Onghokham atau Ong Hok Ham, atau sebut saja Pak Ong........
Akhir-akhir ini, saya teringat pak Ong, entah kenapa? mungkin pertama, karena hari-hari ini media cetak dan elektronik sedang masygul meliput pak Harto yang sekarat. Maka, ingat pak Harto, ingat pak Ong. Apa sebab? Karena saya pertama kali mengenal pak Ong lewat tulisannya di Kompas, menanggapi titah pak Harto “lengser Keprabon mandeg Pandhito” pada saat itu. Itulah pertama kali saya mengenal pak Ong, lewat tulisan yang membuat saya seorang pemuda lulusan pesantren yang penuh dengan ke-sotoi-an, lagi haus bacaan, terkagum-kagum, siapakah gerangan tokoh eksentrik ini.
Kedua, mungkin tulisan veven s perdana di harian Kompas Minggu kemaren yang mengupas buku Onze Ong : Onghokham dalam kenangan, membuat saya tergugah. Masak iya, masa perkawanan saya beberapa tahun itu dengan pak Ong, kok ya nggak membekas dalam tulisan, rasanya tidak adil jika saya memendam ingatan saya tentang pak Ong, yang bila diprosentasekan paling tidak “aktivitas kesejarahan” saya selama masa mahasiswa dulu 60% selalu terkait dengan pak Ong. Jadi tulisan yang saya hantarkan ini adalah semacam tulisan kenangan bersama pak Ong, hehehehehe, hanya mengenang, itu saja. Mungkin juga, saya yakin setiap kawan2 sejarah saya yang dulu kerap bertandang ke rumah pak Ong juga mempunyai kisahnya sendiri-sendiri.
Awalnya
Pada tahun 1996-1997, saya masih belum kuliah, saya baru saja menyelesaikan masa pengabdian di Pesantren dar el qolam, selepas dari sana, saya berpindah-pindah, dari Surabaya ke Kudus, kembali lagi ke Surabaya, kemudian saya kabur ke Parung, Bogor, dan akhirnya menetap di Gunungsindur, Tangerang, dan meneruskan kuliah di UI Depok. Sebelum kuliah, karena haus akan pergaulan yang ilmiah, saya sering mengkliping berita koran atau tabloid yang saya anggap menarik. Salah satu topik yang saya anggap menarik saat itu adalah topik sejarah-politik, dan pada saat itulah saya membaca tulisan Onghokham tentang konsep raja Jawa menanggapi pak Harto yang pada saat itu melontarkan wacana “lengser Keprabon mandeg Pandhito”. Kemudian saya juga menemui reportase wawancara Kompas dengan Onghokham yang lebih membahas tentang kehidupan pribadinya, dikatakan dalam reportase itu, Onghokham masih melajang, Cina Surabaya, mahir memasak dan tinggal di suatu rumah yang eksentrik. Sejak saat itu, saya yang belum berpikir kelak akan kuliah di Jurusan Sejarah, secara selintas saya mengenal Onghokham adalah sejarawan UI yang unik, ahli sejarah Jawa!
Tahun 1998 saya akhirnya kuliah di Jurusan Sejarah UI, nama Onghokham kembali bergema lewat mulut senior2 sejarah kala inisiasi, dan photo sketsa pak Ong juga saya lihat terpampang di ruang Jurusan Sejarah bersama photo sketsa sejarawan AB Lapian dan R.Z. Leirissa. Lagi-lagi saya kenal Onghokham masih hanya nama dan rupa secara tidak langsung.
Tahun 1999 saya mulai berorganisasi, dalam hal ini dengan cepat, saya belajar banyak dari kawan saya Umar Idris yang terlebih dahulu masuk jurusan Sejarah setahun sebelumnya. Pada tahun itulah saya duduk sebagai wakil ketua Studi Klub Sejarah, dan berusaha untuk menghidupkan kembali majalah sejarah Historia. Sebagai pengurus kelompok studi dan merangkap sebagai Redaktur Pelaksana majalah, suatu ketika saya mengusulkan agar diadakan Pekan Sejarah dengan mengangkat tema Transisi Kekuasaan di Indonesia. Untuk tema ini saya mengusulkan agar pak Ong dihadirkan sebagai salah satu pembicara dalam seminar dengan tema yang sama. Dan nantinya hasil dari pekan sejarah itu akan kami bukukan dalam majalah Historia. Nah, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui!
Saya lupa bulannya, yang jelas saat itu setelah penerimaan maba sejarah 99, bisa jadi akhir tahun 1999. Kami dari Studi Klub Sejarah bertandang ke rumah pak Ong. Ini untuk pertama kali buat saya, bertemu sang sejarawan secara langsung ! saya bersama Tomo, Wandi, Haryanto (Arimin) dan Made GWS. Diantara mereka mungkin dari umur saya lah yang paling senior, selain itu saya juga lah yang dianggap mempunyai hajat untuk bertemu pak Ong. Kesan pertama, wah, rumah yang eksotis, entah gaya apa itu, pokoknya mantap deh, dan yang paling saya ingat, “banyak anjing!” atau “kirik !”. Sang tuan rumah sedang masygul rupanya menerima tamu, rupanya wartawan yang mewawancarai, juga ada seorang asing. Kami berempat menunggu giliran untuk bertemu, menunggu di selasar samping (yang beberapa tahun kemudian, di tempat itulah saya kerap makan-minum sambil nonton tv di rumah pak Ong), sekilas tampak beberapa batur pak Ong yang agak bencis gitu. Salah satunya, setelah memasak, berlalu ke ruang tamu, untuk pamit kepada pak Ong dengan towelan mesra. Alamak! inilah salah satu ke-eksentrik-an pak Ong! Sementara pemandangan ini adalah dunia yang baru bagi saya, seorang yang bertahun-tahun berkutat dalam dunia hitam-putih dogma agama, dunia santre!!!!
