Memori Ekspansi Balatentara Jepang dalam Tata Pamer Museum di Tiga Negara Asia
Dalam kehidupan umat manusia terdapat
beberapa penggalan sejarah masa lalu yang tersimpan sebagai suatu kenangan
bersama. Misalnya, ekspansi militer Jepang pada penghujung Perang Dunia II ke
wilayah Asia Tenggara telah tersimpan dalam memori bersama (shared memories) masyarakat Asia
Tenggara yang tinggal di Indonesia, Malaysia, Singapura, Burma dan beberapa
wilayah lainnya. Mereka memiliki pengalaman yang sama, dipaksa menjadi Romusha
atau Jugun Ianfu, dimobilisasi untuk perang, dan beberapa pengalaman penindasan
lainnya yang tentu memiliki keunikan masing-masing.
Beberapa bagian dari pengalaman dan
memori itu pada masa selanjutnya terus berjejak dan mereka ekspresikan antara
lain dalam museum dengan cara dan ekspresi yang berbeda-beda. Terkait dengan
memori bersama ini, museum menjadi wadah yang menarik bagi masyarakat bangsa
untuk menyimpan dan merawatnya sebagai pelajaran untuk generasi saat ini dan
masa depan. Sebagaimana kita ketahui masa lalu atau memori bersama tersimpan
dengan baik dalam tiga bentuk, yaitu koleksi benda atau material budaya, ruang
atau landskap fisik (bangunan, situs), dan narasi yang mewujud dalam buku,
film, kesaksian, dll (S.Pearce, 1990). Paling tidak dua dari tiga bentuk
penyimpan masa lalu itu dapat kita temukan dalam museum.
Di Indonesia terkait dengan masa
pendudukan Jepang, banyak terdapat ruang atau landskap fisik peninggalan Jepang
yang masih terawat hingga saat ini. Yang paling dominan adalah berbagai macam bungker
balatentara Jepang yang menggunakan goa dan landskap hutan di beberapa wilayah
Indonesia. Sementara untuk bangunan fisik, Jepang hanya mengambil alih dari
penguasa Hindia Belanda lalu meninggalkan beberapa kisah kengerian seperti di
Lawang Sewu dan bangunan bersejarah lainnya.
Sementara itu dalam museum di
Indonesia, koleksi peninggalan Jepang yang banyak tersimpan adalah mata uang
kertas, berbagai macam senjata dan attribute militer yang kemudian juga digunakan oleh tentara Pembela Tanah Air (PETA).
Dalam hal narasi, pilihan utama museum-museum di Indonesia menggambarkan
pendudukan Jepang dalam bentuk diorama. Tidak banyak peristiwa yang dikisahkan
oleh diorama dalam museum-museum itu, mayoritas mereka berkisah hal-hal yang
bersifat militeristik. Belum ada kita temui kisah tentang Romusha, Jugun Ianfu
dan beberapa peristiwa lainnya yang
terkait dengan kehidupan social budaya secara lebih luas.
Pilihan narasi menarik tentang
ekspansi balatentara Jepang, antara lain dapat kita temukan di National Museum of
Singapore dan Muzium Negara Malaysia.
Dalam dua museum
ini, sepeda ontel tentara Jepang menjadi objek koleksi yang menarik. Indonesia
sebenarnya juga mengalami pengalaman yang sama terkait dengan sepeda ini.
Sebagaimana umum kita ketahui, dengan maksud antara lain mengelabuhi masyarakat
pendudukan, balatentara tentara Jepang mendarat dan memasuki kota dengan
menggunakan sepeda ontel yang ban rodanya dilepas, hingga gesekan suara pelek konvoi sepeda mereka menyerupai
kendaraan berat. Namun demikian, memori tentang sepeda balatentara Jepang ini
tidak berjejak dalam objek koleksi pamer museum-museum di Indonesia (sepanjang yang
penulis kunjungi).
Museum di dua negara tetangga itu cukup atraktif dalam menggambarkan bagaimana ekspansi balatentara Jepang tiba di negara mereka. Instalasi seni sepeda-sepeda ontel balatentara Jepang di National Museum of Singapore berhasil memberikan informasi yang cukup kuat dalam media yang unik tentang bagaimana balatentara Jepang mendarat dengan bersepeda. Lalu kekejaman perang yang dibawa oleh Jepang ke negara mereka secara apik ditayangkan dalam video documenter pesawat-pesawat tempur Jepang yang rajin datang memborbardir kekuatan Sekutu di Asia Tenggara. Selanjutnya dengan manis suatu koleksi topi tentara Jepang mereka display sedemikian rupa sebagai memorabilia penanda hadirnya Jepang ke wilayah mereka.
Demikian halnya dengan Muzium Negara Malaysia, diorama yang
mereka susun cukup atraktif bagi pengunjung, seolah kita diajak untuk mengintip
balatentara Jepang yang sedang berperang. Satu fitrin mendisplay pedang samurai
perwira Jepang yang biasa mereka gunakan untuk memenggal bangsa pribumi atau
menghunuskannya ke perut sendiri untuk harakiri, cara mati bunuh diri khas
samurai Jepang. Dengan begitu imajinasi pengunjung akan dibawa untuk memahami
bangsa Jepang yang sangat tradisional meski tetap menggunakan perangkat modern
dalam berperang. Kemudian, koleksi sepeda seolah menyatakan kata sepakat kepada
museum negara tetangga, bahwa sepeda adalah penanda yang kuat bagi kedatangan
balatentara Jepang ke negara mereka.
Harus kita akui, sementara ini museum Singapore dan Malaysia lebih menarik dalam mendisplay narasi memori mereka tentang ekspansi balatentara Jepang, daripada yang dilakukan oleh museum-museum di Indonesia. Museum kita masih sangat miskin ekspresi dalam menggambarkan bagaimana balatentara Jepang pernah menindas kita selama 3,5 tahun. Beberapa hal sangat mungkin menyebabkan ketertinggalan ini terjadi, terutama karena sudah menjadi rahasia umum bahwa museum Indonesia di masa lalu banyak mendisplay doktrin yang sarat kepentingan penguasa, daripada merawat memori bersama dalam bentuk ekspresi yang lebih bebas. Kenyataan ini adalah pekerjaan rumah bagi para pengelola museum, sejarawan dan museolog untuk mulai mengubah secara bertahap tema dan materi display koleksi museum-museum yang telah ada pada saat ini.
Sekali lagi fantasi dan imajinasi kita sangat berperan
penting dalam menyusun koleksi dan narasi dalam museum sehingga menjadi lebih
menarik dan efektif sebagai media pembelajaran bagi masyarakat. Tentunya untuk
mendapatkan fantasi dan imajinasi itu kita memerlukan suatu masukan fakta
sejarah yang disampaikan secara ilmiah terbuka kritik, bukan fakta yang
bersifat dogmatis dan doktriner!
Comments