Pengedaran Uang Indonesia 1950-an
Untuk apa uang? Apa manfaat uang? Bagaimana uang dibuat? Bagaimana bentuknya? Bagaimana sejarahnya? Uang pun punya sejarah seperti lahirnya Oeang Republik Indonesia (ORI) bulan Oktober 1946, yang Bung Hatta menyebutnya sebagai ”mengandung sejarah bagi tanah air kita”.
Wakil presiden pertama ini berpidato di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta sehari menjelang lahirnya ORI, uang pertama di Republik Indonesia (RI), ”Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah sesuatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok, mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini sebagai uang yang sah, tidak laku lagi. Beserta dengan uang Jepang itu, ikut pula tidak laku, uang Javasche Bank...”
Selain punya sejarah, uang pun punya ketentuan. Misalnya, mengedarkan uang tidak boleh sembarangan. Uang harus mempunyai jaminan, uang bisa ditarik dari peredaran bila terpaksa. Bahkan, uang bisa dipotong atau diturunkan nilainya. Dalam kesempatan ini, kita akan berbicara tentang uang, terutama pada pengedaran uang di Indonesia periode 1953-1959.
Namun, mari kita lihat dulu fungsi dan jenis uang secara lebih lengkap....
Fungsi dan Jenis Uang
Dalam kehidupan modern, peranan uang sangat penting. Uang berfungsi sebagai alat tukar, pengukur nilai, satuan hitung, penyimpan daya beli, serta ukuran pembayaran untuk waktu yang akan datang.
Bagaimana membedakan uang? Menurut nilainya, ada dua macam uang, yaitu yang disebut full bodied money, yaitu mata uang yang nilai materinya atau nilai intrinsiknya sama dengan nilai yang tertulis pada mata uang tersebut, atau nilai nominalnya. Yang kedua adalah token money, yaitu mata uang yang nilai nominalnya lebih tinggi dari nilai materinya, seperti uang logam dan uang kertas yang dikeluarkan oleh pemerintah atau oleh bank sentral sebagai legal tender.
Bagaimana dengan bentuk (jenis) uang? Ada emapat macam bentuk uang, yaitu: pertama, comodity money atau uang barang, yaitu mata uang yang bernilai baik sebagai barang maupun sebagai alat pembayaran, misalnya mata uang emas. Kedua, legal tender atau uang kartal, yaitu uang kertas dan uang logam yang ditetapkan sebagai alat pembayaran yang sah. Ketiga adalah customary money atau uang kebiasaan, yaitu berupa surat perintah membayar yang umum diterima sebagai uang, misalnya cek dan bilyet giro. Keempat adalah commemorative money atau uang peringatan, yaitu uang yang dikeluarkan untuk memperingati peristiwa khusus atau sekedar sarana pengumpulan dana. Uang ini tetap sah walaupun tidak diedarkan secara luas.
Di Indonesia, sejak 1953 satu-satunya bank yang diberi wewenang mengedarkan uang adalah Bank Indonesia, dengan beberapa kewenangan yaitu mengatur keseimbangan nilai rupiah, menyelenggarakan pengedaran uang di Indonesia, mengeluarkan uang kertas bank sebagai alat pembayaran yang sah, dan mengeluarkan uang kertas bank dengan nilai lima rupiah ke atas. Sedangkan, uang logam dan uang kertas dibawah lima rupiah, hanya dapat dikeluarkan oleh pemerintah, berdasarkan Undang-Undang (UU) Mata Uang 1951. Sementara itu, sebelum terbentuknya Bank Indonesia, uang kertas De Javasche Bank (DJB) dengan pecahan tertentu masih tetap berlaku sampai dicabut dari peredaran.
Penerbitan dan Pengedaran
BI telah menyiapkan penerbitan uang kertas tahun 1952 bersamaan dengan pengajuan RUU tentang BI sebagai bank sentral. Namun, karena undang-undangnya baru disetujui DPR tahun 1953, maka uang kertas emisi 1952 itu juga baru bisa dikeluarkan mulai 2 Juli 1953. UKBI yang diedarkan tahun 1953-1959 adalah emisi 1952, atau disebut juga dengan seri pahlawan dan kebudayaan, serta seri hewan dan seri pekerja tangan.
