Bank Indonesia : Bank Sentral RI
tulisan ini adalah bagian akhir dari tema perbankan yang diangkat dalam dua tulisan sebelumnya........ setelah mengetahui apa itu bank sentral, bagaimana perkembangannya di Indonesia, tiba saatnya pada kisah bagaimana berdirinya bank sentral RI, yaitu Bank Indonesia.
Setelah KMB
Konferensi Meja Bundar telah sepakat untuk membentuk suatu uni yang longgar antara negeri Belanda dan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis. Hasil KMB kemudian diajukan kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk diratifikasi. Soekarno diangkat sebagai Presiden RIS pada 17 Desember 1949 dan tiga hari kemudian ia melantik Kabinet RIS yang dipimpin oleh Perdana Menteri Moh. Hatta. Selanjutnya pada 27 Desember 1949, baik di Indonesia maupun di negeri Belanda diadakan upacara penanda-tanganan naskah penyerahan kedaulatan. Mulai saat itu secara formal Belanda mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena pada 17 Agustus 1950 pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) secara resmi dibubarkan. Indonesia memutuskan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak saat itu pemerintahan dijalankan berdasarkan sistem parlementer, Indonesia menganut Demokrasi Liberal. Perubahan bentuk negara tersebut tidak merubah kedudukan De Javasche Bank (DJB) sebagai bank sirkulasi.
Pada awal periode ini, perekonomian Indonesia mempunyai beban yang berat yaitu perekonomian pasca perang. Pemerintah tidak berhasil meningkatkan produksi dengan menggunakan sumber-sumber yang masih ada untuk peningkatan pendapatan nasional. Misalnya dalam kegiatan ekspor, Indonesia hanya bergantung pada sektor perkebunan saja dengan nilai produksi masih dibawah nilai sebelum Perang Dunia II. Kelemahan dari ekonomi Indonesia saat itu adalah bahwa politik keuangan Indonesia bukan hasil rancangan Indonesia tetapi rancangan Belanda. Oleh karena itu pada awal 1950-an struktur ekonomi nasional masih didominasi oleh struktur perekonomian Belanda.
Nasionalisasi
Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena pada 17 Agustus 1950 pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) secara resmi dibubarkan. Indonesia memutuskan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak saat itu pemerintahan dijalankan berdasarkan sistem parlementer, Indonesia menganut Demokrasi Liberal. Perubahan bentuk negara tersebut tidak merubah kedudukan De Javasche Bank (DJB) sebagai bank sirkulasi.
Pada awal periode ini, perekonomian Indonesia mempunyai beban yang berat yaitu perekonomian pasca perang. Pemerintah tidak berhasil meningkatkan produksi dengan menggunakan sumber-sumber yang masih ada untuk peningkatan pendapatan nasional. Misalnya dalam kegiatan ekspor, Indonesia hanya bergantung pada sektor perkebunan saja dengan nilai produksi masih dibawah nilai sebelum Perang Dunia II. Kelemahan dari ekonomi Indonesia saat itu adalah bahwa politik keuangan Indonesia bukan hasil rancangan Indonesia tetapi rancangan Belanda. Oleh karena itu pada awal 1950-an struktur ekonomi nasional masih didominasi oleh struktur perekonomian Belanda.
Nasionalisasi
Kembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan telah memicu munculnya semangat untuk mewujudkan perekonomian nasional yang bebas dari dominasi asing, terutama Belanda. Dalam kondisi demikian pemerintah RI berusaha melepaskan diri dari ikatan ketentuan-ketentuan yang dibuat bersama Belanda dalam KMB. Selanjutnya mulai mengemuka berbagai desakan untuk menasionalisasi semua institusi perusahaan yang masih didominasi oleh pihak asing, termasuk DJB. Pada saat itu DJB sebagai bank sirkulasi untuk RI masih berstatus bank swasta milik Belanda. Seharusnya sebagai negara yang telah berdaulat RI harus mempunyai bank sentral sendiri dengan aturan-aturan yang disesuaikan dengan kepentingan nasional dan tidak terkait dengan aturan negara lain. Keinginan tersebut akhirnya diarahkan kepada upaya nasionalisasi DJB yang selama ini telah berfungsi sebagai bank sirkulasi dan telah mempunyai andil besar dalam mendukung kegiatan perekonomian negara.
