Indonesianisasi atau Nasionalisasi? : De Javasche Bank awal 1950-an
“Hendaknya, sebelum mengadakan nasionalisasi, dilihat dahulu apakah saatnya dan caranya benar-benar sesuai dengan tujuan dan tidak akan merusak segala cita-cita yang dimaksudkan dengan nasionalisasi itu? Penulis ini sangat setuju dengan nasionalisasi Javasche Bank. Tetapi sebelum tindakan itu dilakukan, harus diadakan persiapan-persiapan lebih dulu untuk mencegah jangan sampai organisasi bank sirkulasi itu dan kepercayaan orang terhadap kita menjadi rusak, dan kita ternyata memutar leher ayam yang bertelur emas!”
( Sjafruddin Prawiranegara, risalah Indonesia di Persimpangan Jalan, Mei 1951
sebagaimana dikutip dalam Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah Swt sebuah biografi. Jakarta : Inti Idayu Press, 1986)
Itulah kira-kira pendapat Sjafruddin Prawiranegara tentang nasionalisasi De Javasche Bank (DJB). Rupanya Presiden DJB yang terakhir ini -- yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan RI -- bersikap sangat hati-hati dalam menyikapi kebijakan nasionalisasi yang akan dilakukan terhadap perusahaan asing yang mempunyai peranan penting bagi perekonomian negara, termasuk DJB sebagai bank sirkulasi.
Pada saat itu, di awal tahun 1950-an Sjafruddin lebih cenderung ingin melakukan Indonesianisasi pegawai-pegawai DJB terlebih dahulu, daripada nasionalisasi. Menurutnya, menyiapkan tenaga perbankan yang terampil lebih penting daripada mengambil alih aset-asetnya. Intinya Sjafruddin ingin mengatakan bahwa nasionalisasi harus dipikirkan baik-baik, karena jika dilakukan secara gegabah malahan akan menyebabkan hilangnya manfaat (bantuan) yang selama ini diperoleh dari DJB.
Proses nasionalisasi De Javasche Bank pada tahun 1951 itu adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah perekonomian Indonesia. Apa sebab? karena melalui nasionalisasi bank sirkulasi -- yang telah berusia lebih dari seabad -- inilah, nantinya Indonesia dapat melengkapi kedaulatannya dalam bidang moneter, yaitu dengan memiliki bank sentral (bank peredaraan dan banker’s bank) yang bernama Bank Indonesia menggantikan De Javasche Bank pada 1 Juli 1953.
Sepanjang tahun 1951 berbagai surat kabar dalam negeri merekam dengan baik perkembangan proses nasionalisasi De Javasche Bank tersebut. Dari mulai gagasan nasionalisasi De Javasche Bank yang diwacanakan pertama kali oleh Mr. Jusuf Wibisono --Menteri Keuangan Kabinet Sukiman--; tanggapan berbagai tokoh atas wacana nasionalisasi terutama kaitannya dengan Nota Persetujuan KMB; tanggapan Houwink -- Presiden De Javasche Bank -- yang merasa dilangkahi dan kemudian mengajukan pengunduran diri; polemik tentang siapa yang akan menjadi pimpinan De Javasche Bank pada masa transisi itu -- agaknya pemerintah enggan untuk memilih Mr. Sjafruddin Prawiranegara, dan lebih cenderung kepada Dr. Sumitro Djojohadiksumo yang saat itu adalah Komisaris Pemerintah untuk De Javasche Bank--; kemudian pembentukan Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank; pengumuman tawaran pemerintah kepada para pemegang saham De Javasche Bank; proses pembelian saham-saham De Javasche Bank hingga selesai; dan kemudian penetapan nasionalisasi De Javasche Bank melalui suatu undang-undang.
Akhirnya puncak dari tindakan nasionalisasi atas De Javasche Bank adalah perubahan statusnya menjadi Bank Indonesia melalui Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953. Peristiwa inipun tak luput dari pemberitaan surat kabar pada saat itu. Meskipun tidak seramai pada tahun 1951, beberapa surat kabar dalam negeri merekamnya dengan baik. Bahkan, Harian Rakjat, salah satu surat kabar terkenal pada saat itu mengabadikannya dalam kartun mingguan-nya. “De Javasche Bank tamat riwajatnja”, demikian yang dituliskan oleh sang kartunis pada saat itu.
Beberapa ulasan berikut ini akan mengungkapkan secara ringkas bagaimana proses nasionalisasi De Javasche Bank itu berlangsung. Tentunya karena bersumber pada beberapa surat kabar yang beredar di Indonesia pada saat itu, beberapa informasi akan sedikit berbeda dengan apa yang telah diungkapkan oleh literatur resmi yang menuliskan sejarah De Javasche Bank.
Wacana Nasionalisasi
Gagasan nasionalisasi De Javasche Bank dapat dikatakan muncul pertama kali dalam kongres Masjumi Desember 1949. Menteri Keuangan Kabinet Sukiman, Mr. Jusuf Wibisono --sebagai anggota partai Masyumi-- merasa wajib melaksanakan keputusan kongres tersebut, sehingga dalam masa jabatannya sebagai menteri keuangan ia segera mengumumkan rencana nasionalisasi De Javasche Bank. Jusuf Wibisono menyatakan bahwa pimpinan De Javasche Bank akan pindah ke tangan Kementerian Keuangan, meskipun pegawai bank yang berkewarga-negaraan Belanda tetap dipertahankan.
