MUSEUM, DOKTRIN, DAN HEGEMONI TENTARA
Museum dan Tentara
Dalam konteks zaman Orde Baru atau Orde Soeharto, siapakah yang paling
maksimal menggunakan museum sebagai perangkat internalisasi nilai-nilai dan
ideologi kekuasaan yang sedang mereka pertahankan? Jawabannya, tak lain dan tak
bukan, adalah institusi militer negara yaitu Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) atau Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Setelah periode Orde Lama Soekarno berakhir, institusi militer
inilah yang rajin mengurus perangkat sejarahnya, entah dalam bentuk kurikulum
pelajaran sekolah, museum, dan juga monumen-monumen perjuangan yang tersebar di
seantero Indonesia.
Seolah militer Indonesia --yang pada
saat itu masih mempunyai senjata ampuh bernama dwi fungsi ABRI-- ingin
menegaskan keluhuran cita-citanya, jasa besar, dan andil utamanya dalam membangun
negeri ini. Dengan penegasan itu, seolah-olah militer Indonesia ingin
menancapkan pengetahuan dalam benak rakyat Indonesia, bahwa dominasi militer
dalam kehidupan negara dan peran militer sebagai alat kekuasaan negara
mempunyai legitimasi historis dari rekaan perjuangan-perjuangan pada masa
lampau. Apa yang sebenarnya terjadi atau apa yang dikatakan terjadi tentu
menjadi perhatian utama mereka. Untuk itu, selama beberapa dekade para
sejarawan Indonesia telah digerakkan untuk menyusun suatu kerangka sistematis
tentang peran sejarah militer di Indonesia. Maka, tak heran jika Pusat Sejarah
(Pusjarah) ABRI adalah laboratorium penting yang menghasilkan berbagai bahan
baku utama untuk merekonstruksi sejarah Indonesia.
Museum militer yang pendiriannya
menjadi tanggung jawab langsung Pusjarah ABRI adalah Museum ABRI Satria Mandala
(1972), Museum Monumen Pancasila Sakti (1982), Museum Waspada Purbawisesa (1987), Museum
Keprajuritan Nasional (1987), dan Museum Pengkhianatan PKI (1993). Sejak awal
1970 an Pusat Sejarah ABRI mulai berusaha mengkonsolidasi museum-museum yang
dibangun oleh semua jajaran tentara demi mencapai suatu citra militer Indonesia
yang bersatu. Padahal pada awal 1970 an itu angkatan-angkatan dalam tubuh
organisasi ABRI sedang terbelah satu sama lain, terutama setelah peristiwa
September 1965. Dengan usaha konsolidasi
itu, Museum Angkatan Darat Dharma Wiratama di Yogyakarta, Museum Kepolisian di
Jakarta (kemudian dipindah ke Sukabumi), Museum Pusat TNI Angkatan Udara
Dirgantara Mandala di Yogyakarta, Museum Angkatan Laut Kadet RS Hadi Winarso di
Surabaya, dan berbagai museum tentara lainnya yang berbasis divisi, teritorium
atau personalia berada di bawah arahan Pusjarah ABRI dengan pengelolaan
terdesentralisasi.
Menurut Mc Gregor (2008) monumen dan
hari peringatan serta kegiatan-kegiatan pada hari-hari peringatan adalah
cara-cara lain yang digunakan oleh tentara untuk menyampaikan sejarah masa lalu
bangsa menurut versi yang mereka susun. Salah satu tujuan pembangunan
monumen-monumen sejarah itu adalah ingin mencitrakan kepada masyarakat bahwa
tentara adalah sosok pemberani, berperan sebagai pelindung bangsa, dan pantas
untuk berkiprah dalam dunia sosial politik. Berdasarkan suatu buku petunjuk
monumen ABRI yang diterbitkan pada 1977 terdaftar lebih dari 10 monumen tentara
di Indonesia yang sebagian besar menggambarkan tema perjuangan.
Terkait dengan internalisasi keluhuran
militer Indonesia ini menarik jika kaitkan dengan apa yang dituliskan oleh Ben
Anderson dalam bukunya Imagined Communities (2002) bahwa ada tiga
lembaga kekuasaan yang diciptakan sebelum pertengahan abab ke-19 yang mengubah
bentuk dan fungsinya tatkala negara-negara jajahan memasuki zaman reproduksi
mekanistik. Ketiga hal tersebut adalah Cacah Jiwa, Peta dan Museum. Ketiganya
beriringan menjadi daya pembentuk jalur pembayangan wilayah-wilayah negara
kolonial dari mulai: hakikat manusia yang diperintah, tata letak
permukaan bumi dan legitimasi keleluhurannya.
Terkait dengan museum, Anderson
mengajak kita melihat fenomena usaha para arkeolog negara (kolonial) penjajah
yang sangat giat dalam merestorasi monumen-monumen yang ada di tanah jajahan.
Selanjutnya situs-situs monumen tersebut mulai dimaktubkan dalam peta untuk
disebarkan pada khalayak umum. Menurutnya ada tiga alasan mengapa hal itu
menggejala, yakni: Pertama, waktu pencurahan energi para arkeolog
ini bertindihan dengan pergulatan politis pertama yang terkait erat dengan
kebijakan-kebijakan pendidikan negara --antara kaum progresif dan kaum
konservatif--. Kedua, para
rekonstruktor yang nota bene dari negara-negara penjajah
selalu menempatkan para pembangun monumen dan penduduk pribumi pada hierarkis
tertentu.
