Mencetak Uang pada Zaman Kolonial
setelah berbicara ORI pada masa Revolusi, saya mundur lagi ke belakang, yaitu pada zaman Kolonial. Bagaimana mencetak uang pada zaman itu? demikian beberapa kutipan yang saya ambil dari beberapa literatur yang membahas Zaman itu.
C.R. Boxer, Jan Kompeni :Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta,1983.
“Ribuan mata uang perak dan mata uang emas yang lebih kecil jumlahnya itu, yang diketemukan oleh para penyelam dalam tahun-tahun akhir dari rongsokan-rongsokan kapal sekat Shetland, Tanjung Harapan, dan Australia Barat memberikan pandangan-pandangan yang menarik tentang mengalirnya emas dan perak dari barat ke timur. Seperti diduga, bagian terbesar perak itu adalah dalam bentuk kepingan-delapan Amerika-Spanyol, dan Spanyol, dengan dukat negeri Belanda Spanyol, dan dukat Belanda atau “satria perak” nomor dua banyak jumlahnya. Popularitas yang tersu menerus dari jenis uang yang pertama dalam sepucuk surat dari Gubernur Jenderal dan Dewannya di Batavia kepada Heren XVII, tertanggal 12 Februari 1685. Mereka meminta dikirimi seharga 350.000 sampai 400.000 gulden uang yang tersedia, lebih disukai real delapan Meksiko karena orang-orang Jawa, Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya lebih menyukainya daripada semua yang lain, bukan karena kemurnian atau nilai perak, tetapi hanya karena mereka sudah selama bertahun-tahun terbiasa menggunakannya.”
“Para pedagang Asia, terutama orang Cina, sebagian besar kelihatannya jelas lebih menyukai mata uang yang dibuat di percetakan uang di Mexico City dan Sevilla. Mata uang dari Potosi di dataran tinggi Peru, yang pernah sangat disukai jadi kurang disenangi dalam pertengahan abad ke 17, ketika kecurangan dan penggelapan di kalangan para pegawai percetakan uang itu sempat menghasilkan uang yang turun nilainya. Tapi bagaimanapun bentuknya, real delapan Amerika-Spanyol tetap yang paling utama beredar dalam perdagangan Cina, entah apakah uang ini diimpor lewat Eropa, Turki, India atau Indonesia, ataupun lewat Samudera Pasifik dalam galyung-galyung yang tiap tahun datang ke Manila.”
“VOC berusaha keras untuk menggantikan mata uang ini di Asia dengan dukat Belanda atau “satria perak” sesudah pertama-tama dibuat dalam tahun 1659. Tetapi orang Cina yang mau aman tidak begitu bersedia menerima jenis ini sebagai mereka menerima real delapan dengan satuan-satuannya yang lebih kecil. Dalam tahun 1747 seorang mandarin yang curiga menanyakan kepada seorang misionaris Dominikan Spanyol di Fukien, negeri yang membuat uang berlukiskan satria menunggang kuda. Misionaris ini menjawab, negeri si “Rambut Merah”, yaitu nama yang biasa untuk orang Belanda di Cina. Pengujian kadar logam dari mata uang yang ditemui dari rongsokan-rongsokan kapal VOC di seluruh dunia menunjukkan bahwa “satria perak” biasanya mempunyai kadar perak yang lebih tinggi daripada saingan-saingan Amerika-Spanyol, walaupun mata uang yang belakangan ini tampaknya kurang begitu terpengaruh lamanya berada dalam laut.”
“Sering VOC disebut suatu negara dalam negara, dan dalam beberapa hal para abdinya di Timur memang bertindak bagaikan mereka warga dari suatu struktur negara yang sepenuhnya merdeka. Tetapi bertentangan dengan apa yang dikemukakan oleh Jan de Marre dalam tahun 1740 dengan kebebasan penyairnya, Kompeni di Batavia tidak mempunyai mata uang sendiri. Membuat uang adalah hak kedaulatan, yang pelaksanaannya ketat berada dalam pengawasan Staten Generaal. Ketika dalam tahun 1644-1645 dibuat sejumlah mata uang tembaga dan perak darurat, Heren XVII langsung memerintahkan penarikannya dengan sangat. Dengan pengecualian ini, dan selain medali-medali, VOC tidak membuat uang di Indonesia sampai tahun 1744, ketika akhirnya didirikan suatu percetakan uang di Batavia. Akibatnya terjadi kekacauan yang besar dalam peredaran uang di seluruh lingkungan kegiatan VOC. Real delapan Spanyol dan Amerika-Spanyol; mata uang perak dan emas negeri Belanda Utara dan Selatan, dukat-dukat emas Venesia, Hungaria, dan Belanda semuanya luas tersebar, bersama-sama dengan sejumlah mata uang Asia, termasuk rupee emas dan perak India; abbasi dan larin perak Persia; koban dan oban Jepang, dan banyak yang lain. Banyak macam yang tiada terbilang dibuat dalam nilai masing-masing, dan sering terjadi perbedaan pendapat antara Heren XVII dan Gubernur Jenderal dengan Dewannya di Batavia mengenai penilaian yang berbeda-beda yang ditetapkan oleh suatu badan.”
“Kekacauan lebih diperbesar lagi dalam tahun 1656-1668 oleh Heren XVII --menurut sementara kalangan tidak disengaja dan menurut Francois Valentijn atas anjuran Maetsuyker-- yang menetapkan kurs berbeda beda untuk ringgit dan rupiah sebagai uang hitungan. Ini mengakibatkan terjadinya kategori buatan untuk ringgit standar, yang masing-masing disebut “ringan” dengan nilai 75 kelip dan “berat” dengan nilai 60 kelip. Gulden atau florin yang sama dengan 20 kelip, tetap bernilai 20 kelip di Timur; tetapi yang pertama digolongkan “berat” sedangkan yang kedua “ringan”. Para lintah darat India dan penukar uang Cina mengambil keuntungan dari keadaann ini, tetapi kekacauan ini tak pernah teratasi, walaupun diusahakan macam-macam cara hukum.”
=================================
Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis:Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999. hal. 123-141.
“Zaman perdagangan mengakibatkan permintaan secara berkelanjutan akan mata uang. Selain tekstil India, mata uang dalam bentuk perak, tembaga, dan timah merupakan barang dagangan paling penting yang mengalir ke wilayah tersebut (Asia Tenggara).”
“Sebelum abad ke 15 Asia Tenggara daratan agaknya tidak mnegadakan mata uang untuk mendukung perdagangan. Mata uang perak dibuat antara abad ke- 5 dan 10, tetapi hanya didistribusikan secara terbatas sehingga barangkali hanya dimaksudkan untuk membayar denda dan pajak.”
“Beberapa kerajaan di Jawa, Sumatra dan Luzon membuat mata uang antara abad ke 9 dan 13 tapi kemudian mengalah pada mata uang tembaga Cina yang diimpor. Mata uang tembaga Cina, dan mata uang setempat yang mengikuti modelnya, merupakan peletak dasar untuk komersialisasi yang makin meningkat di kawasan itu setelah tahun 1400. Kata cash berasal dari bahasa Sansakerta, tetapi orang Portugis menggunakannya (disebutnya caixa) khususnya untuk mata uang tembaga Cina yang diekspor, dan kemudian orang-orang Eropa mengikutinya. Bnagsa bangsa sekitar Laut Jawa biasanya menyebutnya dengan kata Jawa yaitu picis. Mata uang yang kecil bulat ini mempunyai lubang persegi di tengah agar dapat diikat sebanyak seribu (meskipun seringkali hanya enam ratus atau jumlah lain penggantinya yang lazim).”
“Di Jawa, prasasti tidak lagi menyebut bobot atau mata uang Jawa setelah sekitar tahun 1300, kecuali hanya menyebut picis, mata uang tembaga Cina.”
“Barangkali arnada besar Ming di bawah Cheng Ho itulah yang membuat mata uang Cina begitu terkenal di bandar-bandar kepulauan yang lain seperti Malaka, dan Pasai pada awal abad ke 15. Tetapi timah jauh lebih banyak tersedia dibandingkan dengan tembaga di wilayah Selat Malaka, dan negeri-negeri di sana mulai meniru mata uang dengan timah. Pada tahun1414 ketika Sultan Megat Iskandar Shah mengunjungi ibu kota Cina untuk mendapatkan persetujuan kaisar atas suksesinya, ia juga diizinkan mencetak mata uang kecil berbahan campuran timah putih dan timah hitam yang disebutnya cash, menurut orang Portugis. Pada waktu yang bersamaan, kerajaan di Sumatera bagian utara mengeluarkan sejumlah besar mata uang timah kecil tetapi tebal dengan nama-nama penguasa mereka.”
“Bagaimanapun mata uang tembaga Cina atau mata uang timah yang meniru bentuknya telah memberikan dasar penggunaan mata uang di Asia Tenggara pada tahun 1500. Ketika orang Portugis pada tahun 1537 berusaha agar sekutunya di Maluku menerima mata uang Portugis yang tembaganya lebih murni daripada mata uang Cina, mereka diberitahu bahwa ini akan diterima jika orang Portugis juga melubangi mata uangnya agar dapat mudah diikat.”
“Penghapusan larangan kaisar atas perdagangan Cina ke Selatan pada tahun 1567 tampaknya mengakibatkan arus masuk secara besar-besaran mata uang tembaga Cina. Armada Belanda pertama yang tiba di Jawa pada tahun 1596 mengetahui bahwa mata uang ini “yang banyak sekali beredar di kepulauan” pada periode ini, membuat khawatir para pejabat Cina, karena melihat arus keluar mata uang tersebut sebagai kegiatan menguras sumber yang makin langka. Akibatnya mata uang baru yang terbuat dari campuran timah yang murah mulai dibuat pada tahun 1590 di Guangdong dan Fujianuntuk diedarkan, khususnya di Nanyang. Ini merupakan jenis yang dikeluhkan oleh orang Eropa mata uang itu dibuat dari logam dasar yang sama sekali akan rusak sendiri dalam waktu tiga atau empat tahun’. Pada tahun 1596 picis bermutu rendah ini beredar jauh ke pedalaman Jawa. Pedagang perantara Cina membawa uang itu ke pegunungan di atas Banten untuk membeli lada dari penanamnya di sana dengan nilai seperempat dari harganya di pasar Banten.”
“Mata uang timah campuran tersebut (picis) mutunya demikian rendah sehingga dapat ditiru dengan mudah. Kekuarangan timah adalah hambatan utama bagi pembuatan secara setempat sampai orang Inggris dan Belanda menemukan timah ini yang menjadi salah satu dari beberapa barang dari Eropa yang memiliki pasaran. Orang Inggris di Banten menambah pesanan timah dari 20 ton pada tahun 1608 menjadi 50-60 ton pada tahun 1615 dan 100-150 ton pada tahun 1636. sebagian dari timah ini doalihkan ke pembuatan peluru pada masa perang, walau sebagian besar tetap dipakai untuk membuat uang, untuk pasokan ke Banjarmasin, Palembang dan juga Banten. Orang Belanda lebih bersikap hati-hati dalam menjual timah agar tidak digunakan untuk tujuan militer oleh musuhnya di mana-mana. Baru pada tahun 1633 ketika mereka mulai merasa barang ini dapat diperoleh dari orang Cina di Batavia, mereka menjadi mnegetahui bahwa sudah ada industri pembuatan picis Cina di Jawa, khususnya di Banten, Cirebon dan Jepara. Mereka (orang Belanda) mengambil keuntungan darinya dengan memberikan timah atas dasar monopoli kepada orang Cina terkemuka di daerah pendudukan Belanda. Percobaan ini ditinggalkan pada tahun 1640 ketika orang Inggris memotong monopoli VOC, dengan memasok timah dengan harga lebih muarh untuk menyaingi picis di Banten, Jepara, Jambi, Palembang, Makassar dan Martapura. VOC beralih ke mata uang tembaga sebagai sarana dasarnya memasuki perekonomian Asia Tenggara.”
