Museum Maritim Indonesia: Proses Kuratorial Sejarah Maritim Indonesia (2)

Storyline dan Alur Pengunjung Museum Maritim Indonesia 
Mulanya dalam dokumen perencanaan, museum dirancang sebagai museum maritim, pelabuhan dan pelayaran Nusantara. Lalu mengapa tidak mengangkat tema bahari? Adakah perbedaan antara bahari dan maritime? Kedua kata ini sering dianggap sama oleh khalayak, meski ternyata memiliki cakupan yang berbeda jika merujuk kepada definisinya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) ditemukan kaitan antara definisi kata bahari dan maritim. “Bahari dari kata Bahar artinya Laut Bahari artinya mengenai laut, sesuatu berhubungan laut.” Sedangkan “Maritim artinya berkenaan dengan laut, berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut.”  
Oleh karena pemilik museum, yaitu PT Pelindo II adalah perusahaan yang bergerak dalam jasa pelabuhan dan perdagangan, maka m Pengnuseum lebih ditekankan kepada tema kemaritiman, yaitu sejarah pelayaran dan perdagangan yang pernah terjadi di wilayah perairan Indonesia. Tentu saja, pelabuhan sebagai pusat perdagangan yang menghubungkan antara lautan dan daratan, serta pelabuhan sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal yang berlayar dari satu pulau ke pulau lainnya atau dari satu negara ke negara lainnya, menjadi salah satu materi yang akan dipamerkan dalam museum. Dan untuk lebih meringkas nama dan tema, disebutlah museum dengan nama Museum Maritim Indonesia. 
Sesuai dengan dokumen perencanaan yang disusun sebelumnya, kurator membagi empat zona pamer utama dalam museum, yaitu :
1.   Zona “Pendahuluan” sebagai prolog pameran museum yang menempati bagian lobby utama museum.
2.   Zona “Peradaban Maritim Nusantara dan Perkembangan Maritim Masa Kolonial” menempati ruang bagian barat museum.
3.   Zona “Pelabuhan Awal Masa Kemerdekaan, Profil Pelabuhan Pelabuhan Indonesia, Pelabuhan dalam Kehidupan, dan Aktivitas Pelabuhan dan Pelayaran” menempati ruang bagian timur museum.
4.    Zona “Pelabuhan Indonesia Masa Depan” menempati sebagian ruang di lantai dua museum.  

Dalam zona Pendahuluan, terdapat suatu prolog bertema “Lingkungan Alam Nusantara dan Budaya Kepulauan” yang membuka perhatian pengunjung dengan informasi latar belakang alam nusantara sebagai berikut:
Wilayah Indonesia adalah kepulauan terbesar di dunia, yang terletak di kawasan tropis dan dilalui oleh garis Katulistiwa. Luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km, yang terdiri dari 3,1 juta km perairan teritorial dan 2,7 juta km perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Luas ini mencapai lebih 70% dari seluruh wilayah Indonesia yang memiliki pulau sebanyak 17.504 pulau. 
Secara geografis wilayah Indonesia terletak di antara dua benua dan dua samudera besar yang menempatkannya pada posisi strategis di persilangan lalu lintas perdagangan laut dunia. Sejak zaman dahulu wilayah Indonesia yang dikenal dengan Nusantara adalah tujuan utama para pelaut dari seluruh penjuru dunia. Mereka datang untuk berniaga, mencari negeri di bawah angin yang kaya rempah-rempah. Karena itu persilangan budaya di wilayah Indonesia sudah terjadi sejak dahulu kala.
Sementara itu secara alamiah perairan Indonesia merupakan perlintasan utama sistem sirkulasi air panas dunia dan di dalamnya terjadi berbagai fenomena kelautan. Hal ini menjadikan perairan Indonesia berperan penting dalam sistem dan tatanan iklim dunia. Disamping itu, sebagai konsekuensinya, perairan Indonesia mengandung keanekaragaman dan kekayaan hayati yang tinggi. Tatanan geologi wilayah Indonesia menjadikan wilayah ini sangat dinamis yang memberikan konsekuensi kerawanan pada bencana alam kebumian seperti gempa bumi dan tsunami. Namun demikian, di lain pihak, konstelasi geologi ini menjadikan wilayah Indonesia sangat subur dan kaya akan berbagai potensi sumberdaya alam kebumian.
Kondisi demikian, mau tak mau telah membentuk penduduk Nusantara mengembangkan budaya maritime yang kuat yang bertalian dengan kebudayaan maritime dunia. Hal demikian adalah salah satu bentuk adaptasi yang sempurna masyarakat Nusantara sebagai warga kepulauan yang mewarisi budaya bahari dan maritime.”
Selanjutnya berdasarkan storyline yang disusun, zona ke-2, yaitu “Peradaban Maritim Nusantara, dst.” alur pengunjung disusun secara kronologis. Dalam zona ini pengunjung museum diarahkan untuk menelaah materi museum secara berurutan dari satu tema ke tema lainnya sebagai berikut:
a.    Cikal Bakal Pelayaran Nusantara.
b.    Kerajaan-Kerajaan Maritim Nusantara.
c.    Tradisi Pelayaran Nusantara. 
d.    Penjelajahan Bangsa Eropa.
e.    Pelabuhan Masa VOC
f.     Pelabuhan Masa Kolonial

