PEMASARAN MUSEUM



Oleh:

Wahyono Martowikrido (67) lahir di Solo 1 Agustus 1942. “Mahasiswa abadi” Jurusan Arkeologi UI, pendiri Mapala UI dengan inisial M 10, dan akhirnya lulus S1 Jurusan Arkeologi UGM (1979). 1990-an mengikuti kuliah S2 Jurusan Antropologi UI. Bekerja di Museum Nasional antara 1964 – 1998. Pada 2004 hingga akhir hayatnya pada Juli 2009, ia masih bekerja di Museum Bank Indonesia sebagai kurator.



Definisi Museum

Menurut sejarahnya, kata museum berasal dari museon pada jaman Yunani kuno yang berarti tempat untuk merenung dan belajar. Baru pada abad ke 18, menurut kamus yang ditulis oleh Dr. Samuel Johnson tahun 1755 di Amerika Serikat, museum  berarti tempat pengumpulan benda-benda yang aneh bentuknya (Curiosities).Menurut International Council of Museums tahun 1974, definisi museum ialah sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang memperoleh, merawat, menghubungkan dan memamerkan koleksi, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan dan kesenangan, yang terdiri dari barang-barang pembuktian manusia dan lingkungan. Perlu ditekankan di sini bahwa yang dimaksud dengan museum menurut definisi ini ialah lembaga yang tidak mencari keuntungan berupa uang (non profit organization). Mengapa ditentukan sebagai organisasi non profit? Karena apabila sebuah museum mencari keuntungan berupa uang, maka museum itu akan berubah sifat sehingga menomor-duakan pendidikan, pembelajaran, perawatan koleksi, dls. Hal ini tentu saja berbeda dengan tujuan utama museum.

Pieter Ter Keurs, seorang kurator  Rijksmuseum di Leiden, Negeri Belanda,  menyatakan kurang setuju dengan istilah modern bila istilah itu dihubungkan dengan kecanggihan alat-alat elektronik yang dipergunakan dalam sebuah museum. Alat elektronik itu sering dan cepat berubah karena kemajuan jaman dan kecanggihan industri. Sebuah museum yang disebut modern sekarang, mungkin tahun depan sudah tidak modern lagi karena banyak alat-alat elektronik baru yang muncul. Menurut Pieter Ter Keurs museum yang disebut modern  ialah bila bagian Program Publik dari museum tersebut berusaha dengan terus menerus untuk memasarkan museum dan menggaet sebanyak mungkin orang untuk datang dan melihat museum tersebut (Pendapatnya ini disampaikan secara lisan kepada penulis pada bulan Mei 2005 di Jakarta).

Pemasaran Museum   

Munculnya ide pemasaran museum adalah relatif baru, yaitu sekitar tahun 1960an. Ketika itu jumlah pengunjung di museum-museum Eropa dan Amerika Serikat sangat merosot. Manajemen museum juga dianggap kurang profesional. Dalam keadaan krisis semacam itu muncullah konsep tentang marketing museum (pemasaran museum). Metropolitan Museum of Art di New York baru menggunakan konsep marketing museum sekitar tahun 1969 (Suwati Kartiwa, 2005).

Karena adanya perubahan-perubahan tersebut di atas maka dirasa perlu mengubah sebutan pengunjung museum dengan “pengguna museum”, karena ada pendapat bahwa  sebuah museum dapat menolong orang hanya jika orang itu menggunakan museum. Orang akan menggunakan museum jika ia mengenal museum itu. Bila suatu museum dikenal memiliki tata pameran tentang etnografi Indonesia, maka apabila ada seseorang yang ingin menambah pengetahuannya tentang etnografi, ia pergi ke museum itu untuk melihat tata pameran benda-benda etnografi. Jadi orang tersebut datang melihat-lihat museum dengan suatu tujuan khusus yaitu untuk menambah pengetahuannya tentang etnografi Indonesia. Contoh lain, bila di suatu museum dikenal adanya tata pameran tentang benda-benda purbakala, maka apabila ada orang yang ingin memperdalam pengetahuannya tentang kepurbakalaan maka ia datang ke museum tersebut. Jadi orang tersebut datang ke museum itu dengan suatu tujuan yaitu ingin memperdalam pengetahuannya mengenai segala sesuatu yang koleksinya di pamerkan di museum tersebut..

Marketing Museum  berhubungan dengan kemajuan-kemajuan pengunjung, yang bertujuan untuk membuat  pengunjung dengan latar belakang yang lebih luas, sedang pada waktu yang bersamaan membuat hubungan yang lebih dekat dengan pengunjung tetap museum. Jadi marketing adalah suatu bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi antara museum dengan publiknya. Pemasaran erat kaitannya dengan public program, tetapi fungsi ini biasanya  dihubungkan dengan administrasi museum. Banyak museum yang memiliki program pemasaran yang efektif tetapi tidak memiliki ‘seksi pemasaran’ sendiri, fungsi pemasaran adalah bagian dari divisi pengembangan dan komunikasi (Lord and Lord, 2000, p. 120). 