Secara umum, berbagai kalangan berpendapat bahwa nasionalisasi harus dilakukan melalui perencanaan yang matang dan sesuai dengan kesanggupan (usaha, keuangan) pemerintah. Sehingga pada saat itu muncul dua wacana, apakah nasionalisasi dilakukan melalui pengambil alihan seluruh aset bank, atau cukup dengan “hanya” mencabut fungsi bank sirkulasi yang selama ini dijalankan oleh De Javasche Bank. Wacana yang terakhir ini kemudian berujung kepada “kemungkinan apakah hak bank sirkulasi tersebut diberikan kembali kepada Bank Negara Indonesia?
Menanggapi rencana nasionalisasi De Javasche Bank yang akan segera dilakukan oleh pemerintah, Mr. Sjafruddin menyatakan bahwa pada saat itu persoalannya tidak terletak pada nasionalisasi atau tidak? yang terpenting adalah bagaimana usaha kita untuk mempertahankan stabiliteit keuangan. Tapi karena pemerintah telah mengajukan rencana (keharusan) nasionalisasi kepada parlemen, maka kita tidak bisa mundur lagi. Sekarang kita harus bekerja dengan apa yang bisa kita jalankan dengan kemampuan (keuangan?) yang ada pada kita.
Soal Pimpinan dan Kedudukan (De Javasche Bank) Bank Peredaran
Pada 21 Mei 1951 Presiden Direktur Javasche Bank Dr. Houwink dikabarkan telah memajukan permintaan berhenti dari jabatannya kepada Menteri Keuangan dengan catatan bahwa jikalau dipandang perlu oleh Pemerintah, maka Dr. Houwink akan bersedia menjalankan pekerjaannya sampai bulan Juli.
Ketika diwacanakan akan menggantikan posisi Houwink sebagai pimpinan De Javasche Bank, Mr. Sjafruddin Prawiranegara menyatakan bahwa ia lebih suka bekerja dalam partai karena dengan demikian ia merasa tenaganya lebih berguna bagi negara. Tetapi apabila ia benar-benar dibutuhkan, maka ia bersedia mengorbankan diri mengganti Dr. Houwink. Kesediaan Mr. Sjafruddin untuk menjadi pimpinan De Javasche Bank itu digaris bawahi dengan pernyataan “asal saja status bank sirkulasi kelak setelah dinasionalisasi bukan seolah-olah bagian dari jawatan kementerian keuangan”. Mengenai hal ini, sejak awal Mr. Sjafruddin Prawiranegara menegaskan bahwa tugas bank sirkulasi adalah memelihara keseimbangan moneter dan harus berdiri sendiri. Meskipun pemerintahlah, yaitu Menteri Keuangan yang bertanggung jawab kepada parlemen atas kebijakan moneter, tetapi harus ada jaminan yang cukup kuat bahwa Direksi bank sirkulasi selalu didengar apabila pemerintah mengambil tindakan yang penting di lapangan keuangan atau yang mengakibatkan pengeluaran-pengeluaran negara yang mungkin dapat mengganggu keseimbangan moneter.
Sementara itu, tentang pengganti Houwink pemerintah berpendapat “Sampai saat ini pemerintah belum mempertimbangkan tentang siapa yang akan diangkat menjadi presiden direktur bank peredaran, sungguhpun untuk jabatan ini banyak calon-calon seperti : Dr. Khouw Bian Tie, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Lukman Hakim, Mr. Sujono Hadinoto, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, dll. Bagi pemerintah tidak penting siapa yang akan memimpin bank peredaran, melainkan bagaimana bentuk bank peredaran itu nantinya yang akan diserahi mengurus kekayaan nasional Indonesia. Dalam pada itu perlu diperhatikan bahwa jabatan presiden direktur bank peredaran itu harus dilepaskan dari kepentingan-kepentingan golongan atau partai dan memang bukan suatu jabatan politik”.
Akhirnya Direksi dan Komisaris De Javasche Bank menyarankan kepada pemerintah, supaya bekas Menteri Keuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara diangkat menjadi pengganti Dr. A. Houwink sebagai Presiden Direktur De Javasche Bank. Direksi dan Komisaris De Javasche Bank menegaskan pula bahwa menuruti cara-cara yang dianut oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu, biasanya pemerintah tidak akan menyimpang dari usul-usul yang mereka ajukan mengenai pengangkatan presiden direktur tersebut. Menanggapi hal ini Mr. Jusuf Wibisono menyatakan bahwa pengangkatan presiden direktur De Javasche Bank adalah semata-mata soal keputusan pemerintah dan tidak ada sangkut-pautnya sedikitpun dengan anjuran Direksi dan Komisaris De Javasche Bank dalam bentuknya yang sekarang.
Menanggapi pengajuan nama Mr. Sjafruddin sebagai pemimpin De Javasche Bank, beberapa kalangan berpendapat sebagai berikut : “tak mungkin Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai seorang pemuka partai mau menerima jabatan presiden direktur Javase Bank dalam bentuknya yang sekarang ini, yaitu ketika bank dalam proses likuidasi. Karena jika Mr. Sjafruddin menerimanya maka seolah-olah ia akan berhadapan dengan pemerintah yang akan melikuidasi bank peredaran, lalu sebagai perunding bagi kepentingan Belanda, atau lebih tegas lagi kepentingan Direksi, Komisaris dan para pemegang andil Javase Bank. Berdasarkan hal itu mereka bertanya apakah mungkin ada suatu siasat untuk mempergunakan seorang pemuka partai politik yang besar seperti Mr. Sjafruddin?”.
Selanjutnya kalangan yang sangsi tersebut berpendapat “sebagai jalan bijakasana yang bisa ditempuh oleh pemerintah adalah jangan mengangkat dulu seorang presiden direktur baru, melainkan cukup mengangkat seorang Komisaris Pemerintah yang akan bertindak sebagai acting Presiden Direktur Javase Bank. Kemudian nanti jika Javase Bank telah dinasionalisasi barulah pemerintah mengangkat seorang Presiden Direktur bangsa Indonesia yang pertama dari bank peredaran RI”.
