Monumen Polwan di Bukittinggi: Hikayat sebuah Landmark Kota Gadang

Di penghujung tahun 2014, seorang kawan yang bertugas di Museum Polri mengajak saya untuk menyusun rencana pemugaran monumen polisi wanita (polwan) yang terleak di kota Bukittinggi. Monumen itu telah berdiri sejak 1992 atau 1993 di Bukittinggi sebuat kota di dataran tinggi Sumatera Barat yang masyhur dengan nama kota gadang karena memiliki identitas kota yang monumental, yaitu Jam Gadang.

Mulanya saya bertanya kepada kawan saya, pemugaran seperti apa yang diingini oleh Panitia Hari Jadi Polisi Wanita RI ke 66 (2014). Kawan saya berkisah, korps Polwan merasa resah karena satu-satunya monumen yang mereka dirikan di kota lahirnya polwan tidak banyak mendapat perhatian masyarakat, tidak terawat dengan baik, meski tidak bisa dikatakan terbengkalai. Singkat kata, monumen itu terabaikan, tampil pas-pas an sehingga ada dan tiadanya sama sekali tidak berpengaruh bagi masyarakat kota Bukittinggi. Monumen itu belum berhasil menjadi penanda sejarah yang efektif bagi masyarakat, bahwa Bukittinggi adalah kota kelahiran polisi wanita Indonesia.
kondisi monumen polwan sebelum dipugar (2014)

Kondisi Monumen Polwan sebelum dipugar (2014)

Mendengar kisah kawan itu dan disusul kemudian dengan suatu pertemuan dengan para petinggi polwan Indonesia, saya menawarkan suatu konsep: Monumen Polwan sebagai landmark kedua kota Bukitinggi setelah Jam Gadang. Kenapa demikian? Saya sampaikan bahwa polwan harus realistis bahwa Bukittinggi sudah memiliki sebuah bangunan unik historis yang menjadi landmark utama kota, yaitu Jam Gadang yang telah dibangun pada awal abad ke 20 oleh pemerintah kolonial Belanda. Jam Gadang telah melekat dengan Bukittinggi, sebagaimana Monas melekat dengan Jakarta, Menara Eiffel melekat dengan Paris, dan beberapa landmark terkenal lainnya.
Jam Gadang, landmark utama kota Bukittinggi

Sebagaimana kita ketahui, landmark dapat didefinisikan sebagai suatu simbol yang menarik secara visual dengan sifat penempatan yang menarik perhatian. Biasanya landmark mempunyai bentuk yang unik serta terdapat perbedaan skala dalam lingkungannya.  Beberapa landmark hanya mempunyai arti di daerah kecil dan hanya dapat dilihat di daerah itu, sedangkan landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa di lihat dari mana-mana. Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang mengenali suatu daerah.  Selain itu landmark bisa juga merupakan titik yang menjadi ciri dari suatu kawasan. Dalam konteks Bukittinggi, yang juga kota wisata utama di Sumatera Barat, banyak landmark yang bertebaran menghiasi kota, yang paling terkenal adalah Jam Gadang, Ngarai Sianok dan Goa Jepang, serta beberapa situs bersejarah lainnya yang ada di dalam maupun di luar kota.

Oleh karena itu, konsep yang saya sampaikan kepada para polwan adalah bahwa pemugaran atau revitalisasi monumen polwan baiknya fokus pada beberapa hal berikut: Menyempurnakan situs monumen tanpa mengubah bentuk bangunan monumen, Mengusahakan pemugaran yang menyajikan bentuk baru situs monumen yang lebih menarik bagi masyarakat sehingga bisa menjadi landmark kedua atau ketiga bagi kota Bukittinggi, dan Melengkapi tampilan situs bangunan dengan informasi sejarah yang lebih atraktif  sehingga masyarakat Bukitinggi menyadari bahwa polisi wanita lahir di kota mereka.

Awalnya saya bersama kawan saya, staf museum polri, dan seorang kolega seniman dari Malang mencoba menawarkan beberapa alternative konsep bangunan monumen sebagai berikut:


Rancangan monumen polwan karya seniman Pujo

Pada konsep awal ini, kami berpikir bahwa agar terlihat unik dan menarik, bangunan situs monumen polwan harus keluar dari pola baku atau pakem bangunan yang selama ini ada di Sumatera Barat, yaitu bangunan beratap bagonjong khas rumah gadang di ranah Minang. Maka, terinspirasilah kami untuk menghadirkan konsep bangunan pilar pilar bergaya Yunani yang mungkin akan terasa unik hadir di antara bangunan-bangunan beratap bagonjong. Tapi, akhirnya gagasan tersebut ditolak dengan memerhatikan masukan dari pemerintah daerah dan tokoh masyarakat setempat, yang akan merasa terhormat jika bangunan situs monumen polwan akan bergaya khas bangunan Minang. Sehingga pada konsep yang kami tawarkan berikutnya adalah berbentuk demikian:




Di bagian belakang situs monumen polwan, kami membangun sebuah atap bangunan bagonjong, khas bangunan ranah Minang, yang ditopang dengan pilar-pilar yang kokoh. Di bawah atap bagonjong itu bernaung patung sosok polwan Indonesia yang semakin melengkapi pesan yang ingin disampaikan oleh landmark baru ini: Monumen Polisi Wanita, monumen yang menandai lahirnya peranan perempuan Indonesia dalam tubuh institusi Polri, monumen yang menandai bahwa polwan sebagai bundo kanduang turut menjaga rumah nan gadang, rumah yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia!