Di manapun fungsi pemasaran terletak di peta organisasi Museum, managemen pemasaran  adalah yang terpenting di antara seluruh institusi – kurator, yang memelihara dengan cermat tentang bagaimana sebuah pameran di promosikan dan apakah publik mengunjunginya; penjaga ruang dan staf pengelola pengunjung museum, yang menyambut pengunjung lewat pintu-pintu; staf pengembangan, yang mengetahui bahwa suatu tambahan dalam keanggautaan dan donasi mengiringi  kesadaran publik tingkat tinggi , dan staf keuangan, yang melihat perbaikan substansial di ‘bottom line’  ketika pegawai bertambah. Hal ini berarti bahwa fungsi pemasaran paling baik dipergunakan oleh tim proyek interdepartemental terutama dalam memasarkan pameran besar dan peristiwa yang spesial (special events) (Lord and Lord, 2000, p. 120.).

Managemen dari pemasaran museum dipusatkan pada:

  • Mengidentifikasikan keadaan museum sekarang dan pasar museum yang potensial dan berkomunikasi secara efektif dengan mereka (pasar);

  • Mengamati di dalam museum perbaikan-perbaikan secara terus menerus, perbaikan dari produk museum dan servis untuk memenuhi  kebutuhan  dari orang-orang ini, sehingga mereka akan berkunjung ke museum dan kembali berkunjung lagi.

  • Bertambahnya pegawai dan revenu dari pengunjung.

Riset nasional dan international tentang partisipasi kebudayaan dan pegawai museum menceritakan kepada kita bahwa dari 27  sampai 35 persen   orang dewasa  mengunjungi museum. Frekwensi pengunjung museum  banyak berbeda-beda , dari  mereka yang berkunjung  10 kali dalam setahun  dan kelihatannya  menjadi anggauta dan supporter bagi mereka yang jarang berkunjung dan terutama mereka yang datang sebagai touris. Ciri-ciri khas dari pengunjung museum  adalah bahwa mereka memiliki pendidikan  dan pendapatan yang lebih tinggi dari pada penduduk umumnya (meskipun factor edukasi adalah lebih signifikan dari pada gaji atau pendapatan), dan bahwa wanita lebih sering mengikuti  dari pada laki-laki. Umur yang cocok bagi para pengunjung  berbeda dengan tipe museum; contoh, pusat ilmu pengetahuan dan museum anak-anak menarik perhatian keluarga muda, sedang galeri seni menarik pemuda, orang single dan orang dewasa yang umurnya lebih dari 45 tahun. Mengunjungi museum cenderung untuk berkurang setelah  berumur 60 , tetapi hal ini memang diharapkan untuk berubah karena umur masyarakat  dan museum-museum menyesuaikan diri untuk memperbaiki fasilitas bagi orang tua dan orang cacat (Lord and Lord, 2000, p. 121).

Di dalam ruang lingkup luas dari pengunjung dan bukan pengunjung, banyak ‘segmen pasar’ – sektor-sektor homogen dari populasi yang memiliki kesamaan dalam demografi, geografi dan tingkah laku atau pola gaya hidup. Melalui strategi pemasarannya, museum dapat mempengaruhi pola pengunjung.
  • Langkah pertama dalam pemasaran museum ialah mengerti tentang pengunjung yang ada- segmen pasar yang mereka perlihatkan, frequensi kedatangan mereka dan motivasi mereka. Hal ini mungkin dapat diselesaikan  dengan meneliti hidup pengunjung sehari-hari, melalui observasi (pengamatan) dan survey pengunjung.
  • Langkah berikutnya ialah membandingkan realitas ini dengan demographi dari pasar penduduk (residen)( didapat dari data sensus) dan touris-touris yang mengunjungi daerah itu (bisa didapat dari kantor pariwisata setempat (local tourist board) atau kantor perdagangan  (chamber of commerce),dan dengan hasil akhir survey pengunjung di museum-museum lain dan atraksi pengunjung di daerah itu  (yang dengan keberuntungan, akan memberi informasi) sehingga analis-analis dapat menentukan segmen pasar mana yang kurang dimunculkan di dalam dasar pengunjung museum.
  • Langkah ke tiga sangat menantang: menganalisa apa arti semua itu, menaruh prioritas pemasaran  di sekeliling ‘segmen target pemasaran’, dan mengidentifikasikan strategi pemasaran yang akan mendorong pengunjung dari segmen-segmen pemasaran tersebut. Keadaan ini menggantikan  “marketing brief” untuk tugas-tugas dari adpertensi, promosi dan hubungan masyarakat sampai kepada kreasi special program.Tugas-tugas ini dapat dilakukan oleh staf museum- katakanlah, dalam departemen edukasi untuk kreasi program-program, atau dalam departemen grafis untuk menciptakan poster–poster- atau mereka mungkin bisa mendapatkan konsultan dari luar, termasuk perusahaan hubungan masyarakat atau perusahaan iklan.
  • Penting untuk dicatat bahwa strategi mungkin bertujuan untuk memajukan pasar yang kurang ditonjolkan, sebaliknya, boleh memilih untuk melayani secara lebih baik segmen pemasaran yang sekarang.-dan pilihan harus dibuat oleh direktur museum, bukan oleh marketing personel sendiri.
  • Langkah keempat ialah implementasi dari rencana marketing (marketing  plan).Tugas dari seorang marketing manager  ialah secara efektif memonitor laporan singkat (the brief), koordinasi penyelesaian semua tugas-tugas tepat pada waktunya, mengusahakan supaya semua tercakup didalam budget dan tingkatan kwalitasnya sesuai dengan yang sudah disetujui.
  • Langkah terakhir ialah evaluasi dari hasilnya, mencatat apa yang harus diganti, dan produksi dari yang dilakukan dengan tangan (manual) untuk gerakan marketing di masa depan (Lord and Lord, 2000, pp.121-122). 
Riset mengenai pengunjung museum dengan cara mengumpulkan informasi yang up-to date dan dapat dipercaya mengenai pengunjung museum supaya museum dapat:
  • memperbaiki penampilannya dalam lingkungan publik;
  • memusatkan diri pada pemenuhan kebutuhan publik dan harapannya, dan mendapatkan hasil yang berhubungan dengan pengunjung dan publik interes.
  • Menunjukkan kepada pemberi dana dan sponsor sekarang dan yang potensial, apakah dalam sektor publik atau privat, tingkatan dimana publik dilayani, dan di bagian sektor publik mana museum digunakan.
Untuk memenuhi tujuan-tujuan ini, diperlukan keseimbangan antara quantitative analisis dari demographik, tingkah laku dan  metode qualitatif yang memusatkan perhatian pada perasaan, sikap dan motivasi pengunjung. Hal ini sangat perlu sebab:

  • Museum-museum yang maju dengan pesat di masa depan ialah museum yang benar-benar bernilai bagi masyarakat.
  • Data pengunjung memperlihatkan bahwa  motifasi dari mulut ke mulut sering kali yang paling banyak di sebutkan untuk sebuah kunjungan museum;ini berarti bahwa kepuasan pengunjung adalah generator yang paling signifikan bagi pengunjung museum.
  • Museum telah menjadi semakin tergantung kepada  revenu yang datang dari pengunjung dan pembelanjaan pengunjung  di dalam gift shop dan restauran mereka, dan yang potensial mengubah pengunjung menjadi anggauta museum dan pendukung  adalah berhubungan dengan kepuasan pengunjung dengan pengalaman museum (Lord and Lord, 2000, p. 122).
Penghitungan pengunjung dan survei pengunjung dipakai untuk menciptakan suatu database bagi pengunjung, demographic (jumlah penduduk) dan informasi sikap hidup, sementara metode-metode seperti galeri interview, observasi, workshop dan focus group dipakai untuk mengerti  motivasi pengunjung, harapannya, dan qualitas pengalaman pengunjung. Tipe riset semacam ini adalah penting sekali di dalam menjuruskan (addressing) kebutuhan-kebutuhan kelompok yang berada di luar museum (outreach) seperti minoritas dan group berpenghasilan rendah,  karena group ini tidak dimunculkan dalam survei tradisional museum, dan oleh karenanya sangat sedikit yang diketahui tentang  tingkah laku, harapan mereka , pengalaman-pengalaman di dalam museum.

Pendekatan yang paling efektif dan efisien terhadap riset pengunjung ialah mengembangkan suatu program yang komprehensif dan berputar selama tiga sampai lima tahun yang memusatkan perhatian pada riset quantitative dalam beberapa tahun dan riset qualitatif di tahun-tahun yang lain. Kuncinya ialah mengikut sertakan wakil-wakil dari semua departemen yang bekerja dengan publik dalam tim riset project masyarakat, untuk memastikan  bahwa semua aktifitas evaluasi yang banyak dari museum (apakah dari program edukasi atau dari kartu komentar para pengunjung) menyumbang kepada riset database pengunjung. Museum harus memiliki seorang evaluator di dalam staf nya ( seorang yang bekerja penuh atau paruh waktu tergantung pada ukuran museumnya) untuk mendesain dan mengimplemen riset, atau menjelaskan secara singkat (mengambil alih pekerjaan konsultan), menganalisa dan menyebarkan hasilnya lewat  tim proyek dan membujuk museum trustee atau gubernur untuk memberikan rekomendasi (Lord and Lord, 2000, pp. 1122-123).

Ada banyak market segmen yang potensial yang  sebuah museum mungkin mencarinya untuk ditarik. Memilih target market berarti memilih segmen yang mana yang akan menjadi fokus dari energi museum. didasarkan pada banyak faktor, dari kecukupan uang untuk membeli (affordability) (kecuali pasar sudah penuh, lebih murah dan  kurang resikonya untuk menargetkan jumlah yang lebih besar dari tipe orang yang anda sudah menariknya) ke tanggung jawab (responsibility)( sebagai suatu publik institusi, penting untuk mencapai  ke mereka yang kurang ditonjolkan).