Adapaun pendapat Menteri Keuangan, Mr. Jusuf Wibisono tentang kedudukan De Javasche Bank, ia mengambil contoh yang terjadi di Belanda, “kedudukan bank sirkulasi di negeri Belanda, yaitu bahwa disamping Kementerian Keuangan dan bank sirkulasi itu ada suatu Bank Raad (Dewan Bank), Menteri Keuangan berhak untuk memberi petunjuk-petunjuk Direktur bank sirkulasi setelah mendengar pendapat Bank Raad. Apabila terjadi perselisihan antara Menteri Keuangan dan Direktur bank sirkulasi, maka Direksi bank sirkulasi dapat memajukan soalnya kepada tingkatan atas yaitu kepada Kroon Mahkota. Jika Menteri Keuangan dibenarkan maka pendapatnya itu akan diumumkan dalam berita resmi, tetapi jika pendapat bank sirkulasi yang benar maka hal itu dirahasiakan, apabila Direksi bank tidak dapat menerima putusan Kroon, maka biasanya Presiden direktur minta berhenti.”
Persiapan Nasionalisasi (Panitia, dan pembelian saham-saham)
Pada 26 Juni 1951 Dewan Menteri telah membicarakan dan menyetujui beberapa Undang-undang dan Peraturan pemerintah antara lain mengenai Pembentukan Panitia Nasionalisasi De Javase Bank. Kemudian diberitakan pada 28 Juni 1951, bahwa Menteri Keuangan Mr. Jusuf Wibisono telah melantik Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank yang berkewajiban memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang masalah nasionalisasi Javasche Bank terutama membuat rencana undang-undang tentang nasionalisasi ini.
Pada 13 Juli 1951 Mr. Sjafruddin Prawiranegara melontarkan pendapat “De Javasceh Bank akan dapat dinasionalisir dengan tidak usah menunggu dulu sampai ada undang-undang tentang nasionalisasi De Javasche Bank. Hal ini akan terjadi apabila pemegang-pemegang sero De Javasche Bank akan bersedia menjual sero-sero kepada pemerintah Indonesia. Undang-undang nasionalisasi baru perlu diadakan apabila para pemegang sero De Javasche Bank tidak mau menjual sero2 itu kepada pemerintah. Dalam keadaan demikian maka dengan undang-undang nasionalisasi itu hak milik atas bank dan penyelenggaraannya untuk kepentingan umum dioper oleh pemerintah naasting, yaitu suatu tindakan yang menagndung paksaan di dalamnya”. Mr. Sjafruddin menyatakan bahwa ia menduga para pemegang sero yang kini mempunyai keers 84%, maka untuk mengambil alih kepemilikan sero-sero itu pemerintah harus menganggarkan di dalam anggaran belanja umum negara pengeluaran guna membeli semua sero DJB yang berjumlah 9 juta rupiah.
Pada 3 Agustus 1951 pemerintah akhirnya mengumumkan niatnya untuk membeli saham-saham De Javasche Bank, sbb : “Dengan mendahului Undang-Undang Nasionalisaski De Javasche Bank, jang beberapa hari ini akan disampaikan kepada parlemen Indonesia, kepada pemegang-pemegang saham, dan/atau pemegang sertifikat-sertifikat dari saham-saham pada De Javasche Bank N.V. terhitung mulai dari tanggal pengumuman ini sampai tanggal 1 Oktober 1951 diberi kesempatan untuk menjual saham-saham dan/atau sertifikat-sertifikat dari saham-saham mereka kepada Republik Indonesia dengan koers sebanjak 120% dalam mata uang Belanda atau dalam beberapa hal yang tertentu dengan koers sebanyak 360% dalam uang Rupiah.”
Pada 4 September 1951 didapat kabar dari Kementerian Keuangan bahwa sampai sekarang ini pembelian kembali saham-saham dari De Javasche Bank baru mentjapai jumlah seharga satu juta Rupiah, sedang jumlah saham-saham itu semuanya seharga nominal 10 juta rupiah. Himbauan untuk menjual saham De Javasche Bank. Firma van der Werff & Hubrecht, satu perusahaan bank dan dan Komisioner dalam efek-efek dan asuransi yang berkedudukan di Amsterdam, dalam tinjauan bursanya No. 84 berpendapat bahwa orang-orang yang tidak menerima tawaran 120% cash (uang Belanda) bagi saham-saham De Javasche Bank sebelum 1 Oktober 1951, tidak akan dapat mengaharapkan bayaran harga lebih tinggi. Malahan mungkin mereka akan menerima harga di bawah itu. Sekarang di bursa saham-saham De Javasche Bank itu dapat dijual dengan 120 5/8%. Firma ini mengemukakannya sebagai peringatan.
Pada 31 Oktober 1951 Menteri Keuangan Jusuf Wibisono menyatakan bahwa saham De Javasche Bank yang sudah dibeli oleh pemerintah berjumlah 8,8 juta rupiah. Dan sisanya tinggal 200.000 rupiah lagi. Diterangkannya bahwa dalam prakteknya sesudah tanggal 15 Nopember 1951 masih dilakukan pembelian saham-saham. Djumlah yang belum terbeli ini akan dicabut haknya oleh pemerintah. Oleh karena selesainya pembelian saham-saham itu, maka pemerintah mengharapkan akhir bulan ini undang-undang nasionalisasi itu sudah akan diterima oleh Parlemen.