Tamu berlalu, giliran saya, ini adalah kali pertama saya harus mengutarakan pendapat di depan seorang akademisi. Wah, aksennya percis Cina-Surabaya, saya hapal betul itu. Di ruang tamu pak Ong (teras depan ruang perpustakaan) kawan-kawan saya duduk agak menjauh, sedangkan saya langsung berhadapan dengan pak Ong, face to face, kami duduk pada sepasang meja kursi depan pintu. Seperti biasa, karena agak nervous, saya nyerocos aja memaparkan maksud kedatangan, mengutarakan pendapat kenapa ada pekan sejarah, kenapa tema transisi kekuasaan yang kami pilih, dan puncaknya, saya sampaikan kepadanya dua pucuk surat, satu untuk panitia pekan sejarah dan kedua untuk majalah Historia, meminta kepadanya untuk menjadi pembicara, sambil bersungut-sungut, rautnya mulai marah, sembari menenteng satu mug air putih, ”hah, kurang ajar kamu! menyuruh saya mengerjakan dua hal sekaligus!!!!!Dasar bayi besar, guoblok kamu!!! Apa harus dijajah lagi biar pintar, hah!!!!” dan bibir mug gelas itu pun telah hampir tumpah ke arah muka saya. Waduh, pertemuan pertama langsung didamprat, dan hampir kena siram!
Kemudian
Justru di pertemuan kedua, pak Ong mulai akrab dan baik hati dengan saya? Hohohoho apa sebab? Ceritanya, entah ini terjadi awal atau tengah tahun 2000, yang jelas ini kali terakhir saya bertandang ke rumah pak Ong saat beliau masih dalam keadaan sehat wal-afiat! Pada saat itu, saya menerima tamu dari Surabaya, mahasiswa sejarah UNAIR, Ali dan Pungky, si Ali ini lumayan okelah penampilannya buat cewek-cewek hahahahaha, dan masuk dalam minat pak Ong mungkin. Nah, saya mengantarkan si Ali ini untuk menyampaikan proposal Seminar Sejarah Nasional IKAHIMSI di UNAIR, kami meminta pak Ong untuk menjadi pembicara.
Melihat barang bagus, sontak saja pak Ong jadi ramah. Pada saat itu saya jadi semacam tour guide dengan tamu si Ali, sementara pak Ong adalah tuan rumah, saya bahkan sempat diminta pak Ong untuk mengambil gambarnya dengan si tamu ini. Dengan semangat ia menjelaskan detail rumahnya, wah itu pengetahuan baru buat saya, detail yang sungguh hebat! terakhir kunjungan itu kami akhiri di kamar mandi pak Ong yang fenomenal itu, dan kebetulan baru masuk salah satu majalah interior di Jakarta. Kawan saya si Ali jadi kikuk, diperlakukan bak raja oleh pak Ong (ia belum tau minat seksual pak Ong) saya geli sendiri dalam hati. Tapi tentu saja saya selamatkan si tamu, saat pak Ong memintanya untuk menginap, segera saya sergah bahwa sore nanti Ali akan langsung kembali ke Surabaya, dengan ramah pula pak Ong mengiyakan bahwa akan hadir di Surabaya dan siang itu kami pulang dari rumah sang sejarawan dengan gembira. Sementara dalam bajaj, si Ali berseloroh “ sial kamu win, nggak ngasi tau aku, ngerjain aku kamu ya.” lantas saya jawab” lho, yang penting kan urusan beres, dapat ilmu pula kita!”
Waktu berlalu, beberapa acara saya tidak lagi bersinggungan dengan pak Ong (biasa, ganti partner, antara lain bersama dengan sejarawan Hermawan Sulistyo, Anhar Gonggong, juga Asvi Warman Adam). Setelah kunjungan kedua itu, dan sebelum pak Ong jatuh sakit di Yogyakarta pada awal 2001 itu saya melihat beberapa kali pak Ong berjalan dengan baju kucelnya, tas tak berbentuk, yang entah apa isinya nyangklong di bahunya, berjalan khas pak Ong, seolah menunduk, saya lihat pak Ong di halte Kuningan menanti bus di siang hari yang terik dan sesekali saya melihat pak Ong di pasar Glodok, ia berbicara dengan beberapa pedagang disana dengan akrabnya, saya tergeleng, betapa pak Ong, sejarawan besar ini begitu bersahaja hidupnya.
Kemudian lagi
Saya lupa tepatnya kapan, entah berita dari koran, atau cerita dosen dalam kelas yang mengabarkan bahwa pak Ong terserang stroke di Yogyakarta. Saya tidak lagi mengikuti kisahnya. Pada periode 2000-2001 ini saya adalah ketua Studi Klub Sejarah, saya berusaha menghidupkan kegiatan ilmiah mahasiswa, termasuk dalam tulis-menulis. Meskipun saya tidak lagi terlibat dalam redaksional majalah Historia, tapi sebagai penanggungjawab saya juga berusaha menghidupi majalah itu.
Awal-tengah 2001 saya mengadakan Pekan Sejarah kedua, saya mengangkat tema sejarah seni dan budaya. Nggak tau lah, pada saat itu saya lagi gandrung dengan kesenian, dari mulai photographi, pilem Indonesia, musik betawi, hingga teater, semuanya saya angkat dalam Pekan Sejarah! Seperti biasa kami-pun kekurangan dana (Pekan Sejarah pertama kami berhutang satu koma dua juta rupiah!). Melalui mbak Meli, saat itu kajur Sejarah, saya dikenalkan kepada pak Aji Dame’ (bpk. Aji Dhamais, museolog, kawan Jop Ave), yang menurutnya bisa support acara pekan sejarah kedua. Pak Aji Dame’ ini lantas membawa proposal saya ke pak Halim (Ardi Halim, Mitra Museum) yang ternyata adalah salah satu pengurus LSSI, Lembaga Studi Sejarah Indonesia, lembaga sejarah yang didirikan oleh kawans2 pak Ong atas wasiatnya dengan tujuan untuk dapat mendukung pengembangan studi sejarah di Indonesia.
Setelah membaca riwayat organisasi Studi Klub Sejarah, pak Halim menganggap bahwa kegiatan Studi Klub Sejarah dapat menjadi salah satu alternatif bagi pengembangan studi sejarah di kalangan mahasiswa dan umum. Melalui pak Halim inilah, LSSI lembaga milik pak Ong banyak mendukung hampir semua aktivitas sejarah saya. Pada saat ultah pak Ong entah yang ke berapa di tahun 2001 itu, saya diundang untuk secara simbolik menerima bantuan dari LSSI untuk kegiatan Studi Klub Sejarah. Itulah pertemuan pertama saya dengan pak Ong dalam keadaan sakit, di atas kursi roda, kesangarannya telah tiada, omongannya susah dipahami, mungkin pak Ong sudah tak kenal lagi siapa saya. Yang jelas saya menikmati acara pesta di gedung Arsip Gajah Mada itu. Banyak kawan2 pak Ong yang datang untuk meramaikan acara, berasal dari kalangan yang luas, dari mulai selebritis, diplomat, akademisi, seniman, budayawan, desainer, tokoh pers-media, semuanya hadir, menunjukkan bahwa pak Ong memang Onze Ong! Satu cakrawala pergaulan dengan dunia yang baru mulai terbuka bagi saya, oh ada toh orang-orang hebat macem begini. Pertemuan itu membuka kerjasama saya dengan LSSI pada acara-acara berikutnya, antara lain pak Halim menyanggupi membiayai penerbitan majalah Historia untuk empat edisi! (terealisasi dua edisi) Sungguh lega rasanya.