Mulanya, kami akan mengabadikan enam polwan perintis (enam polwan pertama yang bersekolah di Sekolah Polisi Negara pada 1947 – 1948 di Bukittinggi) dalam bentuk patung ekspresif yang mengambil inspirasi dari patung pahlawan revolusi di Monumen Pancasila Sakti, Lobang Buaya, Jakarta Timur. Namun karena kendala biaya, dan terutama urusan permohonan izin kepada masing-masing tokoh atau keluarga terkait pembuatan patung berdasarkan pose aseli tokoh, akhirnya rencana itu dibatalkan.   



Enam Polwan perintis yang nama2nya diabadikan di situs monumen polwan
Para polwan akhirnya bersepakat bahwa hanya satu patung yang akan dibuat, yaitu patung polwan ideal yang tidak merujuk kepada sosok tokoh tertentu. Ya, patung itu adalah patung polwan Indonesia yang direka-reka oleh seniman Saifudin “Pujo” Zuhri dari Malang. Konon, Pujo mereka-reka wajah patung itu dari wajah seorang polwan jelita yaitu Briptu Eka yang sering muncul di TV membawakan kabar lalu lintas. Adapun sosok pose patung, Pujo mendapatkan keistimewaan dari Polres kota Batu, untuk menjadikan salah satu personelnya, seorang polwan berpangkat perwira pertama yang bertubuh ideal, sebagai model patung. Dan akhirnya lahirlah sosok patung seperti ini:


Kolaborasi kami tidak berhenti hanyan sebatas Jakarta-Malang. Tapi kami juga melibatkan beberapa seniman dan pengrajin kuningan di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Untuk mencetak patung berbahan logam, kami bekerjasama dengan bapak Dunadi dan Hari Sangidoe dari Krapyak, Yogyakarta. Sehingga lahirlah  patung polwan yang menawan, hasil kreasi bersama beberapa seniman. Patung itu kemudian kita beri nama E.B Warapsari sebagaimana usulan para polwan.


Selain patung, situs monumen Polwan juga dilengkapi dengan beberapa relief sejarah yang menempel pada dinding bagian belakang dan depan bangunan monumen. Sebelumnya relief fungsi dan tugas polwan Indonesia telah disusun menempel pada bagian level base bangunan monumen, sayangnya relief itu tidak terawat dan terbuat dari bahan yang mudah rusak. Akhirnya kami memutuskan memperbaiki relief tersebut dengan gambar yang sama persis tapi terbuat dari bahan yang lebih baik! Untuk relief yang baru kami ketengahkan gambaran fungsi dan tugas polwan Indonesia yang dewasa ini semakin bertambah dan memasuki ranah yang tidak masuki sebelumnya.

Pada dinding bagian depan bangunan monumen, kami susun dua relief sejarah pendidikan Polwan sejak dimulai di Bukittinggi pada masa menjelang Agresi Militer kedua hingga kemudian mereka lanjutkan di Sukabumi pasca periode revolusi Indonesia telah usai. Adapun untuk relief sejarah di dinding bagian belakang, kami ketengahkan kisah sejarah peran polri dan polwan di wilayah Sumatera Barat di tengah perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada masa perang fisik 1945 – 1949. Semua materi relief sejarah kami susun berdasarkan sumber sejarah dan literature sejarah yang kami peroleh dari tim museum polri dan polres Bukittinggi.  

gambar seniman bahan relief sejarah


Relief sejarah pada bagian depan monumen polwan
Dalam pemugaran ini, bangunan monumen polwan yang telah berdiri kokoh sejak 1992 -1993 kami poles kembali, kami perkuat beberapa bagian yang mulai keropos, dan memperbaiki beberapa bagian yang ternyata telah rusak. Tidak ketinggalan lambang polwan Indonesia yang ada di pucuk monumen juga kami ganti dengan lambang baru dengan bahan yang lebih kuat dan ukuran yang lebih proposional. Akhirnya Monumen Polwan yang selesai dipugar, diresmikan sekali lagi oleh kapolri pada saat peringatan Hari Jadi Polwan RI ke 67 pada 1 September 2015.

Demikianlah sekelumit kisah bagaimana mengubah suatu monumen sejarah yang mulanya terabaikan menjadi suatu landmark kota yang mulai dikenal oleh masayarakat luas dan bisa memberikan informasi sejarah yang cukup penting, bahwa polwan Indonesia telah terlahir dari bumi kota gadang, bahwa ranah minang adalah bundo kanduang bagi polisi wanita Indonesia!   


Comments

Popular posts from this blog

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Jung Jawa

Museum Bank Indonesia :Sepenggal kisah proses pembangunan (2004 – 2009) Bagian 1