Seri Pahlawan dan Kebudayaan
UKBI emisi 1952 terdiri atas tujuh pecahan, dari Rp 5 hingga Rp 1.000 dan beredar secara bertahap hingga 25 Januari 1955. Uang ini ditandatangani oleh Gubernur BI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Direktur, Mr. Indra Kasoema. Pecahan Rp 5 dicetak oleh Percetakan Thomas De La Rue & Co. di Inggris dan pecahan lainnya oleh Percetakan Johan Enschede en Zonen di Belanda. Sedangkan sebagian dari pecahan Rp 10 dan Rp 25 sudah dapat dicetak oleh NV Percetakan Kebayoran.
Seri Hewan
Penerbitan berikutnya adalah Seri Hewan, yang dicetak tanpa mencantumkan tanda tahun seperti seri-seri lainnya. Seri hewan ini terdiri atas delapan pecahan, sementara pecahan Rp 5.000 tidak jadi diedarkan karena peristiwa PRRI tahun 1958. Semua pecahan, kecuali pecahan Rp 2.500, ditandatangani oleh Gubernur BI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Direktur BI, TRB Sabaroedin, sedangkan pecahan Rp 2.500 ditandatangani oleh Gubernur BI, Mr. Loekman Hakim dan TRB Sabaroedin.
Seri Pekerja Tangan
Seri pekerja tangan terdiri atas sembilan pecahan. Semua pecahan bertanda tahun 1958, kecuali pecahan Rp 5 yang tanpa mencantumkan tanda tahun dan pecahan Rp 10.000 yang bertanda tahun 1964. Pecahan Rp 5 mulai diedarkan tanggal 8 September 1959, sedangkan pecahan lainnya diedarkan sesudah tahun 1959. Untuk mengurangi banyaknya peredaran, maka mulai bulan Agustus 1959, pemerintah menurunkan nilai uang kertas atau yang disebut sanering. Penurunan nilai uang kertas ini berlaku dari Rp 500 menjadi Rp 50 dan Rp 1.000 menjadi Rp 100 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 2 Tahun 1959.
Aturan Pengedaran Uang oleh Pemerintah
Pada bulan September 1951, pemerintah mengeluarkan UU Mata Uang 1951 atau UU Darurat No. 20 tanggal 27 September 1951. UU ini menghentikan berlakunya ”Indische Muntwet 1912” dan menetapkan peraturan baru tentang mata uang.
UU Darurat tersebut kemudian ditetapkan sebagai UU Mata Uang tahun 1953, melalui UU No. 27 Tahun 1953. Undang-undang ini adalah undang mata uang yang pertama dan terakhir berlaku di Indonesia, karena hingga saat ini pemerintah belum lagi mengeluarkan undang-undang baru tentang mata uang.
Beberapa ketentuan dalam UU Mata Uang Tahun 1953 yang menyangkut mata uang pemerintah adalah:
1. Uang logam Indonesia yang sah, yaitu uang 50 sen dari nekel dan uang 1 sampai 25 sen dari aluminium.
2. Uang kertas pemerintah yang dapat dikeluarkan sesuai kebutuhan, yaitu dari Rp 1 dan Rp 2,50.
3. Uang pecahan yang masih tetap berlaku namun lambat laun akan ditarik, yaitu selain Rp 1 dan Rp 2,50.
4. Menteri Keuangan berhak melanjutkan pengeluaran UKP dari 10 sen dan 25 sen sebagai tindakan peralihan, sampai di dalam peredaran terdapat cukup uang logam.
Ketika nikel untuk bahan pembuatan mata uang logam sulit diperolah, maka dibuatlah UU yang mengesahkan adanya mata uang logam dari aluminium dan aluminium brons. UU tersebut adalah UU Darurat No. 4 Tahun 1958.
Uang Kertas dan Uang Logam Pemerintah
Pada akhir Maret 1953, jumlah UKP yang beredar adalah sebesar Rp 326 juta dengan rincian:
Rp 229 juta dalam bentuk uang kertas Rp 5 dan Rp 10.