Tak lama kemudian, setelah saya tidak lagi aktif di Studi Klub Sejarah, saya lama sekali tidak berhubungan dengan pak Ong, tetapi lagi-lagi nasib membawa saya untuk sering maen ke rumah pak Ong. Rupanya setelah menderita sakit itu pak Ong membutuhkan seorang sekretaris merangkap pustakawan, melalui pak Iskandar, mantan asdos pak Ong, posisi itu ditawarkan kepada teman kami Suryagung, karena si Agung ini juga merangkap kuliah di D3 Ilmu Perpustakaan. Agung nggak bertahan lama, ia tak tahan dijilati anjing-anjingnya pak Ong, ditambah suasana rumah pak Ong yang semua baturnya aneh. Memang di rumah pak Ong kita harus menerima perbedaan. Dalam suatu kesempatan Agung pernah bilang kepada saya, “ Win, celana jeans gua sampai gua buang gara-gara dijilati anjingnya pak Ong !!!!”
Untuk menggantikan Agung, kawan saya Khaerul (Elung) menawarkan diri dan ia diterima menggantikan Agung sebagai sekretaris sekaligus pustakawan di tempat pak Ong. Nah, gayung bersambut, kebetulan saya dan Khaerul adalah komplotan lama. Segera kerja-kerja LSSI selalu bersinergi dengan kerja-kerja IKAHMISI, yang kebetulan LSSI memfasilitasi saya untuk mendapatkan posisi Sekjend IKAHIMSI. Banyak acara-acara LSSI yang diback-up langsung oleh pasukan bodrex mahasiswa sejarah UI. Dalam periode ini, 2002-2003 saya intens sekali bertemu dengan pak Ong, yang tampaknya mulai banyak ditinggalkan oleh kawans2nya. Pak Ong tampak kesepian, ia senang sekali jika kami mahasiswa sejarah datang beramai-ramai, dengan riang ia menyalami satu-persatu sambil bertanya “siapa ini?” lalu dengan bisikan yang keras kepada mas Santo’ “awasi mahasiswa, nanti nyolong (buku).......” hahahaha itulah pak Ong saya geli mendengarnya.
Meskipun pak Ong secara fisik telah lemah, dan bicaranya juga sukar dimengerti, tapi ia tetap memaksakan diri untuk menulis, meski amburadul, kalau membaca buku, wah so pasti masih terus baca!. Tiap pagi pak Ong bak raja, sarapan dengan menu istimewa ditemani anjing-anjingnya yang setia (blacky, tuyul dan kribo) “kibo, ini makan!” sesekali pak Ong berkomunikasi dengan si kribo anjingnya. Kala bersantap itulah pak Ong membaca koran, undangan, ngobrol dengan kami, menanyakan buku-bukunya, lalu kembali ke kamar tidurnya pada jam sebelas siang dan keluar lagi pada jam dua atau tiga sore.
Saya sangat menikmati pertemanan saya dengan pak Ong, ada banyak perspektif yang saya dapat dari pak Ong. Seperti biasa, ia banyak diam mendengar ocehan saya, cerita saya, lalu sesekali menyahut sambil manggut2 “ah, itu dogma, kayak jurusan sejarah, menganggap sejarah sebagai dogma, seperti agama!” Banyak hal yang saya tanyakan kepada pak Ong, tentang Hok Gie, Nugroho, meski tak pernah sekalipun ia mengungkap masa kelamnya dalam penjara! Sebalinya ia banyak bertanya kepada saya tentang issue2 mutakhir, tentang Aceh misalnya, atau berita-berita politik yang mungkin ia mendengarnya, tapi ia hanya mendengar, meng-iyakan atau diam sama sekali. Tak jarang juga pak Ong ngebanyol, kata mas Santo’ hal itu jarang dilakukan sebelumnya. Misalnya pas hari Jum’at, kami pamit sebentar untuk sholat Jum’at, maka pak Ong lantas berseloroh ”iya, iya, silahkan, jangan lupa titip salam sama Tuhan kamu, bilang sama Tuhan kamu, agar saya diberi kesehatan.” begitu tukasnya sambil nyengir, muka ngledek khas pak Ong. Dan di suatu siang saya bilang ke pak Ong “pak Ong, rumah pak Ong ini seram sekali, banyak patung-patung, angker!” lalu ia menjawab” iya, nanti kalau saya mati, saya mau jadi hantu di rumah ini, itu disana bertengger di atas!” seraya menunjuk bagian atas pintu ruang perpustakaan.”tapi, saya pasti jadi hantu yang lucu.” sambungnya sambil terkekeh. Sendau gurau macam inilah yang saya selalu ingat dari pak Ong! Kalau masalah ilmu, sudah pasti saya dapatkan dari membaca buku-buku Ong, yang ya ampun sungguh dahsyat sekali comparative history yang ia terapkan dalam tulisan-tulisannya. Pada waktu itu, saya hanya mengkonfirmasi saja bacaan saya atas pak Ong, dan ia tampak happy, dan selalu menasehati saya agar tidak hanya menguasai sejarah Indonesia saja! Sejarah Eropa dan bagian dunia yang lain juga perlu dipelajari!
Sampai akhirnya pada tahun 2004 saya bekerja di Museum Bank Indonesia, dan kawan saya Khaerul yang telah menjadi semacam “anak kesayangan” pak Ong juga telah mendapatkan kerja di tempat lain. Tak banyak lagi saya ketemu dengan pak Ong, hanya sesekali saya menyempatkan diri maen di siang hari bila ada janji dengan Khaerul. Pada saat itu mas Santo’, batur pak Ong yang paling setia berkata “pak Erwin, tuh pak Ong kesepian, jarang ada yang ngajak ngomong seperti dulu!” saya merasa bersalah dengan hal itu, tapi apa mau dikata saya tidak lagi menjadi manusia bebas seperti dulu, bebas merdeka kongkow2 tanpa takut kehilangan kerja. Pada pertemuan itu, rumah pak Ong sepi sekali, tidak ada lagi aktivitas seperti sebelumnya. Mengetahui ada tamu pak Ong menyambut kami di ruang perpustakaan, pak Ong tampak senang sekali, dengan setengah pamer ia tunjukkan kepada saya bahwa semalam pak Ong telah selesai membaca empat judul buku. hal itu pak Ong tunjukkan dengan menyuruh mas Santo’ untuk mengambil buku-buku itu di kamarnya dan meletakkannya kembali di rak buku.