Dalam bagian Cikal Bakal Pelayaran Nusantara pengunjung mendapatkan informasi bahwa manusia paling awal penghuni kepulauan Nusantara, Homo Erectus, yang tiba sejak lebih dari sejuta tahun lalu telah mampu beradaptasi dengan lingkungan semesta Nusantara. Beberapa bukti arkeologis menunjukkan bahwa mereka telah melakukan pelayaran dengan menggunakan rakit bambu menyebrangi selat di antara pulau-pulau dari Jawa hingga ke Flores. Karena itu, mereka disebut penjelajah laut pertama, The First Mariner.
Selain itu dalam bagian Cikal Bakal, juga disampaikan informasi bahwa budaya kepulauan Nusantara berkembang amat pesat ketika para penutur bahasa Austronesia mulai bermigrasi ke wilayah itu. Sekitar 5.000 tahun yang lalu, sekelompok nelayan di Cina Selatan dan Formosa (Taiwan) mulai berlayar ke Filipina dan beradaptasi dengan lingkungan kepulauan dan mulai mengembangkan teknologi pelayaran jarak jauh, di antaranya adalah perahu kano ganda. Dari kepulauan ini, mereka menyebar lebih luas lagi ke berbagai penjuru Nusantara hingga ke Melanesia. (Lihat Agus Aris Munandar, 2014)

Para sejarawan maritim mensinyalir bahwa sejak lebih dari 3.000 tahun lalu, para pelaut Austronesia sudah berlayar dan berdagang hingga ke Afrika Timur, India (di barat) dan Cina Selatan (di utara), dan Melanesia di timur. Berbagai barang yang mereka bawa di antaranya kayu gaharu, cengkeh, berbagai jenis tanaman seperti jeruk (Citrus), mangga, pisang, yam-taro, nekara perunggu, gerabah, batu obsidian. Pada babak berikutnya, yaitu era Kolonialisme, rempah-rempah bahkan kemudian menjadi komoditas primadona yang digemari dan diburu bangsa Eropa. Cengkeh dan Pala adalah dua jenis rempah-rempah paling dicari oleh para pedagang di kawasan Asia dan Eropa.
Cengkeh di Nusantara, dulunya hanya ada di Pulau Bacan, Makian, Moti, Ternate dan Tidore, sedangkan Pala cuma ada di pulau Banda, semuanya ada di Kepualauan Maluku, wilayah timur Nusantara. Tidak terduga, rempah- rempah itu kemudian menjadi pemicu perdagangan dunia. Setelah diperkenalkan oleh para pelaut Nusantara, rempah ini diperdagangkan juga oleh orang India dan Arab. Bahkan, sekitar abad ke-16, orang-orang Eropa yang sangat membutuhkan rempah-rempah langsung berlayar ke Maluku untuk mendapatkan pasokan. 