Rp 97 juta berupa uang kertas dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu lembaran uang kertas Rp 1 dan Rp 2,50.
Mulai tanggal 1 Januari 1954 ditetapkan bahwa UKP dari Rp 0,50, Rp 1, dan Rp 2,50 dicabut sifatnya sebagai alat pembayaran yang sah melalui UU Darurat No. 2 Tanggal 4 Januari 1954.
Sementara itu, pada tanggal 31 Maret 1959, UKP yang beredar di masyarakat berjumlah Rp 1.000 juta, meliputi:
Rp 131 juta dalam bentuk pecahan Rp 5 dan Rp 10.
Rp 310 juta dalam bentuk pecahan Rp 1 dan Rp 2,50.
Rp 559 juta dalam bentuk pecahan Rp 1 dan Rp 2,50.
Sampai dengan tanggal 29 Mei 1954, UKP semata-mata diedarkan oleh Bank Indonesia untuk rekening pemerintah. Sejak tanggal 19 Mei 1954, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 1954, UKP diedarkan baik oleh pemerintah sendiri maupun oleh Bank Indonesia. Menteri Keuangan diberi kuasa untuk mengedarkan UKP sesuai kebutuhan, dengan peraturan dari Bank Indonesia.
Mekanisme Penarikan Uang Kertas Bank Dari Peredaran
Mungkinkah uang kertas yang sudah beredar ditarik kembali? Mungkin dan bisa terjadi. Namun, pencabutan dan penarikan kembali uang dari peredaran ada caranya, yaitu:
1. Bank mengumumkan penarikan uang kertas dalam Berita Negara sebanyak satu kali.
2. Bank melakukan pemanggilan terhadap para pemegang uang kertas yang juga diumumkan dalam Berita Negara sebanyak satu kali.
3. Bank menetapkan jangka waktu penukaran uang kertas yang ditarik dari peredaran.
4. Setelah jangka waktu penukaran yang telah ditentukan, uang hanya dapat ditukarkan di Kantor Pusat Bank Indonesia.
5. Setelah masa 30 tahun dari jangka waktu penukaran, maka hak penukaran tersebut akan berakhir.
Penarikan uang seperti ini pernah terjadi pada uang kertas Rp 1.000 keluaran DJB tahun 1946 karena uang ini banyak dipalsukan. Mekanisme penarikannya terjadi sebagai berikut:
Pada tanggal 2 Maret 1956, BI mengumumkan bahwa sejak 5 Maret 1956 pecahan tersebut ditarik dari peredaran. Lalu bank memberi kesempatan penukaran hingga 5 Juni 1956 dan setelah itu penukaran hanya dapat dilakukan di Kantor Pusat Bank Indonesia. Sedangkan hak untuk menuntut penukaran terhapus setelah 30 tahun, yaitu pada tanggal 4 Juni 1986.
Penarikan uang kembali terjadi pada uang kertas Rp 2,5, Rp 1, dan Rp 0,50 keluaran DE JAVASCHE BANK tahun 1948, yang berdasarkan Ordonasi 1949 dianggap menyimpang dari DJB Wet 1922. Mekanisme penarikannya adalah sebagai berikut: Pada tanggal 22 November 1957, Bank Indonesia menyatakan bahwa mulai tanggal 1 Desember 1957 uang pecahan tersebut akan ditarik dari peredaran. Lalu bank memberi kesempatan penukaran hingga 1 Desember 1958 dan setelah itu penukaran hanya dapat dilakukan di Kantor Pusat Bank Indonesia. Sedangkan hak untuk menuntut penukaran terhapus pada tanggal 30 November 1988.
Penarikan Uang Kertas Dan Uang Logam Pemerintah
Uang pemerintah pun sempat mengalami penarikan pada periode ini, seperti yang terjadi pada uang kertas pecahan Rp 0,50, Rp 1, dan Rp 2,50 yang dikeluarkan sebelum penyerahan kedaulatan kepada RI, ditarik kembali mulai tanggal 1 Januari 1954.