Misalnya Hindia Belanda sampai
dasawarsa 1930-an menyebarkan anggapan bahwa para pembuat monumen kuno tersebut
pada kenyataannya bukanlah berasal dari ras yang sama dari orang-orang pribumi.
Dengan sendirinya politik ini mengembangkan bayangan bahwa masyarakat pribumi
itu tidak bisa apa-apa dan tidak bisa menyamai prestasi para leluhur mereka
yang nota bene bukan ras mereka, ras yang mampu membangun berbagai
situs monumen yang menakjubkan itu.
Ketiga, bagaimana
rezim-rezim kolonial mulai mengambil strategi pendudukan yang lebih halus, di
banding cara-cara yang mereka tempuh sebelumnya yang lebih Machiavellian. Kian
hari kian kencang adanya upaya untuk menciptakan pengabsahan-pengabsahan
alternatif sebagai gantinya. Semakin banyak mereka yang lahir di Asia Tenggara
dan menjadikannya tempat tinggal. Arkeologi monumental, yang kian lama kian
terkait dengan pariwisata, memungkinkan negara kolonial untuk tampil sebagai
penjaga tradisi yang paling tahu atas penduduk pribumi. Situs-situs tersebut
diserap dalam peta koloni.
Dalam pandangan Ben Anderson tersebut,
museum yang pada saat ini banyak kita manfaatkan sebagai tempat mencari
informasi, pengetahuan dan bahkan merekonstruksi sejarah, justru pada masa penjajahan
digunakan sebagai identitas superioritas penjajah yang menganggap diri dan
bangsanya banyak tahu tentang tradisi pribumi sehingga menjadi penjaga tradisi
pribumi. Melalui museum dan obyek-obyek monumental lainnya, bangsa Indonesia sangat berhutang budi bagi pembayangan sejarah
dan penemuan jati diri kebangsaan kepada negara kolonial yang telah terhapus.
Masih dalam kaitan dengan
tulisan Anderson itu, dapat kita temukan suatu pola yang dominan, yaitu
digunakannya sejarah secara terus menerus oleh negara untuk mendukung ideologi yang berlaku pada masa itu. Pemerintah kolonial, menggunakan sejarah sebagai pembenaran atas
ideologi mereka yang memandang rakyat jajahan adalah masyarakat yang berasal
dari kebudayaan yang lebih rendah dari si penjajah. Presiden Soekarno --meski gagal dalam membangun suatu museum
sejarah-- juga melakukan proses historisasi sebagai pembenaran untuk gagasan revolusi belum selesai dan sosialisme Indonesia. Selanjutnya Presiden Soeharto juga melakukan langkah yang sama dan dengan dukungan
yang sistematis dari golongan tentara menggunakan sejarah sebagai pembenaran
atas mitos ideologi Pancasila, persatuan nasional, dan lazimnya peranan tentara
dalam negara (Mc
Gregor, 2008).
Negara dalam berbagai
bentuknya terus berusaha menyusuan suatu memori kolektif atau memori resmi untuk sejarah masa lalu bangsa dan negara. Dalam hal ini Mc Gregor menilai bahwa
penggunaan terma memori kolektif
terkesan menyembunyikan proses-proses persaingan, perjuangan --dan dalam
beberapa kasus proses-- proses pembinasaan yang hebat atas ingatan-ingatan yang
disajikan sebagai sejarah dalam sumber-sumber yang ia teliti. Menurutnya, yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah pelembagaan terhadap suatu memori resmi
yang dilakukan oleh militer sebagai representasi dari negara. Mereka menjadikan
peranan politik tentara sebagai suatu kebenaran yang didukung oleh sejarah
sebagai memori resmi tersebut (Mc Gregor, 2008). Dalam kerangka berpikir inilah, kita melihat
bagaimana museum-museum atau monumen-monumen sejarah itu dibangun sebagai wadah
untuk menyimpan berbagai memori resmi versi tentara atau negara. Apakah
demikian seharusnya?
Bagaimana
Negara Membangun Museum
Museum yang kita bicarakan
dalam makalah ini adalah berbagai museum sejarah yang dibangun pada periode
kepemimpinan bangsa Indonesia. Dimulai dengan periode kepemimpinan Presiden
Soekarno hingga Presiden Soeharto. Sebelumnya, banyak terdapat museum di
Indonesia yang kita kategorikan sebagai museum budaya (cultuur museum)
yang pendiriannya diprakarsai oleh bangsa Belanda. Museum semacam ini dapat
kita lihat pada sosok Museum Nasional atau Museum Gajah (1970) di Jakarta yang
sebenarnya secara kelembagaan telah berdiri sejak 1778 dengan nama Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschaapen. Kemudian terdapat pula Museum
Radyapustaka (1890) di Solo dan Museum Zoologi ( 1894) di Bogor, Museum
Purbakala Trowulan (1920), dan berbagai museum lainnya.