Selanjutnya bagaimana pelayaran dan perdagangan pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara? Beberapa sumber prasasti dan artefak arkeologis menunjukkan bahwa sejak Masa Mataram Kuno, Sriwijaya, Majapahit, dan Kerajaaan-kerajaan Islam setelahnya, telah terlibat dalam suatu jaringan pelayaran dan perdagangan dunia. Kerajaan Mataram Kuno (abad ke-8 hingga ke- 10) berpusat di pedalaman Pulau Jawa tetapi memiliki beberapa pelabuhan di pantai utara, sekitar Pekalongan dan Semarang. Kerajaan yang diperintah oleh dua klan beragama Hindu dan Budha ini memiliki jaringan perdagangan yang luas di Asia Tenggara. Beberapa relief di Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8 Masehi menggambarkan kapal dan aktivitas pelayaran yang sangat mungkin telah mengarungi samudra ke luar wilayah Nusantara.
Sedangkan Kerajaan Sriwijaya (abad ke-5 hingga ke-13) sebagai negara maritim menebarkan pengaruhnya terutama di Indonesia bagian barat. Kerajaan ini mengamankan lautan dan membangun pelabuhan yang nyaman dan aman, sehingga banyak disinggahi para pelaut pedagang singgah dan tinggal di Sriwijaya ketika menunggu angin muson bertiup ke arah yang ditujunya. Mereka juga mendirikan pusat pendidikan agama Budha, tempat banyak orang asing belajar sebelum ke India. Kapal-kapal mereka melayari Laut Cina Selatan ke Samudra Hindia. Banyak peziarah Cina yang ikut dalam perahu-perahu mereka. 
Pengaruh Sriwijaya di di kawasan Asia Tenggara dibuktikan dengan temuan Prasasti Keping Tembaga Laguna (900 masehi) yang menunjukkan pengaruh kerajaan Sriwijaya di pulau Luzon pada awal abad ke 10 masehi. Prasasti itu ditemukan pada 1989 di Laguna de Bay,  Filipina, ditulis dengan aksara Kawi dan menggunakan bahasa Melayu Kuno. Saat ini prasasti berada di Museum Nasional Filipina.
Sementara itu Kerajaan Majapahit (abad ke-13 hingga ke-15) yang seolah menggantikan dominasi Sriwijaya, dapat disebut sebagai pemersatu wilayah Nusantara. Wilayah kekuasaan Majapahit meliputi seluruh wilayah Nusantara dan menjangkau beberapa wilayah Asia Tenggara, seperti Tumasik dan Filipina. Kerajaan ini memiliki sejumlah pelabuhan penting di Pantai Utara Jawa Timur, antara lain Tuban, Ujunggaluh (Surabaya), dan Gresik. Pelabuhan Majapahit dikenal sebagai pelabuhan yang ramai dan disinggahi banyak pedagang pelaut dari mancanegara, baik dari Asia Barat, Asia Selatan, Afrika, Cina, dan pelaut dari kawasan timur Nusantara. Kemashuran Majapahit mendorong Zheng-Ho, panglima armada Dinasti Ming di Cina, melakukan muhibah ke kerajaan ini. Mereka juga menempatkan dutanya di ibukota Majapahit. 
Setelah kejayaan Kerajaan Majapahit surut, muncul kerajaan Islam di Melaka, Samudra (Sumatra), dan Demak Jawa Tengah. Semua kerajaan itu besar karena mengandalkan perdagangan melalui jalur laut. Ketika itu Asia Tenggara justru mengalami “Revolusi Perdagangan”. Mulanya pada 1511 Portugis menyerang dan menguasai Melaka. Sejak saat itu para pedagang muslim menyebar ke wilayah lainnya di Nusantara. Pada periode ini berkembang beberapa kota pelabuhan dagang atau emporium sebagai berikut :
Di Sumatra, berkembang kota-kota pelabuhan Pasai dan Banda Aceh (Aceh Darussalam), Indragiri dan Kampar (Riau), Jambi, dan Palembang. Di Jawa, kota-kota pelabuhan yang terpenting adalah Banten, Demak, Cirebon, Jepara, Juana, Gresik dan Surabaya. Semarang menjadi salah satu dikenal sebagi tempat pembuatan kapal yang penting. 
Di Nusa Tenggara ada kota pelabuhan Bima (Kesultanan Bima); di Kepulauan Maluku terdapat Kota Ternate dan Tidore (Kesultanan Ternate dan Tidore); di Sulawesi terdapat Makassar dan Goa-Tallo, Bone, dan Wajo (Kesultanan Makassar, Goa-Tallo, Bone dan Wajo); di Kalimantan terdapat Banjarmasin, Kutai dan Pontianak (Kesultanan Banjar, Kutai dan Pontianak). Di kota-kota tersebut para syahbandar setempat sibuk melakukan diplomasi perdagangan dengan para pedagang yang datang dari pulau-pulau lain di Nusantara dan dari kawasan dunia lainnya.
Hampir di setiap pelabuhan tersebut ditemukan satu atau beberapa orang yang berperan sebagai syahbandar. Mereka bekerja tidak semata sebagai administrator, tetapi juga sebagai penghubung dengan pedagang-pedagang asing yang datang ke Nusantara. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para syahbandar tersebut kebanyakan adalah orang asing, seperti Arab, India, Armenia, dan terutama Cina.