Lima faktor utama perlu diperhatikan dalam memilih dan memprioritaskan target pasar:

  1. Ukuran segmen pasar dan pertumbuhannya yang potensial;
  2. Pentingnya segmen pasar terhadap visi dan misi museum-hal ini mempergunakan terutama museum sebagai suatu institusi pendidikan publik di dalam suatu masyarakat yang bermacam-macam budaya dan ekonominya.
  3. Kebisaan segmen pasar untuk membantu pada revenu yang didapat dari pengunjung;
  4. Bantuan dari suatu segmen pasar tertentu kepada tourisme atau pembangunan ekonomi dari daerah itu-ada suatu pengenalan yang bertumbuh dari peran sentral museum-museum dalam menarik perhatian pemilik uang besar ‘touris budaya’ dan dalam menolong untuk menambah lamanya tinggal (the length of stay) dan semua rouris yang telah membelanjakan semua uangnya;masyarakat juga menilai museum-museum karena museum-museum itu adalah simbol dari ‘qualitas hidup’ daerah, yaitu faktor-faktor dalam menarik industri baru dan perusahaan servis ke daerah baru tersebut.
  5. Biaya yang dikeluarkan dalam usaha untuk menarik setiap segmen.

Keputusan-keputusan ini harus mengikut sertakan senior managemen dan dewan yang didasarkan pada rekomendasi dari marketing manager dengan melihat tujuan-tujuan kwantitatif yang harus di temui pada setiap segmen pasar dalam konteks tiga sampai lima tahun proyeksi pengunjung (Lord and Lord, 2000, p. 123).

Strategi Marketing
Strategi-strategi marketing menunjuk kepada banyak cara dimana museum dapat memperbaiki komunikasi dan servis nya dengan  mendorong pembelanjaan para pengunjung.Strategi pemasaran (marketing) juga bermaksud untuk membuat hubungan yang lebih dekat dengan pengunjung museum, mengutamakan pengulangan kunjungan, menambah anggauta museum dan donasi. Ini adalah suatu proses yang terus menerus dalam mana manager dari aktifitas marketing museum harus bekerja dekat dengan evaluasi, kuratorial dan staf program, dan pengembangan dan servis pengunjung, yang idealnya melewati suatu tim project. Sekali strategi marketing secara menyeluruh sudah didirikan, mungkin ada sebanyak 50 strategi marketing yang spesifik yang harus dilaksanakan, misalnya harga tanda masuk bagi keluarga lokal, kampanye iklan dalam kerja sama dengan hotel lokal untuk menarik turis-turis.

Pembukaan waktu sore yang ditargetkan pada pasar tunggal (single market); dan spesial seminar-seminar untuk menggerakkan hati para collector. Memajukan strategi yang benar membutuhkan orang-orang ahli dalam pemasaran museum, dan pengetahuan tetang apa dan bagaimana yang telah sukses di tempat-tempat lain. Museum-museum dapat mendapatkan keuntungan besar dari mempelajari tentang keberhasilan dan kegagalan dari museum-museum lain yang memiliki ukuran dan ruang lingkup yang sama- ini disebut analisis perbandingan (comparable analysis), dan terdiri dari wawancara yang mendalam (in depth interview) dengan staf dari institusi yang setara. ‘Best practice study’ juga sangat menolong-ini berusaha untuk mengidentifikasi contoh-contoh dari institusi-institusi yang meraih kesuksesan yang tinggi yang mungkin lebih besar atau lebih kecil dari institusi anda, dan  menganalisa bagaimana metode-metode mereka dapat digunakan di dalam museum anda. Dengan maksud  untuk mencegah mengambil pelajaran yang salah dari contoh atau medapatkan kesalahan-kesalahan yang hanya nyata-nyata kesuksesan-kesuksesan, dua tipe riset harus difasilitasi oleh staf atau konsultan dari luar yang telah memiliki pengalaman dalam pemasaran museum dan memanage perubahan organisasional.

Strategi marketing harus dilakukan secara metodis, dan harus mengandung kesempatan-kesempatan untuk evaluasi quantitative dan qualitative (Lord and Lord, 2000, p. 123-124).

Servis Pengunjung (Visitor Service)

Servis pengunjung termasuk harga tanda masuk, penjualan eceran, retail, penyewaan dan servis makanan, serta servis umum pengunjung-banyak mempengaruhi qualitas dari pengalaman pengunjung dan mengkomunikasikan sikap dari museum kepada publik.

Servis-servis ini sering kali dijalankan oleh bagian administrasi, meskipun staf, apakah penuh atau paruh waktu, digaji, kontrak atau volunteer, memiliki lebih banyak orang yang involvedan berkomunikasi dengan pengunjung dari pada staff lainnya. Mereka menawarkan kekayaan yang seluruhnya hampir merupakan informasi yang tidak di saring mengenai pengunjung museum dan kebutuhan mereka, dan mengerjakan pekerjaan mereka secara baik,  mereka memerlukan pelatihan yang luas, monitoring dan evaluasi.