Demikian juga dengan uang kertas pemerintah pecahan 25 sen dan 10 sen yang dikeluarkan berdasarkan Ordonasi 20 November 1949, ditarik dari peredaran mulai tanggal 1 Januari 1957 dengan batas waktu penukaran sampai dengan 30 Juni 1957, dan sesudah itu segala hak tagihan hilang dan tidak akan diberikan penggantian lagi. Keputusan ini dimuat dalam Lembaran Negara RI.
Wakil presiden pertama ini berpidato di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta sehari menjelang lahirnya ORI, uang pertama di Republik Indonesia (RI), ”Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah sesuatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok, mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini sebagai uang yang sah, tidak laku lagi. Beserta dengan uang Jepang itu, ikut pula tidak laku, uang Javasche Bank...”
Selain punya sejarah, uang pun punya ketentuan. Misalnya, mengedarkan uang tidak boleh sembarangan. Uang harus mempunyai jaminan, uang bisa ditarik dari peredaran bila terpaksa. Bahkan, uang bisa dipotong atau diturunkan nilainya. Dalam kesempatan ini, kita akan berbicara tentang uang, terutama pada pengedaran uang di Indonesia periode 1953-1959.
Namun, mari kita lihat dulu fungsi dan jenis uang secara lebih lengkap....
Fungsi dan Jenis Uang
Dalam kehidupan modern, peranan uang sangat penting. Uang berfungsi sebagai alat tukar, pengukur nilai, satuan hitung, penyimpan daya beli, serta ukuran pembayaran untuk waktu yang akan datang.
Bagaimana membedakan uang? Menurut nilainya, ada dua macam uang, yaitu yang disebut full bodied money, yaitu mata uang yang nilai materinya atau nilai intrinsiknya sama dengan nilai yang tertulis pada mata uang tersebut, atau nilai nominalnya. Yang kedua adalah token money, yaitu mata uang yang nilai nominalnya lebih tinggi dari nilai materinya, seperti uang logam dan uang kertas yang dikeluarkan oleh pemerintah atau oleh bank sentral sebagai legal tender.
Bagaimana dengan bentuk (jenis) uang? Ada emapat macam bentuk uang, yaitu: pertama, comodity money atau uang barang, yaitu mata uang yang bernilai baik sebagai barang maupun sebagai alat pembayaran, misalnya mata uang emas. Kedua, legal tender atau uang kartal, yaitu uang kertas dan uang logam yang ditetapkan sebagai alat pembayaran yang sah. Ketiga adalah customary money atau uang kebiasaan, yaitu berupa surat perintah membayar yang umum diterima sebagai uang, misalnya cek dan bilyet giro. Keempat adalah commemorative money atau uang peringatan, yaitu uang yang dikeluarkan untuk memperingati peristiwa khusus atau sekedar sarana pengumpulan dana. Uang ini tetap sah walaupun tidak diedarkan secara luas.
Di Indonesia, sejak 1953 satu-satunya bank yang diberi wewenang mengedarkan uang adalah Bank Indonesia, dengan beberapa kewenangan yaitu mengatur keseimbangan nilai rupiah, menyelenggarakan pengedaran uang di Indonesia, mengeluarkan uang kertas bank sebagai alat pembayaran yang sah, dan mengeluarkan uang kertas bank dengan nilai lima rupiah ke atas. Sedangkan, uang logam dan uang kertas dibawah lima rupiah, hanya dapat dikeluarkan oleh pemerintah, berdasarkan Undang-Undang (UU) Mata Uang 1951. Sementara itu, sebelum terbentuknya Bank Indonesia, uang kertas De Javasche Bank (DJB) dengan pecahan tertentu masih tetap berlaku sampai dicabut dari peredaran.
Penerbitan dan Pengedaran
BI telah menyiapkan penerbitan uang kertas tahun 1952 bersamaan dengan pengajuan RUU tentang BI sebagai bank sentral. Namun, karena undang-undangnya baru disetujui DPR tahun 1953, maka uang kertas emisi 1952 itu juga baru bisa dikeluarkan mulai 2 Juli 1953. UKBI yang diedarkan tahun 1953-1959 adalah emisi 1952, atau disebut juga dengan seri pahlawan dan kebudayaan, serta seri hewan dan seri pekerja tangan.