“Periode ketika VOC berusaha untuk memonopoli memberika gmabaran besarnya permintaan akan picis pada saat itu. Pada tahun 1637 VOC menyediakan 133 ton timah hitam, dan pada tahun 1638, 153 ton, kepada para pembuat picisnya. Mengingat bahwa Inggris juga menyediakan jumlah yang sama dan bhawa orang Cina masih juga membawa masuk mata uangnya, sementara VOC sendiri berharap dapat memperoleh bagian yang lebih besar di pasar, yakni sa pai 240 ton. Kita dapat memperkirakan bahwa kira-kira pada saat itu diperlukan 350 ton setiap tahun untuk membuat picis bagi kepulauan Indonesia. Dengan perkiraan tiap koin picis seberat 2 gram (banyak yang berbobot kurang dari 1 gram) hingga 5 gram, maka kira-kira pada saat itu di Nusantara dikeluarkan sekitar 170 juta mata uang setiap tahun. Jika setiap koin picis diperkirakan akan bertahan selama lima tahun, maka dalam periode ini diperkirakan beredar 800 juta mata uang picis di wilayah Nusantara yang mempunyai populasi sekitar sepuluh juta. Jumlah itu masih sedikit, tapi sudah cukup untuk membiasakan masyarakat dengan transaksi menggunakan uang.”
“Untuk mata uang yang nilainya lebih tinggi, emas merupakan pilihan yang wajar, baik sebagai tanda kekayaan, status, jaminan dan keindahan guna memudahkan perdagangan. Meskipun mata uang emas atau medali telah dikenal sejak zaman Jawa Kuno, pembuatan mata uang emas dengan nilai yang ajeg atas nama penguasa diperkenalkan di Asia Tenggara bersamaan dengan Islam. Mata uang demikian yang paling tua berasal dari Pasai, negara Islam pertama di wilayah Nusantara (negeri di bawah angin).”
“Pada abad ke17 emas Aceh merupakan bagian dari sistem nilai yang konsisten, yaitu 1 tahil (bobot perak) sebanding dengan 16 emas, dan 1 emas sebanding dengan 4 kupang yang sama dengan 1600 cash (picis). Perbandingan antara nilai uang emas dan picis ini kerap menimbulkan kekurangan dalam kebutuhan uang picis, baik di Aceh maupun di Banten, mengingat bahwa 2.100 picis hanya ditukarkan dengan sebuah emas di pada tahun 1602., 600 hingga 1000 picis hanya dihargai dengan sebuah emas pada tahun 1630-an.”
“Meskipun kupang Aceh kelihatannya hanya sebagai satuan hitungan, nagara-negara lain mencetak uang emas dan kupang dari emas dengan nilai empat kali nilai kupang (Aceh). Johor dan Kedah memproduksi mata uang bersegi delapan pada akhir abad ke 17. Mata uang emas Johor beratnya empat kali dari mata uang Aceh tetapi biasanya dicampur dengan loga,. Mata uang emas jenis Aceh yang bundar ditemuka di Patani, dengan gambar banteng di satu sisi dan “malik al-adil” di sisi lain. Yang terdokumentasikan dengan lebih baik adalah mata uang emas yang diciptakan oleh Makassar sebagai bagian dari usaha untuk menjadilkan pelabuhan perantara yang besar di kepulauan sebelah timur. Seperti ditunjukkan oleh tarikh, Karaeng Matoaya dari Tallo, seorang perdana menteri dari tahun 1593 hingga 1637 yang juga disebut sebagai arsitek agung Makassar, merupakan orang pertama yang membuat mata uang emas disebut dinara’ dan mata uang dari timah putih. Meskipun tampaknya sama dengan mata uang Aceh, mata uang emas Makassar ini lebih empat kali lebih besar dengan bobot 2,4 gram. Kupang emas dengan ukuran seperempatnya dikeluarkan setidaknya pada tahun 1657.”
“Usaha untuk mereformasi sistem mata uang emas harus dilihat dari latar belakang masuknya perak ke wilayah ini pada tahun 1570 yang belum pernah terjadi sebelumnya. Efek simultan dari metode penggalian baru dengan merkuri di pertambangan perak Amerika jajahan Spanyol dan Jepang menghasilkan paling sedikit penambahan empat kali lipat dalam arus perak yang memasuki Asia. Sekalipun Cina dan India akhirnya juga mengkonsumsi banyak dari masuknya arus perak ini, kiriman besar-besaran perak itu tetap saja banyak melewati Asia Tenggara. Relatif melimpahnya perak ini adalah penjelasan yang paling baik mengenai merosotnya nilai terhadap mata uang picis dan emas. Negara-negara di Asia Tenggara bisa diharapkan untuk menggunakan kesempatan menerima dan memebrlakukan mata uang peraknya sendiri sebagai alat untuk mengawasi perekonomian dalam negerinya, seperti yang dilakukan oleh penguasa Moghul di India dan banyak negara di Eropa.”
“Meskipun Pangeran Banten minta bantuan orang Belanda pada tahun 1618 untuk mencetak mata uang perak kecil, dan Kedah membuat sejumlah mata uang perak dengan alat cetak uang emas, satu-satunya usaha yang sungguh-sungguh untuk memiliki mata uang perak adalah di negara-negara Budha. Enegara-negara ini tidak tertarik dengan mata uang emas, karena sudah lama telah menggunakan perak sebagai alat pengukur nilai. Mata uang perak murni pertama yang dikenal telah dikeluarkan atas nama penguasa di wilayah Asia adalah mata uang perak Arakan. Penguasa Budha di wilayah ini meniru gaya mata uang Benggala pada abad ke 15 dan 16, lengkap dengan gelar-gelar arab. Baru sejak 1530 an mata uang ini memasukkan kata Arakam, sejak itu dipastikan bahwa mata uang itu telah dicetak sendiri, tidak lagi dicetak di Benggala.”
“ Pertanyaanya, menagapa negara lain (selain negara Budha di Asia) tidak menerija standar perak. Salah satu jawabannya adalah bahwa emas lebih melimpah di Kepulauan (Nusantara) dibandingkan di negara Asia lainnya, dan lebih murah dikaitkan dengan perak daripada di India, Cina, atau Jepang. Sebelum tahun 1620 perbandingannya adalah 1:7 di Asia Tenggara dan 1:10 di India, pada tengah kedua abad itu naik menjadi 1:12 di Asia Tenggara dan 1:15 di India. Keuntungan mendekati 100 persen dikatakan dapat diperoleh dengan memasukkan perak Jepang ke Pegu untuk ditukarkan dengan emas pada tahun 1620-an, Sumatra dan Filiphina pun terus mengekspor emas sepanjang abad itu. Kecuali, itu penghargaan tradisional terhadap emas sebagai lambang kekuasaan dan kewibawaan menjadikan emas tampak sebagai logam yang layak untuk menunjang nama raja.”
“ Pada abad ke-17 tidak ada mata uang lokal yang dapat bersaing dengan real Spanyol (uang perak) sebagai mata uang internasional. Uang itu segera menjadi uang dan satuan hitungan untuk transaksi internasional yang mendominasi perdagangan di pasar-pasar kota besar. Permintaan pedagang Cina dan India akan perak Jepang dan Amerika untuk dibawa pulang ke negara mereka sendiri menimbulkan ketegangan yang hebat bagi setiap pencetakan mata uang pribumi. Penguasa yang mengeluarkan mata uang (emas) sedang membuktikan mereka kalah dalam perjuangan untuk mempertahankan kekuasaan internal tempat mereka memegang kedaulatan ekonomi, suatu hal yang berbeda dengan pasar internasional tempat mereka hidup.”
“Dengan satu atau lain cara perak menjadi tidak dapat dihambat sebagai uang internasional Asia Tenggara yang efektif pada sekitar tahun 1630, baik dalam bentuk real, seperti yang terjadi di kepulauan atau menurut bobotnya. Meskipun terdapat status yang dimiliki oleh mata uang emas kerajaan, para penguasa sendiri selanjutnya mengharapkan pajak dan denda dibayar dalam bentuk perak. Kemenangan perak tersebut sudah barang tentu mendorong integrasi Asia Tenggara ke dalam perekonomian dunia. Karena ditukarkannya perak dengan mata uang yang dibuat dari tembaga atau timah hitam yang mudah rusak, orang Vietnam dan orang Jawa tidak dapat melayani mereka sendiri dengan baik, seperti yang dengan cepat ditunjukkan oleh orang Eropa.”
===============================
Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987. hal. 295-311.
“Sampai tahun 1870, di Jawa tidak ditemukan transaksi uang yang meluas cepat pada sebagaina terbesar wilayah pulau itu, sementara di pulau-pulau lain pemakaian uang belum ada sampai akhirnya pulau-pulau tersebut berada di bawah pemerintah Belanda. Tetapi ini tidak berarti bahwa selama itu penggunaan uang tidak dikenal sama sekali.”
“Bentuk awal lalu lintas uang di Hindia Belanda sudah ada sebelum kedatangan kebudayaan Hindu, tahun 400 M. Uang stempel dari pengusaha diterima sebagai jaminan bahan pembuatan yang secara intrinsik sering berada di bawah nilai nominalnya. Tetapi bahan koin emas dan terutama perak bukanlah barang yang langka pada jaman Hindu. Pemakaian uang sudah ada pada periode kerajaan Islam (kira-kira setelah tahun 1200) di daerah- daerah pantai yang termasuk jalur perdagangan atau jalur dagang sekunder, di Banten (perak dan tembaga), Sumenep (bahan celup dioleskan pada koin yang sudah dipakai), Cirebon (takaran kecil dari timah yang disebut picis), Aceh (penguasa sering berkumpul untuk melaksanakan hak pencetakan uang), Palembang (timah), Jambi (timah seperti di Palembang yang disebut picis), Bangka (timah), Pontianak (tembaga dan timah), mampawa (timah), Banjarmasin (tembaga), dan Sulawesi (emas dan timah hitam). Para penguasa seing mengontrak kepada warga Tionghoa hak mereka mencetak uang.”
“Baik kerajaan Hindu-Jawa yang menarik pajak dalam bentuk barang ataupun kerajaan Islam yang muncul belakangan dan sampai tahap tertentu menarik pajak dalam bentuk uang tidak mampu menerobos struktur masyarakat desa autarki yang dapat dikatakan statis dan tidak menggunakan uang. Pengaruh pusat perdagangan di tepi pantai tidak terasa di pedalaman, akibatnya ekonomi uang sebagian besar tetap bersifat insidental ternatas pada lapisan atas desa saja. Di luar lingkungan kraton dan tempat kedudukan pejabat pemerintahan mata uang tidak lazim digunakan sebagai alat tukar di daerah pedalaman.Penggunaan uang yang terbatas adalah sesuai dengan sistem ekonomi pada masa itu. Pertukaran barang merupakan kekecualian dan lazimnya adalah barter. Sifat autarki masyarakat desa berarti bahwa sedikit sekali terjadi hubungan dagang dengan dunia luar sementara di desa itu sendiri pola khas yang berlaku adalah gotong-royong yang melengkapi kebutuhan individu.”
“Pada pergantian abad ke16 perdagangan luar negeri terpusat di beberapa pelabuhan besar di pantai utara pulau Jawa (pesisir). Keterbatasan jumlah uang yang beredar di Asia dilengkapi oleh pihak Portugis dengan piastre Spanyol yang juga dikenal dengan nama mat, real, atau dollar. Koin ini tetap dominan dalam perdagangan internasional untuk jangka waktu lama. Nilai tukar di negeri Belanda ditetapkan dalam piastre Spanyol, yang berlaku sampai tahun 1826, beberapa nilai tukar resmi lain bahkan bertahan lebih lama lagi. Di luar Jawa, koin yang tetap pada niali intrinsik yang penuh ini, masih umum dipakai sampai pertengahan abad 19.”
