Kondisi Ekonomi Indonesia 1945-1950
Pembuka
Sebelum Perang Dunia kedua, Hindia Belanda terkenal sebagai koloni Belanda yang kaya raya dan menduduki tempat pertama dalam ekspor karet, yaitu kurang lebih 400 ribu ton setahun; juga sebagai pengekspor gula terbesar kedua di dunia, dengan rata-rata 1200 ribu ton setahun. Pada akhir tahun 1930-an, Hindia Belanda adalah negara koloni yang memproduksi hasil-hasil pertanian, perkebunan, dan pertambangan yang meliputi antara lain beras, karet, gula, teh, kopi, lada kopra, tembakau, kapuk, kelapa sawit, tapioka, minyak tanah dan timah. Hasil produksi dalam perekonomian itu merupakan bagian terbesar dari Produk Domestik Bruto (PDB) negeri Belanda. Selama berpuluh tahun, negeri Belanda memperoleh bagian yang sangat lumayan bagi Produk Nasional Bruto (PNB)-nya.
Sebagai contoh perhitungan, pada rentang 1925 – 1934 rata-rata 15 % dari PNB negeri Belanda berasal dari Hindia Belanda berupa deviden, bunga laba, uang pensiun, penghasilan usaha perkapalan, ekspor ke Hindia Belanda, perdagangan hasil-hasil perkebunan, dan banyak lagi lainnya. Selain itu 4,1% dari PNB itu dibentuk dari jumlah yang diterima para pekerja Belanda di Hindia Belanda. Menjelang pecah perang dunia kedua, tepatnya pada 1938 jumlah yang pertama mencapai 14% sedangkan yang kedua berjumlah 2,1%. (Oey Beng To, 1991)
Maka dari itu Hindia Belanda memang sangat penting bagi perekonomian negeri Belanda dan bagi penempatan tenaga dan modalnya. Gambaran perekonomian Hindia Belanda yang kuat ini --meski cenderung menurun dari periode sebelumnya, akibat depresi dunia 1930-an-- yang berlangsung sekian lamanya sebelum perang dunia kedua, tidak tampak lagi pada saat bangsa Indonesia berdaulat penuh atas Hindia Belanda dan memproklamasikannya menjadi Indonesia.
Tulisan ini akan memaparkan secara singkat bagaimana kondisi perekonomian Indonesia pada awal kemerdekaan. Apakah proklamasi kemerdekaan juga secara otomatis menjadi tanda bagi kedaulatan ekonomi Indonesia? Tentu tidak semudah yang kita bayangkan. Selama ini, berbagai tulisan sejarah dalam periode kemerdekaan, hanya menyajikan berbagai ulasan tentang kondisi sosial-politik saja. Tapi bagaimana keadaan ekonomi Indonesia, bagaimana usahnya dalam membangun perekonomian, atau modal ekonomi apakah yang ia bawa dalam memulai negara ini, kurang mendapat perhatian yang memadai. Maka tulisan ini berusaha hadir sebagai penghantar untuk kajian sejarah ekonomi Indonesia pada awal masa kemerdekaan.
Ekonomi zaman Jepang
Masa pendudukan Jepang adalah awal masa suram bagi perekonomian Indonesia. Mereka datang dengan cepat, secepat langkah mereka dalam melikuidasi semua bank-bank milik Belanda dan memberlakukan sistem ekonomi pendudukan di wilayah Indonesia. Sistem itu dimulai dengan pemberlakuan aturan jual-beli dan pembayaran, mata uang yang berlaku sebagai tanda pembayaran yang sah adalah uang rupiah atau gulden Hindia Belanda. Peraturan ini dikeluarkan karena tampaknya pemerintah pendudukan Jepang dalam bidang moneter, berusaha sekeras-kerasnya untuk mempertahankan nilai mata uang tersebut dengan harapan agar harga barang-barang dapat dipertahankan sebagaimana sebelum perang, dan untuk mengawasi lalu lintas permodalan dan arus kredit. (Asia Raya, Maret 2602)
Pada masa itu, untuk menopang ekonomi daerah pendudukan (Hindia Belanda), di bidang keuangan, pemerintah militer Jepang hanya memperoleh pemasukan dari sumber yang terbatas, yaitu pungutan pajak dan penjualan hasil perkebunan. Sementara itu, pengeluaran daerah pendudukan membutuhkan biaya yang sangat besar, terutama untuk kepentingan perang, seperti membuat kubu-kubu pertahanan, pembuatan alat-alat perang dan lain-lain yang bertalian dengan usaha perang. Untuk menutup defisit keuangan pemerintah tersebut, satu-satunya jalan adalah mencetak uang baru. (Marwati Djoened, SNI, 1993)
Melalui Oendang-Oendang No. 1 Pimpinan Bala Tentara Dai Nippon mengumumkan di surat-surat kabar bahwa mulai 11 Maret 1942 uang gulden dan uang militer merupakan alat pembayaran yang sah di daerah-daerah pendudukan Jepang. Pada saat itu Jepang mengedarkan uang kertas Jepang yang disebut dengan uang invasi atau uang militer (gunpyo) dengan tanda De Japansche Regeering Betaalt aan toonder (pemerintah Jepang membayar kepada pembawa). Uang tersebut diedarkan dengan menggunakan nilai gulden dan cent, tanpa tanda tahun dan terdiri dari tujuh pecahan, yaitu 1, 1.50, 5, 10 gulden dan 1, 5, 10 Cent. (Asia Raya, Maret 2602) Meskipun demikian, agar tidak menggoyahkan keadaan, untuk sementara uang-uang De Javasche Bank dan uang-uang pemerintah dinyatakan tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah.
