Museum Maritim Indonesia: Proses Kuratorial Sejarah Maritim Indonesia (1)
Pada Juni 2017 saya diundang oleh manajemen PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) untuk berdiskusi tentang pembangunan museum pelabuhan dan pelayaran yang telah mereka rencanakan sejak dua atau tiga tahun sebelumnya. Di tangan manajemen pada saat itu telah diperoleh dokumen untuk pengerjaan interior ruang, ekterior, dan dokumen Laporan Akhir Alur Cerita dan Bahan Materi/Arsip/Artefak/ dan Barang Peninggalan Sejarah sebagai Koleksi Museum. Ketiga dokumen tersebut telah disiapkan oleh Lembaga Kerja Sama Fakultas Tehnik Universitas Gadjah Mada pada 2015 yang telah bekerjasa dengan PT Pelindo II untuk menyusun semacam cetak biru pembangunan museum.
Pada saat saya diundang, pekerjaan ekterior museum telah berjalan dengan lancar dan sejauh informasi yang saya terima telah terlaksana berdasarkam dokumen perencanaan yang telah disusun sebelumnya. Langkah berikutnya adalah pelaksanaan pekerjaan interior museum yang mulai membuat manajemen PT Pelindo II menyadari bahwa ada sesuatu yang belum terlengkapi dalam dokumen, yaitu bahan materi arsip, artefak, dan barang peninggalan sejarah yang mendukung alur cerita yang telah disusun oleh tim perencana sebelumnya. Pada posisi ini, sebagai kurator, jasa yang saya tawarkan kepada PT Pelindo II adalah jasa kuratorial dalam bentuk mewujudkan konsep materi pamer yang akan disusun dalam museum, baik dalam bentuk non digital maupun digital.
Biasanya, dalam setiap project museum, hal pertama yang saya tawarkan kepada pihak pemilik project adalah penelitian sejarah. Berdasarkan pengalaman yang saya peroleh sebelumnya, penelitian sejarah adalah tulang punggung utama dalam memproduksi alur cerita dan materi pamer dalam museum. Dengan materi sejarah yang diperoleh melalui penelitian, seorang kurator akan memperoleh berbagai macam bahan imajinasi, ide, dan gagasan untuk memperbaiki alur cerita atau bereksperimen dengan bentuk media pamer tertentu. Dalam kasus pembangunan Museum Maritim Indonesia bersama dengan PT Pelindo II saya tidak memperoleh kesempatan emas untuk melakukan penelitian sejarah tersebut, karena secara administrasi telah dilaksanakan oleh tim perencana sebelumnya.
Pada kondisi demikian, saya sedikit berimprovisasi, dan itu bagian dari “pemberontakan demi kebebasan yang lebih” yang diinginkan oleh Szeeman pada 1969 ketika memutuskan hengkang dari museum tempat ia bekerja sejak 1961. Improvisasi yang saya lakukan adalah riset mandiri untuk mendapatkan imajinasi, ide, dan gagasan yang mungkin akan bisa memperbaiki alur cerita yang lebih baik dari rencana semula, tanpa banyak melakukan perubahan secara fisik. Kendala utama saya sebagai kurator pada saat itu adalah waktu. Saya tidak memiliki banyak waktu, sehingga harus menyusun detail konsep tata pamer sambil secara parallel melakukan pengumpulan dan atau penambahan materi yang dibutuhkan untuk penyusunan tata pamer. Berikutnya, untuk mempermudah pelaksanaan pekerjaan secara teknis saya membagi pengadaan materi pamer museum dalam tiga bagian pekerjaan, yaitu:
1. Pekerjaan desain grafis museum.
2. Pekerjaan artwork museum, termasuk di dalamnya pengadaan koleksi benda pamer, baik artefak bersejarah yang aseli maupun replika.