Pada 15 Nopember 1951 Direktur De Javasche Bank menyatakan sampai tanggal 15 Oktober 1951 telah dibeli saham-saham seharga bulat Rp 8,8 juta nominal yang berarti kurang lebih 97% dari jumlah harga nominal saham-saham De Javasche Bank yang besarnya Rp 9 Juta.
Menjelang Nasionalisasi
Mr Sjafruddin mengatakan meskipun De Javasche Bank pada saat ini secara de jure belum dinasionalisir, tapi secara de facto sudah demikian. Tapi dalam suatu ceramahnya ia mengatakan bahwa kalangan umum agar tidak salah paham bahwa setelah dinasionalisir nanti dan menjadi milik pemerintah kewajiban dan lapangan kerjanya tidak berubah. Selanjutnya ia menekankan pada harapan supaya De Javasche Bank tidak dianggap dapat berbuat seperti Sinterklas. Hal ini diungkapkan berhubung dengan adanya kenyataan bahwa ada sebagian orang yang beranggapan demikian dengan mengungkapkan permintaan kepada bank tersebut yang tidak mungkin dicukupi.
Pada 13 Desember 1951 rancangan Undang-undang Nasionalisasi De Javasche Bank telah disahkan oleh pemerintah. Maka kini sifat partikelir dari bank tersebut sudah tidak ada lagi, dan seluruhnya dikuasai oleh pemerintah apabila rancangan undang-undang yang diterima itu sudah dijadikan Undang-Undang, demikian keterangan Menteri Keuangan Mr. Jusuf Wibisono.
Menjadi Bank Indonesia
Berhubung dengan pemidahan hak dan kewajiban De Javasche Bank kepada Bank Indonesia maka kemudian untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 40 Anggaran Dasar De Javasche Bank, pada tanggal 30 Juni 1953 diadakan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham di Kantor Besar Bank pada pukul 12.00. (siang). Dalam rapat tersebut dinyatakan bahwa berdasarkan pasal 36 ayat 1 bagian A dari Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953 “De Javasche Bank NV harus dilikuidasi. Putusan mana diambil dengan suara bulat, dan selanjutnya bahwa penyelesaian likuidasi perseroan De Javasche Bank akan dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953 yang berlaku untuk ini”.
Maka mulai tanggal 1 Juli 1953 De Javasche Bank mengakhiri pekerjaannya. Bank Indonesia akan mengganti kedudukan De Javasche Bank sebagai bank peredaran uang dan sebagai bank pusat (bankers bank).
Pada hari berdirinya Bank Indonesia kemarin, Direktur BI Mr. Lukman Hakim atas pertanyaan mengenai pengaruh penggantian kabinet nanti atas hubungan pemerintah dengan Bank Indonesia, menerangkan bahwa tidak akan terjadi perubahan apa-apa, baik dalam soal organisatoris maupun dalam pekerjaan rutin sehari-hari kecuali yang bersifat kecil misalnya nama Dewan pro Moneter yang telah bertugas semenjak Januari yang lalu kemarin jadi Dewan Moneter (terdiri dari Menteri-menteri keuangan dan Perekonomian dan Direktur BI) dan kegiatan tukang batu yang kemarin pagi sudah kelihatan mengganti ikatan huruf “ De Javasche Bank” jadi “Bank Indonesia” di atas papan nama di muka gedung bank.
Dalam kesempatan itu Mr. Lukman Hakim juga menyatakan penyesalannya, karena Gubernur Bank Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara tidak dapat hadir dalam peristiwa perobahan Javasche Bank jadi Bank Indonesia yang bersejarah itu, karena sakit. Mr. Lukman Hakim menggantinya sebagai pengganti pertama Gubernur.
Pada 13 Juli 1953 Bank Indonesia mengumumkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953, presiden dan direktur-direktur De Javasche Bank yang sebelum berlakunya undang-undang ini pada tanggal 1 Juli 1953 telah memangku jabatan-jabatan tadi, sekedar karena mereka berkewarga-negaraan Indonesia mulai tanggal tersebut bertindak sebagai Gubernur dan Direktur-Direktur Bank Indonesia, sehingga Direksi Bank Indonesia sekarang tersusun sbb : Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Gubernur; Mr. Lukman Hakim, Direktur merangkap Gubernur Pengganti; dan Mr. Indra Kasoema, Direktur.
Demikianlah, berdirinya Bank Indonesia sebagai bank sentral, tentunya disambut rakyat Indonesia dengan penuh kelegaan. Ada hal yang menarik dalam hal ini, yaitu pendapat Sjafruddin Prawiranegara, Presiden DJB terakhir dan Gubernur BI yang pertama, ia menekankan pesan yang arif untuk tidak melupakan jasa-jasa DJB yang telah digantikan oleh BI. Demikian ujarnya :
“Apa pun cacatnya atau jasanya De Javasche Bank, ia termasuk masa yang sudah tidak akan hidup kembali. Ia sebenarnya sekarang juga sudah mati. Tetapi baik buruknya Bank Indonesia baru itu, buat bagian besar akan tergantung dari pengertian kdan penilaian kita terhadap bank yang lama. Jika kita dapat menilai dan menghargai bank yang lama itu sebagaimana mestinya, bukan dengan perasaan benci atau sangsi, melainkan dengan pikiran dan perasaan tenang dan bersih, sebagaimana kita menghadapi orang yang meninggalkan dunia yang fana ini dan dengan demikian bersedia menerima segala apa yang baik yang ada pada bank yang lama itu, maka mungkin Bank Indonesia akan menempuh sejarah yang lebih lamadan lebih jaya lagi daripada De Javasche Bank.” (dalam Oey Beng To Menjambut lahirnja Bank Indonesia, Pedoman, 2 Juli 1953 atau Sikap No. 25, 7 Juli 1953)
Sumber :
Laporan Tahunan De Javasche Bank 1951-1952
Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia. Jakarta : LPPI, 1991.