Jika museum adalah benar-benar responsive pada pengunjung, mereka perlu untuk men- devinisikan kembali peran garis meja depan dari ‘administrasi’ ke servis pengunjung, dan menciptakan suatu lingkungan pekerjaan baru yang mengintergrasikan staf servis pengunjung ke dalam profesi museum (museum profession) (Lord and Lord, 2000, p. 124). 

Uang Tiket (Admissions)
Staf museum yang pertama kali bertemu dengan pengunjung ialah biasanya security, informasi atau staf ticketing, terutama bila tiket masuk harus bayar. Meja pembayaran tiket adalah kunci untuk membentuk sikap museum (museum’s attitude) kepada publik: pegawai di meja tiket memiliki kesempatan untuk ‘menjual’ museum setiap kali  ada pengunjung bertanya tentang harga tiket, tentang berapa dibayarnya volunteer, beaya untuk pameran yang spesoal, discount untuk group, bebas bea untuk anggauta dan berbagai konsesi yang ditawarkan. Untuk menciptakan bayangan yang positif untuk museum di dalam benak masyarakat banyak, coinflik dan kompleksita yang yang mengiringi penjualan tiket menjadikan training dan inspiriasi, yang berarti bahwa staff penjual tiket harus dipandang sebagai pelaksana servis pengunjung, dari pada hanya dipandang sebagai pegawai operator sistem tiketing. Staf penjual tiket juga dalam posisi untuk mencatat data tentang pengunjung –jumlahnya, jumlah suatu saat pada suatu hari, distribusi gender (jumlah laki-laki dan perempuan) dan lain-lain-jika dilatih untuk memasukkan catatan ini sebagai bagian dari rutinitasnya (Lord and Lord, 2000, pp. 124-125).

Visitor  Responsiveness
Sebagai ganti dari fungsi-fungsi sekuriti mereka, penjaga ruang dan penjaga secara terus menerus  merespon kebutuhan pengunjung dengan memberikan pertolongan dengan kursi roda dan kursi dorong, menyelenggarakan pertolongan pertama, memberikan keterangan arah menjawab pertanyaan tentang museum, dan menyelenggarakan ruangan untuk menitipkan jas dan topi. Kartu-kartu komentar biasanya mengindikasikan bahwa para pengunjung mendapatkan pengalaman yang  baik maupun yang jelek dengan staf sekuriti. Banyak pengalaman yang jelek, seperti banyak pengunjung merasa bahwa mereka diikuti karena umurnya ataupun warna kulitnya, berasal dari kurangnya sensitifitas terhadap perbedaan budaya di dalam museum, yang biasanya mengindikasikan bahwa penjaga dan staf terdepan lainnya hanya sedikit menerima training atau tidak dilatih sama sekali dalam bidang ini. Sedangkan dengan para staf penjualan tiket, pelatihan staf dapat memperbaiki  secara  dramatis pengalaman pengunjung.

Retail Service

Servis penjualan eceran (Retail service) adalah suatu servis pengunjung  yang penting dalam memperkuat hubungan antara pengunjung dan museum.  Pengunjung menghargai  (menilai) kwalitas dan keunikan produk, servis  personal yang dilakukan oleh staf toko dan volunteers, dan suasana ketika melakukan pembelian di toko (shop), mereka sebenarnya menolong museum tersebut. Produk yang dibawa pulang oleh pengunjung atau pembelian yang dilakukan di toko untuk digunakan sebagai hadiah (pemberian) harus termasuk didalamnya sebuah kartu kecil atau label yang menjelaskan hubungannya dengan koleksi dan bagaimana pembelian itu menolong museum, untuk memperluas museum itu menjadi rumahdan berfungsi sebagai kenang-kenangan terhadap kunjungan tersebut.

