Mpu Purwa: Museum atau Balai Penyelamat Benda Purbakala di Malang
Beberapa waktu
yang lalu, saat singgah di Malang, saya nongkrong di warung yang terletak dalam
suatu komplek perumahan di area jalan Soekarno-Hatta. Warungnya enak, adem,
semilir, para pelanggannya guyub saling menyapa musti tak saling kenal. Warung
itu nempel pada suatu tembok pembatas kampus pertanian yang tak banyak
mahasiswanya, juga ada sekolah SMP, dan tentu ada beberapa pelanggan tetap
warung yang nongkrong full time di warung sepanjang hari. Tak lama, saya disapa
basa basi dengan seorang pelanggan tetap itu, nanya ke saya “mas intel ya?kok
tumben nongkrong disini? lagi mengamati apa?”. Waduh saya cengar cengir saja
dan menjawab, “saya bukan intel, tapi kintel (anak kodok) yang doyan
tehnasgitel (teh panas legi lan
kentel)!”.
Prolog
pembicaraan itu kemudian mengarah kepada sejumlah pembicaraan khas jawa
timuran, yang ngalor ngidul dan sampai membahas hal-hal mistik yang menjadi
bumbu setiap pembicaraan. “Saya ini putra ketiga Nyi Roro Kidul”, begitu tukas
salah seorang lainnya, sambil menjulurkan tangannya ke saya dan mengajak
berkenalan. Mendengar itu saya bilang “wah, mantep ini ketemu putranya Nyi Roro
Kidul lagi nongkrong di warung, nggak dicariin ibunya mas?”. Laki-laki sang putra
penguasa laut selatan itu menjawab serius, “nggak, saya kan kalau ketemu ibu ya
tiap malam jumat legi di masjid komplek situ”, ia menunjuk ke suatu arah di
bagian depan kampus.”masjid komplek mas?”, tanya saya kurang kerjaan menyambung
pembicaraan. “bukan, itu komplek yang banyak arcanya….”, begitu jawabnya.
Rupanya pria itu merujuk kepada Balai Penyelamat Benda Purbakala Mpu Purwa
milik Pemkot Malang yang tak saya sadari
ternyata hanya sepelemparan batu dari tempat saya nongkrong itu.
Tak lama
kemudian, setelah beberapa gorengan ludes, sepiring nasi rawon kandas, dan
beberapa gelas es teh dan extra joss bocor, saya diarahkan oleh seorang kawan
dari UM Malang menuju ke balai yang ia sebut sebagai museum. “ Ini museum
purbakala mas, pak Anthony Read dan istrinya kemaren saya ajak kemari sebelum
muter-muter komplek
percandian di Singosari….”, begitu kisah kawan saya itu. Saya merasa pucuk
dicinta ulam tiba, karena baru saat itu saya singgah ke Malang dan mampir ke
tempat bersejarah.
Balai Benda
Purbakala itu cukup sepi, tak
banyak orang yang terlihat, selain beberapa staf yang berkantor di balai itu.
Saya diarahkan oleh kawan menuju ke tempat utama balai yang mendisplay beberapa
koleksi pubakala seperti arca, prasasti, dan beberapa tempat lainnya. Pada halaman balai, sudah
terpajang beberapa arca, yang mungkin adalah replika, beberapa prasasti batu produk era megalitikum juga dibiarkan
berserakan pada suatu halaman yang berlumut, rumputnya rapih, meski tetap tak
menarik untuk dilihat oleh pengunjung sebagai open-museum misalnya.
Balai itu berbentuk sederhana, di depan pintu masuk utama ruang
pamer balai terdapat dua atau tiga (replika) arca yang mungkin bisa
mengasosiasikan, gedung ini adalah gedung museum! dan memang ruang pamer balai
itu memang sudah bisa kita sebut sebagai museum. Berupa ruang yang memanjang tanpa
kelokan, beberapa arca, prasasti, manekin, topeng, dan beberapa koleksi lainnya
dipajang sepanjang dinding ruangan dan juga tengah ruangan sehingga ruang pamer
itu terbelah menjadi dua. Tidak ada arahan alur pengunjung, tapi setelah
mengisi buku tamu, biasanya staf penunggu ruang pamer akan mengarahkan kita mengitari
ruang museum yang penuh dengan koleksi pamer mirip bongkahan batu itu.
Saya bertanya kepada staf
museum itu, “mbak, sudah lama menjadi staf disini?”. Ia dengan ramah menjawab “sudah
lama mas, sejak lulus SMA sudah ikut bapak nunggu museum di sini”. Rupanya,
ayah dari staf penjaga itu adalah staf museum, pegawai negeri Dinas Kebudayaan
yang juga seorang ahli seni tari. Saat ini sang ayah sudah pensiun dari balai
purbakala meski masih aktif mengajar seni tari di suatu universitas negeri di
Malang. “Mbak, dulu lulusan arkeologi atau sejarah?” tanya saya setengah
menyelidik, kemampuan pemandu museum si mbak staf itu cukup lumayan, sudah
hafal di luar kepala informasi beberapa koleksi dan mampu mengkomunikasikan
dengan baik. “lha saya ini lulusan SMA langsung kerja disini mas, kadang ikut
ayah nari juga, jadi saya pagi disini, kadang-kadang siang atau sore bantu
mahasiswi-mahasiswi ayah yang mau latihan atau ujian nari….” jawab staf itu
dengan logat khas ngalam yang blak-blak an. “ada juga sih yang nawarin kuliah
sejarah di UM atau jurusan apa gitu, tapi kok ya saya merasa gak mampu gitu,
nulis-nulis skripsi, ah nggak lah….” sambungnya sambil tawanya berderai.