Seri Pahlawan dan Kebudayaan
UKBI emisi 1952 terdiri atas tujuh pecahan, dari Rp 5 hingga Rp 1.000 dan beredar secara bertahap hingga 25 Januari 1955. Uang ini ditandatangani oleh Gubernur BI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Direktur, Mr. Indra Kasoema. Pecahan Rp 5 dicetak oleh Percetakan Thomas De La Rue & Co. di Inggris dan pecahan lainnya oleh Percetakan Johan Enschede en Zonen di Belanda. Sedangkan sebagian dari pecahan Rp 10 dan Rp 25 sudah dapat dicetak oleh NV Percetakan Kebayoran.
Seri Hewan
Penerbitan berikutnya adalah Seri Hewan, yang dicetak tanpa mencantumkan tanda tahun seperti seri-seri lainnya. Seri hewan ini terdiri atas delapan pecahan, sementara pecahan Rp 5.000 tidak jadi diedarkan karena peristiwa PRRI tahun 1958. Semua pecahan, kecuali pecahan Rp 2.500, ditandatangani oleh Gubernur BI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Direktur BI, TRB Sabaroedin, sedangkan pecahan Rp 2.500 ditandatangani oleh Gubernur BI, Mr. Loekman Hakim dan TRB Sabaroedin.
Seri Pekerja Tangan
Seri pekerja tangan terdiri atas sembilan pecahan. Semua pecahan bertanda tahun 1958, kecuali pecahan Rp 5 yang tanpa mencantumkan tanda tahun dan pecahan Rp 10.000 yang bertanda tahun 1964. Pecahan Rp 5 mulai diedarkan tanggal 8 September 1959, sedangkan pecahan lainnya diedarkan sesudah tahun 1959. Untuk mengurangi banyaknya peredaran, maka mulai bulan Agustus 1959, pemerintah menurunkan nilai uang kertas atau yang disebut sanering. Penurunan nilai uang kertas ini berlaku dari Rp 500 menjadi Rp 50 dan Rp 1.000 menjadi Rp 100 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 2 Tahun 1959.
Aturan Pengedaran Uang oleh Pemerintah
Pada bulan September 1951, pemerintah mengeluarkan UU Mata Uang 1951 atau UU Darurat No. 20 tanggal 27 September 1951. UU ini menghentikan berlakunya ”Indische Muntwet 1912” dan menetapkan peraturan baru tentang mata uang.
UU Darurat tersebut kemudian ditetapkan sebagai UU Mata Uang tahun 1953, melalui UU No. 27 Tahun 1953. Undang-undang ini adalah undang mata uang yang pertama dan terakhir berlaku di Indonesia, karena hingga saat ini pemerintah belum lagi mengeluarkan undang-undang baru tentang mata uang.
Beberapa ketentuan dalam UU Mata Uang Tahun 1953 yang menyangkut mata uang pemerintah adalah:
1. Uang logam Indonesia yang sah, yaitu uang 50 sen dari nekel dan uang 1 sampai 25 sen dari aluminium.
2. Uang kertas pemerintah yang dapat dikeluarkan sesuai kebutuhan, yaitu dari Rp 1 dan Rp 2,50.
3. Uang pecahan yang masih tetap berlaku namun lambat laun akan ditarik, yaitu selain Rp 1 dan Rp 2,50.
4. Menteri Keuangan berhak melanjutkan pengeluaran UKP dari 10 sen dan 25 sen sebagai tindakan peralihan, sampai di dalam peredaran terdapat cukup uang logam.
Ketika nikel untuk bahan pembuatan mata uang logam sulit diperolah, maka dibuatlah UU yang mengesahkan adanya mata uang logam dari aluminium dan aluminium brons. UU tersebut adalah UU Darurat No. 4 Tahun 1958.
Uang Kertas dan Uang Logam Pemerintah
Pada akhir Maret 1953, jumlah UKP yang beredar adalah sebesar Rp 326 juta dengan rincian:
Rp 229 juta dalam bentuk uang kertas Rp 5 dan Rp 10.