Pengeluaran dan pengedaran “invasion-money” itu mula-mula dilakukan oleh penguasa-penguasa militer untuk keperluannya, namun kemudian diambil alih oleh Nanpo Kaihatsu Ginko. Selanjutnya mulai September 1944 diedarkan uang baru dalam 5 pecahan, mulai dari 50 Sen sampai dengan 100 rupiah (istilah gulden telah diubah menjadi rupiah). Khusus untuk Sumatra uang pecahan 100 rupiah dicetak tersendiri dan dilakukan di Jepang.
Sampai pertengahan Agustus 1945, sebelum kapitulasi Jepang, telah terdapat lebih kurang 4 miliar rupiah uang dalam peredaran, ialah di Jawa lebih kurang 2,4 miliar, sedang di Sumatera lebih kurang 1,6 miliar, belum terhitung sebagain kecil lagi di Kalimantan dan Sulawesi. Diantara jumlah tersebut, Jepang telah memasukkan dalam peredaran uang sebesar 87 juta gulden yang berasal dari unissued notes yang ditemukan dalam khasanah De Javasche Bank dan kira-kira 20 juta gulden uang logam perak yang juga diambil Jepang dari khasanah De Javasche Bank. ( Report of The President of The Java Bank, 1946-1947)
Sejak 15 Agustus 1945 telah masuk dalam peredaran uang di wilayah Hindia Belanda sejumlah 2 milyar gulden. Sebagian dari uang tersebut adalah uang yang ditarik secara curang oleh tentara Jepang, yaitu dengan merampok dari bank-bank Jepang di Sumatera serta sebagian lagi Jepang merampok dari Kantor De Javasche Bank Surabaya dan beberapa kota lainnya. (Hardjo Santoso,2000)
Sebenarnya secara yuridis uang kertas Jepang yang dikeluarkan tanpa jaminan (emas) ini merupakan alat pembayaran yang tidak sah. Berdasarkan konvensi Den Haag 1899 dan 1907 telah disepakati bahwa pihak yang menduduki suatu negara lain dilarang mengeluarkan uangnya sendiri. Dalam konvensi tersebut Jepang ikut meratifisir dan menanda-tanganinya, tetapi mereka mengabaikan isi konvensi tersebut. (Marwati Djoened, SNI, 1993)
Ekonomi Masa Awal Kemerdekaan
Akhirnya, kekalahan Jepang dari Sekutu pada Perang Dunia II memberi kesempatan kepada Indonesia untuk merdeka. Pada 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Sementara itu, Belanda dari semula tentu saja tidak mau melepaskan Hindia Belanda dari kekuasaannya. Untuk itu jauh-jauh hari sebelumnya (pada masa pendudukan Jepang) telah diusahakan dengan segala daya upaya untuk mengembalikan Hindia Belanda sebagai daerah jajahannya, baik melalui Konperensi di Chequers (Perancis) pada tanggal 24 Agustus 1945 dalam bentuk “Civil Affairs Agreement” sebagai tahap akhir, maupun sebelumnya dengan usaha-usaha lainnya.
Akhirnya, Belanda kembali datang dengan membonceng tentara Sekutu yang mendarat di Indonesia pada Oktober 1945, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan. Belanda masih mengklaim kekuasaannya atas wilayah Indonesia, sebagai Hindia Belanda yang dahulu mereka tinggalkan. Sejak saat itu terjadilah semacam dualisme pemerintahan di atas satu wilayah yang sama, yaitu pemerintahan Republik Indonesia (RI) dan pemerintahan sipil Hindia Belanda NICA. Hal yang sama juga terjadi dalam lapangan perbankan-ekonomi, di wilayah yang mereka kuasai, masing-masing mempunyai sistem perbankan-ekonomi sendiri-sendiri. De Javasche Bank berioperasi di wilayah NICA dan Bank Negara Indonesia beroperasi di wilayah RI. (Noek Hartono, t.t.)
Terlepas adanya dualisme itu, secara umum dalam periode 1945 – 1949 perkembangan perekonomian Indonesia sangat menyedihkan. Semua indikator makro ekonomi dengan tiada kecualinya dengan jelas menunjukkan betapa dalamnya perekonomiannya telah jatuh, yang ditandai dengan turunnya produksi secara hebat karena hancurnya sebagian besar alat produksi, defisit neraca perdagangan yang besar selama beberapa tahun, defisit anggaran belanja pemerintah baik, pemerintah Republik Indonesia, maupun pemerintah Hindia Belanda. Keduanya mempunyai pengeluaran yang sangat besar di bidang militer, karena peperangan yang terus terjadi antara keduanya.
Dalam bidang moneter, RI mengeluarkan uang-nya sendiri. Oeang Republik Indonesia (ORI) dengan satuan nilai Rupiah untuk pertama kali diedarkan pada Nopember 1946. Sedianya Bank Negara Indonesia akan difungsikan sebagai otoritas moneter yang mengedarkannya, tapi karena keterbatasan kemampuannya dan juga kondisi perang yang tidak memungkinkan, ORI bergerak secara sporadis melalui tentara-tentara RI yang aktif mengedarkannya di wilayah mana yang mereka lewati. Maka tak heran, jika ORI banyak beredar di kalangan rakyat pedesaan. (Onghokham, 2002)
Sementara itu NICA telah datang dengan uang NICA, atau banyak dikenal dengan oeang merah. Rupanya jauh sebelum Jepang kalah, Belanda telah bersiap untuk kembali ke Hindia Belanda. Untuk itu pemerintahan sipil Hindia Belanda dalan pengungsian di London, sejak Desember 1942 telah mencetak uang Nederlandsch Indie yang nantinya akan mereka edarkan di Hindia Belanda. (Report of The President of The Java Bank, 1946-1947)
Situasi moneter semakin gawat, karena terus bertambahnya volume uang yang sangat meningkatkan permintaan barang tanpa diimbangi dengan perluasan secara proporsional pada sisi penawaran sehingga mendorong inflasi yang semakin deras. Keadaan ekonomi dan moneter benar-benar parah, gambaran yang sangat memprihatinkan tersebut terjadi di daerah yang diduduki Belanda, juga daerah yang berada di bawah kekuasaan pemerintah Republik Indonesia.