Tentara sebagai suatu entitas
politik mulai menggunakan museum sebagai salah satu wadah internalisasi
nilai-nilai sejarah yang mereka bentuk lalu paksakan untuk diterima oleh
masyarakat luas dimulai pada awal berdirinya Orde Baru pada akhir 1960 an. Peran
tentara sebagai pelindung sejarah resmi negara pertama kali terlihat
ketika Presiden Soeharto menunjuk Nugroho Notosusanto selaku Kepala Pusjarah
ABRI sebagai pengawas dari gambaran masa lalu sejarah Indonesia dalam Museum
Sejarah Monumen Nasional (Monas). Mulanya, museum ini adalah proyek sejarah
yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin tapi
sempat terhenti dengan adanya gejolak politik dan peralihan kekuasaan selama
rentang 1965 – 1969. Setelah Orde Baru stabil, Presiden Soeharto mengambil alih
prakarsa pembangunan museum itu dan mengubah semua konsep materi museum yang
telah disiapkan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno (Mc Gregor, 2003).
Dalam konsep yang telah
disiapkan pada periode Soekarno, Museum Sejarah Monas menekankan visi Soekarno
tentang masa lalu Indonesia, yaitu gerak maju ke arah masa depan yang lebih
cerah dengan ciri Sosialisme Indonesia dan keluhuran Indonesia sebagai sebuah
bangsa. Sedangkan dalam konsep Orde Baru, yang digagas oleh Nugroho Notosusanto,
Museum Sejarah Monas (hingga saat ini) menekankan pada peranan militer di Indonesia
dan Pancasila. Jejak Sosialisme Indonesia tidak tampak sama sekali, dan peran
historis Soekarno dimuat dalam porsi yang sangat kecil sekali.
Alih-alih mengecilkan peranan
Soekarno, peranan Soeharto mulai diselipkan dalam kisah-kisah perjuangan
tentara Indonesia dan peranan panglima besar Sudirman mulai banyak digambarkan
sebagai bapak dari tentara Indonesia.
Berbagai terma pun mulai disesuaikan dengan terma militer, seperti
adegan dalam rancangan 1964 tentang Pahlawan Diponegoro diganti dengan
judul Perang Diponegoro. Penggunaan kata perang menggantikan kata
pahlawan adalah salah satu selipan doktrin tentara untuk menunjukkan akar
historisnya, bahwa semua perjuangan masa lalu bangsa ini adalah melalui cara yang
ditempuh oleh militer, yaitu perang (Mc Gregor, 2003).
Sebagaimana telah disebutkan dalam bagian
sebelumnya, Pusjarah ABRI pada periode selanjutnya mulai terus membangun beberapa
museum yang pendiriannya menjadi tanggung jawab mereka secara langsung. Museum ABRI Satria Mandala (1972), Museum
Monumen Pancasila Sakti(1982), Museum Waspada Purbawisesa (1987), Museum
Keprajuritan Nasional (1987), dan Museum Pengkhianatan PKI (1993) adalah beberapa
nama museum tentara di Jakarta yang menjadi simbol utama bagi proyeksi sejarah
resmi atau memori resmi yang diinternalisasikan oleh negara kepada masyarakat.
Sebagai salah satu ciri dari museum-museum
tentara adalah adanya display berbagai senjata yang pernah mereka gunakan dalam
menumpas sesama orang Indonesia (musuh dalam negeri). Mungkin senjata-senjata
itu adalah salah satu benda sejarah yang tersisa dari masa perjuangan,
mengingat bahwa tidak ada budaya atau kebijakan yang menetapkan dipertahankannya
berbagai artefak yang digunakan pada masa perjuangan itu. Namun demikian, lebih
dari itu, display senjata itu bisa juga digunakan sebagai suatu pelajaran yang
tersirat bagi masyarakat luas, bahwa betapa pentingnya persatuan nasional bagi
bangsa Indonesia. Sehingga persatuan itu yang harus dipaksakan sedemikian rupa,
bila perlu menggunakan ancaman atau kekerasan sebagaimana tersirat dalam penggunaan
senjata-senjata itu (Mc Gregor, 2008).
Kemudian salah satu ciri utama
lainnya dari museum-museum tentara itu adalah penggunaan media diorama secara
dominan. Dalam Museum Satria Mandala kira-kira terdapat 74 diorama yang menggambarkan
berbagai peristiwa dalam sejarah Indonesia. Penggunaan diorama sebagai media,
secara teknis dapat menunjukkan --sekali lagi-- kurang lengkapnya koleksi
sejarah yang dimiliki oleh museum, selain terdapat pula kendala teknis
penyimpanan koleksi dalam iklim tropis seperti yang dialami oleh Indonesia.
Selain itu, menurut Mc Gregor
(2008) pandangan atau selera Nugroho Notosusanto yang masih diikuti hingga saat
ini, juga menjadi alasan utama kenapa media diorama banyak digunakan dalam
museum. Dalam buku Pedoman
Penyelenggaraan Museum ABRI (Hasil Seminar Permuseuman ABRI 16-19 Juni 1973) Nugroho
berpendapat bahwa pengungkapan identitas ABRI akan efektif bila disampaikan
secara visual, baik dalam bentuk relief, diorama, atau gambar bergerak seperti
film, mengingat masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sedang berkembang,
sehingga budaya membaca mereka juga masih berkembang. Dengan demikian,
penyampaian materi secara visual akan lebih mudah melekat dalam benak dan
imajinasi masyarakat Indonesia.