Sikap 1953
Pedoman 1951-1953
Berita Indonesia 1951 - 1953
Pikiran Rakjat 1953
Harian Rakyat 1953
( Sjafruddin Prawiranegara, risalah Indonesia di Persimpangan Jalan, Mei 1951
sebagaimana dikutip dalam Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah Swt sebuah biografi. Jakarta : Inti Idayu Press, 1986)
Itulah kira-kira pendapat Sjafruddin Prawiranegara tentang nasionalisasi De Javasche Bank (DJB). Rupanya Presiden DJB yang terakhir ini -- yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan RI -- bersikap sangat hati-hati dalam menyikapi kebijakan nasionalisasi yang akan dilakukan terhadap perusahaan asing yang mempunyai peranan penting bagi perekonomian negara, termasuk DJB sebagai bank sirkulasi.
Pada saat itu, di awal tahun 1950-an Sjafruddin lebih cenderung ingin melakukan Indonesianisasi pegawai-pegawai DJB terlebih dahulu, daripada nasionalisasi. Menurutnya, menyiapkan tenaga perbankan yang terampil lebih penting daripada mengambil alih aset-asetnya. Intinya Sjafruddin ingin mengatakan bahwa nasionalisasi harus dipikirkan baik-baik, karena jika dilakukan secara gegabah malahan akan menyebabkan hilangnya manfaat (bantuan) yang selama ini diperoleh dari DJB.
Proses nasionalisasi De Javasche Bank pada tahun 1951 itu adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah perekonomian Indonesia. Apa sebab? karena melalui nasionalisasi bank sirkulasi -- yang telah berusia lebih dari seabad -- inilah, nantinya Indonesia dapat melengkapi kedaulatannya dalam bidang moneter, yaitu dengan memiliki bank sentral (bank peredaraan dan banker’s bank) yang bernama Bank Indonesia menggantikan De Javasche Bank pada 1 Juli 1953.
Sepanjang tahun 1951 berbagai surat kabar dalam negeri merekam dengan baik perkembangan proses nasionalisasi De Javasche Bank tersebut. Dari mulai gagasan nasionalisasi De Javasche Bank yang diwacanakan pertama kali oleh Mr. Jusuf Wibisono --Menteri Keuangan Kabinet Sukiman--; tanggapan berbagai tokoh atas wacana nasionalisasi terutama kaitannya dengan Nota Persetujuan KMB; tanggapan Houwink -- Presiden De Javasche Bank -- yang merasa dilangkahi dan kemudian mengajukan pengunduran diri; polemik tentang siapa yang akan menjadi pimpinan De Javasche Bank pada masa transisi itu -- agaknya pemerintah enggan untuk memilih Mr. Sjafruddin Prawiranegara, dan lebih cenderung kepada Dr. Sumitro Djojohadiksumo yang saat itu adalah Komisaris Pemerintah untuk De Javasche Bank--; kemudian pembentukan Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank; pengumuman tawaran pemerintah kepada para pemegang saham De Javasche Bank; proses pembelian saham-saham De Javasche Bank hingga selesai; dan kemudian penetapan nasionalisasi De Javasche Bank melalui suatu undang-undang.
Akhirnya puncak dari tindakan nasionalisasi atas De Javasche Bank adalah perubahan statusnya menjadi Bank Indonesia melalui Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953. Peristiwa inipun tak luput dari pemberitaan surat kabar pada saat itu. Meskipun tidak seramai pada tahun 1951, beberapa surat kabar dalam negeri merekamnya dengan baik. Bahkan, Harian Rakjat, salah satu surat kabar terkenal pada saat itu mengabadikannya dalam kartun mingguan-nya. “De Javasche Bank tamat riwajatnja”, demikian yang dituliskan oleh sang kartunis pada saat itu.
Beberapa ulasan berikut ini akan mengungkapkan secara ringkas bagaimana proses nasionalisasi De Javasche Bank itu berlangsung. Tentunya karena bersumber pada beberapa surat kabar yang beredar di Indonesia pada saat itu, beberapa informasi akan sedikit berbeda dengan apa yang telah diungkapkan oleh literatur resmi yang menuliskan sejarah De Javasche Bank.
Wacana Nasionalisasi
Gagasan nasionalisasi De Javasche Bank dapat dikatakan muncul pertama kali dalam kongres Masjumi Desember 1949. Menteri Keuangan Kabinet Sukiman, Mr. Jusuf Wibisono --sebagai anggota partai Masyumi-- merasa wajib melaksanakan keputusan kongres tersebut, sehingga dalam masa jabatannya sebagai menteri keuangan ia segera mengumumkan rencana nasionalisasi De Javasche Bank. Jusuf Wibisono menyatakan bahwa pimpinan De Javasche Bank akan pindah ke tangan Kementerian Keuangan, meskipun pegawai bank yang berkewarga-negaraan Belanda tetap dipertahankan.
Secara umum, berbagai kalangan berpendapat bahwa nasionalisasi harus dilakukan melalui perencanaan yang matang dan sesuai dengan kesanggupan (usaha, keuangan) pemerintah. Sehingga pada saat itu muncul dua wacana, apakah nasionalisasi dilakukan melalui pengambil alihan seluruh aset bank, atau cukup dengan “hanya” mencabut fungsi bank sirkulasi yang selama ini dijalankan oleh De Javasche Bank. Wacana yang terakhir ini kemudian berujung kepada “kemungkinan apakah hak bank sirkulasi tersebut diberikan kembali kepada Bank Negara Indonesia?