“Seperti yang diduga, peredaran uang perak baru itu sebagian besar tetap terbatas pada pusat-pusat perdagangan. Bila ada uang perak beredar ke desa, mencapai lapisan masyarakat di bawah lurah, perak tersebut akan disimpan baik-baik atau digunakan untuk perhiasan. Uang tembaga juga digunakan di daerah pedalaman pada masa tersebut, tetapi hanya pada kawasan-kawasan di mana para pedagang asing diizinkan bebas ke sana ke mari dengan tujuan mengumpulkan barang untuk dibeli maupun dijajakan untuk mereka sendiri.”
“VOC biasanya mengekspor uang logam dari negeri Belanda, terutama perak. Barang ekspor tersebut ditukar dengan hasil daerah tropis yang diinginkan VOC, baik secara langsung maupun melalui pedagang perantara. Selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi imbangan, ekspor perak tetap perlu dilakukan. Dalam pengertian perimbangan pembayaran, ini berarti bahwa defisit perdagangan komoditi harus diatasi oleh VOC dengan mata uang yang lebih tinggi nominalnya dibanding dengan koin tukar kecil, seperti ringgit dan piastre. Tetapi perak tetap menjadi alat pembayaran perdagangan asing dengan perhitungan nilai intrinsiknya. Jarang sekali perak digunakan sebagai media pertukaran atau pengukur nilai pertukaran domestik Hindia Belanda. Sejauh nilai lebih mata uang Hindia Belanda ditutup dengan perak, logam tersebut umumnya disimpan saja. Perak tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun 1870-an.”
“Selama abad 18 kebijakan dagang VOC secara berangsur-angsur menjurus pada pengembangan lembaga dengan tanggung jawab tertentu di bidang pemerintahan. Seirama dengan corak perkembangan ini sifat pembayaran perdagangan internasional sedikit demi sedikit berubah dari suatu rekening perusahaan dagang besar monopolistik menjadi pertukaran perdagangan internasional yang menyeluruh bagi kesatuan teritorial. Dalam pada itu, peredaran uang bertambah penting. Pada mulanya sedikit-demi sedikit saja, tapi kemudian arus barang ke pusat perdagangan mengalir bagaikan air sungai. Semua barang ini dibeli dengan uang.”
“VOC sesungguhnya tidak pernah tahu pasti bagaimana seharusnya menghadapi perubahan ini, yang merupakan akibat peningkatan fungsinya sebagai alat pemerintahan. Di samping itu, iklim perdagangan di akhir abad ke 18 jelas tidak menggembirakan. Khususnya perang melawan Inggris sangat menyulitkan pengiriman uang logam secara teratur. Guna mengatasi kesulitan yang timbul, berbagai macam uang kertas dicetak sejak tahun 1782 dan banyak uang tembaga diedarkan (karena tembaga dapat dibeli secara menguntungkan di Jepang). Langkah kebijakan ini ternyata sama sekali tidak cocok untuk mengatasi kekurangan bahan yang sesuai guna keperluan transfer internasional. Semua uang perak yang ada diserap dari peredaran.”
“Pada tahun 1830-an khususnya setelah tahun 1836, sebagian besar volume produksi ekspor disalurkan melalui pemerintah. Tanaman-tanaman ekspor tersebut tidak dapat diguankan lagi sebagai alat pembayaran oleh pedagang swasta. Lagi pula Gubernur Jenderal Van den Bosch membatasi penjualan alat tukar pemerintah kepada pengusaha swasta dengan tujuan melemahkan daya saing mereka. Uang perak tetap merupakan satu-satunya alat perdagangan pihak swsata dengan luar negeri. Sebagian besar perak yang dimasukkan ke Hindia Belanda oleh pemerintah antara tahun 1816 dan 1846 (terutama sebelum tahun 1830) diekspor lagi sehingga makin langka. Dalam situasi serupa ini, tindakan Javasche Bank –sebuah lembaga swsata yang didirikan tahun 1827—mengontrakkan operasinya, harus dianggap sebagai kurang memadai. Bank tersebut sangat terhambat oleh tendensi individu swasta dalam menukarkan uang kertas bank menjadimperak. Perak yang diperoleh dengan cara ini biasanya tidak kembali ke peredaran tetapi segera diekspor.”
“Perbandingan cadangan perak pada Javasche Bank terhadap uang kertas yang dikeluarkan terus merosot sampai bank tersebut bahkan terpaksa membatalkan ketentuan konversi uang kertas menjadi perak. Sejalan dengan praktek VOC pada periode ini pemerintah tidak membedakan uang sebagai alat perantara perdagangan internasional dan uang sebagai alat tukar transaksi dalam negeri. Ketika Sistem Uang Logam tahun 1826 diberlakukan, terkandung maskud membiarkan uang tembaga dalam peredaran sebagai sekedar koin pengganti. Tetapi jumlah uang tembaga dalamk peredaran sudah demikian menumpuk ketika pemerintah menetapkan semua pembayaran menurut cultuurstelsel untuk produksi yang dikembangkan dengan uang tembaga (seperti pembayaran tanaman, biaya angkutan, dan komisi penanaman). Bahkan sebelumnya pada tahun 1827 peredaran uang perak telah merosot demikian rupa sehingga kebanyakan pembayaran oleh bendahara negara dilakukan dengan tembaga. Harga perak sangat tinggi. Berdirinya Javasche Bank sedikit melegakan perasaan walaupun hanya sementara saja, berkat manajemen operasinya yang terencana dengan baik setelah diberi modal 2 juta gulden perak Hindia-Belanda.”
“Secara psikologis berdirinya Javasche Bank meningkatkan kepercayaan terhadap uang kertas. Akibatnya kebutuhan akan koin perak menurun, paling kurang untuk sementara. Kemudian perak diimpor dan pada tahun 1831 keadaan di daerah pedalaman sudah sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi memperoleh uang 100 untuk gulden perak. Tetapi ini merupakan kekecualian. Antara tahun 1827 dan 1834, nilai uang perak mempunyai fluktuasi antara 12 dan 32 persen bila dibandingkan dengan tembaga di daerah terpencil sedangkan harga perak bahkan naik jauh di atas nilai resmi.”
“Selama tahun 1830-an istilah gulden Hindia Belanda mewakili 4 bentuk, yaitu gulden zilver (gulden perak) yang dapat dibayar dalam koin perak (atau emas) sesuai dengan harga yang ditetapkan secara sah, atau dalam bentuk uang kertas bank. Setelah tahun 1839 gulden perak ini dikenal dengan nama zogenaamd zilver (perak palsu). Bentuk kedua adalah gulden koper (gulden tembaga) yang dibayarkan dalam bentuk koin tembaga sesuai dengan nilai tukar resmi, atau sejak tahun 1832 dalam koper-certificaten (sertifikat uang tembaga yang dikeluarkan oleh pemerintah).”
“Jumlah peredaran perak menjadi berkurang karena :a). Perak digunakan oelh pengusaha swasta untuk pembayaran di luar negeri. b). Sebagai akibat besarnya jumlah uang koin yang membanjiri Hindia Belanda, khususnya antara tahun 1834 dan 1843.”
“Pengeluaran koin tembaga yang lebih rendah mutunya dan tidak dapat ditarik dari peredaran secara wajar karena ketidak-cocokan sebagai alat pembayaran luar negeri, menimbulkan inflasi uang tembaga. Ada kecenderungan, jumlah uang tembaga dalam peredaran sebagaimana yang dikalkulasikan pada berebgai dokumen resmi, berbeda satu sama lain. Perkiraan paling sering disimpulkan dan agaknya masuk akal mengemukakan bahwa jumlah koin yang diedarkan antara tahun 1816 dan 1846 adalah 4.700 juta gulden. Perkiraan ini hanya meliputi koin tembaga yang dicetak oleh pemerintah atau atas nama pemerintah; jadi berbeda dengan pengedaran kembali koin-koin yang ditarik pada masa pendudukan Inggris dan sejumlah besar koin palsu. Setelah tahun 1830 uang perak sudah jarang ditemukan dalamm peredaran, kalau bukan diekspor uang perak disimpan oleh penduduk ataupun dilebur dan kemudian dijadikan perhiasan.”
“Pada tahun 1846 di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Rochussen muali dilakukan usaha pembaruan sistem keuangan dengan membuat koin tembaga yang dapat dikonversi menjadi suatu bentuk surat berharga dari pemerintah yang dikenal dengan nama recepis. Satu recepis sama dengan satu gulden perak Belanda, dan dikeluarkan dalam nominal 1, 5, 10, 25, 100 dan 500 gulden. Patokan baru (meski sementara) uang Hindia Belanda ini dapat diperoleh dengan pembayaran uang koin tembaga berdasarkan nilai 120 koin satu gulden recepis.”
“Dalam pada itu uang tembaga ditarik dan diganti dengan recepis dengan perbandingan 6 gulden tembaga sama dengan 5 gulden recepis. Recepis diterima sebagai alat pembayaran di semua kantor pajak, dengan perbandingan 1:1 atau 5:6 tergantung pada ketetapan apakah pembayaran seharusnya dalam bentuk perak atau tembaga.”
“Ternyata tidak mungkin menarik koin dari peredaran selama periode 1846-1861. Penggantian uang tembaga yang masih tersisa terpaksa ditunda sampai abad ke 20. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa koin hampir bisa dikatakan beredar dengan bebas di pedalam Jawa. Disamping faktor-faktor struktural pada saat transisi gradual dari sistem barter ke ekonomi uang di berbagai daerah Hindia Belanda, sistem koin, sebagaimana yang ditetapkan dalam beberapa Undang-undang koin, tidak berlaku atau berlaku secara tidak lengkap bagi seluruh wilayah di bawah kekuasaan Belanda sampai abad ke 20. Sejumlah besar koin tetap beredar di Jawa dan Madura, juga di tempat lain. Selain itu, sejumlah besar kepeng tembaga buatan Cina beredar di Bali dan Lombok. Banyak yang menginginkan agar koin cina ini digunakan, antara lain untuk upacara keagamaan. Juga perlu dicatat, bahwa sistem koin Semenanjung Malaysia –koin patokan adalah dolar Malaysia (Straitsdollar)—berlaku di sekitar Singapura (termasuk pantai Timur Sumatera dan bagian barat Kalimantan). Setelah tahun 1872 nilai dolar perak jatuh bersamaan dengan merosotnya harga perak. Akibatnya gulden Hindia Belanda denagn emas sebagai nilai jaminannya mampu menggeser Straitsdollar.”
“Keseragaman nasional sistem koin harus dipandang sebagai hal penting baik dari segi hukum maupun segi ekonomi. Sebelum Undang-Undang Koin (muntwet 1854) tahun 1854 berlaku, tidak banyak bukti kesatuan moneter di Hindia Belanda. Disamping koin yang telah disebut diatas beredar pula banyak ragam koin tembaga dan koin lain yang rendah nilai logamnya. Situasi ini berubah ketika pembauran koin dilangsungkan di masing-masing daerah pada abad ke 20. Menurut pembauran koin ini, uang Hindia Belanda dinyatakan sebagai alat pembayaran yang sah, sedang jenis uang lainnya dinyatakan tidak berlaku. Setelah pembauran besar-besaran tahun 1899/1900, 1906 dan 1908 jumlah koin lain di luar alat pembayaran yang sah makin lama makin dikurangi. Pembersian koin di Bali dan Lombok yang diputuskan pada tahun 1914 gagal, karena keberatan hukum adat dan penolakan yang bersifat relijius maupun karena alasan praktis. Karena nilainya kecil, kepeng Cina cocok sekali untuk transaksi pasar yang kecil. Untunglah harga tembaga naik pesat pada tahun 1917 sehingga kepeng yang diborong kemudian dikirim ke luar neger. Sebagaimana ditegaskan oleh penemuan sebuah survei tahun 1926 tindakan borong ini menyebabkan jumlah kepeng dalam peredaran menurun tajam. Untuk selanjutnya nilai koin ini tetap mantap. Pada masa sebelumnya nilai koin tersebut banyak ragamnya, sehingga menyulitkan penduduk. Pada tahun 1930, ketika pembersihan telah diselesaikan sesuai dengan rencana, tinggal satu daerah yang belum dibersihkan, yaitu Kepulauan Riau dan Bengkalis, dekat Singapura. Mengingat adanya perdagangan aktif dan lalu lintas pasar dengan Overwall (Semenanjung Malaysia), koin Straits dibiarkan beredar. Lagi pula, daerah ini berada di luar “daerah toll” Hindia Belanda sehingga sulit mengecek berapa jauh peraturan sudah dilaksanakan.