Selama masa 1945-1949, baik dari Pemerintah Republik Indonesia maupun Pemerintah Hindia Belanda tidak dapat menyusun Anggaran Belanja masing-masing dengan baik. Dalam masa dimana ketegangan politis antara kedua pemerintah dan bentrokan, bahkan peperangan antara kedua kekuatan militer meningkat, dapatlah dimengerti bahwa administrasi keuangan negara terpaksa diterlantarkan. Namun demikian, penyusunannya dilakukan sesudah lewatnya tahun-tahun yang bersangkutan, Anggaran Belanja tahun 1947, 1948 dan 1949 berhasil disusun oleh Pemerintah Hindia Belanda (NICA). (Oey Beng To, 1991)
Dalam rentang waktu tersebut, pemerintah Hindia Belanda telah melakukan deficit financing untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya, dengan jalan mengadakan pinjaman dari De Javasche Bank disamping menciptak an uang kertas Pemerintah, dan penempatan kertas perbendaharaan meskipun kecil jumlahnya. Dari tahun 1945 hingga 1949 utang lancar Pemerintah Hindia Belanda bertambah semakin besar, yaitu meningkat dari 347 juta gulden pada tahun 1945 menjadi 2.859 juta gulden pada tahun 1949. Nantinya utang lancar dalam negeri sebesar 2.859 juta gulden inilah yang dialihkan dari Pemerintah Hindia Belanda ke Pemerintah Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.
Cara pembiayaan yang ditempuh Pemerintah Hindia Belanda tersebut agak berbeda dengan pembiayaan pada masa sebelum perang. Sebelum terjadinya perang (dunia), kedua pembiayaan defisit anggaran belanja terutama ditampung di Negeri Belanda, dalam bentuk kredit jangka pendek dari Pemerintah Belanda, yang pada waktunya dikonsolidasikan dalam utang jangka panjang. Tidak demikian halnya sesudah perang dunia kedua, sejak mana sebagian besar defisit Anggaran Belanja dibiayai dengan utang dari De Javasche Bank. Dan dari jumlah utang lancar itu De Javasche Bank adalah pemberi utang terbanyak yaitu sebesar 1. 352 juta Gulden pada tahun 1949. (Oey Beng To, 1991)
Dengan besarnya jumlah kontribusi uang De Javasche Bank dalam utang lancar Pemerintah Hindia Belanda yang dialihkan kepada Pemerintah Republik Indonesia, maka dapat dimengerti kenapa De Javasche Bank ditetapkan sebagai bank sirkulasi bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Sesuai dengan kesepakatan KMB 1949, De Javasche Bank dipertahankan sebagai bank sirkulasi dalam rangka penyelesaian hutang-hutang ini. Sementara itu BNI bank sentral milik pemerintah RI hanya dijadikan sebagai bank pembangunan.
Kebijakan di bidang keuangan negara di daerah yang dikuasai Republik Indonesia selama 1945-1949 tidak banyak berbeda dengan kebijakan yang ditempuh di daerah pendudukan Belanda. Pemerintah Republik Indonesia juga melakukan deficit financing dengan mencetak ORI. Seiring dengan meningkatnya pengeluaran perang, pencetakan ORI juga terus meningkat. Pada akhir tahun 1949 jumlah ORI dan ORIDA yang dikeluarkan oleh pemerintah sebesar Rp 6 miliar. (SIKAP 12 Maret 1949)
Dengan demikian deficit financing sebagai cara termudah untuk membiayai peperangan telah dijalankan oleh kedua pemerintahan, baik Pemerintah Hindia Belanda maupun Pemerintah Republik Indonesia. Kebijakan demikian telah menyebabkan volume uang beredar meluap sampai tingkat yang tinggi. Keadaan moneter menunjukkan perkembangan yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. Volume uang beredar telah meluap sampai tingkat yang sangat tinggi. Pada akhir tahun 1949 di daerah yang dikuasai oleh Republik, volume uang beredar telah mencapai jumlah Rp 6 miliar, sedangkan di daerah pendudukan Belanda jumlahnya adalah Rp 3,7 miliar.
Kalau jumlah-jumlah tersebut dibandingkan dengan volume uang beredar sebelum pecah perang dunia kedua, yang menunjukkan angka setinggi ƒ 420 juta pada bulan Maret 1938, maka peredaran demikian besarnya pada tahun 1949 sudah jelas mencerminkan perkembangan inflasi yang sangat serius yang melanda kedua daerah tersebut, yakni seluruh wilayah Hindia Belanda, atau wilayah RI dan NICA.
Selanjutnya terdapatnya berbagai jenis mata uang yang beredar dalam masyarakat yang berbeda-beda nilai tukarnya menyebabkan situasi moneter menjadi sangat ruwet dan membingungkan. Selama pendudukan Jepang, bahkan beberapa waktu sesudah itu, uang Jepang, yang dikenal juga sebagai uang invasi, beredar bersama-sama dengan uang kertas De Javasche Bank dan uang kertas Pemerintah Hindia Belanda, begitu pula dengan uang logam yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank. Terutama di daerah pendudukan Belanda beredar juga uang NICA, yang merupakan uang kertas pemerintah dan dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda setelah Jepang menyerah. Disamping jenis-jenis mata uang tersebut terdapat pula mata uang yang dikeluarkan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah daerah Republik Indonesia, yang terutama beredar di daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia.
