Comments

Popular posts from this blog

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Jung Jawa