Rp 97 juta berupa uang kertas dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu lembaran uang kertas Rp 1 dan Rp 2,50.
Mulai tanggal 1 Januari 1954 ditetapkan bahwa UKP dari Rp 0,50, Rp 1, dan Rp 2,50 dicabut sifatnya sebagai alat pembayaran yang sah melalui UU Darurat No. 2 Tanggal 4 Januari 1954.
Sementara itu, pada tanggal 31 Maret 1959, UKP yang beredar di masyarakat berjumlah Rp 1.000 juta, meliputi:
Rp 131 juta dalam bentuk pecahan Rp 5 dan Rp 10.
Rp 310 juta dalam bentuk pecahan Rp 1 dan Rp 2,50.
Rp 559 juta dalam bentuk pecahan Rp 1 dan Rp 2,50.
Sampai dengan tanggal 29 Mei 1954, UKP semata-mata diedarkan oleh Bank Indonesia untuk rekening pemerintah. Sejak tanggal 19 Mei 1954, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 1954, UKP diedarkan baik oleh pemerintah sendiri maupun oleh Bank Indonesia. Menteri Keuangan diberi kuasa untuk mengedarkan UKP sesuai kebutuhan, dengan peraturan dari Bank Indonesia.
Mekanisme Penarikan Uang Kertas Bank Dari Peredaran
Mungkinkah uang kertas yang sudah beredar ditarik kembali? Mungkin dan bisa terjadi. Namun, pencabutan dan penarikan kembali uang dari peredaran ada caranya, yaitu:
1. Bank mengumumkan penarikan uang kertas dalam Berita Negara sebanyak satu kali.
2. Bank melakukan pemanggilan terhadap para pemegang uang kertas yang juga diumumkan dalam Berita Negara sebanyak satu kali.
3. Bank menetapkan jangka waktu penukaran uang kertas yang ditarik dari peredaran.
4. Setelah jangka waktu penukaran yang telah ditentukan, uang hanya dapat ditukarkan di Kantor Pusat Bank Indonesia.
5. Setelah masa 30 tahun dari jangka waktu penukaran, maka hak penukaran tersebut akan berakhir.
Penarikan uang seperti ini pernah terjadi pada uang kertas Rp 1.000 keluaran DJB tahun 1946 karena uang ini banyak dipalsukan. Mekanisme penarikannya terjadi sebagai berikut:
Pada tanggal 2 Maret 1956, BI mengumumkan bahwa sejak 5 Maret 1956 pecahan tersebut ditarik dari peredaran. Lalu bank memberi kesempatan penukaran hingga 5 Juni 1956 dan setelah itu penukaran hanya dapat dilakukan di Kantor Pusat Bank Indonesia. Sedangkan hak untuk menuntut penukaran terhapus setelah 30 tahun, yaitu pada tanggal 4 Juni 1986.
Penarikan uang kembali terjadi pada uang kertas Rp 2,5, Rp 1, dan Rp 0,50 keluaran DE JAVASCHE BANK tahun 1948, yang berdasarkan Ordonasi 1949 dianggap menyimpang dari DJB Wet 1922. Mekanisme penarikannya adalah sebagai berikut: Pada tanggal 22 November 1957, Bank Indonesia menyatakan bahwa mulai tanggal 1 Desember 1957 uang pecahan tersebut akan ditarik dari peredaran. Lalu bank memberi kesempatan penukaran hingga 1 Desember 1958 dan setelah itu penukaran hanya dapat dilakukan di Kantor Pusat Bank Indonesia. Sedangkan hak untuk menuntut penukaran terhapus pada tanggal 30 November 1988.
Penarikan Uang Kertas Dan Uang Logam Pemerintah
Uang pemerintah pun sempat mengalami penarikan pada periode ini, seperti yang terjadi pada uang kertas pecahan Rp 0,50, Rp 1, dan Rp 2,50 yang dikeluarkan sebelum penyerahan kedaulatan kepada RI, ditarik kembali mulai tanggal 1 Januari 1954.