Kebijakan Ekonomi Masa Awal Kemerdekaan
Di daerah pendudukan Belanda merajalelanya inflasi sedikit banyak dapat dikurangi dengan adanya distribusi barang-barang. Walaupun demikian, harga dari barang-barang yang ditempatkan dibawah “pengawasan” masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga sebelum perang, yaitu kurang lebih 650%. Di pasar bebas Jakarta tingkat harga barang-barang makanan dalam Oktober 1947 diperkirakan 200% dari tingkat harga barang-barang yang diawasi sedangkan untuk barang-barang lain harga bebasnya ditaksir antara 300-500% dari harga yang diawasi. (Oey Beng To, 1991)
Sementara itu, kebijakan ekonomi moneter di daerah yang dikuasai Republik Indonesia terpaksa bersifat pasif, yaitu memberikan akomodasi kepada keperluan-keperluan politik dan militer serta mengusahakan jaminan minimal bagi kehidupan rakyat sehari-hari. Memang dalam suasana revolusi dan perjuangan tidaklah mungkin untuk menempuh suatu kebijakan moneter yang secara sistematis dan meyeluruh diarahkan kepada stabilitas sambil meningkatkan produksi.
Dalam UUD 1945 pasal 23 dan 33 telah diatur kebijakan ekonomi dan moneter. Akan tetapi keadaan masa perjuangan sukar untuk melaksanakan apa yang dikehendaki oleh undang-undang dasar. Berbeda halnya dengan pemerintahan Hindia Belanda (NICA), di beberapa daerah yang mereka kuasai beberapa upaya untuk menghidupkan kembali perekonomian telah dimulai dengan kegiatan ekspor-impor. Sistem Bukti Ekspor Dollar, misalnya adalah salah satu usaha yang mereka lakukan dalam merangsang kegiatan ekspor-impor, dengan cara memberi insentif tertentu untuk para eksportir.
Dalam hal ini peranan pengusaha Belanda yang telah lama eksis di Hindia Belanda tidak dapat diabaikan begitu saja. Jaringan mereka rupanya tidak mati begitu saja karena terjadinya pendudukan Jepang. Demikian halnya kegiatan perbankan, dengan mudah perbankan Belanda mulai bergeliat kembali dan memulai operasinya di Indonesia. Dana dari perbankan inilah yang banyak mendukung jalannya kegiatan ekonomi Hindia Belanda.
Bila kita teliti lebih lanjut, seakan terjadi keacuhan yang cukup menggembirakan dari para pelaku ekonomi Belanda saat itu. Mereka seakan tidak mempedulikan di bawah kekuasaan mana nantinya akan bernaung, yang terpenting buat meraka adalah lancarnya roda usaha yang mereka jalankan. Hal semacam ini dapat dilihat dalam rapat-rapat De Javasche Bank di awal kemerdekaan. Presiden Bank dalam pidatonya mengatakan bahwa terlepas dari siapa yang akan memerintah, bagi De Javasche Bank stabilitas keadaan politik Indonesia adalah yang utama, agar mereka dapat kembali berperan secara maksimal dalam mendorong kegiatan ekonomi. (Report of The President of The Java Bank, 1946-1947)
Selain itu, pemerintah Hindia Belanda (NICA) juga memperoleh bantuan dari IMF dan World Bank. Pada waktu itu Negara Belanda telah menjadi anggota kedua lembaga donor itu, dan Hindia Belanda (kemudian menjadi Indonesia) diikut sertakan sebagai “sub-member”. Berkaitan dengan keanggotaan itu Belanda telah memperoleh kuota pinjaman sebesar USD 275 juta dan Hindia Belanda atau Indonesia yang pada saat itu masih menjadi klaim kekuasaan Belanda, dijadikan sebagai “sub-member” yang ikutserta sampai 30% dalam segala hak dan kewajiban Negara Belanda, sehingga harus memenuhi iuran dalam emas sebesar USD 20.625.000. Kedudukan Hindia Belanda sebagai “sub-member” dengan sendirinya terhapus dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia pada akhir 1949. (Oey Beng To, 1991)
Penutup
Demikianlah sekilas tentang perekonomian Indonesia pada 1945-1950, tidak ada kebijakan ekonomi yang secara efektif dapat dilaksanakan oleh pemerintah RI. Diantara sekian banyak langkah ekonomi yang diambil, masih hanya bersifat simbolik, belum mampu mendukung kegiatan ekonomi Indonesia secara maksimal. Dalam periode ini hampir-hampir kita tidak dapat memisahkan antara dampak kebijakan RI dengan dampak kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Semuanya tumpang tindih, dua kekuasaan yang berbeda memerintah di atas satu wilayah yang sama.
Baru kemudian, ketika KMB menghasilkan kedaulatan bagi Indonesia dan mengantarkan kepada pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Agustus 1950, dapatlah kita ketahui langkah nyata dari kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah RI. Memasuki tahun 1950-an, tidak saja masa percobaan demokrasi yang akan kita dapatkan, tapi trial and error politik ekonomi Indonesia mulai dipraktekkan pada periode ini. Dan usaha nasionalisasi adalah kebijakan yang paling mengemuka pada periode 1950-an ini.
Daftar Pustaka :
Hardjo Santoso, De Javasche Bank Pada Masa Peperangan : Perang Asia-Pasifik 1941 – 1945 dan Sesudahnya, 2000.
---------------------, Gambaran Perbankan Pada Sebelum dan Sesudah Tahun 1945 dan De Bank Voor Nederlandsch Indie 21 Februari 1944 – 31 Desember 1948, 2000.
J. Thomas Linblad (ed.), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia : berbagai tantangan baru. Jakarta : Pustaka LP3ES, 1998.
-----------------------, Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.
Marwati Djoened Poseponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, jilid VI. Jakarta : Balai Pustaka, 1993.
Noek Hartono, Bank Indonesia Sejarah Lahir dan Pertumbuhannya, stensilan t.t.
Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter, jilid I (1945-1958). Jakarta : Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1991.
Onghokham, The Thugs, The Curtain Thief, and The Sugar Lord : Power, Politics, and Culture in Colonial Java. Jakarta : Metafor Publishing, 2003.