Untuk melaksanakan pandangannya
ini, yaitu terkait dengan penyusunan relief, diorama, dan film ini, Nugroho
atau Pusjarah ABRI banyak melibatkan para seniman yang bekerja dalam
menggambarkan apa yang disampaikan oleh para sejarawan tentang sejarah bangsa
Indonesia. Edhi Soenarso adalah salah seorang seniman Yogyakarta yang kerap
diajak bekerjasama oleh tentara dalam menyusun diorama sejarah, seorang
sutradara Alam Rengga Surawijaya menyusun film Janur Kuning (1979, dan juga
Arifin C Noer, seorang sutradara terkemuka juga pernah diajak untuk menyusun
film Pengkhianatan G 30S/PKI (1984). Masih menurut Mc Gregor (2008) Nugroho banyak
berperan dalam penyusunan atau penyiapan materi monumen, diorama atau film yang
diproduksi oleh tentara baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikianlah museum dalam
negara Orde Baru. Museum tidak semata-mata sebagai objek rekreasi sejarah bagi
masyarakat, tapi lebih dari itu museum adalah lembaga yang mengekalkan memori
resmi negara yang ingin mereka tanamkan dalam pemahaman masyarakat. Secara
garis besar penekanan
museum-museum tentara pada periode pemerintahan Orde Baru adalah sebagai berikut:
Memuat materi yang menyampaikan adanya benang
merah antara Indonesia dengan zaman keemasan Nusantara, yang di dalamnya juga terselip muatan pencitraan Orde Baru sebagai negara non Islam dan
lebih terkait dengan tradisi Hindu-Budha. Hal ini terjadi dalam konteks Islam pada waktu itu masih menjadi musuh bagi tentara dan negara. Salah satu objek yang dapat menggambarkan hal ini
adalah diorama pembentukan tentara Indonesia dengan latar belakang Candi Borobudur sebagai representasi Hindhu Budha (non
Islam) yang sekaligus ingin menunjukkan bahwa tradisi militer Indonesia juga setua candi tersebut (Museum Sejarah Monas).
Informasi yang menekankan pentingnya masa peralihan
dari Orde Lama kepada Orde Baru dengan mengecilkan peranan
Soekarno (Museum Sejarah Monas).
3 Informasi yang menunjukkan tradisi panjang kepemimpinan
militer di Indonesia (Museum Keprajuritan).
4 Perhatian museum dicurahkan
kepada musuh negara. Museum
memberikan peringatan
adanya ancaman terhadap bangsa dalam bentuk perpecahan persatuan bangsa dengan adanya pemberontakan daerah dan perlawanan kelompok Islam, serta ancaman bahaya laten Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan demikian mereka dapat melestarikan ide bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang rapuh sehingga membutuhkan sosok tentara yang kuat (Museum Waspada Purbawisesa, Museum Lubang Buaya).
Doktrin dan Hegemoni Tentara
Pada 2004, enam tahun setelah
runtuhnya kekuasaan Presiden Sooharto, rakyat Indonesia kembali memilih seorang
purnawirawan jenderal, yaitu SBY sebagai presiden. Menurut Mc Gregor (2008) hal
ini menunjukkan bahwa dalam benak banyak orang Indonesia telah tertanam
persepsi bahwa militer adalah pemimpin bangsa yang terbaik. Tentara Indonesia
telah bekerja untuk menanamkan persepsi demikian selama periode Orde Baru,
terutama dengan cara mereka mengonstruksi masa lampau. Dengan konstruksi masa lampau itu yang kemudian
berwujud menjadi memori resmi lalu diupayakan agar menjadi memori
kolektif bangsa, sesungguhnya tentara telah berhasil melancarkan suatu
hegemoni atas bangsa Indonesia.
Terkait dengan hegemoni,
Antonio Gramsci berpendapat bahwa hegemoni terjadi ketika suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di
bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Hegemoni bukanlah hubungan
dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan
menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah organisasi
konsensus. Dalam tulisannya Prison Notebooks Gramsci menuliskan: ”Suatu
kelompok sosial biasa, bahkan harus, menjalankan kepemimpinan sebelum merebut
kekuasaan pemerintahan, kesiapan itu pada gilirannya menjadi sangat penting
ketika kelompok itu menjalankan kekuasaan, bahkan seandainya kekuasaan tetap
berada di tangan kelompok, maka mereka harus tetap memimpin” (Simon, 2004).
Demikianlah, tentara
Indonesia. Melalui media museum, monumen, dan berbagai produk budaya lainnya
seperti buku dan film, telah berhasil melakukan hegemoni atas bangsa
Indonesia. Hingga pada saat ini
sekalipun, dimana proses demokrasi telah berjalan cukup baik, dimana tentara
telah lama “meninggalkan gelanggang politik secara formal”, kita masih melirik
sosok tentara sebagai pemimpin yang lebih baik, lebih disiplin dan lebih
mumpuni daripada pemimpin sipil. Bahkan
dalam beberapa perkembangan politik mutakhir, sosok para tentara itu terlihat
semakin mengkonsolidasi diri. Politik formal memang mereka tinggalkan, tapi
secara informal sebenarnya tentara tidak pernah beranjak dari dunia sosial
politik Indonesia. Dan lebih gawat lagi, hegemoni tentara masih terus
berlangsung dengan berbagai bentuknya.