Pada 30 April 1951 Menteri Keuangan Jusuf Wibisono di hadapan media massa mengemukakan maksud pemerintah untuk menasionalisasi DJB dalam waktu dekat. Pewartaan tersebut tanpa memberi konfirmasi Direksi DJB terlebih dahulu. Dengan kejadian itu A. Houwink, Presiden DJB saat itu meminta untuk berhenti. Ia merasa bahwa dirinya tidak mendapat kepercayaan lagi dari pemerintah dan tidak lagi mempunyai kekuasaan yang perlu untuk dapat memenuhi tugasnya sebagai pimpinan DJB. Pada 28 Mei 1951 Kabinet Sukiman mengumumkan keputusan nasionalisasi DJB di hadapan DPR. Tidak lama kemudian, pemerintah melalui Keputusan Pemerintah No. 118 tanggal 2 Juli 1951 mengesahkan pembentukan Panitia Nasionalisasi yang telah bekerja sejak 19 Juni 1951.
Panitia Nasionalisasi terdiri dari Moh. Soediono sebagai anggota merangkap ketua, Mr. Soetikno Slamet, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, TRB Sabaruddin, Drs. Oudt dan Drs. Khouw Bian Tie. Panitia tersebut mempunyai tugas untuk mengajukan usul-usul mengenai langkah-langkah nasionalisasi, mengajukan rancangan undang-undang nasionalisasi dan merancang undang-undang baru tentang bank sentral. Langkah pertama yang dilakukan oleh Panitia adalah melakukan penawaran terhadap saham-saham DJB.
Akhirnya pemerintah berhasil membeli 99,4% saham DJB di Bursa Saham Belanda dengan harga 20% diatas nilai nominal (120%) dalam mata uang Belanda atau kurs sebesar 360% dalam mata uang Rupiah. Proses pembelian berjalan lancar dengan harga nominal saham dan sertifikat seharga 8,95 Juta Gulden. Selanjutnya, pada 15 Desember 1951 pemerintah mengundangkan Nasionalisasi DJB melalui Undang-Undang No. 24 tahun 1951 tanggal 6 Desember 1951. Dengan nasionalisasi tersebut DJB telah resmi menjadi bank sirkulasi milik Pemerintah Indonesia, bukan lagi milik swasta (Belanda).
Bank Indonesia
Pada 30 April 1951 Menteri Keuangan Jusuf Wibisono di hadapan media massa mengemukakan maksud pemerintah untuk menasionalisasi DJB dalam waktu dekat. Pewartaan tersebut tanpa memberi konfirmasi Direksi DJB terlebih dahulu. Dengan kejadian itu A. Houwink, Presiden DJB saat itu meminta untuk berhenti. Ia merasa bahwa dirinya tidak mendapat kepercayaan lagi dari pemerintah dan tidak lagi mempunyai kekuasaan yang perlu untuk dapat memenuhi tugasnya sebagai pimpinan DJB. Pada 28 Mei 1951 Kabinet Sukiman mengumumkan keputusan nasionalisasi DJB di hadapan DPR. Tidak lama kemudian, pemerintah melalui Keputusan Pemerintah No. 118 tanggal 2 Juli 1951 mengesahkan pembentukan Panitia Nasionalisasi yang telah bekerja sejak 19 Juni 1951.
Panitia Nasionalisasi terdiri dari Moh. Soediono sebagai anggota merangkap ketua, Mr. Soetikno Slamet, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, TRB Sabaruddin, Drs. Oudt dan Drs. Khouw Bian Tie. Panitia tersebut mempunyai tugas untuk mengajukan usul-usul mengenai langkah-langkah nasionalisasi, mengajukan rancangan undang-undang nasionalisasi dan merancang undang-undang baru tentang bank sentral. Langkah pertama yang dilakukan oleh Panitia adalah melakukan penawaran terhadap saham-saham DJB.