Sumber lainnya :
Report of The President of The Java Bank, 1946-1947
Harian Asia Raya
Majalah Sikap
Sebelum Perang Dunia kedua, Hindia Belanda terkenal sebagai koloni Belanda yang kaya raya dan menduduki tempat pertama dalam ekspor karet, yaitu kurang lebih 400 ribu ton setahun; juga sebagai pengekspor gula terbesar kedua di dunia, dengan rata-rata 1200 ribu ton setahun. Pada akhir tahun 1930-an, Hindia Belanda adalah negara koloni yang memproduksi hasil-hasil pertanian, perkebunan, dan pertambangan yang meliputi antara lain beras, karet, gula, teh, kopi, lada kopra, tembakau, kapuk, kelapa sawit, tapioka, minyak tanah dan timah. Hasil produksi dalam perekonomian itu merupakan bagian terbesar dari Produk Domestik Bruto (PDB) negeri Belanda. Selama berpuluh tahun, negeri Belanda memperoleh bagian yang sangat lumayan bagi Produk Nasional Bruto (PNB)-nya.
Sebagai contoh perhitungan, pada rentang 1925 – 1934 rata-rata 15 % dari PNB negeri Belanda berasal dari Hindia Belanda berupa deviden, bunga laba, uang pensiun, penghasilan usaha perkapalan, ekspor ke Hindia Belanda, perdagangan hasil-hasil perkebunan, dan banyak lagi lainnya. Selain itu 4,1% dari PNB itu dibentuk dari jumlah yang diterima para pekerja Belanda di Hindia Belanda. Menjelang pecah perang dunia kedua, tepatnya pada 1938 jumlah yang pertama mencapai 14% sedangkan yang kedua berjumlah 2,1%. (Oey Beng To, 1991)
Maka dari itu Hindia Belanda memang sangat penting bagi perekonomian negeri Belanda dan bagi penempatan tenaga dan modalnya. Gambaran perekonomian Hindia Belanda yang kuat ini --meski cenderung menurun dari periode sebelumnya, akibat depresi dunia 1930-an-- yang berlangsung sekian lamanya sebelum perang dunia kedua, tidak tampak lagi pada saat bangsa Indonesia berdaulat penuh atas Hindia Belanda dan memproklamasikannya menjadi Indonesia.
Tulisan ini akan memaparkan secara singkat bagaimana kondisi perekonomian Indonesia pada awal kemerdekaan. Apakah proklamasi kemerdekaan juga secara otomatis menjadi tanda bagi kedaulatan ekonomi Indonesia? Tentu tidak semudah yang kita bayangkan. Selama ini, berbagai tulisan sejarah dalam periode kemerdekaan, hanya menyajikan berbagai ulasan tentang kondisi sosial-politik saja. Tapi bagaimana keadaan ekonomi Indonesia, bagaimana usahnya dalam membangun perekonomian, atau modal ekonomi apakah yang ia bawa dalam memulai negara ini, kurang mendapat perhatian yang memadai. Maka tulisan ini berusaha hadir sebagai penghantar untuk kajian sejarah ekonomi Indonesia pada awal masa kemerdekaan.
Ekonomi zaman Jepang
Masa pendudukan Jepang adalah awal masa suram bagi perekonomian Indonesia. Mereka datang dengan cepat, secepat langkah mereka dalam melikuidasi semua bank-bank milik Belanda dan memberlakukan sistem ekonomi pendudukan di wilayah Indonesia. Sistem itu dimulai dengan pemberlakuan aturan jual-beli dan pembayaran, mata uang yang berlaku sebagai tanda pembayaran yang sah adalah uang rupiah atau gulden Hindia Belanda. Peraturan ini dikeluarkan karena tampaknya pemerintah pendudukan Jepang dalam bidang moneter, berusaha sekeras-kerasnya untuk mempertahankan nilai mata uang tersebut dengan harapan agar harga barang-barang dapat dipertahankan sebagaimana sebelum perang, dan untuk mengawasi lalu lintas permodalan dan arus kredit. (Asia Raya, Maret 2602)
Pada masa itu, untuk menopang ekonomi daerah pendudukan (Hindia Belanda), di bidang keuangan, pemerintah militer Jepang hanya memperoleh pemasukan dari sumber yang terbatas, yaitu pungutan pajak dan penjualan hasil perkebunan. Sementara itu, pengeluaran daerah pendudukan membutuhkan biaya yang sangat besar, terutama untuk kepentingan perang, seperti membuat kubu-kubu pertahanan, pembuatan alat-alat perang dan lain-lain yang bertalian dengan usaha perang. Untuk menutup defisit keuangan pemerintah tersebut, satu-satunya jalan adalah mencetak uang baru. (Marwati Djoened, SNI, 1993)
Melalui Oendang-Oendang No. 1 Pimpinan Bala Tentara Dai Nippon mengumumkan di surat-surat kabar bahwa mulai 11 Maret 1942 uang gulden dan uang militer merupakan alat pembayaran yang sah di daerah-daerah pendudukan Jepang. Pada saat itu Jepang mengedarkan uang kertas Jepang yang disebut dengan uang invasi atau uang militer (gunpyo) dengan tanda De Japansche Regeering Betaalt aan toonder (pemerintah Jepang membayar kepada pembawa). Uang tersebut diedarkan dengan menggunakan nilai gulden dan cent, tanpa tanda tahun dan terdiri dari tujuh pecahan, yaitu 1, 1.50, 5, 10 gulden dan 1, 5, 10 Cent. (Asia Raya, Maret 2602) Meskipun demikian, agar tidak menggoyahkan keadaan, untuk sementara uang-uang De Javasche Bank dan uang-uang pemerintah dinyatakan tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah.
Pengeluaran dan pengedaran “invasion-money” itu mula-mula dilakukan oleh penguasa-penguasa militer untuk keperluannya, namun kemudian diambil alih oleh Nanpo Kaihatsu Ginko. Selanjutnya mulai September 1944 diedarkan uang baru dalam 5 pecahan, mulai dari 50 Sen sampai dengan 100 rupiah (istilah gulden telah diubah menjadi rupiah). Khusus untuk Sumatra uang pecahan 100 rupiah dicetak tersendiri dan dilakukan di Jepang.