Terkait dengan
hegemoni ini, sedari awal golongan tentara memang merasa lebih percaya diri
dibandingkan pemimpin sipil. Tentara, terutama Angkatan Darat (AD), mempunyai
semacam mental supremasi baik dalam internal organisasi militer Indonesia, maupun dalam kancah politik secara umum. Menjelang 1971 Angkatan Darat telah berhasil menyusun suatu doktrin yang menyatukan aspek profesionalisme
Barat dengan citra sikap jiwa ksatria yang
diambil dari budaya Timur (Jawa). Dengan menggabungkan antara sikap profesional
yang modern dan sikap tradisional para ksatria, mereka merasa telah berdiri di pihak persatuan dan
kepentingan nasional, bukan kepentingan golongan.Berdasarkan disiplin,
teknologi, kemampuan dan cara pemecahan masalah yang mereka miliki itu, Angkatan Darat merasa sebagai satu-satunya lembaga yang mampu memimpin bangsa ke
arah modernisasi (Britton, 1996).
Pada
1972 Angkatan Darat mengadakan suatu seminar tentang Pewarisan Nilai-Nilai yang berlangsung selama lima hari 18 – 22 Maret 1972 di SESKOAD
Bandung. Seminar tersebut melibatkan para tentara dari generasi tua yaitu Angkatan’45 dan generasi muda perwira yang tak pernah merasakan perjuangan
revolusi kemerdekaan (Mc Gregor, 2008). Melalui seminar itu para generasi tua
ingin memastikan bahwa etos yang telah mereka miliki dapat diteruskan oleh para
tentara generasui baru. Dalam seminar itu mulai diperkenalkan interpretasi baru
tentara atas UUD 1945 dan Pancasila
sebagai inti dari nilai-nilai Angkatan ’45. Penekanan juga
diberikan kepada perjuangan bersenjata sebagai bagian dari nilai-nilai TNI 45.
Wujud
kongkret dari penerusan nilai-nilai ’45 itu, para tentara muda sejak saat itu
(1972) mulai dilibatkan dalam sejumlah proyek sejarah sebagai bentuk inisiasi
dan internalisasi doktrin angkatan ’45. Setiap tahun para taruna baru Akademi Militer
(Akmil) Magelang harus menjalankan
napak tilas perjalanan gerilya Panglima Besar Sudirman dengan tujuan agar mereka menghayati dan meresapi perjuangan para pendahulunya di masa
lampau. Selain itu napak tilas itu bertujuan untuk mengenalkan kepada para
perwira tentang:
1.
Strategi atau gaya perang yang
mungkin dapat mereka jalankan kelak di lapangan
2.
Pola hubungan sipil-militer yang
ideal yang terjadi selama proses gerilya tersebut
Melalui seminar pewarisan nilai-nilai
1972 itu temtara mulai memperkenalkan secara
luas kepada masyarakat tentang militerisme dan konsep dwi fungsi ABRI yang
menjadi inti doktrin tentara masa Orde Baru. Dan sejak itu pula berbagai proyek sejarah terus
digulirkan oleh Pusjarah ABRI dan mewujud dalam bentuk penulisan berbagai teks
buku, pembangunan museum, dan monumen.
Sebelum berhasil
mengkonsolidasi diri pada periode 1970 an, sebenarnya tentara mengalami pasang
surut yang panjang. Setelah meninggalnya Jenderal Sudirman, panglima tertinggi Angkatan Darat pada akhir 1950 an, tentara telah kehilangan seorang figur tentara dan politisi yang cerdik,
yang mampu menggalang persatuan di kalangan para perwira, dan mampu melindungi
berbagai kepentingan Angkatan Darat. Sudirman tak disangsikan lagi sebagai seorang yang ambisius, dan
terpilihnya Sudirman sebagai pimpinan tentara Indonesia pada November 1945
adalah hasil dari kampanye halus yang selama ini ia lakukan sendiri. Sudirman
adalah sosok tentara yang mengakui supremasi politik sipil pada waktu dia sudah
memiliki wibawa pribadi dan kekuasaan struktural yang cukup besar dalam bentuk
semacam pemerintahan militer yang sanggup menentang politik sipil (Sundhaussen,
1986).
Setelah hilangnya figur sekaliber Sudirman, terjadilah perpecahan dalam
tubuh korps tentara dengan munculnya perbedaan
antara perwira eks PETA dan eks KNIL yang berakibat lemahnya lembaga tentara
Indonesia untuk beberapa saat. Pada saat yang sama, para politisi sipil berusia
lebih tua dan jauh lebih matang dari para perwira pimpinan tentara, sehingga
posisi tentara semakin terjepit. Hingga kemudian pada 1955 Nasution yang
terpilih sebagai kepala staf angkatan darat berusaha menyatukan tentara. Meski,
pada saat yang sama, organisasi angkatan darat di tingkat pusat telah menjadi
lemah, sementara para panglima daerah telah memiliki kekuasaan yang cukup besar.
Namun
demikian, sejak 1955 itu harus diakui benih-benih profesionalisme dan
modernisasi tentara mulai disemai dengan adanya bantuan militer Amerika Serikat.