Museum shops dapat memperluas servis mereka dengan:
  • Membuka toko satelit di jalan yang ramai dan shopping centres yang menyenangkan bagi orang yang berpenghasilan besar, pasar dari orang-orang dengan edukasi tinggi;
  • Menempatkan merek-merek produk (trademark product)  di museum shop lain diluar pasar mereka;
  • Menjual produk-produk mereka melalui toko-toko pengecer;
  • Catalogus penjualan pada basis nasional atau internasional, baik melalui  catalog lewat pos (mail order) milik museum sendiri atau lewat kerja sama dengan catalog museum lain atau dengan dengan pujian, katalogus pasar (niche-market catalogues);
  • Situs World Wide Web adalah toko di Internet- segera nanti akan dimungkinkan untuk memesan produk dari museum shop dengan komputer.
Penyewaan Fasilitas
Menyewakan fasilitas-fasilitas untuk keadaan yang spesial dapat membawa museum lebih dekat kepada yang benar-benar dan pengunjung  yang potensial, sponsor dan donor yang potensial.Bila orang mengingat peristiwa yang dilakukan oleh keluarga penting di museum, dari resepsi perkawinan di  halaman sampai kepada pesta ulang tahun anak-anak di dalam ruang kelas, hal itu membuat museum  menjadi tempat spesial didalam hidup mereka dan memperkenalkan tamu-tamunya kepada museum, beberapa di antaranya berkunjung untuk pertama kalinya. Bisnis, politic dan peristiwa  profesional, seperti konferensi dan resepsi, juga meperluas hubungan museum dengan komunitas (masyarakat). Permintaan mungkin begitu besar bahwa beberapa penyewaan (rentals) dapat diberikan sebagai suatu keuntungan untuk keanggautaan  perusahaan (corporate) yang tertinggi dan pendukung kategori (support categories). Kwalitas servis dalam menjawab  penyelidikan, dalam menegosiasikan persetujuan penyewaan (rental) dan dalam peristiwa itu harus merefleksikan orientasi museum tentang servis pengunjung (Lord and Lord, 2000. P. 126).

Pelayanan Café dan Restoran

Alasan utama  untuk melengkapi ruangan museum untuk sebuah restoran atau café untuk menambah pengalaman pengunjung (visitor experience) dengan meladeni pengunjung dengan istirahat dan penyegaran (refreshments), dan suatu tempat untuk sosialisasi dan bertemu teman-teman Catering dengan qualitas tinggi dapat memperpanjang waktu kunjungan pengunjung di museum/galleri, dan dapat mendorong kunjungan ulang; qualitas dan servis yang jelek mungkin dapat menyebabkan efek yang sebaliknya. Jika servis makanan di kontrakkan ke orang luar, standard museum dan syarat-syarat-syarat harus disatukan dalam kontrak dengan perusahaan catering yang dimaksud.

Standard-standard dan ketetapan-ketetapannya hanya dapat dikembangkan diatas standar pengertian  terhadap pengunjung museum dan keperluan-keperluan mereka untuk menghasilkan revenu. Misalnya keluarga muda biasanya menginginkan yang simpel, yang sehat,makanan yang tidak mahal,  dihidangkan di suatu suasana dimana jika tertumpah dan ada amarah tidak akan begitu memalukan; pengunjung yang lebih tua biasanya lebih menyukai suatu lingkungan yang tenang dengan makanan yang tidak mahal, dengan makanan dihidangkan di meja (table serive). Mungkin juga ada pasar untuk sebuah restauran dengan taplak meja putih dan dapur yang elegant atau  cappucchino bar yang sederhana.

Staf yang bekerja di café, seperti mereka yang bekerja di toko, memiliki kesempatan untuk melayani pengunjung dan berkomunikasi dengan mereka secara pribadi. Penting bahwa mereka mengerti bahwa pekerjaan mereka ialah untuk meladeni pengunjung (service the visitors), bukan hanya membawakan makanan. Ini berarti mereka membutuhkan pelatihan (training), monitoring dan evaluasi untuk kontraktor dan begitu juga staf yang digaji (Lord and Lord, 2000, p. 126).

Servis dan Tanggung Jawab Staf  Museum
Untuk mendapatkan gol-gol (tujuan) dari responsiveness pengunjung, museum managemen dan staf program perlu mengembangkan  suatu hubungan yang lebih intim dengan pengunjung-pengunjung dari pada yang bisa didapat dari survey, laporan dan kartu-kartu komentar. Akan sukar untuk menciptakan suatu orientasiservis pengunjung untuk museum  jika managemen, curator edukator dan programer tidak bekerja selama waktu ketika kebanyakan pengunjung mengunjungi museum tersebut-akhir minggu atau hari-hari libur. Bagian dari perubahan institusional perlu untuk memfokuskan museum kepada peran publiknya melibatkan managemen untuk memikirkan kembali perannya, yang dapat mulai dengan hal-hal yang sederhana seperti membuat daftar nama sehingga semua staf bekerja pada beberapa akhir minggu (Lord and Lord, 2000, p. 126).

Untuk mengundang masyarakat supaya berpartisipasi dan menggunakan museum maka pengelola museum perlu bertindak secara profesional. Maksudnya ialah para pengelola museum mengetahui bahwa pengunjung (pengguna museum) datang ke museum untuk belajar memperdalam ilmu pengetahuannya. Pengelola museum mengetahui bagaimana cara menggunakan museum itu, sehingga ia harus meneliti kembali apakah tulisan-tulisan label sudah cukup jelas dan dapat kelihatan dengan jelas, detil barang-barang yang dipamerkan apakah sudah cukup jelas. Kalau semua itu belum memadai maka perlu dilakukan perbaikan baik tata pamerannya maupun tata lampunya. Pengelola museum bertanggung jawab untuk perbaikan-perbaikan itu.  Sistim ini memasukkan ide-ide baru kepada pengelola museum dan mendorongnya untuk memperbaharui filosofi museum (Lewis 2000, p. 220).Yang dimaksud dengan perubahan filosofi museum ialah seperti berikut ini. Kalau dulu yang diperhatikan dalam suatu pameran museum ialah benda koleksi yang dipamerkan. Benda itu menceritakan tentang orang-orang yang membuat benda tersebut, tentang suasana yang berkonteks antara benda tersebut dengan lingkungannya. Tetapi sekarang pandangan seperti itu sudah berubah. Thema-thema atau cerita dianggap lebih penting dari pada bendanya. Benda hanya dianggap sebagai ilustrasi dari cerita tersebut. Hal ini mengakibatkan adanya perubahan dalam filosofi museum.

