Museum Maritim Indonesia: Artwork dan Replika (4 bagian akhir)

Artwork dan Koleksi Replika 
Dalam tata pamer Museum Maritim Indonesia yang dimaksud dengan artwork adalah karya seni yang digunakan sebagai media yang menyampaikan storyline kepada pengunjung. Sesuai dengan namanya karya seni, maka kurator bermaksud menekankan kualitas nilai seni suatu media pamer, selain media tersebut harus informatif. Ada beberapa media yang dapat dianggap sebagai karya seni dalam tata pamer museum, yaitu replika serpihan kapal Tek Sing, replika dinding candi Borobudur, dan serangan VOC atas Pelabuhan Makassar.
Dalam membuat replika serpihan kapal Tek Sing, kurator merujuk kepada display replika serpihan kapal yang terdapat di Museum Tanjung Pandan, museum daerah yang dikelola oleh pemerintah kabupaten Belitung. Dalam museum tersebut, informasi tentang kapal Tek Sing dipamerkan dalam suatu ruang bersama dengan koleksi artefak Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) yang ditemukan di perairan sekitar pulau Belitung. Terkait dengan informasi kapal Tek Sing, demikian teks informasi yang tertulis dalam panel informasi museum: 
“Kapal Tek Sing atau Bintang Sejati adalah sebuah kapal layar besar yang berbentuk kapal jung yang tenggelam pada 6 Februari 1822 di perairan Selat Gaspar, Kepulauan Bangka Belitung. Kapal ini sering disebut dengan Titanik dari Timur karena besarnya volume kapal. Ia memiliki panjang 50 meter, lebar 10 meter, dan berat sekitar 1000 ton, dengan layar tertinggi mencapai 90 kaki.
Kisahnya, sebelum tenggelam, Tek Sing yang berlayar dari Amoy (Xianmen) di Hokkian, daratan China menuju Batavia dengan membawa 2000 orang imigran dari China dan sejumlah barang kargo, termasuk keramik. Setelah berlayar selama satu bulan, Tek Sing melewati Selat Gasper antara pulau Bangka dan Belitung, lalu menabrak  batu karang dan tenggelam di kedalaman 100 kaki. Hanya 180 orang yang selamat dalam peristiwa naas tersebut dan berhasil diselamatkan oleh kapal milik Inggris yang sedang melintas.
Pada 12 Mei 1999, seorang pemburu harta karun dari Inggris, Michael Hatcher berhasil menemukan bangkai kapal Tek Sing. Ia mengangkat sekitar 350 ribu keeping keramik Tiongkok yang merupakan temuan terbesar harta karun kapal Tiongkok. Dari sisa barang temuan juga ditemukan tengkorak manusia yang ikut tenggelam. Pada November 2000 hasil temuan harta karu dilelang di Jerman.”
Berikut gambaran display replika serpihan kapal Tek Sing yang ada di Museum Maritim Indonesia dan Museum Tanjung Pandan:


Media pamer lainnya dalam kategori artwork adalah replika dinding candi Borobudur yang bergambar kapal atau perahu yang telah digunakan oleh masyarakat Nusantara pada abad ke-7 atau 8 masehi, masa dibangunnya candi yang termasuk dalam salah satu keajaiban dunia. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh kurator bersama tim manajemen Pelindo II, terdapat 9 jenis perahu yang tergambar dalam relief candi Borobudur. Diantara 9 perahu atau kapal tersebut, perahu yang kemudian dikenal sebagai Kapal Borobudur dibuat reproduksinya dalam format satu bagian dinding utuh, sebagai berikut:


Dalam panel yang berkisah tentang Pelabuhan Makassar, terdapat artwork lukisan peperangan dua kapal di perairan Makassar. Lukisan tersebut bersifat statis, kemudian di atas media lukisan ditambahi efek digital yang menggambarkan bagaimana serangan VOC atas benteng Sombaopu, Makassar pada abad ke-17. Dalam konsep display bagian ini, pengunjung dapat menikmati lukisan peperangan Makassar yang dimainkan secara digital dan diputar secara terus menerus atau dalam tempo tertentu. Jika permainan digital berhenti, pengunjung tetap dapat menikmati lukisan dan beberapa materi koleksi lainnya yang ada di sekitar panel.