Saya dan kawan saya cukup
terhibur dengan panduan informasi yang diberikan oleh staf itu. Ia sangat hafal
sekali informasi intrinsik koleksi, di luar kepala, sebab katanya ia terbiasa
memandu anak-anak sekolah yang berkunjung ke museum atau balai itu sebelum
berkunjung ke lokasi percandian di sekitar Malang. Sesekali saya memberi
masukan kepadanya, misalnya soal peta lokasi situs bersejarah di wilayah Malang
yang seharusnya sudah harus diperbaiki dan diganti dengan media yang lebih
menarik, atau soal posisi beberapa panel caption koleksi yang berada di posisi
terlalu rendah sehingga tak mungkin pengunjung akan membacanya. Selain itu saya
juga mencoba menyelipkan usulan, agar sebaiknya manekin display baju tarian
adat khas Malanga itu dikeluarkan dari wadahnya yang menyerupai lemari, agar
tampil lebih atraktif bagi pengunjung, dan mungkin display replika
topeng-topeng Malangan bisa lebih dinikmati oleh pengunjung dengan cara
menyentuhnya atau bahkan sesekali boleh menggunakannya.
Dengan ramah staf perempuan
itu menjawab dengan ramah, “lha mas, lha wong kita ini nggak punya banyak dana
mas…..buat ini itu, dirawat begini aja ya cukup….”. Begitulah kondisi museum
kita, terutama di daerah-daerah yang terpencil dari ibu kota. Entah kendala
apa, birokrasi pusat atau kultur birokrasi internal mereka sendiri yang
menyebabkan dana selalu pas-pas an. Hal itu membuat saya berpikir bahwa
seharusnya melibatkan para mahasiswa di sekitar kota dimana museum itu berada
untuk turut serta membantu museum agar
tampil lebih kreatif dan dinamis, tanpa beban atau kendala dana dan
biaya ini itu yang selama ini selalu dikeluhkan.
Saya mencontohkan kepada
kawan saya dari UM dan kepada staf museum itu, bahwa mengembangkan museum untuk
menjadi lebih unik dan atraktif tidak melulu membutuhkan biaya yang besar dan
bantuan teknologi canggih, seperti trend kebanyakan museum di kota-kota besar
saat ini. Beberapa waktu lalu, di Museum Nasional ada salah satu kelompok seni
yang membuka trend baru dalam dunia permuseuman di Indonesia, mereka
menjelaskan informasi koleksi museum melalui dialog dalam drama yang cukup
singkat. Begitu halnya di museum atau balai purbakala Mpu Purwa di Malang itu,
alangkah indahnya jika arca atau prasasti batu-batu itu tidak hanya
diinformasikan secara lisan saja, melaui
dialog antara pemandu dan pengunjung yang linear satu arah, tetapi melalui
penggambaran drama yang menarik atau bahkan lewat tarian yang memukau dan lebih
hidup. Kisah Ken Dedes yang tersimpan dalam salah satu koleksi misalnya, akan
sangat menarik jika dikisahkan sebagai
suatu legenda hidup, biar dunia ini mengetahui bahwa Ken Dedes yang banyak
melahirkan raja-raja Jawa itu adalah arek Malang!
Selanjutnya salah
satu kelemahan yang juga menjadi standar dalam dunia permuseuman kita adalah
absennya informasi akademis yang tertulis dan tercetak yang menjelaskan secara
ilmiah berbagai macam koleksi yang ada dalam museum atau balai itu. Sangat dikhawatirkan
jika, informasi ilmiah tentang koleksi-koleksi itu hanya tersimpan dalam
catatan atau bahkan kepala para peneliti atau ahli purbakala dalam museum.
Harusnya museum atau balai purbakala mempunyai publikasi tentang berbagai
koleksinya yang dibagikan secara luas kepada masyarakat. Selain untuk
melindungi informasi yang akan punah jika tidak segera terekam dalam tulisan, juga
memudahkan masyarakat --khususnya pemerhati dunia purbakala-- untuk turut
mengawasi nasib koleksi purbakala yang ada dalam museum.
Akhirnya, setelah satu jam
berputar ruangan sambil ngobrol soal ini itu, saya harus menyudahi kunjungan
saya ke museum atau balai purbakala Mpu Purwa. Mbak staf museum mempersilahkan
kami berdua untuk mengisi pesan dan kesan yang ada pada buku tamu museum. Dari
tempat buku tamu itu saya mengarahkan pandangan kepada suatu tulisan yang
menyambut setiap pengunjung ketika pertama kali memasuki ruang pamer. Tulisan
timbul pada bahan lempengan kayu itu menggunakan bahasa Sansekerta yang
berbunyi : Guna Paramita Acintya Bhakti. Susunan kalimat itu adalah nasehat
sekaligus Sangkala pembangunan museum atau balai purbakala Mpu Purwa. Sebagai
nasehat kalimat itu kurang lebih berarti Pengabdian yang tulus adalah perbuatan yang bersifat luhur. Sementara sebagai
sangkala kalimat itu bermakna 2003, tahun pembangunan museum.
Guna Paramita Acintya
Bhakti, itulah kalimat yang saya tuliskan dalam buku kesan dan pesan
pengunjung.
Catatan :
Balai Penyelamat Benda Purbakala Mpu Purwa
Jl. Soekarno Hatta Komplek Griyasantha Malang
Telp 0341 404515
Comments