Sampai sekarang tidak ada definisi yang baku mengenai marketing karena ilmu marketing ini masih berkembang dengan cepat. Beberapa definisi marketing berikut ini menunjukkan tidak adanya definisi baku tersebut. Yang dimaksud dengan definisi baku ialah definisi tentang marketing yang bisa dipakai pada semua jenis marketing.

Menurut Bartels (1968), marketing adalah proses di dalam masyarakat untuk memuaskan keinginan-keinginan konsumtifnya, yang meliputi sistim-sistim distribusi dari para partisipan yang berinteraksi dibawah tekanan secara tehnis (ekonomi) dan secara etis (sosial), sehingga menimbulkan transaksi-transaksi atau pemindahan hak milik yang mengubah separasi pasar dan mengakibatkan pertukaran dan konsumsi.

Menurut Converse, et.al (1965):  Marketing adalah kreasi dari waktu, tempat dan kepemilikan barang-barang. Sedangkan menurut Kotler (Kotler, 1977, second ed.) : Marketing adalah seperangkat aktifitas manusia yang ditujukan untuk memfasilitasi dan melaksanakan pertukaran (exchange). Menurut Kotler, konsep umum tentang marketing ialah terutama berhubungan dengan bagaimana transaksi-transaksi diciptakan, didorong,  difasilitasi dan dinilai (Kotler 1977, 2nd. ed.).

Apa yang diutarakan di atas ialah marketing secara umum yang biasanya dipakai dalam perdagangan barang. Tetapi marketing museum adalah berbeda. Definisi dari the British Institute of Marketing mengatakan: Marketing adalah proses manajemen yang menetapkan misi dari museum atau galeri yang kemudian menetapkan identifikasi yang efisien, antisipasi dan kepuasan dari para pengguna museum/galeri. (Lewis, 2000, p. 220)

Dari riset-riset yang telah diadakan, diambil kesimpulan bahwa marketing untuk barang-barang dagangan berbeda dengan marketing untuk jasa dan untuk organisasi non-profit. Maksudnya, jika marketing untuk barang dagangan yang berujut benda, memasarkannya dapat dengan contoh-contoh, penjelasan yang akurat serta foto-foto yang menarik tentang benda tersebut. Bila benda yang dipasarkan berupa jasa seperti dokter, konsultan, dsb. maka cara pemasarannya berbeda. Kehebatan seorang dokter dinyatakan dengan kata-kata dan gambar-gambar, pernyataan orang-orang yang telah disembuhkan oleh dokter tersebut, dan hal-hal lain yang meyakinkan pendengar/penonton tentang kehebatan dokter tersebut.  Bahkan marketing untuk museum adalah lebih khusus lagi (McLean, Fiona Combe, 2000, p. 247).

Museum dapat dikatakan memasarkan jasa yaitu jasa untuk menambah ilmu pengetahuan pengguna museum. Namun sifat jasa ini agak berbeda dengan jasa milik dokter, konsultan, dsb. Jasa yang dimiliki oleh museum adalah benda mati, sehingga penanganan dalam pemasaran juga harus berbeda. Cara pemasarannya ialah dengan menunjukkan tata pameran, menjelaskan bahwa dengan melihat tata pameran itu ilmu pengetahuan mudah diraih, menunjukkan bahwa kata-kata dalam label mudah dicerna, dsb. Kesemuanya itu meyakinkan pengguna museum bahwa mengunjungi museum itu benar-benar dapat meningkatkan ilmu pengetahuannya secara singkat.

Menurut Fiona Combe McLean telah semakin diketahui bahwa dalam kepustakaan marketing mengubah technique marketing untuk digunakan dalam kantor dan organisasi non-profit mungkin tidak tepat. Meskipun demikian kepustakaan marketing museum telah mengadopsi pendekatan pemasaran tersebut. Praktek marketing di dalam museum-museum adalah lebih khusus dari pada teori yang telah disebutkan. Beberapa hal yang di teliti ternyata tidak mendapatkan cukup perhatian di dalam kepustakaan museum marketing. Museum marketing perlu di ciptakan kembali dalam ruang lingkup konteks museum. Penelitian tentang hal ini telah menghasilkan konteks museum seperti koleksi museum, bangunan museum, staff, organisasi museum dan publik. Munculnya suatu konteks spesifik dibidang marketing adalah satu langkah maju dalam membentuk orientasi yang layak dalam marketing museum (McLean, Fiona Combe, 2000, p. 147)