=================
Denys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian II Jaringan Asia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000. hal. 35, 160-162.
“Para pedagang Cina, menurut naskah yang sama, membuat keuntungan yang sedemikian besarnya hingga kepeng Cina dari tembaga mereka selundupkan keluar untuk menukarnya di Jawa dengan lada.”
“Kini masih terdapat, atau sekurangnya masih ada pada permulaan abad ini, suatu keanekaragaman sistem alat tukar yang sangat mencolok, menurut taraf perkembangan sosio-ekonomi yang dicapai. Di kalangan masyarakat Toraja di Sulawesi Tengah masih dapat dilihat sebuah sistem tukar menukar pada upacara kematian. Di dalamnya kerbau mengambil tempat sebagai pusat. Peran kerbau ini mengingatkan pecus Romawi. Di daerah-daerah tertentu di Borneo, keramik Cina masih dipakai sebagai mata uang primitif dan di pantai, terutama di Kucing dan Pontianak, masih dibuat guci-guci yang dikumpulkan oleh orang Dayak pedalaman. Di Bali kepeng Cina masih dipakai sebagai alat tukar menukar -- yang sudah tentu tersebar sangat luas, tetapi bagi banyak orang sulit sekali mendapatkan lembaran uang kertas pecahan besar -- yang paling penting tetaplah menanam modal dalam emas.”
“Dua faktor penting tampil sebagai ciri-ciri utama dari abad-abad peralihan yang sedang kita tekuni ini. Pertama-tama kepulauan Nusantara yang selama lebih dari seribu tahun menjadi salah satu kawasan penghasil emas terpenting di dunia mengalami kemerosotan produksi emasnya sampai habis sama sekali. Sumber-sumber emas di Jawa, tempat asal cincin-cincin emas yang sangat indah dari abad ke 9 dan ke 10, juga tempat asal pertukangan emas Mojopahit, sudah tidak ada lagi setelah abad ke 15. Sumber-sumber di Sumatra, terutama di daerah Minangkabau, masih beberapa lama merangsang Kesultanan Aceh, tetapi akhirnya juga habis pada abad ke 17. hal itu sangat mengecewakan orang Belanda yang menaruh harapan besar padanya. Kedua, dan kebetulan bersamaan dengan menjarangnya logam kuning yang sampai saat itu diekspor berupa bubuk atau batangan tetapi tidak pernah dicetak menjadi uang itu, kita menyaksikan perkembangan ekonomi moneter, yang terwujud dalam dua bentuk : munculnya kepeng Cina dalam jumlah besar, dan munculnya beberapa bengkel yang menempa uang di berbagai tempat di Nusantara.”
“Asia Tenggara lama berada di perbatasan dua daerah alat pertukaran yang “bukan hasil tempaan”, daerah yang memakai kerang kauri sebagai alat tukar menukar di satu pihak, dan di lain pihak daerah dengan alat tukar menukar benda perunggu, lalumkeramik Cina. Kerang, kebanyakan berasal dari Maladewa dan dari Borneo itu terutama diedarkan oleh pelabuhan-pelabuhan Bengali yang meneruskannya ke Arakan, Pegu sampai Yunnan sampai ke Siam. Di timur, pemakaian benda keramik yang berasal dari Cina, telah menggantikan pemakaian benda perunggu. Orang-orang Spanyol pertama berbicara tentang peran yang dimainkan gong Cina untuk transaksi-transaksi tertentu di Filipina dan belum lama berselang genderang perunggu (jenis moko) masih dipakai sebagai alat pembayaran di pulau Alor.”
“Setelah benda perunggu dan keramik, dalam kerangka perbahan historis jangka panjang yang sama, muncul giliran mata uang kepeng Cina. Hendaknya dicatat sepintas bahwa istilah Perancis sapeque untuk uang kepeng itu berasal dari penggabungan awalan Nusantara sa yaitu se (satu) dengan kata Cina pak (Melayu paku) yaitu ratus. Jadi secara harfiah yang dimaksud dengan sapeque ikatann seratus keping uang logam. Kalau diingatkatkan bahwa Asia Tenggara kuno masih sangat jarang mengenal mata uang tempaan, tibanya mata uang Cina dalam jumlah besar itu –yang mutunya terjamin dan memungkinkan penentuan harga yang lebih rinci—sesungguhnya merupakan suatu kejadian historis yang sangat penting. Kendati demikian, kelebihan uang kepeng itu tidak langsung tampak. Seperti benda keramik sebelumnya, rangkaian uang kepeng itu sulit diangkut, dan banyak orang mula-mula melihatnya sekadar sebagai suatu cara untuk memperoleh komoditas yang sangat digemari, yaitu tembaga.”
“Kepeng Cina itu mulai tersebar bersamaan dengan majunya perniagaan Sung dan secara khusus membanjiri Jawa yang peran perantaranya dalam jaringan niaga sedang menguat. Sayangnya tidak ada kajian serius satu pun mengenai mata uang-mata uang Cina yang ditemukan di Nusantara, akan tetapi semua kesaksian sepakat mengenai pentingnya uang itu di pelabuhan-pelabuhan pesisir. Sedini abad ke 13, Zhao Rugua, memberitakan bahwa para penyelundup mengekspor kepeng dari Cina denagn diam-diam, karena besarnya permintaan di Jawa akan mata uang itu. Pada tahun 1433, Ma Huan, salah seorang juru tulis Zheng He menulis bahwa mata uang tembaga Cina dengan cap dari pelbagai wangsa, lazim dipakai di sana. Pada awal abad ke 16 Tome Pires memberitakan bahwa caixa Cina adalah mata uang yang lazim berlaku baik di Pasundan maupun di Jawa dan ia menambahkan bahwa di Jawa tidak ada uang emas dan perak. Antonio Nunez (1544) mengatakan mengenai Sunda bahwa 120 caixa dari negeri itu sama dengan satu tanga perak, caixa adalah mata uang dari tembaga yang berlobang di tengah-tengah yang dikatakan sudah bertahun-tahun lamanya diimpor dari Cina, di negeri itu caixa berlimpah-limpah.....”
“Kalau diperhitungkan betapa pentingnya kepeng Cina itu di Jawa, dan hal itu sudah berlaku sejak abad ke-12 dan 13 dapat kiranya diharapkan bahwa disana pulalah tampilnya mata uang pertama yang dibuat setempat. Sesungguhnya teks-teks Cina dengan tegas dan berulang kali membicarakan tentang sebuah mata uang dari logam campuran yang dibuat di Jawa. Pada 1349 dikatakan dalam Daoyi Zhilue bahwa kebiasaan orang negeri itu (jawa) adalah membuat uang logam dengan campuran perak, timah, timbel, dan tembaga yang dilebur menjadi satu. Uang itu dinamakan uang perak. Yang kita ketahui dari keadaan numismatik di Jawa membenarkan hal itu. H.C. Millies salah satu dari segelintir orang Jawa yang membicarakan numismatik itu mencatat untuk jaman Mojopahit di satu pihak, beberapa batang kecil dari logam putih yang dicap setempat dan di pihak lain, suatu seri yang aneh yang dinamakannya mata uang takhayul. Mata uang itu adalah tiruan kasar dari uang kepeng Cina, dan dibuat dari campuran tembaga dengan lubang persegi di tengah-tengah tetapi dengan garis tengah yang jelas lebih besar (kira-kira 4 cm). Mata uang ini dewasa ini masih dipakai sebagai zimat (pembawa rezeki) dan sangat digemari. Di sisi belakang, maupun di sisi depannya, aksara-aksara Cina diganti dengan pelbagai motif, paling sering dengan gambar wayang, dan tidak pernah tertulis angka nilainya.”
“Jadi sudah nyatalah bahwa di Jawa pernah ada usaha untuk meniru mata uang asal Cina, tetapi kita tidak tahu dengan tepat dimana mata uang itu dibuat (di pelabuhan-pelabuhan Timur?) dan tidak ada bukti bahwa uang itu dicetak atas prakarsa sistematis dari suatu kekuasaan politik. Th. Pigeaud dengan tepat menyatakan bahwa kita tidak mengetahui nama satu pun raja atau pangeran Jawa yang pernah mengeluarkan mata uang atas namanya. Bagaimanapun juga, pencetakan mata uang isetempat itu sudah berhenti sebelum awal abad ke16.”
“Kendati mula-mula gagal di Jawa, gagasan pencetakan uang diteruskan dengan sukse di berbagai tempat lain di Nusantara. Tetapi kali ini yang diikuti adalah pola pencetakan uang dari dunia Barat, yaitu India dan Islam. Penemuan logam putih itu rupanya dimulai di Bengali kira-kira akhir abad ke 13. Pada masa yang kira-kira sama, di Sumatera Utara dimulai penempaan uang emas yang bertahan sampai abad ke 18, mata uang mas paling tua yang sudah terbukti adanya ialah mas Sultan Muhammad Malik az Zahir dari Samudra Pasai (1297-1326), mata uang kecil yang bergaris tengah 10 mm dan beratnya 0,58 gram. Setelah Sultan Mughayat Syah (wafat 1530) memaksa orang menerima dominasi Aceh Dar us-Salam, di kota itulah untuk selanjutnya berlangsung penempaan emas. Di Pasai juga, dini sekali ditempa mata uang dari timah, yang ditiru di Malaka mulai pertengahan abad ke-15. Mata uang yang dapat dianggap dengan pasti berasal dari zaman kesultanan Malaka sangat langka, akan tetapi ada sekurang-kurangnya satu yang agaknya berasal dari pemerintahan Sultan Muzaffar Syah (1445-1459). Dalam abad ke 15 pulalah Siam mulai membuat tikal perak berupa bola-bola kecil yang mempunyai berat tetap dan dicap. Pada awal abad ke 16 Tome Pires juga memberitakan adanya tikal itu di Ayuthia Pegu. Pada abad ke 16 dan 17 ada mata uang lain yang juga ditempa di daerah (Kamboja) itu : mata uang dari emas di Patani dan di Kelantan, suatu mata uang bergambar kijang dan kelihatannya cukup kuno, terbuat dari timah dan perak di Kedah dan Perak, dari logam campuran di Banten, dan dari emas di Makassar.”
“Selain segala mata uang yang ditempa setempat itu, tidak boleh dilupakan pentingnya mata uang Eropa, yang kebanyakan dari perak. Mereka sangat menghargai mata uang kita, kata Tome Pires tentang orang Jawa, dan secara khusus yang dari Portugal, mereka berkata bahwa negeri yang menempa mata uang semacam itu mestinya seperti Jawa. Dan satu setengah abad kemudian, Tavernier membenarkan hal itu : Adapun mata uang dari perak, para raja membiarkannya berlaku sebagaimana datangnya dari negeri-negeri asing, dan tidak meleburnya. Di Bantam, di seluruh Jawa, di Batavia, dan di beberapa tempat di Maluku, yang kelihatan hanya real-real dari Spanyol, rijksdaalder dari Jerman dan ecu dari Perancis, sebagian besar setengah-realan, perempat-realan dan perdelapan-realan.”