Menanggapi rencana nasionalisasi De Javasche Bank yang akan segera dilakukan oleh pemerintah, Mr. Sjafruddin menyatakan bahwa pada saat itu persoalannya tidak terletak pada nasionalisasi atau tidak? yang terpenting adalah bagaimana usaha kita untuk mempertahankan stabiliteit keuangan. Tapi karena pemerintah telah mengajukan rencana (keharusan) nasionalisasi kepada parlemen, maka kita tidak bisa mundur lagi. Sekarang kita harus bekerja dengan apa yang bisa kita jalankan dengan kemampuan (keuangan?) yang ada pada kita.
Soal Pimpinan dan Kedudukan (De Javasche Bank) Bank Peredaran
Pada 21 Mei 1951 Presiden Direktur Javasche Bank Dr. Houwink dikabarkan telah memajukan permintaan berhenti dari jabatannya kepada Menteri Keuangan dengan catatan bahwa jikalau dipandang perlu oleh Pemerintah, maka Dr. Houwink akan bersedia menjalankan pekerjaannya sampai bulan Juli.
Ketika diwacanakan akan menggantikan posisi Houwink sebagai pimpinan De Javasche Bank, Mr. Sjafruddin Prawiranegara menyatakan bahwa ia lebih suka bekerja dalam partai karena dengan demikian ia merasa tenaganya lebih berguna bagi negara. Tetapi apabila ia benar-benar dibutuhkan, maka ia bersedia mengorbankan diri mengganti Dr. Houwink. Kesediaan Mr. Sjafruddin untuk menjadi pimpinan De Javasche Bank itu digaris bawahi dengan pernyataan “asal saja status bank sirkulasi kelak setelah dinasionalisasi bukan seolah-olah bagian dari jawatan kementerian keuangan”. Mengenai hal ini, sejak awal Mr. Sjafruddin Prawiranegara menegaskan bahwa tugas bank sirkulasi adalah memelihara keseimbangan moneter dan harus berdiri sendiri. Meskipun pemerintahlah, yaitu Menteri Keuangan yang bertanggung jawab kepada parlemen atas kebijakan moneter, tetapi harus ada jaminan yang cukup kuat bahwa Direksi bank sirkulasi selalu didengar apabila pemerintah mengambil tindakan yang penting di lapangan keuangan atau yang mengakibatkan pengeluaran-pengeluaran negara yang mungkin dapat mengganggu keseimbangan moneter.
Sementara itu, tentang pengganti Houwink pemerintah berpendapat “Sampai saat ini pemerintah belum mempertimbangkan tentang siapa yang akan diangkat menjadi presiden direktur bank peredaran, sungguhpun untuk jabatan ini banyak calon-calon seperti : Dr. Khouw Bian Tie, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Lukman Hakim, Mr. Sujono Hadinoto, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, dll. Bagi pemerintah tidak penting siapa yang akan memimpin bank peredaran, melainkan bagaimana bentuk bank peredaran itu nantinya yang akan diserahi mengurus kekayaan nasional Indonesia. Dalam pada itu perlu diperhatikan bahwa jabatan presiden direktur bank peredaran itu harus dilepaskan dari kepentingan-kepentingan golongan atau partai dan memang bukan suatu jabatan politik”.
Akhirnya Direksi dan Komisaris De Javasche Bank menyarankan kepada pemerintah, supaya bekas Menteri Keuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara diangkat menjadi pengganti Dr. A. Houwink sebagai Presiden Direktur De Javasche Bank. Direksi dan Komisaris De Javasche Bank menegaskan pula bahwa menuruti cara-cara yang dianut oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu, biasanya pemerintah tidak akan menyimpang dari usul-usul yang mereka ajukan mengenai pengangkatan presiden direktur tersebut. Menanggapi hal ini Mr. Jusuf Wibisono menyatakan bahwa pengangkatan presiden direktur De Javasche Bank adalah semata-mata soal keputusan pemerintah dan tidak ada sangkut-pautnya sedikitpun dengan anjuran Direksi dan Komisaris De Javasche Bank dalam bentuknya yang sekarang.
Menanggapi pengajuan nama Mr. Sjafruddin sebagai pemimpin De Javasche Bank, beberapa kalangan berpendapat sebagai berikut : “tak mungkin Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai seorang pemuka partai mau menerima jabatan presiden direktur Javase Bank dalam bentuknya yang sekarang ini, yaitu ketika bank dalam proses likuidasi. Karena jika Mr. Sjafruddin menerimanya maka seolah-olah ia akan berhadapan dengan pemerintah yang akan melikuidasi bank peredaran, lalu sebagai perunding bagi kepentingan Belanda, atau lebih tegas lagi kepentingan Direksi, Komisaris dan para pemegang andil Javase Bank. Berdasarkan hal itu mereka bertanya apakah mungkin ada suatu siasat untuk mempergunakan seorang pemuka partai politik yang besar seperti Mr. Sjafruddin?”.
Selanjutnya kalangan yang sangsi tersebut berpendapat “sebagai jalan bijakasana yang bisa ditempuh oleh pemerintah adalah jangan mengangkat dulu seorang presiden direktur baru, melainkan cukup mengangkat seorang Komisaris Pemerintah yang akan bertindak sebagai acting Presiden Direktur Javase Bank. Kemudian nanti jika Javase Bank telah dinasionalisasi barulah pemerintah mengangkat seorang Presiden Direktur bangsa Indonesia yang pertama dari bank peredaran RI”.
