1 Juli
Apa sesungguhnya arti 1 Juli bagi bangsa Indonesia? Meski tidak melampaui sakralnya 17 Agustus 1945 atau heroiknya 1 Nopember dan tanggal-tanggal bersejarah lainnya bagi bangsa Indonesia. Sejarah telah mencatat bahwa pada 1 Juli telah lahir dua lembaga negara yang mempunyai peranan penting bagi Republik ini, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pada 1946 dan Bank Indonesia (BI) pada 1953. Dua lembaga tinggi negara ini tentunya mempunyai perbedaan sejarah dan juga perbedaan peran dalam penyelengaraan pemerintahan di Indonesia. Polri bertugas dalam penegakan hukum dan keamanan, sedang BI bertugas mengawal stabilitas makro moneter atau stabilitas harga-harga, stabilitas sistem keuangan dan sistem pembayaran yang lancar, aman, cepat dan murah.
Persamaan kedua lembaga ini dimulai sejak periode reformasi 1998 hingga periode sesudahnya. Polri dan BI mempunyai nasib yang sama. Keduanya terjerat dalam berbagai permasalahan serius, dari mulai kasus korupsi para pejabatnya hingga kecaman atas kebijakan yang mereka tempuh atau kinerja lembaga yang kurang memuaskan publik. BI pernah dituduh sebagai “sarang penyamun”, sementara Polri pernah disorot tajam karena dugaan “rekening gendut” sejumlah petingginya. Kedua lembaga negara ini kerap menyita perhatian masyarakat, khususnya untuk prestasi buruk yang mereka hasilkan, hingga berbagai prestasi baik Polri dan BI terkubur begitu saja. Nasib yang dialami keduanya mungkin pas dengan kata pepatah “panas semusim terhapus hujan sehari!” Citra kedua lembaga tersebut terus memburuk di mata masyarakat, terutama Polri. Berbagai upaya yang mereka tempuh untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri terus mendapatkan tantangan yang datang silih berganti.
Mandiri dan Independen
Dan uniknya, citra buruk yang disandang oleh Polri dan BI tersebut justru terjadi pada saat kedua lembaga negara itu telah mendapatkan hak independensinya masing-masing. Sejak tahun 1999 Polri dinyatakan independen dari organisasi TNI yang menaunginya sejak era 1960an. Demikian pula BI, pada tahun yang sama Undang-Undang Bank Sentral tahun 1999 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya BI independen dan bebas dari intervensi pihak luar BI, termasuk pemerintah.
Kedudukan yang independen itu adalah harapan yang selalu dinantikan oleh Polri dan BI. Keduanya sama-sama meyakini bahwa kemandirian dan independensi institusi adalah sarat ideal bagi suksesnya pelaksanaan tugas dan wewenang mereka masing-masing. Berkaca kepada sejarah masa lalu, Polri menganggap bahwa peristiwa 1 Juli 1946 adalah tonggak kemandirian Polri sebagai lembaga Kepolisian Nasional. Pada saat itu pemerintah menetapkan Polri sebagai jawatan tersendiri langsung di bawah Perdana Menteri. Dengan kemandirian itulah Polri mulai dapat membenahi organisasinya sebagai lembaga Kepolisian Nasional yang terorganisir dengan baik, terhubung dari Pusat sampai ke daerah untuk pertama kalinya.
Demikian halnya dengan Bank Indonesia, pengalaman sejarah pada 1 Juli 1953 mereka anggap sebagai tonggak sejarah lahirnya bank sentral Indonesia yang baru dan independen. Dengan independensi yang diterapkan oleh para pemimpin Bank Indonesia saat itu, BI sebagai bank sentral dapat berfungsi dengan baik di negeri ini, membantu pemerintah dalam menyelenggarakan politik moneter, melaksanakan sistem pembayaran yang aman dan lancar, serta menyiapkan tata perbankan Indonesia yang modern.
Namun demikian kenapa justru pada saat ini, justru di tengah kemandirian dan independensi itu, Polri dan BI seolah-olah mengalami kemunduran. Sistemkah yang keliru? karena mungkin justru kemandirian dan independensi itu dalam kondisi sosial politik saat ini, sudah tidak diperlukan lagi? Atau karena para pemimpin kedua lembaga itu telah tergoda untuk menceburkan diri dalam pusaran arus politik kekuasaan di negeri ini? Atau mungkin sebaliknya, arus politik kekuasaan yang semakin liar itu justru mulai menelan institusi Polri dan BI dalam pusaran permainan mereka demi kepentingan kekuasaan?
Struktur Atas-Bawah
Sebagaimana kita ketahui, kepemimpinan dalam tubuh Polri ataupun BI adalah hasil dari keputusan politik. Undang-undang kedua institusi itu telah menetapkan hal tersebut. Meskipun Presiden berhak untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin Polri dan BI, tapi para politisi partai di parlemen lah yang juga ikut menyetujui keputusan Presiden itu. Jadi terkadang, bukan tidak mungkin, untuk menetapkan siapa pemimpin Polri atau BI itu, bukan faktor profesionalisme atau kredibilitas kepemimpinan yang dikedepankan, tapi lebih pada ego kepentingan masing-masing. Kalau sudah begitu, penetapan para pemimpin itu biasanya menjadi berlarut, tertunda-tunda menunggu kompromi politik antara pemerintah dan politisi partai terjadi!