====================
C.R. Boxer, Jan Kompeni :Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta,1983.
“Ribuan mata uang perak dan mata uang emas yang lebih kecil jumlahnya itu, yang diketemukan oleh para penyelam dalam tahun-tahun akhir dari rongsokan-rongsokan kapal sekat Shetland, Tanjung Harapan, dan Australia Barat memberikan pandangan-pandangan yang menarik tentang mengalirnya emas dan perak dari barat ke timur. Seperti diduga, bagian terbesar perak itu adalah dalam bentuk kepingan-delapan Amerika-Spanyol, dan Spanyol, dengan dukat negeri Belanda Spanyol, dan dukat Belanda atau “satria perak” nomor dua banyak jumlahnya. Popularitas yang tersu menerus dari jenis uang yang pertama dalam sepucuk surat dari Gubernur Jenderal dan Dewannya di Batavia kepada Heren XVII, tertanggal 12 Februari 1685. Mereka meminta dikirimi seharga 350.000 sampai 400.000 gulden uang yang tersedia, lebih disukai real delapan Meksiko karena orang-orang Jawa, Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya lebih menyukainya daripada semua yang lain, bukan karena kemurnian atau nilai perak, tetapi hanya karena mereka sudah selama bertahun-tahun terbiasa menggunakannya.”
“Para pedagang Asia, terutama orang Cina, sebagian besar kelihatannya jelas lebih menyukai mata uang yang dibuat di percetakan uang di Mexico City dan Sevilla. Mata uang dari Potosi di dataran tinggi Peru, yang pernah sangat disukai jadi kurang disenangi dalam pertengahan abad ke 17, ketika kecurangan dan penggelapan di kalangan para pegawai percetakan uang itu sempat menghasilkan uang yang turun nilainya. Tapi bagaimanapun bentuknya, real delapan Amerika-Spanyol tetap yang paling utama beredar dalam perdagangan Cina, entah apakah uang ini diimpor lewat Eropa, Turki, India atau Indonesia, ataupun lewat Samudera Pasifik dalam galyung-galyung yang tiap tahun datang ke Manila.”
“VOC berusaha keras untuk menggantikan mata uang ini di Asia dengan dukat Belanda atau “satria perak” sesudah pertama-tama dibuat dalam tahun 1659. Tetapi orang Cina yang mau aman tidak begitu bersedia menerima jenis ini sebagai mereka menerima real delapan dengan satuan-satuannya yang lebih kecil. Dalam tahun 1747 seorang mandarin yang curiga menanyakan kepada seorang misionaris Dominikan Spanyol di Fukien, negeri yang membuat uang berlukiskan satria menunggang kuda. Misionaris ini menjawab, negeri si “Rambut Merah”, yaitu nama yang biasa untuk orang Belanda di Cina. Pengujian kadar logam dari mata uang yang ditemui dari rongsokan-rongsokan kapal VOC di seluruh dunia menunjukkan bahwa “satria perak” biasanya mempunyai kadar perak yang lebih tinggi daripada saingan-saingan Amerika-Spanyol, walaupun mata uang yang belakangan ini tampaknya kurang begitu terpengaruh lamanya berada dalam laut.”
“Sering VOC disebut suatu negara dalam negara, dan dalam beberapa hal para abdinya di Timur memang bertindak bagaikan mereka warga dari suatu struktur negara yang sepenuhnya merdeka. Tetapi bertentangan dengan apa yang dikemukakan oleh Jan de Marre dalam tahun 1740 dengan kebebasan penyairnya, Kompeni di Batavia tidak mempunyai mata uang sendiri. Membuat uang adalah hak kedaulatan, yang pelaksanaannya ketat berada dalam pengawasan Staten Generaal. Ketika dalam tahun 1644-1645 dibuat sejumlah mata uang tembaga dan perak darurat, Heren XVII langsung memerintahkan penarikannya dengan sangat. Dengan pengecualian ini, dan selain medali-medali, VOC tidak membuat uang di Indonesia sampai tahun 1744, ketika akhirnya didirikan suatu percetakan uang di Batavia. Akibatnya terjadi kekacauan yang besar dalam peredaran uang di seluruh lingkungan kegiatan VOC. Real delapan Spanyol dan Amerika-Spanyol; mata uang perak dan emas negeri Belanda Utara dan Selatan, dukat-dukat emas Venesia, Hungaria, dan Belanda semuanya luas tersebar, bersama-sama dengan sejumlah mata uang Asia, termasuk rupee emas dan perak India; abbasi dan larin perak Persia; koban dan oban Jepang, dan banyak yang lain. Banyak macam yang tiada terbilang dibuat dalam nilai masing-masing, dan sering terjadi perbedaan pendapat antara Heren XVII dan Gubernur Jenderal dengan Dewannya di Batavia mengenai penilaian yang berbeda-beda yang ditetapkan oleh suatu badan.”
“Kekacauan lebih diperbesar lagi dalam tahun 1656-1668 oleh Heren XVII --menurut sementara kalangan tidak disengaja dan menurut Francois Valentijn atas anjuran Maetsuyker-- yang menetapkan kurs berbeda beda untuk ringgit dan rupiah sebagai uang hitungan. Ini mengakibatkan terjadinya kategori buatan untuk ringgit standar, yang masing-masing disebut “ringan” dengan nilai 75 kelip dan “berat” dengan nilai 60 kelip. Gulden atau florin yang sama dengan 20 kelip, tetap bernilai 20 kelip di Timur; tetapi yang pertama digolongkan “berat” sedangkan yang kedua “ringan”. Para lintah darat India dan penukar uang Cina mengambil keuntungan dari keadaann ini, tetapi kekacauan ini tak pernah teratasi, walaupun diusahakan macam-macam cara hukum.”
=================================
Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis:Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999. hal. 123-141.
“Zaman perdagangan mengakibatkan permintaan secara berkelanjutan akan mata uang. Selain tekstil India, mata uang dalam bentuk perak, tembaga, dan timah merupakan barang dagangan paling penting yang mengalir ke wilayah tersebut (Asia Tenggara).”
“Sebelum abad ke 15 Asia Tenggara daratan agaknya tidak mnegadakan mata uang untuk mendukung perdagangan. Mata uang perak dibuat antara abad ke- 5 dan 10, tetapi hanya didistribusikan secara terbatas sehingga barangkali hanya dimaksudkan untuk membayar denda dan pajak.”
“Beberapa kerajaan di Jawa, Sumatra dan Luzon membuat mata uang antara abad ke 9 dan 13 tapi kemudian mengalah pada mata uang tembaga Cina yang diimpor. Mata uang tembaga Cina, dan mata uang setempat yang mengikuti modelnya, merupakan peletak dasar untuk komersialisasi yang makin meningkat di kawasan itu setelah tahun 1400. Kata cash berasal dari bahasa Sansakerta, tetapi orang Portugis menggunakannya (disebutnya caixa) khususnya untuk mata uang tembaga Cina yang diekspor, dan kemudian orang-orang Eropa mengikutinya. Bnagsa bangsa sekitar Laut Jawa biasanya menyebutnya dengan kata Jawa yaitu picis. Mata uang yang kecil bulat ini mempunyai lubang persegi di tengah agar dapat diikat sebanyak seribu (meskipun seringkali hanya enam ratus atau jumlah lain penggantinya yang lazim).”
“Di Jawa, prasasti tidak lagi menyebut bobot atau mata uang Jawa setelah sekitar tahun 1300, kecuali hanya menyebut picis, mata uang tembaga Cina.”
“Barangkali arnada besar Ming di bawah Cheng Ho itulah yang membuat mata uang Cina begitu terkenal di bandar-bandar kepulauan yang lain seperti Malaka, dan Pasai pada awal abad ke 15. Tetapi timah jauh lebih banyak tersedia dibandingkan dengan tembaga di wilayah Selat Malaka, dan negeri-negeri di sana mulai meniru mata uang dengan timah. Pada tahun1414 ketika Sultan Megat Iskandar Shah mengunjungi ibu kota Cina untuk mendapatkan persetujuan kaisar atas suksesinya, ia juga diizinkan mencetak mata uang kecil berbahan campuran timah putih dan timah hitam yang disebutnya cash, menurut orang Portugis. Pada waktu yang bersamaan, kerajaan di Sumatera bagian utara mengeluarkan sejumlah besar mata uang timah kecil tetapi tebal dengan nama-nama penguasa mereka.”
“Bagaimanapun mata uang tembaga Cina atau mata uang timah yang meniru bentuknya telah memberikan dasar penggunaan mata uang di Asia Tenggara pada tahun 1500. Ketika orang Portugis pada tahun 1537 berusaha agar sekutunya di Maluku menerima mata uang Portugis yang tembaganya lebih murni daripada mata uang Cina, mereka diberitahu bahwa ini akan diterima jika orang Portugis juga melubangi mata uangnya agar dapat mudah diikat.”
“Penghapusan larangan kaisar atas perdagangan Cina ke Selatan pada tahun 1567 tampaknya mengakibatkan arus masuk secara besar-besaran mata uang tembaga Cina. Armada Belanda pertama yang tiba di Jawa pada tahun 1596 mengetahui bahwa mata uang ini “yang banyak sekali beredar di kepulauan” pada periode ini, membuat khawatir para pejabat Cina, karena melihat arus keluar mata uang tersebut sebagai kegiatan menguras sumber yang makin langka. Akibatnya mata uang baru yang terbuat dari campuran timah yang murah mulai dibuat pada tahun 1590 di Guangdong dan Fujianuntuk diedarkan, khususnya di Nanyang. Ini merupakan jenis yang dikeluhkan oleh orang Eropa mata uang itu dibuat dari logam dasar yang sama sekali akan rusak sendiri dalam waktu tiga atau empat tahun’. Pada tahun 1596 picis bermutu rendah ini beredar jauh ke pedalaman Jawa. Pedagang perantara Cina membawa uang itu ke pegunungan di atas Banten untuk membeli lada dari penanamnya di sana dengan nilai seperempat dari harganya di pasar Banten.”
“Mata uang timah campuran tersebut (picis) mutunya demikian rendah sehingga dapat ditiru dengan mudah. Kekuarangan timah adalah hambatan utama bagi pembuatan secara setempat sampai orang Inggris dan Belanda menemukan timah ini yang menjadi salah satu dari beberapa barang dari Eropa yang memiliki pasaran. Orang Inggris di Banten menambah pesanan timah dari 20 ton pada tahun 1608 menjadi 50-60 ton pada tahun 1615 dan 100-150 ton pada tahun 1636. sebagian dari timah ini doalihkan ke pembuatan peluru pada masa perang, walau sebagian besar tetap dipakai untuk membuat uang, untuk pasokan ke Banjarmasin, Palembang dan juga Banten. Orang Belanda lebih bersikap hati-hati dalam menjual timah agar tidak digunakan untuk tujuan militer oleh musuhnya di mana-mana. Baru pada tahun 1633 ketika mereka mulai merasa barang ini dapat diperoleh dari orang Cina di Batavia, mereka menjadi mnegetahui bahwa sudah ada industri pembuatan picis Cina di Jawa, khususnya di Banten, Cirebon dan Jepara. Mereka (orang Belanda) mengambil keuntungan darinya dengan memberikan timah atas dasar monopoli kepada orang Cina terkemuka di daerah pendudukan Belanda. Percobaan ini ditinggalkan pada tahun 1640 ketika orang Inggris memotong monopoli VOC, dengan memasok timah dengan harga lebih muarh untuk menyaingi picis di Banten, Jepara, Jambi, Palembang, Makassar dan Martapura. VOC beralih ke mata uang tembaga sebagai sarana dasarnya memasuki perekonomian Asia Tenggara.”