Akhirnya
Beberapa waktu kemudian, saya dikabari oleh Khaerul bahwa kita akan membentuk Onghokham Institute untuk menggantikan LSSI yang dianggap sudah tidak lagi berjalan dengan baik. Untuk meminta pendapat dan dukungan kami, pak Halim mengajak kami untuk membicarakannya terlebih dahulu, saya Andi (Aa’) dan Khaerul bertemu bersama di suatu restoran di Senayan. Pada saat itulah ide untuk menggantikan LSSI dengan Ong Institute semakin menguat, berulang kali pak Halim meminta pertimbangan kami tentang kemungkinan untuk mewujudkan suatu organisasi yang lebih efektif daripada LSSI. Pak Halim merasa bahwa beliau susah sekali untuk mengumpulkan kembali kawans2 pak Ong yang mendirikan LSSI. Dalam pertemuan itu kami dikabari bahwa ada kolega pak Halim yaitu pak Budi Lim (arsitektur, merevitalisasi gedung Arsip Nasional Gajah Mada) sanggup membantu membangun perpustakaan guna menyelamatkan koleksi pustaka pak Ong. Atas niat baik itu, saya sampaikan bahwa saya bersedia mendukung Ong Institute.
Pertemuan berikutnya, segera menjadi langkah yang lebih kongkret untuk mendirikan Ong Institute kembali dilaksanakan di rumah pak Budi. Waduh, saya cuman teringat pak Ong senang sekali, karena pak Budi menjamu kami dengan sop ikan khas pasar Glodok! Katanya hidangan itu adalah hidangan yang digemari oleh keluarga pak Budi sejak dahulu. Hadir dalam pertemuan ini ibu Mona Lohanda, tambah senang saja saya, karena berkesempatan untuk bergabung bersama dengan dosen saya yang cukup ahli itu. Beberapa waktu kemudian, Onghokham Institue berdiri, kawan saya Khaerul yang bertugas mondar-mandir untuk mengurus akte organisasi. Maka, jadilah saya erwien kusuma, sejarawan kutu kupret ini menjadi salah satu pendiri Onghokham Institue. Ya, saya hanya pendiri, bukan pengurus, jadi ini yang ingin saya katakan, selanjutnya memang saya tidak terlibat aktif dalam Ong Institute. Karena keterbatasan waktu, saya hanya membantu saja bilamana dibutuhkan, untuk ikut berdiskusi tentang program Ong Institute. Andi dan Khaerul-lah yang banyak aktif dalam hal ini, mereka kemudian mengajak beberap kawan untuk bergabung.
Pertemuan terakhir saya dengan pak Ong terjadi pada akhir 2006, suatu siang saya bermain ke rumah pak Ong, ada Khaerul disana, dan kebetulan juga ada pak David Reeve yang sedang datang ke Jakarta dan bertandang ke rumah Ong untuk berbicara masalah penulisan biografi pak Ong yang sedang dilakukannya. Dalam pembicaraan kami berempat, tiba-tiba pak Ong bertanya kepada Khaerul, “Khaerul, bapak kamu dulu apa?”, “tukang sablon pak Ong” jawab Khaerul. “Erwin, bapak kamu apa?”, “bapak saya sopir pak Ong”, jawab saya. “ya, bagus. Kalian semua naik kelas sekarang!, anak tukang sablon, anak sopir sudah jadi sarjana, sejarawan, duduk dan bergaul bersama saya. ya, kalian naik kelas!!!” jawab pak Ong sambil terkekeh bersama pak David. Rupanya itu pertemuan terakhir saya dengan pak Ong. Dalam perjalanan pulang bersama pak David, beliau kembali membahas soal “naik kelas” itu dan sekali lagi pak David berpesan kepada saya “sepertinya kamu, dan kawan2 mesti sering datang ke rumah pak Ong, untuk sekedar menemani pak Ong bicara, ngobrol, karena tampaknya pak Ong kelihatan segar , jika kalian-kalian yang masih muda terus mengajaknya untuk berkomunikasi”. Saya mengiyakan itu, sembari saya utarakan bahwa waktu saya dan Khaerul sangat terbatas sekali untuk pak Ong, karena masing2 sudah harus bekerja, dan kami berdua termasuk orang-orang yang masih harus menafkahi orang tua masing2.
Terakhir Sekali
Saya semakin larut dengan pekerjaan, Ong Institute berjalan sebagaimana mestinya dan saya tak banyak tau. Selama itu saya hanya mengetahui perkembangan pak Ong melalui Khaerul. Pak Ong kerap terlibat hadir dalam acara-acara Ong Institute, terakhir Khaerul dengan bangga bercerita, bahwa dalam rangkaian acara Ong Institute di Bandung, ia berhasil memenuhi harapan pak Ong untuk bernostalgia di Bandung! Raut gembira, seperti anak mengkisahkan bapaknya.
Suatu sore, akhir Agustus 2007, saya sedang di Lampung, ada tugas pameran Museum BI disana, Hp saya berderimg, saya angkat ternyata Khaerul, dengan suara datar menyiratkan kepanikan berkata “Tem, pak Ong nggak sadar nih, sudah nggak gerak dari tadi, gimana nih?” lantas saya bilang “waduh lung, gua lagi di Lampung, ya udah lu bawa aja ke rumah sakit untuk diperiksa”, “iya,iya.”jawab Khaerul. Dan selang beberapa puluh menit kemudian, menjelang maghrib, saya pas di jalan untuk membeli oleh-oleh untuk persiapan pulang esok hari, Hp saya kembali berdering, di seberang sana Khaerul kembali mengabarkan “Tem, pak Ong udah nggak ada!”