Begitulah, kenyataan yang terjadi di republik ini. Lembaga negara yang seharusnya menjadi institusi yang melayani masyarakat, meweujudkan kesejahteraan dan kedamaian bagi rakyat, malah diusik dengan berbagai kepentingan yang tak perlu. Maka, tidak mengherankan bagi kita semua, jika saat ini beberapa mantan anggota parlemen (politisi partai) telah divonis bersalah menerima suap dalam suatu pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Untungnya ditengah kepungan kepentingan politik itu, dua lembaga negara ini masih dapat berjalan dengan cukup baik. Meskipun para pemimpin mereka kerap diombang-ambing oleh kepentingan politik, tapi jajaran aparatur Polri dan BI masih terus menjalankan tugas dan wewenangnya seperti biasa. Tidak ada yang macet atau tidak ada rutinitas yang terhenti, meskipun secara psikis kita meyakini bahwa para aparatur ini merasa terganggu dengan situasi yang dialami oleh para pemimpin mereka.Bagaimanapun untuk tujuan jangka panjang, kepemimpinan para pemimpin ini cukup diperlukan oleh institusi beserta jajaran aparatnya.
Dengan melihat fakta ini, kita dapat meyakini bahwa dalam struktur birokrasi lembaga-lembaga itu terdapat dua struktur kepemimpinan, atas dan bawah. Struktur kepemimpinan atas adalah bagian yang bersentuhan secara langsung dengan kepentingan politik yang terus menghampiri. Bahkan mereka adalah produk kompromi berbagai kepentingan-kepentingan poltik itu sendiri. Sementara struktur bawah adalah struktur kepemimpinan profesional yang hirau akan berbagai kepentingan politik, karena orientasi mereka adalah tercapainya pelaksanaan tugas yang diemban oleh institusi. Meski struktur bawah ini tidak mempunyai andil dalam menentukan kebijakan lembaga secara strategis, tapi eksistensi merekalah yang justru menjadikan suatu institusi tetap bertahan dan menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.
Lihatlah Bank Indonesia, dalam periode pasca reformasi ini kerap kali para pemimpinnya terjerat berbagai kasus hukum yang beraroma politis. Dua pemimpin BI, yaitu Syahril Sabirin dan Burhanudin Abdullah, harus mendekam dalam bui pada saat masih berstatus sebagai Gubernur Bank Indonesia. Tapi toh, Bank Indonesia terus berjalan. Bahkan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid 1999 – 2001,hampir seluruh anggota Dewan Gubernur BI dituntut mengundurkan diri oleh pemerintah, tapi untungnya BI masih terus berjalan dengan baik. Demikian halnya dengan Polri, insiden dualisme kepemimpinan Polri yang terjadi dalam periode terakhir pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, juga tak menghalangi aktivitas Polri terhenti. Insiden “Cicak dan Buaya”, tuduhan “rekening gendut” sejumlah petinggi Polri, dan rumor makelar kasus (markus) di lingkungan Polri, juga tak menyurutkan langkah beribu-ribu polisi di seantero negeri ini untuk terus menjalankan tugas dan kewajibannya dalam melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat.
Dukungan Masyarakat
Melihat realita itu semua, pada 1 Juli ini, dimana Polri dan BI tengah merayakan hari jadi institusi mereka masing-masing, seyogyanya kita memberikan dukungan kepada kedua institusi tersebut. Berbagai peristiwa buruk yang menimpa kedua lembaga ini, khususnya beberapa oknum aparat dan petinggi mereka, tentunya jangan sampai menyurutkan langkah kita untuk terus mengapresiasi peran dan andil kedua lembaga itu bagi kepentingan publik kita. Apresiasi yang sangat besar tentunya harus kita sematkan kepada aparatur institusi Polri dan BI pada level struktur bawah, yang terus bekerja secara professional demi tercapainya pelaksanaan tugas dan kewajiban lembaga mereka masing-masing.
Mereka semua tentunya bekerja tak kenal lelah, tanpa pamrih, tanpa publikasi yang meriah, hanya segelintir saja yang mujur dan menjadi terkenal seperti Briptu Norman. Dan sialnya, tak jarang juga mereka dikorbankan sebagai kambing hitam atas kesalahan yang dilakukan oleh para pemimpin mereka atau mati menjadi martir karena amarah sekelompok orang yang benci terhadap institusi. Para aparat Polri dan BI itu, terutama yang ada di pelosok negeri ini tak pernah hirau akan berbagai kepentingan politik yang memangsa institusi mereka, atau memang sengaja dimainkan oleh para pemimpin mereka. Tapi biasanya akibat buruk dari ulah para politisi itu juga turut mereka rasakan. Maka dukungan moral, kritik dan saran harus terus kita berikan kepada para aparatur itu. Dengan harapan akan tumbuh kesadaran dalam diri mereka akan pentingnya perubahan positif institusi yang harus dilakukan dari diri mereka. Ketika para pemimpin tak lagi dapat diharapkan, dan perubahan dari luar institusi sudah terkontaminasi dengan kepentingan, maka perubahan dari bawah yang harus ditumbuhkan. Dirgahayu Polri dan BI, salam perubahan!
Comments