Adapaun pendapat Menteri Keuangan, Mr. Jusuf Wibisono tentang kedudukan De Javasche Bank, ia mengambil contoh yang terjadi di Belanda, “kedudukan bank sirkulasi di negeri Belanda, yaitu bahwa disamping Kementerian Keuangan dan bank sirkulasi itu ada suatu Bank Raad (Dewan Bank), Menteri Keuangan berhak untuk memberi petunjuk-petunjuk Direktur bank sirkulasi setelah mendengar pendapat Bank Raad. Apabila terjadi perselisihan antara Menteri Keuangan dan Direktur bank sirkulasi, maka Direksi bank sirkulasi dapat memajukan soalnya kepada tingkatan atas yaitu kepada Kroon Mahkota. Jika Menteri Keuangan dibenarkan maka pendapatnya itu akan diumumkan dalam berita resmi, tetapi jika pendapat bank sirkulasi yang benar maka hal itu dirahasiakan, apabila Direksi bank tidak dapat menerima putusan Kroon, maka biasanya Presiden direktur minta berhenti.”
Persiapan Nasionalisasi (Panitia, dan pembelian saham-saham)
Pada 26 Juni 1951 Dewan Menteri telah membicarakan dan menyetujui beberapa Undang-undang dan Peraturan pemerintah antara lain mengenai Pembentukan Panitia Nasionalisasi De Javase Bank. Kemudian diberitakan pada 28 Juni 1951, bahwa Menteri Keuangan Mr. Jusuf Wibisono telah melantik Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank yang berkewajiban memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang masalah nasionalisasi Javasche Bank terutama membuat rencana undang-undang tentang nasionalisasi ini.
Pada 13 Juli 1951 Mr. Sjafruddin Prawiranegara melontarkan pendapat “De Javasceh Bank akan dapat dinasionalisir dengan tidak usah menunggu dulu sampai ada undang-undang tentang nasionalisasi De Javasche Bank. Hal ini akan terjadi apabila pemegang-pemegang sero De Javasche Bank akan bersedia menjual sero-sero kepada pemerintah Indonesia. Undang-undang nasionalisasi baru perlu diadakan apabila para pemegang sero De Javasche Bank tidak mau menjual sero2 itu kepada pemerintah. Dalam keadaan demikian maka dengan undang-undang nasionalisasi itu hak milik atas bank dan penyelenggaraannya untuk kepentingan umum dioper oleh pemerintah naasting, yaitu suatu tindakan yang menagndung paksaan di dalamnya”. Mr. Sjafruddin menyatakan bahwa ia menduga para pemegang sero yang kini mempunyai keers 84%, maka untuk mengambil alih kepemilikan sero-sero itu pemerintah harus menganggarkan di dalam anggaran belanja umum negara pengeluaran guna membeli semua sero DJB yang berjumlah 9 juta rupiah.
Pada 3 Agustus 1951 pemerintah akhirnya mengumumkan niatnya untuk membeli saham-saham De Javasche Bank, sbb : “Dengan mendahului Undang-Undang Nasionalisaski De Javasche Bank, jang beberapa hari ini akan disampaikan kepada parlemen Indonesia, kepada pemegang-pemegang saham, dan/atau pemegang sertifikat-sertifikat dari saham-saham pada De Javasche Bank N.V. terhitung mulai dari tanggal pengumuman ini sampai tanggal 1 Oktober 1951 diberi kesempatan untuk menjual saham-saham dan/atau sertifikat-sertifikat dari saham-saham mereka kepada Republik Indonesia dengan koers sebanjak 120% dalam mata uang Belanda atau dalam beberapa hal yang tertentu dengan koers sebanyak 360% dalam uang Rupiah.”
Pada 4 September 1951 didapat kabar dari Kementerian Keuangan bahwa sampai sekarang ini pembelian kembali saham-saham dari De Javasche Bank baru mentjapai jumlah seharga satu juta Rupiah, sedang jumlah saham-saham itu semuanya seharga nominal 10 juta rupiah. Himbauan untuk menjual saham De Javasche Bank. Firma van der Werff & Hubrecht, satu perusahaan bank dan dan Komisioner dalam efek-efek dan asuransi yang berkedudukan di Amsterdam, dalam tinjauan bursanya No. 84 berpendapat bahwa orang-orang yang tidak menerima tawaran 120% cash (uang Belanda) bagi saham-saham De Javasche Bank sebelum 1 Oktober 1951, tidak akan dapat mengaharapkan bayaran harga lebih tinggi. Malahan mungkin mereka akan menerima harga di bawah itu. Sekarang di bursa saham-saham De Javasche Bank itu dapat dijual dengan 120 5/8%. Firma ini mengemukakannya sebagai peringatan.
Pada 31 Oktober 1951 Menteri Keuangan Jusuf Wibisono menyatakan bahwa saham De Javasche Bank yang sudah dibeli oleh pemerintah berjumlah 8,8 juta rupiah. Dan sisanya tinggal 200.000 rupiah lagi. Diterangkannya bahwa dalam prakteknya sesudah tanggal 15 Nopember 1951 masih dilakukan pembelian saham-saham. Djumlah yang belum terbeli ini akan dicabut haknya oleh pemerintah. Oleh karena selesainya pembelian saham-saham itu, maka pemerintah mengharapkan akhir bulan ini undang-undang nasionalisasi itu sudah akan diterima oleh Parlemen.
Pada 15 Nopember 1951 Direktur De Javasche Bank menyatakan sampai tanggal 15 Oktober 1951 telah dibeli saham-saham seharga bulat Rp 8,8 juta nominal yang berarti kurang lebih 97% dari jumlah harga nominal saham-saham De Javasche Bank yang besarnya Rp 9 Juta.