Begitulah, akhirnya pak Ong dengan tenang meninggalkan kita. Esoknya segera saya melayat jenazah pak Ong di rumah duka RS Dharmais, pak Ong seperti orang tertidur pulas. Bu Mona membimbing saya untuk segera berdo’a. Dengan khidmat saya berdo’a dan dalam hati saya katakan “pak Ong, saya tau pak Ong pasti tau saya telah datang, terima kasih untuk segala pertemanan selama ini, terima kasih. Kami-lah yang akan menggantikanmu. Selamat jalan pak Ong!”
Jakarta, Senin-Selasa, 14-15 Januari 2008.
Kedua, mungkin tulisan veven s perdana di harian Kompas Minggu kemaren yang mengupas buku Onze Ong : Onghokham dalam kenangan, membuat saya tergugah. Masak iya, masa perkawanan saya beberapa tahun itu dengan pak Ong, kok ya nggak membekas dalam tulisan, rasanya tidak adil jika saya memendam ingatan saya tentang pak Ong, yang bila diprosentasekan paling tidak “aktivitas kesejarahan” saya selama masa mahasiswa dulu 60% selalu terkait dengan pak Ong. Jadi tulisan yang saya hantarkan ini adalah semacam tulisan kenangan bersama pak Ong, hehehehehe, hanya mengenang, itu saja. Mungkin juga, saya yakin setiap kawan2 sejarah saya yang dulu kerap bertandang ke rumah pak Ong juga mempunyai kisahnya sendiri-sendiri.
Awalnya
Pada tahun 1996-1997, saya masih belum kuliah, saya baru saja menyelesaikan masa pengabdian di Pesantren dar el qolam, selepas dari sana, saya berpindah-pindah, dari Surabaya ke Kudus, kembali lagi ke Surabaya, kemudian saya kabur ke Parung, Bogor, dan akhirnya menetap di Gunungsindur, Tangerang, dan meneruskan kuliah di UI Depok. Sebelum kuliah, karena haus akan pergaulan yang ilmiah, saya sering mengkliping berita koran atau tabloid yang saya anggap menarik. Salah satu topik yang saya anggap menarik saat itu adalah topik sejarah-politik, dan pada saat itulah saya membaca tulisan Onghokham tentang konsep raja Jawa menanggapi pak Harto yang pada saat itu melontarkan wacana “lengser Keprabon mandeg Pandhito”. Kemudian saya juga menemui reportase wawancara Kompas dengan Onghokham yang lebih membahas tentang kehidupan pribadinya, dikatakan dalam reportase itu, Onghokham masih melajang, Cina Surabaya, mahir memasak dan tinggal di suatu rumah yang eksentrik. Sejak saat itu, saya yang belum berpikir kelak akan kuliah di Jurusan Sejarah, secara selintas saya mengenal Onghokham adalah sejarawan UI yang unik, ahli sejarah Jawa!
Tahun 1998 saya akhirnya kuliah di Jurusan Sejarah UI, nama Onghokham kembali bergema lewat mulut senior2 sejarah kala inisiasi, dan photo sketsa pak Ong juga saya lihat terpampang di ruang Jurusan Sejarah bersama photo sketsa sejarawan AB Lapian dan R.Z. Leirissa. Lagi-lagi saya kenal Onghokham masih hanya nama dan rupa secara tidak langsung.
Tahun 1999 saya mulai berorganisasi, dalam hal ini dengan cepat, saya belajar banyak dari kawan saya Umar Idris yang terlebih dahulu masuk jurusan Sejarah setahun sebelumnya. Pada tahun itulah saya duduk sebagai wakil ketua Studi Klub Sejarah, dan berusaha untuk menghidupkan kembali majalah sejarah Historia. Sebagai pengurus kelompok studi dan merangkap sebagai Redaktur Pelaksana majalah, suatu ketika saya mengusulkan agar diadakan Pekan Sejarah dengan mengangkat tema Transisi Kekuasaan di Indonesia. Untuk tema ini saya mengusulkan agar pak Ong dihadirkan sebagai salah satu pembicara dalam seminar dengan tema yang sama. Dan nantinya hasil dari pekan sejarah itu akan kami bukukan dalam majalah Historia. Nah, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui!
Saya lupa bulannya, yang jelas saat itu setelah penerimaan maba sejarah 99, bisa jadi akhir tahun 1999. Kami dari Studi Klub Sejarah bertandang ke rumah pak Ong. Ini untuk pertama kali buat saya, bertemu sang sejarawan secara langsung ! saya bersama Tomo, Wandi, Haryanto (Arimin) dan Made GWS. Diantara mereka mungkin dari umur saya lah yang paling senior, selain itu saya juga lah yang dianggap mempunyai hajat untuk bertemu pak Ong. Kesan pertama, wah, rumah yang eksotis, entah gaya apa itu, pokoknya mantap deh, dan yang paling saya ingat, “banyak anjing!” atau “kirik !”. Sang tuan rumah sedang masygul rupanya menerima tamu, rupanya wartawan yang mewawancarai, juga ada seorang asing. Kami berempat menunggu giliran untuk bertemu, menunggu di selasar samping (yang beberapa tahun kemudian, di tempat itulah saya kerap makan-minum sambil nonton tv di rumah pak Ong), sekilas tampak beberapa batur pak Ong yang agak bencis gitu. Salah satunya, setelah memasak, berlalu ke ruang tamu, untuk pamit kepada pak Ong dengan towelan mesra. Alamak! inilah salah satu ke-eksentrik-an pak Ong! Sementara pemandangan ini adalah dunia yang baru bagi saya, seorang yang bertahun-tahun berkutat dalam dunia hitam-putih dogma agama, dunia santre!!!!
Tamu berlalu, giliran saya, ini adalah kali pertama saya harus mengutarakan pendapat di depan seorang akademisi. Wah, aksennya percis Cina-Surabaya, saya hapal betul itu. Di ruang tamu pak Ong (teras depan ruang perpustakaan) kawan-kawan saya duduk agak menjauh, sedangkan saya langsung berhadapan dengan pak Ong, face to face, kami duduk pada sepasang meja kursi depan pintu. Seperti biasa, karena agak nervous, saya nyerocos aja memaparkan maksud kedatangan, mengutarakan pendapat kenapa ada pekan sejarah, kenapa tema transisi kekuasaan yang kami pilih, dan puncaknya, saya sampaikan kepadanya dua pucuk surat, satu untuk panitia pekan sejarah dan kedua untuk majalah Historia, meminta kepadanya untuk menjadi pembicara, sambil bersungut-sungut, rautnya mulai marah, sembari menenteng satu mug air putih, ”hah, kurang ajar kamu! menyuruh saya mengerjakan dua hal sekaligus!!!!!Dasar bayi besar, guoblok kamu!!! Apa harus dijajah lagi biar pintar, hah!!!!” dan bibir mug gelas itu pun telah hampir tumpah ke arah muka saya. Waduh, pertemuan pertama langsung didamprat, dan hampir kena siram!