“Periode ketika VOC berusaha untuk memonopoli memberika gmabaran besarnya permintaan akan picis pada saat itu. Pada tahun 1637 VOC menyediakan 133 ton timah hitam, dan pada tahun 1638, 153 ton, kepada para pembuat picisnya. Mengingat bahwa Inggris juga menyediakan jumlah yang sama dan bhawa orang Cina masih juga membawa masuk mata uangnya, sementara VOC sendiri berharap dapat memperoleh bagian yang lebih besar di pasar, yakni sa pai 240 ton. Kita dapat memperkirakan bahwa kira-kira pada saat itu diperlukan 350 ton setiap tahun untuk membuat picis bagi kepulauan Indonesia. Dengan perkiraan tiap koin picis seberat 2 gram (banyak yang berbobot kurang dari 1 gram) hingga 5 gram, maka kira-kira pada saat itu di Nusantara dikeluarkan sekitar 170 juta mata uang setiap tahun. Jika setiap koin picis diperkirakan akan bertahan selama lima tahun, maka dalam periode ini diperkirakan beredar 800 juta mata uang picis di wilayah Nusantara yang mempunyai populasi sekitar sepuluh juta. Jumlah itu masih sedikit, tapi sudah cukup untuk membiasakan masyarakat dengan transaksi menggunakan uang.”
“Untuk mata uang yang nilainya lebih tinggi, emas merupakan pilihan yang wajar, baik sebagai tanda kekayaan, status, jaminan dan keindahan guna memudahkan perdagangan. Meskipun mata uang emas atau medali telah dikenal sejak zaman Jawa Kuno, pembuatan mata uang emas dengan nilai yang ajeg atas nama penguasa diperkenalkan di Asia Tenggara bersamaan dengan Islam. Mata uang demikian yang paling tua berasal dari Pasai, negara Islam pertama di wilayah Nusantara (negeri di bawah angin).”
“Pada abad ke17 emas Aceh merupakan bagian dari sistem nilai yang konsisten, yaitu 1 tahil (bobot perak) sebanding dengan 16 emas, dan 1 emas sebanding dengan 4 kupang yang sama dengan 1600 cash (picis). Perbandingan antara nilai uang emas dan picis ini kerap menimbulkan kekurangan dalam kebutuhan uang picis, baik di Aceh maupun di Banten, mengingat bahwa 2.100 picis hanya ditukarkan dengan sebuah emas di pada tahun 1602., 600 hingga 1000 picis hanya dihargai dengan sebuah emas pada tahun 1630-an.”
“Meskipun kupang Aceh kelihatannya hanya sebagai satuan hitungan, nagara-negara lain mencetak uang emas dan kupang dari emas dengan nilai empat kali nilai kupang (Aceh). Johor dan Kedah memproduksi mata uang bersegi delapan pada akhir abad ke 17. Mata uang emas Johor beratnya empat kali dari mata uang Aceh tetapi biasanya dicampur dengan loga,. Mata uang emas jenis Aceh yang bundar ditemuka di Patani, dengan gambar banteng di satu sisi dan “malik al-adil” di sisi lain. Yang terdokumentasikan dengan lebih baik adalah mata uang emas yang diciptakan oleh Makassar sebagai bagian dari usaha untuk menjadilkan pelabuhan perantara yang besar di kepulauan sebelah timur. Seperti ditunjukkan oleh tarikh, Karaeng Matoaya dari Tallo, seorang perdana menteri dari tahun 1593 hingga 1637 yang juga disebut sebagai arsitek agung Makassar, merupakan orang pertama yang membuat mata uang emas disebut dinara’ dan mata uang dari timah putih. Meskipun tampaknya sama dengan mata uang Aceh, mata uang emas Makassar ini lebih empat kali lebih besar dengan bobot 2,4 gram. Kupang emas dengan ukuran seperempatnya dikeluarkan setidaknya pada tahun 1657.”
“Usaha untuk mereformasi sistem mata uang emas harus dilihat dari latar belakang masuknya perak ke wilayah ini pada tahun 1570 yang belum pernah terjadi sebelumnya. Efek simultan dari metode penggalian baru dengan merkuri di pertambangan perak Amerika jajahan Spanyol dan Jepang menghasilkan paling sedikit penambahan empat kali lipat dalam arus perak yang memasuki Asia. Sekalipun Cina dan India akhirnya juga mengkonsumsi banyak dari masuknya arus perak ini, kiriman besar-besaran perak itu tetap saja banyak melewati Asia Tenggara. Relatif melimpahnya perak ini adalah penjelasan yang paling baik mengenai merosotnya nilai terhadap mata uang picis dan emas. Negara-negara di Asia Tenggara bisa diharapkan untuk menggunakan kesempatan menerima dan memebrlakukan mata uang peraknya sendiri sebagai alat untuk mengawasi perekonomian dalam negerinya, seperti yang dilakukan oleh penguasa Moghul di India dan banyak negara di Eropa.”
“Meskipun Pangeran Banten minta bantuan orang Belanda pada tahun 1618 untuk mencetak mata uang perak kecil, dan Kedah membuat sejumlah mata uang perak dengan alat cetak uang emas, satu-satunya usaha yang sungguh-sungguh untuk memiliki mata uang perak adalah di negara-negara Budha. Enegara-negara ini tidak tertarik dengan mata uang emas, karena sudah lama telah menggunakan perak sebagai alat pengukur nilai. Mata uang perak murni pertama yang dikenal telah dikeluarkan atas nama penguasa di wilayah Asia adalah mata uang perak Arakan. Penguasa Budha di wilayah ini meniru gaya mata uang Benggala pada abad ke 15 dan 16, lengkap dengan gelar-gelar arab. Baru sejak 1530 an mata uang ini memasukkan kata Arakam, sejak itu dipastikan bahwa mata uang itu telah dicetak sendiri, tidak lagi dicetak di Benggala.”
“ Pertanyaanya, menagapa negara lain (selain negara Budha di Asia) tidak menerija standar perak. Salah satu jawabannya adalah bahwa emas lebih melimpah di Kepulauan (Nusantara) dibandingkan di negara Asia lainnya, dan lebih murah dikaitkan dengan perak daripada di India, Cina, atau Jepang. Sebelum tahun 1620 perbandingannya adalah 1:7 di Asia Tenggara dan 1:10 di India, pada tengah kedua abad itu naik menjadi 1:12 di Asia Tenggara dan 1:15 di India. Keuntungan mendekati 100 persen dikatakan dapat diperoleh dengan memasukkan perak Jepang ke Pegu untuk ditukarkan dengan emas pada tahun 1620-an, Sumatra dan Filiphina pun terus mengekspor emas sepanjang abad itu. Kecuali, itu penghargaan tradisional terhadap emas sebagai lambang kekuasaan dan kewibawaan menjadikan emas tampak sebagai logam yang layak untuk menunjang nama raja.”
“ Pada abad ke-17 tidak ada mata uang lokal yang dapat bersaing dengan real Spanyol (uang perak) sebagai mata uang internasional. Uang itu segera menjadi uang dan satuan hitungan untuk transaksi internasional yang mendominasi perdagangan di pasar-pasar kota besar. Permintaan pedagang Cina dan India akan perak Jepang dan Amerika untuk dibawa pulang ke negara mereka sendiri menimbulkan ketegangan yang hebat bagi setiap pencetakan mata uang pribumi. Penguasa yang mengeluarkan mata uang (emas) sedang membuktikan mereka kalah dalam perjuangan untuk mempertahankan kekuasaan internal tempat mereka memegang kedaulatan ekonomi, suatu hal yang berbeda dengan pasar internasional tempat mereka hidup.”
“Dengan satu atau lain cara perak menjadi tidak dapat dihambat sebagai uang internasional Asia Tenggara yang efektif pada sekitar tahun 1630, baik dalam bentuk real, seperti yang terjadi di kepulauan atau menurut bobotnya. Meskipun terdapat status yang dimiliki oleh mata uang emas kerajaan, para penguasa sendiri selanjutnya mengharapkan pajak dan denda dibayar dalam bentuk perak. Kemenangan perak tersebut sudah barang tentu mendorong integrasi Asia Tenggara ke dalam perekonomian dunia. Karena ditukarkannya perak dengan mata uang yang dibuat dari tembaga atau timah hitam yang mudah rusak, orang Vietnam dan orang Jawa tidak dapat melayani mereka sendiri dengan baik, seperti yang dengan cepat ditunjukkan oleh orang Eropa.”
===============================
Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987. hal. 295-311.
“Sampai tahun 1870, di Jawa tidak ditemukan transaksi uang yang meluas cepat pada sebagaina terbesar wilayah pulau itu, sementara di pulau-pulau lain pemakaian uang belum ada sampai akhirnya pulau-pulau tersebut berada di bawah pemerintah Belanda. Tetapi ini tidak berarti bahwa selama itu penggunaan uang tidak dikenal sama sekali.”
“Bentuk awal lalu lintas uang di Hindia Belanda sudah ada sebelum kedatangan kebudayaan Hindu, tahun 400 M. Uang stempel dari pengusaha diterima sebagai jaminan bahan pembuatan yang secara intrinsik sering berada di bawah nilai nominalnya. Tetapi bahan koin emas dan terutama perak bukanlah barang yang langka pada jaman Hindu. Pemakaian uang sudah ada pada periode kerajaan Islam (kira-kira setelah tahun 1200) di daerah- daerah pantai yang termasuk jalur perdagangan atau jalur dagang sekunder, di Banten (perak dan tembaga), Sumenep (bahan celup dioleskan pada koin yang sudah dipakai), Cirebon (takaran kecil dari timah yang disebut picis), Aceh (penguasa sering berkumpul untuk melaksanakan hak pencetakan uang), Palembang (timah), Jambi (timah seperti di Palembang yang disebut picis), Bangka (timah), Pontianak (tembaga dan timah), mampawa (timah), Banjarmasin (tembaga), dan Sulawesi (emas dan timah hitam). Para penguasa seing mengontrak kepada warga Tionghoa hak mereka mencetak uang.”
“Baik kerajaan Hindu-Jawa yang menarik pajak dalam bentuk barang ataupun kerajaan Islam yang muncul belakangan dan sampai tahap tertentu menarik pajak dalam bentuk uang tidak mampu menerobos struktur masyarakat desa autarki yang dapat dikatakan statis dan tidak menggunakan uang. Pengaruh pusat perdagangan di tepi pantai tidak terasa di pedalaman, akibatnya ekonomi uang sebagian besar tetap bersifat insidental ternatas pada lapisan atas desa saja. Di luar lingkungan kraton dan tempat kedudukan pejabat pemerintahan mata uang tidak lazim digunakan sebagai alat tukar di daerah pedalaman.Penggunaan uang yang terbatas adalah sesuai dengan sistem ekonomi pada masa itu. Pertukaran barang merupakan kekecualian dan lazimnya adalah barter. Sifat autarki masyarakat desa berarti bahwa sedikit sekali terjadi hubungan dagang dengan dunia luar sementara di desa itu sendiri pola khas yang berlaku adalah gotong-royong yang melengkapi kebutuhan individu.”
“Pada pergantian abad ke16 perdagangan luar negeri terpusat di beberapa pelabuhan besar di pantai utara pulau Jawa (pesisir). Keterbatasan jumlah uang yang beredar di Asia dilengkapi oleh pihak Portugis dengan piastre Spanyol yang juga dikenal dengan nama mat, real, atau dollar. Koin ini tetap dominan dalam perdagangan internasional untuk jangka waktu lama. Nilai tukar di negeri Belanda ditetapkan dalam piastre Spanyol, yang berlaku sampai tahun 1826, beberapa nilai tukar resmi lain bahkan bertahan lebih lama lagi. Di luar Jawa, koin yang tetap pada niali intrinsik yang penuh ini, masih umum dipakai sampai pertengahan abad 19.”