Demikian juga dengan uang kertas pemerintah pecahan 25 sen dan 10 sen yang dikeluarkan berdasarkan Ordonasi 20 November 1949, ditarik dari peredaran mulai tanggal 1 Januari 1957 dengan batas waktu penukaran sampai dengan 30 Juni 1957, dan sesudah itu segala hak tagihan hilang dan tidak akan diberikan penggantian lagi. Keputusan ini dimuat dalam Lembaran Negara RI.
Jaminan Atas Uang Yang Diedarkan
Pada awal sejarah diterbitkannya uang kertas, uang kertas diedarkan sepenuhnya dengan jaminan emas, sehingga pemegang uang kertas mempunyai hak atas jaminan senilai emas tersebut yang dapat ditukarkan sewaktu-waktu. Jaminan emas ini juga berlaku bagi DJB, baik berdasarkan Oktroi maupun DJB Wet. Jaminan ini berlanjut hingga dibentuknya BI pada tahun 1953.
Pasal 16 UU Pokok Bank Indonesia Tahun 1953 menyebutkan:
Jumlah semua uang kertas bank, saldo rekening courant dan tagihan-tagihan lain yang segera dapat ditagih dari bank harus seperlimanya dijamin dengan emas, mata uang emas, bahan mata uang emas, atau cadangan yang terdiri atas alat-alat pembayaran luar negeri yang umumnya dapat ditukarkan.
Minimal seperlima dari nilai jaminan tersebut harus ada di Indonesia.Dalam keadaan luar biasa, untuk rentang waktu paling lama tiga bulan, BI boleh menyimpang dari peraturan butir satu. Bila dalam waktu tiga bulan tersebut BI tidak dapat memenuhi ketentuan ini, pemerintah boleh mengajukan perpanjangan kepada DPR selama tiga bulan berikutnya.
Selanjutnya, Dewan Moneter menetapkan bahwa dari 30 Januari sampai 30 April 1957, semua uang kertas bank, saldo rekening koran, dan tagihan-tagihan lain yang segera dapat ditagih dari BI, 15 persennya harus dijamin dengan emas, mata uang emas, bahan mata uang emas, atau cadangan yang terdiri atas alat-alat pembayaran luar negeri yang umumnya dapat ditukarkan. Penetapan persentase dibawah 20% tersebut didasarkan atas pasal 16 ayat 3 UUPBI 1953.
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa perkembangan, yaitu:
- Persentase jaminan (semenjak 30 Januari 1957) terus menurun hingga dikhawatirkan menjadi lebih rendah dari 15% seperti yang telah ditetapkan.
- Pada 23 April 1957 persentase jaminan telah turun sampai 15,4%.
- Karena diperkirakan bahwa BI tidak akan mungkin memenuhi aturan dalam waktu yang singkat, maka dipandang tidak tepat untuk menetapkan lagi persentase jaminan yang lebih rendah daripada 15% untuk tiga bulan ke depan. Oleh karena itu, dengan UU Darurat No. 14 Tahun 1957, dianggap perlu ditetapkan bahwa BI dibebaskan dari kewajiban menepati persentase jaminan sebagaimana diatur dalam UU, untuk jangka waktu dari 30 April sampai 1 November 1957. Sementara itu, berkaitan dengan uang pemerintah, tidak ada ketentuan penjaminan untuk jumlah yang telah dikeluarkan. Namun, demikian pengamanannya dilakukan antara lain dengan menetapkan bahwa jumlah UKP yang dapat dikeluarkan oleh pemerintah diatur pembatasannya oleh PP.
Pembatasan tersebut antara lain adalah:
Dengan PP No. 20 Tahun 1953 dibatasi sebesar Rp 175 juta.
Dengan PP No. 38 Tahun 1954 ditambah dengan Rp 200 juta, sehingga menjadi sebesar Rp 375 juta.
Dengan PP No. 22 Tahun 1955 ditambah lagi dengan Rp 285 juta, sehingga menjadi sebesar Rp 660 juta.
Disamping itu, UKP yang diedarkan jumlahnya relatif kecil yaitu sekitar 5% dari seluruh jumlah uang yang beredar baik dari uang bank maupun pemerintah.
Untuk uang logam, sebagian nilainya ”dijamin” oleh nilai dari bahan logam yang digunakannya.
Comments