Kemudian
Justru di pertemuan kedua, pak Ong mulai akrab dan baik hati dengan saya? Hohohoho apa sebab? Ceritanya, entah ini terjadi awal atau tengah tahun 2000, yang jelas ini kali terakhir saya bertandang ke rumah pak Ong saat beliau masih dalam keadaan sehat wal-afiat! Pada saat itu, saya menerima tamu dari Surabaya, mahasiswa sejarah UNAIR, Ali dan Pungky, si Ali ini lumayan okelah penampilannya buat cewek-cewek hahahahaha, dan masuk dalam minat pak Ong mungkin. Nah, saya mengantarkan si Ali ini untuk menyampaikan proposal Seminar Sejarah Nasional IKAHIMSI di UNAIR, kami meminta pak Ong untuk menjadi pembicara.
Melihat barang bagus, sontak saja pak Ong jadi ramah. Pada saat itu saya jadi semacam tour guide dengan tamu si Ali, sementara pak Ong adalah tuan rumah, saya bahkan sempat diminta pak Ong untuk mengambil gambarnya dengan si tamu ini. Dengan semangat ia menjelaskan detail rumahnya, wah itu pengetahuan baru buat saya, detail yang sungguh hebat! terakhir kunjungan itu kami akhiri di kamar mandi pak Ong yang fenomenal itu, dan kebetulan baru masuk salah satu majalah interior di Jakarta. Kawan saya si Ali jadi kikuk, diperlakukan bak raja oleh pak Ong (ia belum tau minat seksual pak Ong) saya geli sendiri dalam hati. Tapi tentu saja saya selamatkan si tamu, saat pak Ong memintanya untuk menginap, segera saya sergah bahwa sore nanti Ali akan langsung kembali ke Surabaya, dengan ramah pula pak Ong mengiyakan bahwa akan hadir di Surabaya dan siang itu kami pulang dari rumah sang sejarawan dengan gembira. Sementara dalam bajaj, si Ali berseloroh “ sial kamu win, nggak ngasi tau aku, ngerjain aku kamu ya.” lantas saya jawab” lho, yang penting kan urusan beres, dapat ilmu pula kita!”
Waktu berlalu, beberapa acara saya tidak lagi bersinggungan dengan pak Ong (biasa, ganti partner, antara lain bersama dengan sejarawan Hermawan Sulistyo, Anhar Gonggong, juga Asvi Warman Adam). Setelah kunjungan kedua itu, dan sebelum pak Ong jatuh sakit di Yogyakarta pada awal 2001 itu saya melihat beberapa kali pak Ong berjalan dengan baju kucelnya, tas tak berbentuk, yang entah apa isinya nyangklong di bahunya, berjalan khas pak Ong, seolah menunduk, saya lihat pak Ong di halte Kuningan menanti bus di siang hari yang terik dan sesekali saya melihat pak Ong di pasar Glodok, ia berbicara dengan beberapa pedagang disana dengan akrabnya, saya tergeleng, betapa pak Ong, sejarawan besar ini begitu bersahaja hidupnya.
Kemudian lagi
Saya lupa tepatnya kapan, entah berita dari koran, atau cerita dosen dalam kelas yang mengabarkan bahwa pak Ong terserang stroke di Yogyakarta. Saya tidak lagi mengikuti kisahnya. Pada periode 2000-2001 ini saya adalah ketua Studi Klub Sejarah, saya berusaha menghidupkan kegiatan ilmiah mahasiswa, termasuk dalam tulis-menulis. Meskipun saya tidak lagi terlibat dalam redaksional majalah Historia, tapi sebagai penanggungjawab saya juga berusaha menghidupi majalah itu.
Awal-tengah 2001 saya mengadakan Pekan Sejarah kedua, saya mengangkat tema sejarah seni dan budaya. Nggak tau lah, pada saat itu saya lagi gandrung dengan kesenian, dari mulai photographi, pilem Indonesia, musik betawi, hingga teater, semuanya saya angkat dalam Pekan Sejarah! Seperti biasa kami-pun kekurangan dana (Pekan Sejarah pertama kami berhutang satu koma dua juta rupiah!). Melalui mbak Meli, saat itu kajur Sejarah, saya dikenalkan kepada pak Aji Dame’ (bpk. Aji Dhamais, museolog, kawan Jop Ave), yang menurutnya bisa support acara pekan sejarah kedua. Pak Aji Dame’ ini lantas membawa proposal saya ke pak Halim (Ardi Halim, Mitra Museum) yang ternyata adalah salah satu pengurus LSSI, Lembaga Studi Sejarah Indonesia, lembaga sejarah yang didirikan oleh kawans2 pak Ong atas wasiatnya dengan tujuan untuk dapat mendukung pengembangan studi sejarah di Indonesia.
Setelah membaca riwayat organisasi Studi Klub Sejarah, pak Halim menganggap bahwa kegiatan Studi Klub Sejarah dapat menjadi salah satu alternatif bagi pengembangan studi sejarah di kalangan mahasiswa dan umum. Melalui pak Halim inilah, LSSI lembaga milik pak Ong banyak mendukung hampir semua aktivitas sejarah saya. Pada saat ultah pak Ong entah yang ke berapa di tahun 2001 itu, saya diundang untuk secara simbolik menerima bantuan dari LSSI untuk kegiatan Studi Klub Sejarah. Itulah pertemuan pertama saya dengan pak Ong dalam keadaan sakit, di atas kursi roda, kesangarannya telah tiada, omongannya susah dipahami, mungkin pak Ong sudah tak kenal lagi siapa saya. Yang jelas saya menikmati acara pesta di gedung Arsip Gajah Mada itu. Banyak kawan2 pak Ong yang datang untuk meramaikan acara, berasal dari kalangan yang luas, dari mulai selebritis, diplomat, akademisi, seniman, budayawan, desainer, tokoh pers-media, semuanya hadir, menunjukkan bahwa pak Ong memang Onze Ong! Satu cakrawala pergaulan dengan dunia yang baru mulai terbuka bagi saya, oh ada toh orang-orang hebat macem begini. Pertemuan itu membuka kerjasama saya dengan LSSI pada acara-acara berikutnya, antara lain pak Halim menyanggupi membiayai penerbitan majalah Historia untuk empat edisi! (terealisasi dua edisi) Sungguh lega rasanya.