3. Pekerjaan konten untuk materi tayangan multimedia.
Selain itu, untuk panduan sementara, berdasarkan dokumen Laporan Akhir Alur Cerita dan Bahan Materi/Arsip/Artefak/ dan Barang Peninggalan Sejarah sebagai Koleksi Museum saya susun draft denah museum sebagai berikut:
Berdasarkan draft denah tersebut, kurator bekerja melengkapi berbagai bahan row materialyang dibutuhkan dalam menyusun materi pamer yang telah ditetapkan dalam tiga jenis tersebut, yaitu materi pamer grafis; materi pamer artwork yang meliputi berbagai display koleksi barang aseli atau replika, minidiorama, maket, diorama ruang, patung, dan berbagai bentuk pamer yang menggunakan campuran berbagai media; dan konten tayangan multimedia, berupa video mapping, slide gambar pada layar sentuh, atau film dokumenter berdurasi singkat yang diputar secara terus menerus.
Eksplorasi Area Bersejarah Pelabuhan Tanjung Priok
Sebelum melangkah lebih jauh dalam membangun museum pelabuhan dan pelayaran, yang pertama kali saya ajukan kepada pihak manajemen PT Pelindo II adalah membawa saya keliling area pelabuhan Tanjung Priok, mengingat museum akan dibangun di area pelabuhan menempati suatu gedung pusaka yang baru dibangun pada akhir 1950 an. Padahal sebagaimana kita ketahui, Pelabuhan Tanjung Priok telah dibangun sejak 1877 oleh Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van Lansberge dan selesai pada 1886 (PT Pelabuhan Indonesia II, t.t.).
Terkait dengan pembangunan pelabuhan Tanjung Priok itu, di area pelabuhan pada saat ini dapat kita temukan batu prasasti peringatan 100 Tahun Hari Jadi Pembangunan Tanjung Priok yang jatuh pada 17 Juni 1977. Demikian teks yang tertulis pada batu prasasti tersebut:
“Dalam Rangka Peringatan 100 Tahun Hari Jadi Pelabuhan Tanjung Priok Pada Hari Ini, 17 Juni 1977 Di Tempat Ini Ditanamkan Sebuah Prasasti Untuk Generasi 100 Tahun Yang Akan Datang”.
Belum ada sumber sejarah primer lainnya yang ditemukan terkait dengan peringatan Hari Jadi Pelabuhan Tanjung Priok tersebut, kecuali sebuah berita pada tahun 1976 di Harian Kompas yang memberitakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Administratur Pelabuhan Fanny Habibie membentuk panitia peringatan 100 tahun pelabuhan Tanjung Priok.
2. Terkait dengan persiapan peringatan akan diadakan Operasi Bandar Jaya yang akan terus berlangsung hingga upacara peringatan dilaksanakan September 1977 (rencana semula).
3. Peringatan 100 tahun Pelabuhan Tanjung Priok akan ditandai dengan peresmian Terminal Peti Kemas modern pertama yang akan berada di Tanjung Priok.
4. Panitia peringatan meminta agar penyelenggaraan Pekan Olah Raga Pelabuhan-Pelabuhan se-ASEAN yang seharusnya diadakan di Muangthai, akan diadakan di Tanjung Priok. Hal ini dilakukan sebagai upaya mempromosikan pelabuhan Tanjung Priok sebagai pintu gerbang perekonomian Indonesia kepada dunia internasional.
Saat ini tidak ada lagi artefak atau bangunan bersejarah penanda berdirinya pelabuhan untuk pertama kali yang tersisa, konon selain karena perang, revitalisasi pelabuhan pada periode 1970 an telah merobohkan beberapa bangunan yang dianggap tidak lagi layak digunakan. Sejauh saya ketahui, di area pelabuhan (tak jauh dari letak batu prasasti) masih terdapat bangunan eks gedung kantor Rotterdam Lyod, perusahaan pelayaran swasta milik Belanda, yang saat ini dijadikan sebagai Gedung Kepanduan. Tidak banyak jejak arsitektural lama yang tersisa dalam gedung, hanya bentuk fasad gedung yang sekilas masih dipertahankan keasliannya. Selain beberapa koleksi alat navigasi yang pernah digunakan pada masa Hindia Belanda, dalam Gedung Kepanduan terdapat lukisan mural dari keramik yang nempel pada salah satu tembok ruang bagian dalam gedung.
Selain Gedung Kepanduan, bangunan yang dianggap sebagai bangunan pusaka adalah eks bangunan Kantor Pusat PT Pelindo II yang saat ini digunakan sebagai gedung Museum Maritim Indonesia.