Selanjutnya dalam tata pamer Museum Maritim Indonesia terdapat koleksi replika atau reproduksi benda-benda yang menyerupai aseli. Koleksi replika tersebut tersebar dalam beberapa area terpisah dan berguna dalam membantu menjelaskan storyline secara utuh kepada pengunjung. Berikut beberapa koleksi replika yang ada dalam Museum Maritim Indonesia:

Selain koleksi replika yang melengkapi informasi museum, ada beberapa koleksi yang menurut penulis menunjukan karakteristik dunia maritime dan pelabuhan yang sesungguhnya. Koleksi tersebut berupa miniature berbagai kapal yang beredar di Nusantara dan Indonesia. Bisa dikatakan, selain Musem Bahari Jakarta yang telah berdiri sebelumnya, Museum Maritim Indonesia memiliki koleksi miniatur kapal yang cukup lengkap. 


Melengkapi item yang terkait dengan pelabuhan, dalam koleksi museum juga terdapat display Kontainer yang digunakan sebagai salah satu ruang pamer. Menurut hemat penulis, Kontainer adalah benda yang paling terkait (asosiatif) dengan pelabuhan. Ketika kita membayangkan pelabuhan (modern) maka langsung muncul pada benak kita gambaran Kontainer yang biasa terlihat menumpuk di area pelabuhan. 



Tentunya sebagai museum dengan tema kemaritiman, koleksi alat-alat navigasi seperti Kompas, Sextan, Astrolabe, dan berbagai alat keselamatan dalam dunia pelayaran juga dapat kita jumpai dalam Museum Maritim Indonesia. 