Sampai pertengahan Agustus 1945, sebelum kapitulasi Jepang, telah terdapat lebih kurang 4 miliar rupiah uang dalam peredaran, ialah di Jawa lebih kurang 2,4 miliar, sedang di Sumatera lebih kurang 1,6 miliar, belum terhitung sebagain kecil lagi di Kalimantan dan Sulawesi. Diantara jumlah tersebut, Jepang telah memasukkan dalam peredaran uang sebesar 87 juta gulden yang berasal dari unissued notes yang ditemukan dalam khasanah De Javasche Bank dan kira-kira 20 juta gulden uang logam perak yang juga diambil Jepang dari khasanah De Javasche Bank. ( Report of The President of The Java Bank, 1946-1947)
Sejak 15 Agustus 1945 telah masuk dalam peredaran uang di wilayah Hindia Belanda sejumlah 2 milyar gulden. Sebagian dari uang tersebut adalah uang yang ditarik secara curang oleh tentara Jepang, yaitu dengan merampok dari bank-bank Jepang di Sumatera serta sebagian lagi Jepang merampok dari Kantor De Javasche Bank Surabaya dan beberapa kota lainnya. (Hardjo Santoso,2000)
Sebenarnya secara yuridis uang kertas Jepang yang dikeluarkan tanpa jaminan (emas) ini merupakan alat pembayaran yang tidak sah. Berdasarkan konvensi Den Haag 1899 dan 1907 telah disepakati bahwa pihak yang menduduki suatu negara lain dilarang mengeluarkan uangnya sendiri. Dalam konvensi tersebut Jepang ikut meratifisir dan menanda-tanganinya, tetapi mereka mengabaikan isi konvensi tersebut. (Marwati Djoened, SNI, 1993)
Ekonomi Masa Awal Kemerdekaan
Akhirnya, kekalahan Jepang dari Sekutu pada Perang Dunia II memberi kesempatan kepada Indonesia untuk merdeka. Pada 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Sementara itu, Belanda dari semula tentu saja tidak mau melepaskan Hindia Belanda dari kekuasaannya. Untuk itu jauh-jauh hari sebelumnya (pada masa pendudukan Jepang) telah diusahakan dengan segala daya upaya untuk mengembalikan Hindia Belanda sebagai daerah jajahannya, baik melalui Konperensi di Chequers (Perancis) pada tanggal 24 Agustus 1945 dalam bentuk “Civil Affairs Agreement” sebagai tahap akhir, maupun sebelumnya dengan usaha-usaha lainnya.
Akhirnya, Belanda kembali datang dengan membonceng tentara Sekutu yang mendarat di Indonesia pada Oktober 1945, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan. Belanda masih mengklaim kekuasaannya atas wilayah Indonesia, sebagai Hindia Belanda yang dahulu mereka tinggalkan. Sejak saat itu terjadilah semacam dualisme pemerintahan di atas satu wilayah yang sama, yaitu pemerintahan Republik Indonesia (RI) dan pemerintahan sipil Hindia Belanda NICA. Hal yang sama juga terjadi dalam lapangan perbankan-ekonomi, di wilayah yang mereka kuasai, masing-masing mempunyai sistem perbankan-ekonomi sendiri-sendiri. De Javasche Bank berioperasi di wilayah NICA dan Bank Negara Indonesia beroperasi di wilayah RI. (Noek Hartono, t.t.)
Terlepas adanya dualisme itu, secara umum dalam periode 1945 – 1949 perkembangan perekonomian Indonesia sangat menyedihkan. Semua indikator makro ekonomi dengan tiada kecualinya dengan jelas menunjukkan betapa dalamnya perekonomiannya telah jatuh, yang ditandai dengan turunnya produksi secara hebat karena hancurnya sebagian besar alat produksi, defisit neraca perdagangan yang besar selama beberapa tahun, defisit anggaran belanja pemerintah baik, pemerintah Republik Indonesia, maupun pemerintah Hindia Belanda. Keduanya mempunyai pengeluaran yang sangat besar di bidang militer, karena peperangan yang terus terjadi antara keduanya.
Dalam bidang moneter, RI mengeluarkan uang-nya sendiri. Oeang Republik Indonesia (ORI) dengan satuan nilai Rupiah untuk pertama kali diedarkan pada Nopember 1946. Sedianya Bank Negara Indonesia akan difungsikan sebagai otoritas moneter yang mengedarkannya, tapi karena keterbatasan kemampuannya dan juga kondisi perang yang tidak memungkinkan, ORI bergerak secara sporadis melalui tentara-tentara RI yang aktif mengedarkannya di wilayah mana yang mereka lewati. Maka tak heran, jika ORI banyak beredar di kalangan rakyat pedesaan. (Onghokham, 2002)
Sementara itu NICA telah datang dengan uang NICA, atau banyak dikenal dengan oeang merah. Rupanya jauh sebelum Jepang kalah, Belanda telah bersiap untuk kembali ke Hindia Belanda. Untuk itu pemerintahan sipil Hindia Belanda dalan pengungsian di London, sejak Desember 1942 telah mencetak uang Nederlandsch Indie yang nantinya akan mereka edarkan di Hindia Belanda. (Report of The President of The Java Bank, 1946-1947)
Situasi moneter semakin gawat, karena terus bertambahnya volume uang yang sangat meningkatkan permintaan barang tanpa diimbangi dengan perluasan secara proporsional pada sisi penawaran sehingga mendorong inflasi yang semakin deras. Keadaan ekonomi dan moneter benar-benar parah, gambaran yang sangat memprihatinkan tersebut terjadi di daerah yang diduduki Belanda, juga daerah yang berada di bawah kekuasaan pemerintah Republik Indonesia.