Gedung Pusaka PT Pelindo II (Persero)
Museum Maritim Indonesia dibangun dengan menggunakan gedung pusaka yang dimiliki PT Pelindo II. Gedung itu berada di area kantor pusat PT Pelindo II dan berhadapan langsung dengan kolam pelabuhan. Tak jauh dari gedung itu, jika kita lihat ke arah utara, kita temukan gedung Terminal Penumpang Nusantara yang dikelola oleh Pelni melayani jasa angkutan laut. Belum banyak diketahui siapa yang merancang dan membangun gedung pusaka itu, serta bagaimana riwayat gedung itu selain informasi bahwa Kantor Pusat PT Pelindo II pernah menempati gedung tersebut hingga pindah ke gedung baru yang lebih besar tepat di belakang gedung lama.
Sekilas riwayat gedung pusaka dapat kita ketahui dari plakat prasasti peresmian gedung yang menempel pada bagian depan gedung dengan informasi sebagai berikut:
“Pada tanggal 21 Agustus 1958 tepat pada Hari Pelabuhan Ke-XIII dengan upacara resmi Sekretaris Jenderal Kementerian Pelayaran R. Soerapoetra mewakili J.M. Menteri Pelayaran Komodoor Mohamad Nazir, memberikan izin dan doa restu kepada Direktur Pelabuhan R. Djoko Asmo untuk mempergunakan gedung yang baru saja selesai untuk Gedung Direksi Pelabuhan Tanjung Priuk.”
Dari prasasti tersebut dapat diketahui bahwa gedung mulai digunakan pada tahun 1958, sehingga dapat dipastikan bahwa proses pembangunan gedung dimulai setahun, dua tahun, atau lebih sebelum tahun 1958. Tidak ada bagian dalam ruang gedung yang diubah secara signifikan sejak digunakan pada 1958 sebagai Gedung Direksi hingga saat ini menjadi gedung museum. Bahkan di bagian lobby gedung, tepatnya di bagian tangga utama menuju lantai dua, masih dapat kita temukan lukisan mural dinding karya perupa Pelukis Rakyat, Nasir Bondan. Pelukis Rakyat adalah sanggar atau kelompok seniman yang dipelopori oleh Hendra Gunawan dan Affandi setelah keduanya keluar dari Seniman Indonesia Muda (SIM) pada 1947. Pelukis Rakyat sebagaimana SIM pada masa itu banyak menerima pekerjaan seni dari instansi pemerintah baik pusat maupun di daerah.
Belum jelas diketahui apakah lukisan mural pada bertema “suasana pelabuhan” yang nempel di dinding gedung itu adalah hasil kerjasama antara instansi pelabuhan dengan Pelukis Rakyat, atau pekerjaan individu Nasir Bondan, sebagai seorang seniman rupa yang juga bekerja secara mandiri. Pada masa itu lukisan mural pada dinding gedung atau monumen sudah menjadi trend dalam dunia seni rupa. Nasir Bondan, bersama Pelukis Rakyat misalnya, pada awal 1950 an juga membangun Tugu Muda di Semarang d bawah komando pelukis Hendra Gunawan. Hingga saat ini, Tugu Muda dan karya mural yang ada di sekitar bangunan tugu masih menjadi salah satu landmark kota Semarang. Lukisan mural pada dinding tersebut, seolah menjadi ciri khas hiasan gedung yang dibangun pada periode yang sama, misalnya gedung Bandara Kemayoran dan Hotel Indonesia, juga dihiasi oleh karya lukisan mural yang serupa.
Lukisan mural di Gedung Pusaka ini menjadi salah satu jejak masa lalu yang tersisa, selain plakat prasasti yang sebelumnya telah kita singgung. Lukisan mural di Gedung Pusaka mengingatkan kita pada lukisan mural keramik yang menggambarkan pelabuhan Rotterdam yang terdapat di Gedung Kepanduan yang berumur lebih tua. Kedua mural menggambarkan suasana pelabuhan sesuai dengan konteks sejarah yang dimiliki masing-masing instansi. Mural Gedung Pusaka mengabadikan Pelabuhan Tanjung Priok yang menjadi gerbang perekonomian Indonesia pada masa Indonesia merdeka, sedang mural Gedung Kepanduan menggambarkan kemegahan Pelabuhan Rotterdam di negeri Belanda yang menjadi salah satu pelabuhan utama pendukung kegiatan pelayaran dunia. Gedung Kepanduan sebelumnya adalah gedung kantor Rotterdam Lyod hingga masa nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada akhir 1950 an.