Dengan pulangnya beberapa perwira dari pendidikan di negeri itu, pandangan
profesionalisme dan modernisasi ala Barat mulai muncul dalam Angkatan Darat. Meskipun pada sisi lain, pandangan Barat itu juga terus diimbangi dengan usaha untuk
mempertahankan identitas ke Indonesiaan. Penyatuan dua doktrin Barat dan Timur itu, Akademi Militer
Nasional (AMN) tumbuh
sebagai organisasi militer bergaya internasional dengan asupan pedoman falsafah
Jawa (Britton, 1996.).
AMN berhasil
mencetak perwira militer dengan karakter yang lebih
cenderung untuk tidak berideologi. Perwira tentara lebih bisa dilihat sebagai pelaksana daripada sebagai seorang
pemikir. Pendidikan tentara lebih ditujukan untuk menghasilkan suatu identitas
bukan suatu kritik, dan mereka menggunakan pengertian yang artifisial mengenai
sejarah. Sesuai dengan stereotip ini para tentara lebih sering dipandang
sebagai a-politis yang lebih menyukai metode teknokratis dan pemecahan-pemecahan yang mudah, dan tidak
percaya kepada tawar-menawar dan kompromi (Britton, 1996).
Selain
itu pada periode 1957-1958 adalah titik dimana tentara mulai mempunyai
perhatian dalam bidang ekonomi. Secara bertahap tentara mulai menawarkan
kemahiran mereka dalam hal manjerial yang masih langka pada saat itu. Pada saat
terjadi gerakan pemgambil-alihan perusahaan Belanda oleh kaum nasionalis
radikal dan komunis, tentara mulai bergerak untuk mengamankan sambil
menyediakan jasa tenaga manajemen bagi perusahaan milik negara atau perusahaan
asing yang sudah dinasionalisasi (Sundhaussen,
1986).
Ketika
Soekarno semakin cuek dengan kondisi ekonomi negeri, justru golongan tentara
yang mulai cemas akan kondisi ekonomi nasional. Maka pada 1963 Nasution sebagai
pimpinan staf angkatan darat lebih setuju untuk mendukung Kabinet Juanda dalam
pemulihan ekonomi dibandingkan dengan usaha Soekarno merebut Irian Barat.
Kecenderungan semacam itu adalah lazim, mengingat bahwa tentara sangat peduli
akan kondisi ekonomi yang sehat sehingga memungkinkan mereka untuk
memodernisasi persenjataan yang semakin mahal. Hal itu adalah kecenderungan
umum militer di dunia pada saat itu (Sundhaussen, 1986).
Pada
akhir 1960 an doktrin dwi fungsi ABRI mulai mendapatkan
pembenaran, dimana dwi fungsi itu dimaknai sebagai suatu campur tangan tentara
yang semakin diperlukan karena lemahnya golongan sipil. Kondisi ini dianggap
konsisten dengan situasi pembentukan angkatan darat pada tahun-tahun pertama
republik (Britton, 1996). Kekuasaan tentara di Indonesia mulai tegak berdiri
dengan memanfaatkan kelemahan pemerintahan sipil yang mereka anggap sudah tidak
lagi mempunyai perhatian kepada persoalan ekonomi, sosial, dan politik
(Sundhausen, 1986).
Pada
akhirnya dominasi angkatan darat atas kehidupan politik Indonesia dibenarkan
dengan adanya janji-janji untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Berbeda dengan orde Soekarno yang menawarkan janji perjuangan melawan
imprealisme dan mempertahankan semangat revolusi yang belum selesai, orde Soeharto menawarkan stabilisasi dan
pembangunan. Sejak saat itu Indonesia telah menjadi negara pretorian, dimana
golongan militer mulai menggunakan kekuasannya dalam suatu masyarakat dengan
menggunakan kekuatan aktual yang mereka miliki atau ancaman penggunaan kekuatan
itu (Perlmutter, 1984).
Para
pimpinan tentara (angkatan darat) berpendapat bahwa pemerintahan militer akan
menjamin terpeliharanya kestabilan politik yang dibutuhkan untuk pembangunan
ekonomi. Selain itu pada saat yang sama golongan tentara mendapatkan kesempatan
yang tepat untuk mencari sumber keuangan bagi para tentara, sehingga terutama
tentara-tentara di daerah akan tetap merasa puas. Pada masa awal Orde Baru
sumber dana terpenting bagi angkatan darat adalah perusahaan minyak negara,
Pertamina. Penguasaan tentara atas minyak tersebut telah dimulai sejak 1957
pada saat Nasution memerintahkan Kolonel Ibnu Sutowo untuk mengelola suatu
ladang minyak di sebelah utara Sumatra. Selain itu tentara juga mulai membentuk
suatu sistem keuangan inkonvensional, dimana beberapa perwira dijadikan sebagai
pengusaha tentara yang menjamin mengalirnya dana tetap ke kas Angkatan Darat
tanpa menimbulkan kekacauan ekonomi (Crouch, 1999).
Tentara Menurun Polisi Naik Daun
Setelah terjadinya
pergolakan politik 1998, mundurnya Presiden Soeharto sekaligus juga menyurutkan
peranan tentara di Indonesia.
Menyesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman ABRI mulai menyusun suatu
paradigma baru yang antara lain melakukan :
1. Pemisahan Polri dan ABRI mulai 1 April 1999 sebagai
transformasi awal melalui Keputusan Menhankam/Pangab No.Kep/05/P/III/1999
tanggal 31 Maret 1999.