Penutup
Dalam membangun museum, proses kuratorial adalah proses bercerita tentang storyline yang telah disusun bedasarkan hasil riset, bercerita dengan segala cara, menggambarkan berbagai imajinasi dengan banyak media yang unik dan menarik. Berharap cerita itu melekat di hati dan nempel di benak pengunjung yang tentu harus kita tentukam batasan usia dan latar belakang budaya, politik, juga pendidikannya. 
Dalam suatu kunjungan saya ke museum maritime di negara tetangga, saya sempat bareng dengan rombongan pengunjung museum dengan (maaf) tampang dan pakaian yang rada kurang necisuntuk ukuran performa negara itu. Setelah saya tanya kepada pemandu museum siapakah mereka? Pemandu menjawab, “itu para nelayan dan buruh-buruh kapal yang punya urusan dengan pelabuhan, sebelum mereka bekerja di area pelabuhan mereka harus tahu sejarah pelabuhan dan dunia maritim bangsa ini.” Mendengar itu “wow”, saya berdecak kagum, “suatu hari nanti negaraku juga harus begitu”, itu celetuk saya dalam hati.
Ketika saya mulai mengkurasi Museum Maritim Indonesia, tidak ada permintaan khusus dari calon pengelola museum terkait dengan segmentasi pengunjung yang akan disasar oleh museum. Seperti kebanyakan museum di Indonesia, soal segmentasi ini memang kurang menjadi perhatian. Setahu saya, di Indonesia baru ada satu atau dua museum yang menggunakan teks informasi ganda, satu untuk pengunjung dewasa dan satu untuk anak-anak. Tapi, menghadapi kondisi semacam ini (tiadanya permintaan segmentasi usia secara khusus), kurator harus memiliki kesadaran bahwa cara berceritanya harus sebisa mungkin menjangkau semua usia. Oleh karena itu, bentuk visual yang bagus adalah cara yang terbaik untuk memenuhi hal itu, teks informasi dibuat seringkas mungkin (maksimal 80 atau 100 kata) dan bahasanya gampang dimengerti oleh pembaca. 
Dalam hal penggunaan tehnik produksi grafis yang beragam, tidak melulu menggunakan digital printing, tidak lain untuk menghindari kesan, bahwa kita sedang menulis buku teks bukan sebuah pameran yang hidup. Terkadang, karena kendala dana, beberapa museum mengandalkan tehnik cetak digital printing dalam (hampir seluruh) tampilan tata pamernya, sehingga alih-alih kita masuk dalam suatu museum, kita serasa sedang berada dalam lembaran buku dengan format besar! Museum Maritim Indonesia, sedari awal kami siapkan untuk tidak menempuh cara itu, tentunya kendala dana sudah tidak menjadi soal, hanya urusan administrasi saja yang perlu sedikit strategi untuk mengatasi aturan - aturan baku suatu perusahaan atau institusi yang jelas tidak mengakomodasi “upaya berbeda” dari cara pengadaan yang biasa mereka lakukan secara reguler.  
Meski demikian, kurator mengakui dari semua upaya untuk bercerita secara menarik itu tidak semua dapat terwujud dengan baik dalam produksi tata pamer museum. Banyak kekurangan yang muncul ketika proses produksi berlangsung, banyak koleksi replika yang menurut hemat penulis direproduksi kurang sempurna. Beberapa tehnik peletakan minidiorama atau artwork ada satu atau dua yang kurang pas karena kendala keharusan mengikut lay out ruang yang telah ditetapkan oleh cetak biru museum sebelumnya. Tapi kekurangan semua itu menjadi wajar dalam konteks kita membangun museum dari proses tiada menjadi ada, diharapkan pada masa perawatan dan pengembangan museum, kekurangan itu dapat dibenahi. 
Setelah Museum Maritim Indonesia berdiri dan diresmikan, beberapa kritik dan saran yang membangun diberikan oleh pengunjung, khususnya dari kalangan praktisi museum, sejarawan, atau arkeolog tentang konten storyline atau materi penyajian tata pamer. Salah satu kritik yang cukup menarik untuk disampaikan dalam tulisan ini adalah, terkait perspektif tata pamer yang dianggap cenderung “kurang Indonesia” ketika menggambarkan suatu adegan minidiorama atau diorama. Seolah – olah dalam diorama ruang Pelabuhan Masa Kolonial, misalnya, prioritas adegan lebih fokus pada seorang opsir Belanda yang mengawasi beberapa buruh (pribumi) sedang mengangkut barang. Menurut pemberi saran, padahal pada masa itu kegiatan pelayaran rakyat yang lebih menonjolkan kisah “manusia Indonesia” yang lebih berdaulat dapat menggantikan kisah modernisasi pelabuhan yang lebih bernuansa kolonial.    
Selain itu, beberapa tehnik bercerita antara yang kronologis dan tematis juga membingungkan pengunjung museum. Misalnya, ketika kita memasuki ruang pameran bagian timurnya yang seharusnya bersifat tematis, “pengunjung berharap” tidak lagi menemukan koleksi yang bersifat masa lalu seperti Prasasti Tugu dan Padrao di area panel Pelabuhan Tanjung Priok, atau kisah muatan kapal VOC yang ada di area Kontainer. Hal – hal semacam ini yang perlu dijelaskan kepada pengunjung tentang strategi zonasi yang diberlakukan dalam Museum Maritim Indonesia. Harus diketahui, dengan materi yang lebih bersifat tematis, area ruang pamer bagian timur sebenarnya dapat digunakan secara dinamis oleh pengelola museum. Pada perkembangan berikutnya, beberapa informasi tentang sejarah PT Pelabuhan Indonesia II yang belum cukup terakomodasi pada saat ini, bisa diselipkan dalam ruang bagian timur ini.
Akhirnya, membangun museum adalah pekerjaan kolektif yang melibatkan banyak peranan para profesional di bidang museum, sejarawan, arsitek, seniman, desainer grafis, penggiat multimedia digital, arkeolog, ahli komunikasi, penggerak program publik, dan banyak lainnya, sehingga bagaimana menyatukan dan menjalin sinergi diantara individu tersebut menjadi kunci suksesnya pembangunan museum. Meski sebagaimana sering penulis sampaikan, membangun museum itu mudah. Dengan melakukan riset materi konten museum secara memadai, lalu menyusunnya dalam bentuk desain yang bagus, jadilah museum! Bagian yang paling berat adalah setelahnya, yaitu menjalankan program publik, merawat, dan mengembangkan museum!  

Comments

Blog27999 said…
Your Affiliate Money Printing Machine is ready -

Plus, making money online using it is as easy as 1...2...3!

This is how it works...

STEP 1. Tell the system which affiliate products the system will push
STEP 2. Add some push button traffic (it takes JUST 2 minutes)
STEP 3. See how the affiliate products system explode your list and upsell your affiliate products for you!

Are you ready to start making money??

Check it out here

Popular posts from this blog

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Jung Jawa

Museum Bank Indonesia :Sepenggal kisah proses pembangunan (2004 – 2009) Bagian 1