Selama masa 1945-1949, baik dari Pemerintah Republik Indonesia maupun Pemerintah Hindia Belanda tidak dapat menyusun Anggaran Belanja masing-masing dengan baik. Dalam masa dimana ketegangan politis antara kedua pemerintah dan bentrokan, bahkan peperangan antara kedua kekuatan militer meningkat, dapatlah dimengerti bahwa administrasi keuangan negara terpaksa diterlantarkan. Namun demikian, penyusunannya dilakukan sesudah lewatnya tahun-tahun yang bersangkutan, Anggaran Belanja tahun 1947, 1948 dan 1949 berhasil disusun oleh Pemerintah Hindia Belanda (NICA). (Oey Beng To, 1991)
Dalam rentang waktu tersebut, pemerintah Hindia Belanda telah melakukan deficit financing untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya, dengan jalan mengadakan pinjaman dari De Javasche Bank disamping menciptak an uang kertas Pemerintah, dan penempatan kertas perbendaharaan meskipun kecil jumlahnya. Dari tahun 1945 hingga 1949 utang lancar Pemerintah Hindia Belanda bertambah semakin besar, yaitu meningkat dari 347 juta gulden pada tahun 1945 menjadi 2.859 juta gulden pada tahun 1949. Nantinya utang lancar dalam negeri sebesar 2.859 juta gulden inilah yang dialihkan dari Pemerintah Hindia Belanda ke Pemerintah Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.
Cara pembiayaan yang ditempuh Pemerintah Hindia Belanda tersebut agak berbeda dengan pembiayaan pada masa sebelum perang. Sebelum terjadinya perang (dunia), kedua pembiayaan defisit anggaran belanja terutama ditampung di Negeri Belanda, dalam bentuk kredit jangka pendek dari Pemerintah Belanda, yang pada waktunya dikonsolidasikan dalam utang jangka panjang. Tidak demikian halnya sesudah perang dunia kedua, sejak mana sebagian besar defisit Anggaran Belanja dibiayai dengan utang dari De Javasche Bank. Dan dari jumlah utang lancar itu De Javasche Bank adalah pemberi utang terbanyak yaitu sebesar 1. 352 juta Gulden pada tahun 1949. (Oey Beng To, 1991)
Dengan besarnya jumlah kontribusi uang De Javasche Bank dalam utang lancar Pemerintah Hindia Belanda yang dialihkan kepada Pemerintah Republik Indonesia, maka dapat dimengerti kenapa De Javasche Bank ditetapkan sebagai bank sirkulasi bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Sesuai dengan kesepakatan KMB 1949, De Javasche Bank dipertahankan sebagai bank sirkulasi dalam rangka penyelesaian hutang-hutang ini. Sementara itu BNI bank sentral milik pemerintah RI hanya dijadikan sebagai bank pembangunan.
Kebijakan di bidang keuangan negara di daerah yang dikuasai Republik Indonesia selama 1945-1949 tidak banyak berbeda dengan kebijakan yang ditempuh di daerah pendudukan Belanda. Pemerintah Republik Indonesia juga melakukan deficit financing dengan mencetak ORI. Seiring dengan meningkatnya pengeluaran perang, pencetakan ORI juga terus meningkat. Pada akhir tahun 1949 jumlah ORI dan ORIDA yang dikeluarkan oleh pemerintah sebesar Rp 6 miliar. (SIKAP 12 Maret 1949)
Dengan demikian deficit financing sebagai cara termudah untuk membiayai peperangan telah dijalankan oleh kedua pemerintahan, baik Pemerintah Hindia Belanda maupun Pemerintah Republik Indonesia. Kebijakan demikian telah menyebabkan volume uang beredar meluap sampai tingkat yang tinggi. Keadaan moneter menunjukkan perkembangan yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. Volume uang beredar telah meluap sampai tingkat yang sangat tinggi. Pada akhir tahun 1949 di daerah yang dikuasai oleh Republik, volume uang beredar telah mencapai jumlah Rp 6 miliar, sedangkan di daerah pendudukan Belanda jumlahnya adalah Rp 3,7 miliar.
Kalau jumlah-jumlah tersebut dibandingkan dengan volume uang beredar sebelum pecah perang dunia kedua, yang menunjukkan angka setinggi ƒ 420 juta pada bulan Maret 1938, maka peredaran demikian besarnya pada tahun 1949 sudah jelas mencerminkan perkembangan inflasi yang sangat serius yang melanda kedua daerah tersebut, yakni seluruh wilayah Hindia Belanda, atau wilayah RI dan NICA.
Selanjutnya terdapatnya berbagai jenis mata uang yang beredar dalam masyarakat yang berbeda-beda nilai tukarnya menyebabkan situasi moneter menjadi sangat ruwet dan membingungkan. Selama pendudukan Jepang, bahkan beberapa waktu sesudah itu, uang Jepang, yang dikenal juga sebagai uang invasi, beredar bersama-sama dengan uang kertas De Javasche Bank dan uang kertas Pemerintah Hindia Belanda, begitu pula dengan uang logam yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank. Terutama di daerah pendudukan Belanda beredar juga uang NICA, yang merupakan uang kertas pemerintah dan dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda setelah Jepang menyerah. Disamping jenis-jenis mata uang tersebut terdapat pula mata uang yang dikeluarkan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah daerah Republik Indonesia, yang terutama beredar di daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia.