2. Penggantian sebutan ABRI menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak 12 April 1999.
Yang lebih penting lagi, TNI
mulai meninggalkan doktrin dwi fungsi ABRI dengan langkah nyata yaitu tidak
lagi terlibat dalam dunia politik praktis, bersifat netral, dan fokus pada
tugas utamanya yaitu pertahanan negara. Dalam rangka secara bertahap meninggalkan
doktrin dwi fungsi ABRI, TNI tidak lagi berkeinginan duduk di DPR. Hal ini
diungkapkan oleh Panglima TNI yang mengatakan: “Pada tahun 2004, TNI akan pamit
untuk tidak lagi punya keanggotaan di lembaga legislatif. Dengan demikian TNI
akan benar-benar memfokuskan diri sebagai alat negara di budang pertahanan agar
mampu memberikan jaminan kedaulatan, keamanan secara nasional, keselamatan juga
kehormatan bagi bangsa Indonesia.” (Fattah, 2005). Sejak saat itu peran politik tentara mulai memasuki
era baru, yang secara nyata menunjukkan bahwa posisi tentara mulai menurun dan
polisi mulai naik daun.
Sejak awal sebenarnya terdapat perbedaan antara doktrin pertahanan yang dijalankan oleh tentara dan doktrin keamanan yang dijalankan oleh polisi. Sehingga menurut pendapat ini selama Polri masuk dalam jajaran
ABRI selama itu pula ABRI telah terjerumus dalam suatu kesalahan yang mendasar.
Doktrin dalam pertahanan adalah fight to kill tentu sangat jauh berbeda
dengan doktrin keamanan yaitu to protect and to service. Meskipun
demikian polisi harus tetap dipersenjatai dan oleh karena itu pula harus
terdidik dengan pembinaan disipli dan hirarki seperti militer. Polisi adalah
orang sipil berseragam (a civilian
in uniform).
Oleh karena itu meski polisi terdidik sebagaimana militer tapi secara prilaku,
berwatak, dan bersikap sipil (Tabah, 2002). Sebelum menjadi polisi, baiknya
seorang officer polisi harus menjadi
seorang warga sipil agar mengetahui apa kebutuhan, perasaan, dan keinginan
seorang warga terhadap polisi. Jati diri polisi dapat dirumuskan sebagai
“sekelompok orang sipil yang dipersenjatai guna melindungi masyarakat di masa
damai” (Rahardjo, 2007).
Lembaga kepolisian di negeri
ini adalah lembaga yang tertua, sejak 1670 (abad ke 17) di Batavia telah dibentuk lembaga yang menjalankan
fungsi kepolisian yang bertugas dalam menjamin ketertiban dan keamanan (Rahardjo,
2007). Selain itu para pasukan polisi dengan fungsi kombatan (tempur) merasa
lebih dahulu lahir dan berjuang untuk negara dibandingkan dengan para tentara yang baru megkonsolidasi diri pada 5 Oktober 1945 (Jasin, 2010). Klaim semacam ini mulai secara jelas mengemuka, ketika
polisi mulai berpisah dengan tentara. Sebelumnya, wacana dan doktrin
kesejarahan polri selalu manunggal dengan doktrin kesejarahan tentara.
Sebagaimana dengan angkatan-angkatan lainnya dalam tubuh ABRI, polisi tidak
bisa mengalahkan dominasi Angkatan Darat.
Polisi selalu menjadi saudara bungsu dalam tubuh organisasi
tentara. Secara
historis, panglima
Angkatan Kepolisian dan Angkatan Laut adalah
pendukung diam-diam bagi Soekarno pada
akhir pemerintahannya. Pada saat itu pemimpin kedua angkatan itu akan menyatakan perang kepada
Orde Baru jika Presiden Soekarno
diadili (Sundhaussen, 1986). Barulah pada periode awal 1970 an
secara bertahap, ABRI mampu mengkonsolidasi diri dan menunjukkan citra militer
yang utuh di bawah dominasi Angkatan Darat.
Sejak polisi kembali memperoleh independensinya pada 1 April 1999 --di bawah
kepemimpinan Kapolri Jenderal Roesmanhadi, dimana Polri dinyatakan keluar dari ABRI-- posisi
polisi terus naik daun dibandingkan dengan tentara. Posisi Kapolri yang
langsung berada di bawah komando Presiden menjadikan lembaga polri sebagai
lembaga yang kuat dan mulai mengambil alih beberapa lahan ekonomi inkonvensional
yang sebelumnya dipegang oleh Angkatan Darat. Peranan dalam ketertiban dan
keamanan polisi mencakup wilayah yang jauh, dari persoalan domestik semacam
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, hingga kejahatan pidana
seperti pencurian, perampokan, dan pembunuhan, perdagangan narkoba, perdagangan
ilegal lainnya, hingga masalah kejahatan ekonomi dan korupsi semua menjadi
wewenang polisi.