Menjelang Nasionalisasi
Mr Sjafruddin mengatakan meskipun De Javasche Bank pada saat ini secara de jure belum dinasionalisir, tapi secara de facto sudah demikian. Tapi dalam suatu ceramahnya ia mengatakan bahwa kalangan umum agar tidak salah paham bahwa setelah dinasionalisir nanti dan menjadi milik pemerintah kewajiban dan lapangan kerjanya tidak berubah. Selanjutnya ia menekankan pada harapan supaya De Javasche Bank tidak dianggap dapat berbuat seperti Sinterklas. Hal ini diungkapkan berhubung dengan adanya kenyataan bahwa ada sebagian orang yang beranggapan demikian dengan mengungkapkan permintaan kepada bank tersebut yang tidak mungkin dicukupi.
Pada 13 Desember 1951 rancangan Undang-undang Nasionalisasi De Javasche Bank telah disahkan oleh pemerintah. Maka kini sifat partikelir dari bank tersebut sudah tidak ada lagi, dan seluruhnya dikuasai oleh pemerintah apabila rancangan undang-undang yang diterima itu sudah dijadikan Undang-Undang, demikian keterangan Menteri Keuangan Mr. Jusuf Wibisono.
Menjadi Bank Indonesia
Berhubung dengan pemidahan hak dan kewajiban De Javasche Bank kepada Bank Indonesia maka kemudian untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 40 Anggaran Dasar De Javasche Bank, pada tanggal 30 Juni 1953 diadakan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham di Kantor Besar Bank pada pukul 12.00. (siang). Dalam rapat tersebut dinyatakan bahwa berdasarkan pasal 36 ayat 1 bagian A dari Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953 “De Javasche Bank NV harus dilikuidasi. Putusan mana diambil dengan suara bulat, dan selanjutnya bahwa penyelesaian likuidasi perseroan De Javasche Bank akan dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953 yang berlaku untuk ini”.
Maka mulai tanggal 1 Juli 1953 De Javasche Bank mengakhiri pekerjaannya. Bank Indonesia akan mengganti kedudukan De Javasche Bank sebagai bank peredaran uang dan sebagai bank pusat (bankers bank).
Pada hari berdirinya Bank Indonesia kemarin, Direktur BI Mr. Lukman Hakim atas pertanyaan mengenai pengaruh penggantian kabinet nanti atas hubungan pemerintah dengan Bank Indonesia, menerangkan bahwa tidak akan terjadi perubahan apa-apa, baik dalam soal organisatoris maupun dalam pekerjaan rutin sehari-hari kecuali yang bersifat kecil misalnya nama Dewan pro Moneter yang telah bertugas semenjak Januari yang lalu kemarin jadi Dewan Moneter (terdiri dari Menteri-menteri keuangan dan Perekonomian dan Direktur BI) dan kegiatan tukang batu yang kemarin pagi sudah kelihatan mengganti ikatan huruf “ De Javasche Bank” jadi “Bank Indonesia” di atas papan nama di muka gedung bank.
Dalam kesempatan itu Mr. Lukman Hakim juga menyatakan penyesalannya, karena Gubernur Bank Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara tidak dapat hadir dalam peristiwa perobahan Javasche Bank jadi Bank Indonesia yang bersejarah itu, karena sakit. Mr. Lukman Hakim menggantinya sebagai pengganti pertama Gubernur.
Pada 13 Juli 1953 Bank Indonesia mengumumkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953, presiden dan direktur-direktur De Javasche Bank yang sebelum berlakunya undang-undang ini pada tanggal 1 Juli 1953 telah memangku jabatan-jabatan tadi, sekedar karena mereka berkewarga-negaraan Indonesia mulai tanggal tersebut bertindak sebagai Gubernur dan Direktur-Direktur Bank Indonesia, sehingga Direksi Bank Indonesia sekarang tersusun sbb : Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Gubernur; Mr. Lukman Hakim, Direktur merangkap Gubernur Pengganti; dan Mr. Indra Kasoema, Direktur.
Demikianlah, berdirinya Bank Indonesia sebagai bank sentral, tentunya disambut rakyat Indonesia dengan penuh kelegaan. Ada hal yang menarik dalam hal ini, yaitu pendapat Sjafruddin Prawiranegara, Presiden DJB terakhir dan Gubernur BI yang pertama, ia menekankan pesan yang arif untuk tidak melupakan jasa-jasa DJB yang telah digantikan oleh BI. Demikian ujarnya :
“Apa pun cacatnya atau jasanya De Javasche Bank, ia termasuk masa yang sudah tidak akan hidup kembali. Ia sebenarnya sekarang juga sudah mati. Tetapi baik buruknya Bank Indonesia baru itu, buat bagian besar akan tergantung dari pengertian kdan penilaian kita terhadap bank yang lama. Jika kita dapat menilai dan menghargai bank yang lama itu sebagaimana mestinya, bukan dengan perasaan benci atau sangsi, melainkan dengan pikiran dan perasaan tenang dan bersih, sebagaimana kita menghadapi orang yang meninggalkan dunia yang fana ini dan dengan demikian bersedia menerima segala apa yang baik yang ada pada bank yang lama itu, maka mungkin Bank Indonesia akan menempuh sejarah yang lebih lamadan lebih jaya lagi daripada De Javasche Bank.” (dalam Oey Beng To Menjambut lahirnja Bank Indonesia, Pedoman, 2 Juli 1953 atau Sikap No. 25, 7 Juli 1953)
Sumber :
Laporan Tahunan De Javasche Bank 1951-1952
Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia. Jakarta : LPPI, 1991.
Sikap 1953
Pedoman 1951-1953
Berita Indonesia 1951 - 1953
Pikiran Rakjat 1953
Harian Rakyat 1953
Comments
padahal lagi butuh banget buat tugas !
tar juga dicantumin sumbernya