Tak lama kemudian, setelah saya tidak lagi aktif di Studi Klub Sejarah, saya lama sekali tidak berhubungan dengan pak Ong, tetapi lagi-lagi nasib membawa saya untuk sering maen ke rumah pak Ong. Rupanya setelah menderita sakit itu pak Ong membutuhkan seorang sekretaris merangkap pustakawan, melalui pak Iskandar, mantan asdos pak Ong, posisi itu ditawarkan kepada teman kami Suryagung, karena si Agung ini juga merangkap kuliah di D3 Ilmu Perpustakaan. Agung nggak bertahan lama, ia tak tahan dijilati anjing-anjingnya pak Ong, ditambah suasana rumah pak Ong yang semua baturnya aneh. Memang di rumah pak Ong kita harus menerima perbedaan. Dalam suatu kesempatan Agung pernah bilang kepada saya, “ Win, celana jeans gua sampai gua buang gara-gara dijilati anjingnya pak Ong !!!!”
Untuk menggantikan Agung, kawan saya Khaerul (Elung) menawarkan diri dan ia diterima menggantikan Agung sebagai sekretaris sekaligus pustakawan di tempat pak Ong. Nah, gayung bersambut, kebetulan saya dan Khaerul adalah komplotan lama. Segera kerja-kerja LSSI selalu bersinergi dengan kerja-kerja IKAHMISI, yang kebetulan LSSI memfasilitasi saya untuk mendapatkan posisi Sekjend IKAHIMSI. Banyak acara-acara LSSI yang diback-up langsung oleh pasukan bodrex mahasiswa sejarah UI. Dalam periode ini, 2002-2003 saya intens sekali bertemu dengan pak Ong, yang tampaknya mulai banyak ditinggalkan oleh kawans2nya. Pak Ong tampak kesepian, ia senang sekali jika kami mahasiswa sejarah datang beramai-ramai, dengan riang ia menyalami satu-persatu sambil bertanya “siapa ini?” lalu dengan bisikan yang keras kepada mas Santo’ “awasi mahasiswa, nanti nyolong (buku).......” hahahaha itulah pak Ong saya geli mendengarnya.
Meskipun pak Ong secara fisik telah lemah, dan bicaranya juga sukar dimengerti, tapi ia tetap memaksakan diri untuk menulis, meski amburadul, kalau membaca buku, wah so pasti masih terus baca!. Tiap pagi pak Ong bak raja, sarapan dengan menu istimewa ditemani anjing-anjingnya yang setia (blacky, tuyul dan kribo) “kibo, ini makan!” sesekali pak Ong berkomunikasi dengan si kribo anjingnya. Kala bersantap itulah pak Ong membaca koran, undangan, ngobrol dengan kami, menanyakan buku-bukunya, lalu kembali ke kamar tidurnya pada jam sebelas siang dan keluar lagi pada jam dua atau tiga sore.
Saya sangat menikmati pertemanan saya dengan pak Ong, ada banyak perspektif yang saya dapat dari pak Ong. Seperti biasa, ia banyak diam mendengar ocehan saya, cerita saya, lalu sesekali menyahut sambil manggut2 “ah, itu dogma, kayak jurusan sejarah, menganggap sejarah sebagai dogma, seperti agama!” Banyak hal yang saya tanyakan kepada pak Ong, tentang Hok Gie, Nugroho, meski tak pernah sekalipun ia mengungkap masa kelamnya dalam penjara! Sebalinya ia banyak bertanya kepada saya tentang issue2 mutakhir, tentang Aceh misalnya, atau berita-berita politik yang mungkin ia mendengarnya, tapi ia hanya mendengar, meng-iyakan atau diam sama sekali. Tak jarang juga pak Ong ngebanyol, kata mas Santo’ hal itu jarang dilakukan sebelumnya. Misalnya pas hari Jum’at, kami pamit sebentar untuk sholat Jum’at, maka pak Ong lantas berseloroh ”iya, iya, silahkan, jangan lupa titip salam sama Tuhan kamu, bilang sama Tuhan kamu, agar saya diberi kesehatan.” begitu tukasnya sambil nyengir, muka ngledek khas pak Ong. Dan di suatu siang saya bilang ke pak Ong “pak Ong, rumah pak Ong ini seram sekali, banyak patung-patung, angker!” lalu ia menjawab” iya, nanti kalau saya mati, saya mau jadi hantu di rumah ini, itu disana bertengger di atas!” seraya menunjuk bagian atas pintu ruang perpustakaan.”tapi, saya pasti jadi hantu yang lucu.” sambungnya sambil terkekeh. Sendau gurau macam inilah yang saya selalu ingat dari pak Ong! Kalau masalah ilmu, sudah pasti saya dapatkan dari membaca buku-buku Ong, yang ya ampun sungguh dahsyat sekali comparative history yang ia terapkan dalam tulisan-tulisannya. Pada waktu itu, saya hanya mengkonfirmasi saja bacaan saya atas pak Ong, dan ia tampak happy, dan selalu menasehati saya agar tidak hanya menguasai sejarah Indonesia saja! Sejarah Eropa dan bagian dunia yang lain juga perlu dipelajari!
Sampai akhirnya pada tahun 2004 saya bekerja di Museum Bank Indonesia, dan kawan saya Khaerul yang telah menjadi semacam “anak kesayangan” pak Ong juga telah mendapatkan kerja di tempat lain. Tak banyak lagi saya ketemu dengan pak Ong, hanya sesekali saya menyempatkan diri maen di siang hari bila ada janji dengan Khaerul. Pada saat itu mas Santo’, batur pak Ong yang paling setia berkata “pak Erwin, tuh pak Ong kesepian, jarang ada yang ngajak ngomong seperti dulu!” saya merasa bersalah dengan hal itu, tapi apa mau dikata saya tidak lagi menjadi manusia bebas seperti dulu, bebas merdeka kongkow2 tanpa takut kehilangan kerja. Pada pertemuan itu, rumah pak Ong sepi sekali, tidak ada lagi aktivitas seperti sebelumnya. Mengetahui ada tamu pak Ong menyambut kami di ruang perpustakaan, pak Ong tampak senang sekali, dengan setengah pamer ia tunjukkan kepada saya bahwa semalam pak Ong telah selesai membaca empat judul buku. hal itu pak Ong tunjukkan dengan menyuruh mas Santo’ untuk mengambil buku-buku itu di kamarnya dan meletakkannya kembali di rak buku.