Akhirnya pemerintah berhasil membeli 99,4% saham DJB di Bursa Saham Belanda dengan harga 20% diatas nilai nominal (120%) dalam mata uang Belanda atau kurs sebesar 360% dalam mata uang Rupiah. Proses pembelian berjalan lancar dengan harga nominal saham dan sertifikat seharga 8,95 Juta Gulden. Selanjutnya, pada 15 Desember 1951 pemerintah mengundangkan Nasionalisasi DJB melalui Undang-Undang No. 24 tahun 1951 tanggal 6 Desember 1951. Dengan nasionalisasi tersebut DJB telah resmi menjadi bank sirkulasi milik Pemerintah Indonesia, bukan lagi milik swasta (Belanda).
Bank Indonesia
Setelah usainya nasionalisasi DJB pada 1951, Panitia Nasionalisasi melanjutkan tugasnya dengan merumuskan rancangan Undan-Undang Pokok Bank Indonesia, sebagai undang-undang bank sentral yang baru menggantikan Bankwet 1922. Rancangan tersebut kemudian disampaikan Pemerintah kepada Parlemen pada September 1952. Parlemen menyetujui rancangan tersebut pada 10 April 1953 dengan mengadakan beberapa perubahan yang penting di dalamnya. Pada 19 Mei 1953 rancangan undang-undang tersebut disahkan Presiden dan diumumkan pada 2 Juni 1953 sebagai Undang-Undang No. 11/ 1953 atau disebut sebagai Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953 yang berlaku mulai 1 Juli 1953. Maka sejak saat itu berdirilah Bank Indonesia sebagai bank sentral negara Indonesia.
UU Pokok Bank Indonesia bertahan hingga tahun 1968. Pada awal pemerintahan Orde Baru, pemerintah menata kembali struktur perbankan nasional, antara lain dengan menetapkan undang-undang bank sentral yang baru. Maka ditetapkanlah UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral. Berbeda dengan UU No. 11/1953, UU Bank Sentral yang baru ini mempertegas status Bank Indonesia sebagai bank sentral yang tidak lagi menjalankan fungsi komersial dan mendapatkan wewenang tunggal dalam penyelenggaraan pengedaran uang. Tugas Bank Indonesia dalam periode ini disamping bertindak sebagai penjaga stabilitas Rupiah, juga berkewajiban dalam merangsang produksi, pembangunan dan penyerapan tenaga kerja.
Kedua undang-undang bank sentral tersebut, tidak memberikan independensi terhadap Bank Indonesia. Akibatnya banyak kebijakan moneter dan perbankan yang tidak jelas posisi tanggungjawabnya, apakah menjadi tanggungjawab Bank Indonesia atau pemerintah. Sejak saat itu, mulai 17 Mei 1999 diberlakukan UU No. 23/1999 tentang Bank Sentral yang memberi kedudukan kepada Bank Indonesia sebagai suatu bank sentral yang independen dan bebas dari campur tangan pihak luar, termasuk pemerintah. Dengan UU baru ini, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Sebaliknya Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun. Pelanggaran terhadap larangan untuk campur tangan terhadap tugas Bank Indonesia, maupun Dewan Gubernur dan Pejabat Bank Indonesia yang tidak menolak campur tangan pihak lain, dikenai ancaman pidana berat dan denda yang besar.