“Seperti yang diduga, peredaran uang perak baru itu sebagian besar tetap terbatas pada pusat-pusat perdagangan. Bila ada uang perak beredar ke desa, mencapai lapisan masyarakat di bawah lurah, perak tersebut akan disimpan baik-baik atau digunakan untuk perhiasan. Uang tembaga juga digunakan di daerah pedalaman pada masa tersebut, tetapi hanya pada kawasan-kawasan di mana para pedagang asing diizinkan bebas ke sana ke mari dengan tujuan mengumpulkan barang untuk dibeli maupun dijajakan untuk mereka sendiri.”
“VOC biasanya mengekspor uang logam dari negeri Belanda, terutama perak. Barang ekspor tersebut ditukar dengan hasil daerah tropis yang diinginkan VOC, baik secara langsung maupun melalui pedagang perantara. Selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi imbangan, ekspor perak tetap perlu dilakukan. Dalam pengertian perimbangan pembayaran, ini berarti bahwa defisit perdagangan komoditi harus diatasi oleh VOC dengan mata uang yang lebih tinggi nominalnya dibanding dengan koin tukar kecil, seperti ringgit dan piastre. Tetapi perak tetap menjadi alat pembayaran perdagangan asing dengan perhitungan nilai intrinsiknya. Jarang sekali perak digunakan sebagai media pertukaran atau pengukur nilai pertukaran domestik Hindia Belanda. Sejauh nilai lebih mata uang Hindia Belanda ditutup dengan perak, logam tersebut umumnya disimpan saja. Perak tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun 1870-an.”
“Selama abad 18 kebijakan dagang VOC secara berangsur-angsur menjurus pada pengembangan lembaga dengan tanggung jawab tertentu di bidang pemerintahan. Seirama dengan corak perkembangan ini sifat pembayaran perdagangan internasional sedikit demi sedikit berubah dari suatu rekening perusahaan dagang besar monopolistik menjadi pertukaran perdagangan internasional yang menyeluruh bagi kesatuan teritorial. Dalam pada itu, peredaran uang bertambah penting. Pada mulanya sedikit-demi sedikit saja, tapi kemudian arus barang ke pusat perdagangan mengalir bagaikan air sungai. Semua barang ini dibeli dengan uang.”
“VOC sesungguhnya tidak pernah tahu pasti bagaimana seharusnya menghadapi perubahan ini, yang merupakan akibat peningkatan fungsinya sebagai alat pemerintahan. Di samping itu, iklim perdagangan di akhir abad ke 18 jelas tidak menggembirakan. Khususnya perang melawan Inggris sangat menyulitkan pengiriman uang logam secara teratur. Guna mengatasi kesulitan yang timbul, berbagai macam uang kertas dicetak sejak tahun 1782 dan banyak uang tembaga diedarkan (karena tembaga dapat dibeli secara menguntungkan di Jepang). Langkah kebijakan ini ternyata sama sekali tidak cocok untuk mengatasi kekurangan bahan yang sesuai guna keperluan transfer internasional. Semua uang perak yang ada diserap dari peredaran.”
“Pada tahun 1830-an khususnya setelah tahun 1836, sebagian besar volume produksi ekspor disalurkan melalui pemerintah. Tanaman-tanaman ekspor tersebut tidak dapat diguankan lagi sebagai alat pembayaran oleh pedagang swasta. Lagi pula Gubernur Jenderal Van den Bosch membatasi penjualan alat tukar pemerintah kepada pengusaha swasta dengan tujuan melemahkan daya saing mereka. Uang perak tetap merupakan satu-satunya alat perdagangan pihak swsata dengan luar negeri. Sebagian besar perak yang dimasukkan ke Hindia Belanda oleh pemerintah antara tahun 1816 dan 1846 (terutama sebelum tahun 1830) diekspor lagi sehingga makin langka. Dalam situasi serupa ini, tindakan Javasche Bank –sebuah lembaga swsata yang didirikan tahun 1827—mengontrakkan operasinya, harus dianggap sebagai kurang memadai. Bank tersebut sangat terhambat oleh tendensi individu swasta dalam menukarkan uang kertas bank menjadimperak. Perak yang diperoleh dengan cara ini biasanya tidak kembali ke peredaran tetapi segera diekspor.”
“Perbandingan cadangan perak pada Javasche Bank terhadap uang kertas yang dikeluarkan terus merosot sampai bank tersebut bahkan terpaksa membatalkan ketentuan konversi uang kertas menjadi perak. Sejalan dengan praktek VOC pada periode ini pemerintah tidak membedakan uang sebagai alat perantara perdagangan internasional dan uang sebagai alat tukar transaksi dalam negeri. Ketika Sistem Uang Logam tahun 1826 diberlakukan, terkandung maskud membiarkan uang tembaga dalam peredaran sebagai sekedar koin pengganti. Tetapi jumlah uang tembaga dalamk peredaran sudah demikian menumpuk ketika pemerintah menetapkan semua pembayaran menurut cultuurstelsel untuk produksi yang dikembangkan dengan uang tembaga (seperti pembayaran tanaman, biaya angkutan, dan komisi penanaman). Bahkan sebelumnya pada tahun 1827 peredaran uang perak telah merosot demikian rupa sehingga kebanyakan pembayaran oleh bendahara negara dilakukan dengan tembaga. Harga perak sangat tinggi. Berdirinya Javasche Bank sedikit melegakan perasaan walaupun hanya sementara saja, berkat manajemen operasinya yang terencana dengan baik setelah diberi modal 2 juta gulden perak Hindia-Belanda.”
“Secara psikologis berdirinya Javasche Bank meningkatkan kepercayaan terhadap uang kertas. Akibatnya kebutuhan akan koin perak menurun, paling kurang untuk sementara. Kemudian perak diimpor dan pada tahun 1831 keadaan di daerah pedalaman sudah sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi memperoleh uang 100 untuk gulden perak. Tetapi ini merupakan kekecualian. Antara tahun 1827 dan 1834, nilai uang perak mempunyai fluktuasi antara 12 dan 32 persen bila dibandingkan dengan tembaga di daerah terpencil sedangkan harga perak bahkan naik jauh di atas nilai resmi.”
“Selama tahun 1830-an istilah gulden Hindia Belanda mewakili 4 bentuk, yaitu gulden zilver (gulden perak) yang dapat dibayar dalam koin perak (atau emas) sesuai dengan harga yang ditetapkan secara sah, atau dalam bentuk uang kertas bank. Setelah tahun 1839 gulden perak ini dikenal dengan nama zogenaamd zilver (perak palsu). Bentuk kedua adalah gulden koper (gulden tembaga) yang dibayarkan dalam bentuk koin tembaga sesuai dengan nilai tukar resmi, atau sejak tahun 1832 dalam koper-certificaten (sertifikat uang tembaga yang dikeluarkan oleh pemerintah).”
“Jumlah peredaran perak menjadi berkurang karena :a). Perak digunakan oelh pengusaha swasta untuk pembayaran di luar negeri. b). Sebagai akibat besarnya jumlah uang koin yang membanjiri Hindia Belanda, khususnya antara tahun 1834 dan 1843.”
“Pengeluaran koin tembaga yang lebih rendah mutunya dan tidak dapat ditarik dari peredaran secara wajar karena ketidak-cocokan sebagai alat pembayaran luar negeri, menimbulkan inflasi uang tembaga. Ada kecenderungan, jumlah uang tembaga dalam peredaran sebagaimana yang dikalkulasikan pada berebgai dokumen resmi, berbeda satu sama lain. Perkiraan paling sering disimpulkan dan agaknya masuk akal mengemukakan bahwa jumlah koin yang diedarkan antara tahun 1816 dan 1846 adalah 4.700 juta gulden. Perkiraan ini hanya meliputi koin tembaga yang dicetak oleh pemerintah atau atas nama pemerintah; jadi berbeda dengan pengedaran kembali koin-koin yang ditarik pada masa pendudukan Inggris dan sejumlah besar koin palsu. Setelah tahun 1830 uang perak sudah jarang ditemukan dalamm peredaran, kalau bukan diekspor uang perak disimpan oleh penduduk ataupun dilebur dan kemudian dijadikan perhiasan.”
“Pada tahun 1846 di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Rochussen muali dilakukan usaha pembaruan sistem keuangan dengan membuat koin tembaga yang dapat dikonversi menjadi suatu bentuk surat berharga dari pemerintah yang dikenal dengan nama recepis. Satu recepis sama dengan satu gulden perak Belanda, dan dikeluarkan dalam nominal 1, 5, 10, 25, 100 dan 500 gulden. Patokan baru (meski sementara) uang Hindia Belanda ini dapat diperoleh dengan pembayaran uang koin tembaga berdasarkan nilai 120 koin satu gulden recepis.”
“Dalam pada itu uang tembaga ditarik dan diganti dengan recepis dengan perbandingan 6 gulden tembaga sama dengan 5 gulden recepis. Recepis diterima sebagai alat pembayaran di semua kantor pajak, dengan perbandingan 1:1 atau 5:6 tergantung pada ketetapan apakah pembayaran seharusnya dalam bentuk perak atau tembaga.”
“Ternyata tidak mungkin menarik koin dari peredaran selama periode 1846-1861. Penggantian uang tembaga yang masih tersisa terpaksa ditunda sampai abad ke 20. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa koin hampir bisa dikatakan beredar dengan bebas di pedalam Jawa. Disamping faktor-faktor struktural pada saat transisi gradual dari sistem barter ke ekonomi uang di berbagai daerah Hindia Belanda, sistem koin, sebagaimana yang ditetapkan dalam beberapa Undang-undang koin, tidak berlaku atau berlaku secara tidak lengkap bagi seluruh wilayah di bawah kekuasaan Belanda sampai abad ke 20. Sejumlah besar koin tetap beredar di Jawa dan Madura, juga di tempat lain. Selain itu, sejumlah besar kepeng tembaga buatan Cina beredar di Bali dan Lombok. Banyak yang menginginkan agar koin cina ini digunakan, antara lain untuk upacara keagamaan. Juga perlu dicatat, bahwa sistem koin Semenanjung Malaysia –koin patokan adalah dolar Malaysia (Straitsdollar)—berlaku di sekitar Singapura (termasuk pantai Timur Sumatera dan bagian barat Kalimantan). Setelah tahun 1872 nilai dolar perak jatuh bersamaan dengan merosotnya harga perak. Akibatnya gulden Hindia Belanda denagn emas sebagai nilai jaminannya mampu menggeser Straitsdollar.”
“Keseragaman nasional sistem koin harus dipandang sebagai hal penting baik dari segi hukum maupun segi ekonomi. Sebelum Undang-Undang Koin (muntwet 1854) tahun 1854 berlaku, tidak banyak bukti kesatuan moneter di Hindia Belanda. Disamping koin yang telah disebut diatas beredar pula banyak ragam koin tembaga dan koin lain yang rendah nilai logamnya. Situasi ini berubah ketika pembauran koin dilangsungkan di masing-masing daerah pada abad ke 20. Menurut pembauran koin ini, uang Hindia Belanda dinyatakan sebagai alat pembayaran yang sah, sedang jenis uang lainnya dinyatakan tidak berlaku. Setelah pembauran besar-besaran tahun 1899/1900, 1906 dan 1908 jumlah koin lain di luar alat pembayaran yang sah makin lama makin dikurangi. Pembersian koin di Bali dan Lombok yang diputuskan pada tahun 1914 gagal, karena keberatan hukum adat dan penolakan yang bersifat relijius maupun karena alasan praktis. Karena nilainya kecil, kepeng Cina cocok sekali untuk transaksi pasar yang kecil. Untunglah harga tembaga naik pesat pada tahun 1917 sehingga kepeng yang diborong kemudian dikirim ke luar neger. Sebagaimana ditegaskan oleh penemuan sebuah survei tahun 1926 tindakan borong ini menyebabkan jumlah kepeng dalam peredaran menurun tajam. Untuk selanjutnya nilai koin ini tetap mantap. Pada masa sebelumnya nilai koin tersebut banyak ragamnya, sehingga menyulitkan penduduk. Pada tahun 1930, ketika pembersihan telah diselesaikan sesuai dengan rencana, tinggal satu daerah yang belum dibersihkan, yaitu Kepulauan Riau dan Bengkalis, dekat Singapura. Mengingat adanya perdagangan aktif dan lalu lintas pasar dengan Overwall (Semenanjung Malaysia), koin Straits dibiarkan beredar. Lagi pula, daerah ini berada di luar “daerah toll” Hindia Belanda sehingga sulit mengecek berapa jauh peraturan sudah dilaksanakan.