Barang-barang jasa dapat dibagi menjadi tangible (nyata atau kelihatan) dan intangible (tidak nyata atau tidak kelihatan). Jasa yang tangible misalnya ialah toko suvenir, café , penerbitan, dll. Sedangkan yang intangible ialah yang berbentuk “pengalaman” (experience) seperti kunjungan ke museum, ceramah-ceramah, jasa identifikasi dan jasa menjawab pertanyaan (McLean, 2000, p. 235). Sampai sekarang belum ada definisi yang baku mengenai marketing karena ilmu marketing ini masih berkembang dengan cepat. Beberapa definisi marketing berikut ini menunjukkan tidak adanya definisi baku tersebut.

Menurut Bartels (1968), marketing adalah proses di dalam masyarakat untuk memuaskan keinginan-keinginan konsumtifnya, yang meliputi sistim-sistim distribusi dari para partisipan yang berinteraksi dibawah tekanan secara tehnis (ekonomi) dan secara etis (sosial), sehingga menimbulkan transaksi-transaksi atau pemindahan hak milik yang mengubah separasi pasar dan mengakibatkan pertukaran dan konsumsi. Menurut Converse, et.al (1965): Marketing adalah kreasi dari waktu, tempat dan kepemilikan barang-barang. Sedangkan menurut Kotler (Kotler, 1977, second ed.) Marketing adalah seperangkat aktifitas manusia yang ditujukan untuk memfasilitasi dan melaksanakan pertukaran (exchange).

Menurut Kotler, konsep umum tentang marketing ialah terutama berhubungan dengan bagaimana transaksi-transaksi diciptakan, didorong,  difasilitasi dan dinilai (Kotler 1977, 2nd. ed.). Apa yang diutarakan di atas ialah marketing secara umum yang biasanya dipakai dalam perdagangan barang. Tetapi marketing museum adalah berbeda. Definisi dari the British Institute of  Marketing mengatakan:

Marketing adalah proses manajemen yang menetapkan misi dari museum atau galeri yang kemudian menetapkan identifikasi yang efisien, antisipasi dan kepuasan dari para pengguna museum/galeri. (Lewis, 2000, p. 220). Dari riset-riset yang telah diadakan, diambil kesimpulan bahwa marketing untuk barang-barang dagangan berbeda dengan marketing untuk jasa dan untuk organisasi non-profit. Bahkan marketing untuk museum adalah lebih khusus lagi (McLean, Fiona Combe, 2000, p. 247).

Maksud dan Tujuan Pemasaran Museum
Memasarkan sebuah museum erat kaitannya dengan  kemajuan-kemajuan pengunjung, dan bertujuan untuk menarik kedatangan pengunjung sebanyak-banyaknya dari berbagai kalangan.Jadi pemasaran (marketing) museum adalah bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi antara museum dan publiknya. (Lord, 2000, p. 120). Selain itu juga diusahakan supaya para pengunjung tadi mau berkunjung berkali-kali ke museum. Tetapi lebih diutamakan jika yang datang keesokan harinya adalah orang-orang lain lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Ambrose, Timothy and Paine, Crispin; Museum Basic, Icom, in conjunction with Routledge, London and  New York, 1994 (reprinted).

Bartels, R. 2nd ed., The Identity Crisis in Marketing, Journal of Marketing, 138:76-6.1968.

Bradford, Hugh, A new framework for museum marketing, in: Kevin Moore (Ed.) Museum Management, Leichester Readers in Museum Studies,   pp. 41-51.

Kotler, P., From Sales Obsession to Marketing Effectiveness, Harvard Bussiness Review, November-December, 67-75, 1977.

Kotler Philip and Andreasen, Alan R.;Strategic Marketing for NonProfit Organization, Prentice Hall, Upper. Saddle River, New Jersey, Fifth Edition,  1995.

Lewis, Peter, Museums and Marketing’, in Moore, Kevin (ed.),  Museum Management, Leichester Readers in Museum Studies, Routledge, London, 2000, pp. 216-231.

Lord, Gail Dexter and Lord, Barry; The Manual of Museum Management, Proffessional Museum and Heritage Series, The Stationary Office, London, 2000 (third impression).

McLean, Fiona Combe; ‘Marketing in Museums: a contextual analysis’, in Moore, Kevin (Ed.), Museum Management, Leichester Readers in Museum Studies, Routledge, London, 2000, pp. 232-248.

McLean, Fiona; Marketing the Museum, Routledge, London and New York, 1997.

Moore, Kevin, Museum Management,Leichester Readers in Museum Studies, Routledge, London, 2000.

Suwati Kartiwa, Pemasaran Museum, ceramah yang diadakan di Museum Nasional pada bulan Maret 2005.



Comments

Popular posts from this blog

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Jung Jawa

Museum Bank Indonesia :Sepenggal kisah proses pembangunan (2004 – 2009) Bagian 1