Penelitian Pendukung Proses Kuratorial
Setelah mengeksplorasi potensi sejarah yang ada pada area pelabuhan Tanjung Priok, kurator bersama manajemen PT Pelindo II melakukan kegiatan penelitian tambahan, yaitu kunjungan situs bersejarah yang memiliki keterkaitan dengan materi pamer museum. Pada kesempatan itu, kunjungan situs dilakukan di :
- Punjulharjo, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, lokasi ditemukannya perahu kuno dari abad ke-7 – 8 masehi. Sesuai dengan dokumen perencanaan yang telah disusun sebelumnya, museum rencananya akan memamerkan replika perahu kuno yang ditemukan di Punjulharjo tersebut, meski kemudian dalam proses pembangunan rencana display itu diganti dengan materi pamer lainnya.
- Kompleks candi Borobudur, Magelang, untuk mengambil gambar 12 macam jenis perahu yang tergambar dalam relief candi Borobudur. Sesuai dengan dokumen perencanaan yang telah disusun sebelumnya, museum akan memamerkan 12 gambar jenis perahu tersebut sebagai media yang merekam gambaran tradisi pelayaran, baik menggunakan perahu kecil maupun besar, yang telah berlangsung sejak abad-abad awal masehi.
- Museum Purbakala Sangiran, di Jawa Tengah dan Museum Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, untuk melengkapi informasi sejarah pelayaran nusantara pada masa purbakala dan masa Majapahit. Beberapa patung terakota Majapahit juga masuk dalam rencana pengadaan koleksi museum.
- Museum Tanjung Pandan, Belitung, untuk melengkapi informasi tentang replika serpihan kapal Tek Sing, yang menurut kisahnya karam di perairan sekitar Belitung. Dalam rencana pamer museum, kisah tentang kapal Tek Sing akan menjadi salah satu materi pamer dalam museum untuk menggambarkan bahwa pada abad ke 18 Masehi lalu lintas pelayaran di wilayah Nusantara telah sedemikian ramai dan dilintasi berbagi jenis kapal, termasuk kapal semegah Kapal Tek Sing.
Selain untuk melengkapi row material penyusunan materi museum, penelitian pendukung ini berguna dalam membantu kurator dalam memperkaya perspektif yang akan diwujudkan dalam materi pamer museum. Setelah penelitian usai dan mulai memberikan beberapa hasil penelitian, banyak terjadi perubahan rencana pengadaan materi pamer. Ada materi pamer yang diganti dengan materi pamer lainnya dan ada juga materi pamer yang dilengkapi informasinya, sehingga tampilannya lebih baik dan lebih informatif dari sebelumnya.
Selain kunjungan ke situs-situs bersejarah tersebut, studi pustaka dan penelusuran gambar footages juga menjadi bagian penting dalam proses kuratorial. Banyak bahan literature berupa buku, artikel surat kabar, dan majalah dalam bentuk fisik atau digital yang tersedia di beberapa situs digital sangat membantu dalam melengkapi materi pamer. Sebagian besar, bahan-bahan berupa foto dan ilustrasi dapat digunakan sebagai bahan desain grafis, konsep artwork tertentu, atau materi tampilan multimedia.
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) banyak memberikan bahan potret pelabuhan Tanjung Priok pada periode 1950 an, periode awal ketika pelabuhan Tanjung Priok mulai dikelola secara mandiri oleh bangsa Indonesia. Sedangkan Pusat Informasi Kompas (PIK) dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) banyak memberikan informasi berupa artikel surat kabar tentang pelabuhan Tanjung Priok, terutama pada periode akhir 1960 an hingga periode mutakhir.
(bersambung)
Comments