=================
Denys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian II Jaringan Asia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000. hal. 35, 160-162.
“Para pedagang Cina, menurut naskah yang sama, membuat keuntungan yang sedemikian besarnya hingga kepeng Cina dari tembaga mereka selundupkan keluar untuk menukarnya di Jawa dengan lada.”
“Kini masih terdapat, atau sekurangnya masih ada pada permulaan abad ini, suatu keanekaragaman sistem alat tukar yang sangat mencolok, menurut taraf perkembangan sosio-ekonomi yang dicapai. Di kalangan masyarakat Toraja di Sulawesi Tengah masih dapat dilihat sebuah sistem tukar menukar pada upacara kematian. Di dalamnya kerbau mengambil tempat sebagai pusat. Peran kerbau ini mengingatkan pecus Romawi. Di daerah-daerah tertentu di Borneo, keramik Cina masih dipakai sebagai mata uang primitif dan di pantai, terutama di Kucing dan Pontianak, masih dibuat guci-guci yang dikumpulkan oleh orang Dayak pedalaman. Di Bali kepeng Cina masih dipakai sebagai alat tukar menukar -- yang sudah tentu tersebar sangat luas, tetapi bagi banyak orang sulit sekali mendapatkan lembaran uang kertas pecahan besar -- yang paling penting tetaplah menanam modal dalam emas.”
“Dua faktor penting tampil sebagai ciri-ciri utama dari abad-abad peralihan yang sedang kita tekuni ini. Pertama-tama kepulauan Nusantara yang selama lebih dari seribu tahun menjadi salah satu kawasan penghasil emas terpenting di dunia mengalami kemerosotan produksi emasnya sampai habis sama sekali. Sumber-sumber emas di Jawa, tempat asal cincin-cincin emas yang sangat indah dari abad ke 9 dan ke 10, juga tempat asal pertukangan emas Mojopahit, sudah tidak ada lagi setelah abad ke 15. Sumber-sumber di Sumatra, terutama di daerah Minangkabau, masih beberapa lama merangsang Kesultanan Aceh, tetapi akhirnya juga habis pada abad ke 17. hal itu sangat mengecewakan orang Belanda yang menaruh harapan besar padanya. Kedua, dan kebetulan bersamaan dengan menjarangnya logam kuning yang sampai saat itu diekspor berupa bubuk atau batangan tetapi tidak pernah dicetak menjadi uang itu, kita menyaksikan perkembangan ekonomi moneter, yang terwujud dalam dua bentuk : munculnya kepeng Cina dalam jumlah besar, dan munculnya beberapa bengkel yang menempa uang di berbagai tempat di Nusantara.”
“Asia Tenggara lama berada di perbatasan dua daerah alat pertukaran yang “bukan hasil tempaan”, daerah yang memakai kerang kauri sebagai alat tukar menukar di satu pihak, dan di lain pihak daerah dengan alat tukar menukar benda perunggu, lalumkeramik Cina. Kerang, kebanyakan berasal dari Maladewa dan dari Borneo itu terutama diedarkan oleh pelabuhan-pelabuhan Bengali yang meneruskannya ke Arakan, Pegu sampai Yunnan sampai ke Siam. Di timur, pemakaian benda keramik yang berasal dari Cina, telah menggantikan pemakaian benda perunggu. Orang-orang Spanyol pertama berbicara tentang peran yang dimainkan gong Cina untuk transaksi-transaksi tertentu di Filipina dan belum lama berselang genderang perunggu (jenis moko) masih dipakai sebagai alat pembayaran di pulau Alor.”
“Setelah benda perunggu dan keramik, dalam kerangka perbahan historis jangka panjang yang sama, muncul giliran mata uang kepeng Cina. Hendaknya dicatat sepintas bahwa istilah Perancis sapeque untuk uang kepeng itu berasal dari penggabungan awalan Nusantara sa yaitu se (satu) dengan kata Cina pak (Melayu paku) yaitu ratus. Jadi secara harfiah yang dimaksud dengan sapeque ikatann seratus keping uang logam. Kalau diingatkatkan bahwa Asia Tenggara kuno masih sangat jarang mengenal mata uang tempaan, tibanya mata uang Cina dalam jumlah besar itu –yang mutunya terjamin dan memungkinkan penentuan harga yang lebih rinci—sesungguhnya merupakan suatu kejadian historis yang sangat penting. Kendati demikian, kelebihan uang kepeng itu tidak langsung tampak. Seperti benda keramik sebelumnya, rangkaian uang kepeng itu sulit diangkut, dan banyak orang mula-mula melihatnya sekadar sebagai suatu cara untuk memperoleh komoditas yang sangat digemari, yaitu tembaga.”
“Kepeng Cina itu mulai tersebar bersamaan dengan majunya perniagaan Sung dan secara khusus membanjiri Jawa yang peran perantaranya dalam jaringan niaga sedang menguat. Sayangnya tidak ada kajian serius satu pun mengenai mata uang-mata uang Cina yang ditemukan di Nusantara, akan tetapi semua kesaksian sepakat mengenai pentingnya uang itu di pelabuhan-pelabuhan pesisir. Sedini abad ke 13, Zhao Rugua, memberitakan bahwa para penyelundup mengekspor kepeng dari Cina denagn diam-diam, karena besarnya permintaan di Jawa akan mata uang itu. Pada tahun 1433, Ma Huan, salah seorang juru tulis Zheng He menulis bahwa mata uang tembaga Cina dengan cap dari pelbagai wangsa, lazim dipakai di sana. Pada awal abad ke 16 Tome Pires memberitakan bahwa caixa Cina adalah mata uang yang lazim berlaku baik di Pasundan maupun di Jawa dan ia menambahkan bahwa di Jawa tidak ada uang emas dan perak. Antonio Nunez (1544) mengatakan mengenai Sunda bahwa 120 caixa dari negeri itu sama dengan satu tanga perak, caixa adalah mata uang dari tembaga yang berlobang di tengah-tengah yang dikatakan sudah bertahun-tahun lamanya diimpor dari Cina, di negeri itu caixa berlimpah-limpah.....”
“Kalau diperhitungkan betapa pentingnya kepeng Cina itu di Jawa, dan hal itu sudah berlaku sejak abad ke-12 dan 13 dapat kiranya diharapkan bahwa disana pulalah tampilnya mata uang pertama yang dibuat setempat. Sesungguhnya teks-teks Cina dengan tegas dan berulang kali membicarakan tentang sebuah mata uang dari logam campuran yang dibuat di Jawa. Pada 1349 dikatakan dalam Daoyi Zhilue bahwa kebiasaan orang negeri itu (jawa) adalah membuat uang logam dengan campuran perak, timah, timbel, dan tembaga yang dilebur menjadi satu. Uang itu dinamakan uang perak. Yang kita ketahui dari keadaan numismatik di Jawa membenarkan hal itu. H.C. Millies salah satu dari segelintir orang Jawa yang membicarakan numismatik itu mencatat untuk jaman Mojopahit di satu pihak, beberapa batang kecil dari logam putih yang dicap setempat dan di pihak lain, suatu seri yang aneh yang dinamakannya mata uang takhayul. Mata uang itu adalah tiruan kasar dari uang kepeng Cina, dan dibuat dari campuran tembaga dengan lubang persegi di tengah-tengah tetapi dengan garis tengah yang jelas lebih besar (kira-kira 4 cm). Mata uang ini dewasa ini masih dipakai sebagai zimat (pembawa rezeki) dan sangat digemari. Di sisi belakang, maupun di sisi depannya, aksara-aksara Cina diganti dengan pelbagai motif, paling sering dengan gambar wayang, dan tidak pernah tertulis angka nilainya.”
“Jadi sudah nyatalah bahwa di Jawa pernah ada usaha untuk meniru mata uang asal Cina, tetapi kita tidak tahu dengan tepat dimana mata uang itu dibuat (di pelabuhan-pelabuhan Timur?) dan tidak ada bukti bahwa uang itu dicetak atas prakarsa sistematis dari suatu kekuasaan politik. Th. Pigeaud dengan tepat menyatakan bahwa kita tidak mengetahui nama satu pun raja atau pangeran Jawa yang pernah mengeluarkan mata uang atas namanya. Bagaimanapun juga, pencetakan mata uang isetempat itu sudah berhenti sebelum awal abad ke16.”
“Kendati mula-mula gagal di Jawa, gagasan pencetakan uang diteruskan dengan sukse di berbagai tempat lain di Nusantara. Tetapi kali ini yang diikuti adalah pola pencetakan uang dari dunia Barat, yaitu India dan Islam. Penemuan logam putih itu rupanya dimulai di Bengali kira-kira akhir abad ke 13. Pada masa yang kira-kira sama, di Sumatera Utara dimulai penempaan uang emas yang bertahan sampai abad ke 18, mata uang mas paling tua yang sudah terbukti adanya ialah mas Sultan Muhammad Malik az Zahir dari Samudra Pasai (1297-1326), mata uang kecil yang bergaris tengah 10 mm dan beratnya 0,58 gram. Setelah Sultan Mughayat Syah (wafat 1530) memaksa orang menerima dominasi Aceh Dar us-Salam, di kota itulah untuk selanjutnya berlangsung penempaan emas. Di Pasai juga, dini sekali ditempa mata uang dari timah, yang ditiru di Malaka mulai pertengahan abad ke-15. Mata uang yang dapat dianggap dengan pasti berasal dari zaman kesultanan Malaka sangat langka, akan tetapi ada sekurang-kurangnya satu yang agaknya berasal dari pemerintahan Sultan Muzaffar Syah (1445-1459). Dalam abad ke 15 pulalah Siam mulai membuat tikal perak berupa bola-bola kecil yang mempunyai berat tetap dan dicap. Pada awal abad ke 16 Tome Pires juga memberitakan adanya tikal itu di Ayuthia Pegu. Pada abad ke 16 dan 17 ada mata uang lain yang juga ditempa di daerah (Kamboja) itu : mata uang dari emas di Patani dan di Kelantan, suatu mata uang bergambar kijang dan kelihatannya cukup kuno, terbuat dari timah dan perak di Kedah dan Perak, dari logam campuran di Banten, dan dari emas di Makassar.”
“Selain segala mata uang yang ditempa setempat itu, tidak boleh dilupakan pentingnya mata uang Eropa, yang kebanyakan dari perak. Mereka sangat menghargai mata uang kita, kata Tome Pires tentang orang Jawa, dan secara khusus yang dari Portugal, mereka berkata bahwa negeri yang menempa mata uang semacam itu mestinya seperti Jawa. Dan satu setengah abad kemudian, Tavernier membenarkan hal itu : Adapun mata uang dari perak, para raja membiarkannya berlaku sebagaimana datangnya dari negeri-negeri asing, dan tidak meleburnya. Di Bantam, di seluruh Jawa, di Batavia, dan di beberapa tempat di Maluku, yang kelihatan hanya real-real dari Spanyol, rijksdaalder dari Jerman dan ecu dari Perancis, sebagian besar setengah-realan, perempat-realan dan perdelapan-realan.”
====================
Comments