Akhirnya
Beberapa waktu kemudian, saya dikabari oleh Khaerul bahwa kita akan membentuk Onghokham Institute untuk menggantikan LSSI yang dianggap sudah tidak lagi berjalan dengan baik. Untuk meminta pendapat dan dukungan kami, pak Halim mengajak kami untuk membicarakannya terlebih dahulu, saya Andi (Aa’) dan Khaerul bertemu bersama di suatu restoran di Senayan. Pada saat itulah ide untuk menggantikan LSSI dengan Ong Institute semakin menguat, berulang kali pak Halim meminta pertimbangan kami tentang kemungkinan untuk mewujudkan suatu organisasi yang lebih efektif daripada LSSI. Pak Halim merasa bahwa beliau susah sekali untuk mengumpulkan kembali kawans2 pak Ong yang mendirikan LSSI. Dalam pertemuan itu kami dikabari bahwa ada kolega pak Halim yaitu pak Budi Lim (arsitektur, merevitalisasi gedung Arsip Nasional Gajah Mada) sanggup membantu membangun perpustakaan guna menyelamatkan koleksi pustaka pak Ong. Atas niat baik itu, saya sampaikan bahwa saya bersedia mendukung Ong Institute.
Pertemuan berikutnya, segera menjadi langkah yang lebih kongkret untuk mendirikan Ong Institute kembali dilaksanakan di rumah pak Budi. Waduh, saya cuman teringat pak Ong senang sekali, karena pak Budi menjamu kami dengan sop ikan khas pasar Glodok! Katanya hidangan itu adalah hidangan yang digemari oleh keluarga pak Budi sejak dahulu. Hadir dalam pertemuan ini ibu Mona Lohanda, tambah senang saja saya, karena berkesempatan untuk bergabung bersama dengan dosen saya yang cukup ahli itu. Beberapa waktu kemudian, Onghokham Institue berdiri, kawan saya Khaerul yang bertugas mondar-mandir untuk mengurus akte organisasi. Maka, jadilah saya erwien kusuma, sejarawan kutu kupret ini menjadi salah satu pendiri Onghokham Institue. Ya, saya hanya pendiri, bukan pengurus, jadi ini yang ingin saya katakan, selanjutnya memang saya tidak terlibat aktif dalam Ong Institute. Karena keterbatasan waktu, saya hanya membantu saja bilamana dibutuhkan, untuk ikut berdiskusi tentang program Ong Institute. Andi dan Khaerul-lah yang banyak aktif dalam hal ini, mereka kemudian mengajak beberap kawan untuk bergabung.
Pertemuan terakhir saya dengan pak Ong terjadi pada akhir 2006, suatu siang saya bermain ke rumah pak Ong, ada Khaerul disana, dan kebetulan juga ada pak David Reeve yang sedang datang ke Jakarta dan bertandang ke rumah Ong untuk berbicara masalah penulisan biografi pak Ong yang sedang dilakukannya. Dalam pembicaraan kami berempat, tiba-tiba pak Ong bertanya kepada Khaerul, “Khaerul, bapak kamu dulu apa?”, “tukang sablon pak Ong” jawab Khaerul. “Erwin, bapak kamu apa?”, “bapak saya sopir pak Ong”, jawab saya. “ya, bagus. Kalian semua naik kelas sekarang!, anak tukang sablon, anak sopir sudah jadi sarjana, sejarawan, duduk dan bergaul bersama saya. ya, kalian naik kelas!!!” jawab pak Ong sambil terkekeh bersama pak David. Rupanya itu pertemuan terakhir saya dengan pak Ong. Dalam perjalanan pulang bersama pak David, beliau kembali membahas soal “naik kelas” itu dan sekali lagi pak David berpesan kepada saya “sepertinya kamu, dan kawan2 mesti sering datang ke rumah pak Ong, untuk sekedar menemani pak Ong bicara, ngobrol, karena tampaknya pak Ong kelihatan segar , jika kalian-kalian yang masih muda terus mengajaknya untuk berkomunikasi”. Saya mengiyakan itu, sembari saya utarakan bahwa waktu saya dan Khaerul sangat terbatas sekali untuk pak Ong, karena masing2 sudah harus bekerja, dan kami berdua termasuk orang-orang yang masih harus menafkahi orang tua masing2.
Terakhir Sekali
Saya semakin larut dengan pekerjaan, Ong Institute berjalan sebagaimana mestinya dan saya tak banyak tau. Selama itu saya hanya mengetahui perkembangan pak Ong melalui Khaerul. Pak Ong kerap terlibat hadir dalam acara-acara Ong Institute, terakhir Khaerul dengan bangga bercerita, bahwa dalam rangkaian acara Ong Institute di Bandung, ia berhasil memenuhi harapan pak Ong untuk bernostalgia di Bandung! Raut gembira, seperti anak mengkisahkan bapaknya.
Suatu sore, akhir Agustus 2007, saya sedang di Lampung, ada tugas pameran Museum BI disana, Hp saya berderimg, saya angkat ternyata Khaerul, dengan suara datar menyiratkan kepanikan berkata “Tem, pak Ong nggak sadar nih, sudah nggak gerak dari tadi, gimana nih?” lantas saya bilang “waduh lung, gua lagi di Lampung, ya udah lu bawa aja ke rumah sakit untuk diperiksa”, “iya,iya.”jawab Khaerul. Dan selang beberapa puluh menit kemudian, menjelang maghrib, saya pas di jalan untuk membeli oleh-oleh untuk persiapan pulang esok hari, Hp saya kembali berdering, di seberang sana Khaerul kembali mengabarkan “Tem, pak Ong udah nggak ada!”
Begitulah, akhirnya pak Ong dengan tenang meninggalkan kita. Esoknya segera saya melayat jenazah pak Ong di rumah duka RS Dharmais, pak Ong seperti orang tertidur pulas. Bu Mona membimbing saya untuk segera berdo’a. Dengan khidmat saya berdo’a dan dalam hati saya katakan “pak Ong, saya tau pak Ong pasti tau saya telah datang, terima kasih untuk segala pertemanan selama ini, terima kasih. Kami-lah yang akan menggantikanmu. Selamat jalan pak Ong!”
Jakarta, Senin-Selasa, 14-15 Januari 2008.
Comments