Berdasarkan peranan dan
posisinya yang terus berkembang itu, polisi membutuhkan suatu identitas baru yang
utuh bagi lembaga Polri yang terkait dengan pengalaman masa lalu, problem masa
kini, dan sekaligus kesiapan mereka dalam menghadapi tantangan masa depan
(Museum Polri, 2009). Cermin identitas baru itu diwujudkan oleh Polri antara
lain dengan membangun museum Polri yang tidak bercirikan militer. Museum yang
mereka hadirkan pada Juli 2009 adalah museum yang menjadi anti-tesis dari
museum-museum tentara sebelumnya. Polisi ingin melepaskan diri dari kungkungan memori
resmi yang selama ini disampaikan oleh Pusjarah ABRI.
Dalam Museum Polri tema
independensi polisi dan pemahaman atas tugas polisi secara profesional yang
terangkum dalam terma Melindungi, Melayani, dan Mengayomi menjadi tekanan
informasi utama yang disampaikan oleh museum. Museum Polri adalah perwujudan
salah satu strategi baru Polri dalam menempatkan sosok institusi kepolisian
dalam masyarakat sebagai sosok yang mampu berubah namun pada saat yang sama
juga memiliki sejarah yang panjang. Tidak ada doktrin dan hegemoni kekuasaan
yang ingin dilancarkan oleh Polri melalui museum, mereka hanya ingin memberi
pemahaman kepada masyarakat betapa beratnya dan uniknya tugas mereka sebagai
sosok sipil yang berseragam.
Bukan Museum Tentara juga Bukan Museum Negara
Hingga saat
ini, museum-museum tentara masih beroperasi dengan baik. Dalam tahap tertentu
proses internalisasi nilai-nilai terus berlangsung, terutama bagi generasi muda
yang belum paham benar seluk beluk sejarah Indonesia, meski pada saat ini
materi atau objek sejarah pembanding bagi museum tentara itu sudah banyak
jumlahnya. Memori resmi yang mereka tawarkan tidak lagi menjadi memori
satu-satunya yang dikenal oleh masyarakat luas. Masyarakat telah berkembang
pesat, meski beberapa segmen masih mungkin terperangkap dalam ideologi diorama
ala Nugroho Notosusanto, tapi beberapa segmen yang lain mulai terpelajar dan
menjadi sosok yang kritis dan mulai mempertanyakan memori resmi yang ada pada
museum-museum tentara itu.
Pada saat ini,
museum adalah milik publik,
bukan milik negara atau bahkan alat negara yang bernama tentara. Dalam kajian
permuseuman, Ivan Karp menuliskan “museum tidak akan pernah lepas dari sejarah
suatu masyarakat, dan bagi masyarakat yang telah terpinggirikan dalam museum
atau ditampilkan secara keliru, kini mulai menuntut adanya perbaikan terhadap
sejarah mereka yang digambarkan dalam museum” (Arnoldi, 1999).
Museum tentara
semacam Museum Waspada Purbawisesa semakin tidak relevan bagi bangsa Indonesia yang
tidak lagi membutuhkan musuh negara dalam bentuk yang antagonis seperti para
pemberontak DI/TII dan PKI. Meski upaya pengekalan terus berlangsung, karena
berbagai monumen dan situs terkait peristiwa-peristiwa itu terlanjur
menjadi bagian publik dan susah rasanya untuk memusnahkannya. Jalan
satu-satunya adalah membangun suatu museum sejarah yang baru (sebagaimana
dilakukan Polri) atau memberi pemaknaan yang berbeda atas berbagai monumen dan
display museum yang telah ada, pemaknaan yang lebih mencerahkan, pemaknaan yang
tak terjebak dalam klaim benar atau salah, pemaknaan yang lebih menekankan
itulah sejarah bangsa yang dengannya kita harus terus melangkah menjadi bangsa
yang lebih baik, tanpa kekerasan tanpa penindasan antar sesama.
----------------
Daftar
Pustaka
Arnoldi, Mary Jo. From
Diorama to the Dialogic: A Century of Exhibiting Africa at the Smithsonian’s
Museum of National History. Cahiers d’Etudes Africaines, Vol. 39, Cahier
155/156. prelever, exhiber. La mise en musees, 1999.
Benedict Anderson. Imagined Communities:Komunitas-Komunitas
Terbayang. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2002.
Britton, Peter. Profesionalisme
dan Ideologi Militer Indonesia: Perspektif Tradisi-Tradisi Jawa dan Barat.
Jakarta: LP3ES, 1996.
Crouch, Harold. Militer dan
Politik di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Djatmika, Wik. Di Bawah
Panji-Panji Tribrata. Jakarta: PTIK Press, 2006.
Fattah, Abdoel. Demiliterisasi
Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945 – 2004. Yogyakarta: LkiS, 2005.
Jasin, Moehammad. Memoar
Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Mc Gregor, Katharine E. Ketika
Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah
Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Syarikat, 2008.
-------------------------------.
Representing The Indonesian Past: The National Monument History Museum From
Guided Democracy To The New Order. Jurnal Indonesia Vol. 75, April 2003.
Perlmutter, Amos. Militer
dan Politik. Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1984.
Polri, Museum. Museum
Polri: Buku Panduan. 2009.
Rahardjo, Satjipto. Membangun
Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2007.
Simon, Roger. Gagasan
Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar,
2004.
Sundhaussen, Ulf. Politik
Militer Indonesia 1945 – 1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES,
1986.
Tabah, Anton. Membangun
Polri yang Kuat: Belajar dari Macan Macan Asia. Jakarta: Mitra Hardhasuma,
2002.
----------------
Comments