Kebijakan Ekonomi Masa Awal Kemerdekaan
Di daerah pendudukan Belanda merajalelanya inflasi sedikit banyak dapat dikurangi dengan adanya distribusi barang-barang. Walaupun demikian, harga dari barang-barang yang ditempatkan dibawah “pengawasan” masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga sebelum perang, yaitu kurang lebih 650%. Di pasar bebas Jakarta tingkat harga barang-barang makanan dalam Oktober 1947 diperkirakan 200% dari tingkat harga barang-barang yang diawasi sedangkan untuk barang-barang lain harga bebasnya ditaksir antara 300-500% dari harga yang diawasi. (Oey Beng To, 1991)
Sementara itu, kebijakan ekonomi moneter di daerah yang dikuasai Republik Indonesia terpaksa bersifat pasif, yaitu memberikan akomodasi kepada keperluan-keperluan politik dan militer serta mengusahakan jaminan minimal bagi kehidupan rakyat sehari-hari. Memang dalam suasana revolusi dan perjuangan tidaklah mungkin untuk menempuh suatu kebijakan moneter yang secara sistematis dan meyeluruh diarahkan kepada stabilitas sambil meningkatkan produksi.
Dalam UUD 1945 pasal 23 dan 33 telah diatur kebijakan ekonomi dan moneter. Akan tetapi keadaan masa perjuangan sukar untuk melaksanakan apa yang dikehendaki oleh undang-undang dasar. Berbeda halnya dengan pemerintahan Hindia Belanda (NICA), di beberapa daerah yang mereka kuasai beberapa upaya untuk menghidupkan kembali perekonomian telah dimulai dengan kegiatan ekspor-impor. Sistem Bukti Ekspor Dollar, misalnya adalah salah satu usaha yang mereka lakukan dalam merangsang kegiatan ekspor-impor, dengan cara memberi insentif tertentu untuk para eksportir.
Dalam hal ini peranan pengusaha Belanda yang telah lama eksis di Hindia Belanda tidak dapat diabaikan begitu saja. Jaringan mereka rupanya tidak mati begitu saja karena terjadinya pendudukan Jepang. Demikian halnya kegiatan perbankan, dengan mudah perbankan Belanda mulai bergeliat kembali dan memulai operasinya di Indonesia. Dana dari perbankan inilah yang banyak mendukung jalannya kegiatan ekonomi Hindia Belanda.
Bila kita teliti lebih lanjut, seakan terjadi keacuhan yang cukup menggembirakan dari para pelaku ekonomi Belanda saat itu. Mereka seakan tidak mempedulikan di bawah kekuasaan mana nantinya akan bernaung, yang terpenting buat meraka adalah lancarnya roda usaha yang mereka jalankan. Hal semacam ini dapat dilihat dalam rapat-rapat De Javasche Bank di awal kemerdekaan. Presiden Bank dalam pidatonya mengatakan bahwa terlepas dari siapa yang akan memerintah, bagi De Javasche Bank stabilitas keadaan politik Indonesia adalah yang utama, agar mereka dapat kembali berperan secara maksimal dalam mendorong kegiatan ekonomi. (Report of The President of The Java Bank, 1946-1947)
Selain itu, pemerintah Hindia Belanda (NICA) juga memperoleh bantuan dari IMF dan World Bank. Pada waktu itu Negara Belanda telah menjadi anggota kedua lembaga donor itu, dan Hindia Belanda (kemudian menjadi Indonesia) diikut sertakan sebagai “sub-member”. Berkaitan dengan keanggotaan itu Belanda telah memperoleh kuota pinjaman sebesar USD 275 juta dan Hindia Belanda atau Indonesia yang pada saat itu masih menjadi klaim kekuasaan Belanda, dijadikan sebagai “sub-member” yang ikutserta sampai 30% dalam segala hak dan kewajiban Negara Belanda, sehingga harus memenuhi iuran dalam emas sebesar USD 20.625.000. Kedudukan Hindia Belanda sebagai “sub-member” dengan sendirinya terhapus dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia pada akhir 1949. (Oey Beng To, 1991)
Penutup
Demikianlah sekilas tentang perekonomian Indonesia pada 1945-1950, tidak ada kebijakan ekonomi yang secara efektif dapat dilaksanakan oleh pemerintah RI. Diantara sekian banyak langkah ekonomi yang diambil, masih hanya bersifat simbolik, belum mampu mendukung kegiatan ekonomi Indonesia secara maksimal. Dalam periode ini hampir-hampir kita tidak dapat memisahkan antara dampak kebijakan RI dengan dampak kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Semuanya tumpang tindih, dua kekuasaan yang berbeda memerintah di atas satu wilayah yang sama.
Baru kemudian, ketika KMB menghasilkan kedaulatan bagi Indonesia dan mengantarkan kepada pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Agustus 1950, dapatlah kita ketahui langkah nyata dari kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah RI. Memasuki tahun 1950-an, tidak saja masa percobaan demokrasi yang akan kita dapatkan, tapi trial and error politik ekonomi Indonesia mulai dipraktekkan pada periode ini. Dan usaha nasionalisasi adalah kebijakan yang paling mengemuka pada periode 1950-an ini.
Daftar Pustaka :
Hardjo Santoso, De Javasche Bank Pada Masa Peperangan : Perang Asia-Pasifik 1941 – 1945 dan Sesudahnya, 2000.
---------------------, Gambaran Perbankan Pada Sebelum dan Sesudah Tahun 1945 dan De Bank Voor Nederlandsch Indie 21 Februari 1944 – 31 Desember 1948, 2000.
J. Thomas Linblad (ed.), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia : berbagai tantangan baru. Jakarta : Pustaka LP3ES, 1998.
-----------------------, Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.
Marwati Djoened Poseponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, jilid VI. Jakarta : Balai Pustaka, 1993.
Noek Hartono, Bank Indonesia Sejarah Lahir dan Pertumbuhannya, stensilan t.t.
Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter, jilid I (1945-1958). Jakarta : Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1991.
Onghokham, The Thugs, The Curtain Thief, and The Sugar Lord : Power, Politics, and Culture in Colonial Java. Jakarta : Metafor Publishing, 2003.
Sumber lainnya :
Report of The President of The Java Bank, 1946-1947
Harian Asia Raya
Majalah Sikap
Comments