Tujuan Bank Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam pasal 7 UU No. 23/1999 adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Hal ini merupakan tujuan tunggal (single objective) bagi Bank Indonesia, walaupun pada hakikatnya berdimensi ganda. Kestabilan nilai Rupiah yang dimaksud adalah kestabilan terhadap barang dan jasa, serta terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai Rupiah terhadap barang dan jasa tercermin dari perkembangan inflasi dan kestabilannya terhadap mata uang negara lain diukur dari perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara lain. Kestabilan Rupiah ini menjadi faktor yang sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, untuk menjaga keseimbangan antara akuntabilitas dan transparansi Bank Indonesia, serta untuk lebih menciptakan sinergi antara Bank Indonesia dan pemerintah, dilakukanlah amandemen terhadap UU No.23/1999 dengan UU No.3/2004 yang ditetapkan pada 15 Januari 2004. Dengan amandemen tersebut terjadi cukup banyak perubahan yang mencolok terhadap beberapa pasal dan penjelasannya, terutama yang berhubungan dengan independensi Bank Indonesia. Perubahan mendasar antara UU No.23/1999 dan UU yang mengamandemennya terletak pada kewenangan penetapan sasaran inflasi. Penetapan yang sebelumnya dilakukan oleh Bank Indonesia ini diubah menjadi ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank I ndonesia. Dalam Amandemen UU juga mulai ada pengaturan tentang penanggulangan masalah perekonomian/ perbankan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan. Dalam situasi seperti itu, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah.
UU Pokok Bank Indonesia bertahan hingga tahun 1968. Pada awal pemerintahan Orde Baru, pemerintah menata kembali struktur perbankan nasional, antara lain dengan menetapkan undang-undang bank sentral yang baru. Maka ditetapkanlah UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral. Berbeda dengan UU No. 11/1953, UU Bank Sentral yang baru ini mempertegas status Bank Indonesia sebagai bank sentral yang tidak lagi menjalankan fungsi komersial dan mendapatkan wewenang tunggal dalam penyelenggaraan pengedaran uang. Tugas Bank Indonesia dalam periode ini disamping bertindak sebagai penjaga stabilitas Rupiah, juga berkewajiban dalam merangsang produksi, pembangunan dan penyerapan tenaga kerja.
Kedua undang-undang bank sentral tersebut, tidak memberikan independensi terhadap Bank Indonesia. Akibatnya banyak kebijakan moneter dan perbankan yang tidak jelas posisi tanggungjawabnya, apakah menjadi tanggungjawab Bank Indonesia atau pemerintah. Sejak saat itu, mulai 17 Mei 1999 diberlakukan UU No. 23/1999 tentang Bank Sentral yang memberi kedudukan kepada Bank Indonesia sebagai suatu bank sentral yang independen dan bebas dari campur tangan pihak luar, termasuk pemerintah. Dengan UU baru ini, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Sebaliknya Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun. Pelanggaran terhadap larangan untuk campur tangan terhadap tugas Bank Indonesia, maupun Dewan Gubernur dan Pejabat Bank Indonesia yang tidak menolak campur tangan pihak lain, dikenai ancaman pidana berat dan denda yang besar.
Tujuan Bank Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam pasal 7 UU No. 23/1999 adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Hal ini merupakan tujuan tunggal (single objective) bagi Bank Indonesia, walaupun pada hakikatnya berdimensi ganda. Kestabilan nilai Rupiah yang dimaksud adalah kestabilan terhadap barang dan jasa, serta terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai Rupiah terhadap barang dan jasa tercermin dari perkembangan inflasi dan kestabilannya terhadap mata uang negara lain diukur dari perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara lain. Kestabilan Rupiah ini menjadi faktor yang sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, untuk menjaga keseimbangan antara akuntabilitas dan transparansi Bank Indonesia, serta untuk lebih menciptakan sinergi antara Bank Indonesia dan pemerintah, dilakukanlah amandemen terhadap UU No.23/1999 dengan UU No.3/2004 yang ditetapkan pada 15 Januari 2004. Dengan amandemen tersebut terjadi cukup banyak perubahan yang mencolok terhadap beberapa pasal dan penjelasannya, terutama yang berhubungan dengan independensi Bank Indonesia. Perubahan mendasar antara UU No.23/1999 dan UU yang mengamandemennya terletak pada kewenangan penetapan sasaran inflasi. Penetapan yang sebelumnya dilakukan oleh Bank Indonesia ini diubah menjadi ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank I ndonesia. Dalam Amandemen UU juga mulai ada pengaturan tentang penanggulangan masalah perekonomian/ perbankan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan. Dalam situasi seperti itu, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah.
Comments