Sejak paruh kedua abad ke-15 hingga akhir abad ke-16, para pelaut dan kapal-kapal Eropa mulai mengarungi samudra menuju ke belahan timur dunia. Diawali oleh armada kapal Portugis, diikuti Spanyol dan kemudian akhirnya Inggris, Perancis, dan Belanda. Mereka berlomba untuk menemukan Mundus Novus atau ‘Dunia Baru’. Saat itu, para penjelajah laut bangsa Eropa, seperti Pedro da Convilha, Bortholomeus Diaz, Vasco de Gama, Lopez de Saqueira, Christopher Columbus, dan Ferdinand Magellan ‘menemukan’ (India) Asia, Afrika dan Amerika. 
Gold, Glory and Gospel begitu sering kita dengar terkait dengan motivasi utama yang mendorong bangsa Eropa melakukan penjelajahan dunia. Gold berarti memperoleh rempah-rempah yang dihasilkan di Timur atau emas di Guinea dan Amerika. Glory berarti meluaskan pengaruh politik dan monopoli dagang. Gospel berarti menyebarkan Injil (agama Kristen) di ‘Dunia Baru’ dan mencari Prester John, yang diyakini sebagai raja Kristen yang berkuasa di Timur. 

Secara ringkas di wilayah Nusantara terdapat empat bangsa Eropa yang pernah “berpengaruh’ dalam perdagangan, yaitu Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris. Dua bangsa terakhir mendirikan perusahaan dagang yang kemudian menjadi terkenal dan merajai perdagangan di kawasan Asia da Afrika. Bangsa Belanda memiliki dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Inggris memiliki East India Compagnie (EIC). VOC pada akhirnya mendirikan Batavia (1619) di Jawa dan dari kota baru itu menjalankan monopoli perdagangan di sebagian besar wilayah Nusantara. Sementara EIC di Nusantara hanya beroperasi secara terbatas di pesisir timur Sumatra. 
Sejarah mencatat, VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18 mengakhiri monopoli perdagagan di wilayah Nusantara dan selanjutnya eks wilayah monopoli itu sebagian besar dilanjutkan pengelolaanya oleh pemerintah Kolonial di Hindia Timur yang berdiri pada awal abad ke-19. Pada babak selanjutnya, setelah beberapa masa peralihan kekuasaan kolonial di Jawa, pemerintah Hindia Belanda berkuasa di wilayah Nusantara dan meneruskan kegiatan monopoli perdagangan sambil secara perlahan mewujudkan pemerintahan kolonial. Pada akhir abad ke 19, beberapa fasilitas pendukung kegiatan ekonomi mulai diwujudkan di Hindia Belanda, termasuk fasilitas transportasi darat dan laut. Bersama pihak swasta pemerintahan kolonial Hindia Belanda mengelola jaringan kereta api dan pelabuhan secara bersama sejak akhir abad ke-19. 

Memasuki awal abad ke-20 sejumlah pelabuhan utama di berbagai pulau di Jawa telah direvitalisasi. Pada periode itu di Hindia Belanda telah beroperasi Koninklijke Pakervaart Maatschappij (KPM) sejak 1890 dan bertugas memastikan bahwa orang dan barang akan diangkut di Tanjung Priok, bukan di Singapura atau Penang. Dalam buku Fondasi Historis Ekonomi Indonesia (2002) tercatat sebagai berikut:
Pada 1909 Belanda mulai membuat rancangan pelabuhan-pelabuhan utama yang cocok untuk kapal-kapal terbesar dan memfasilitasi pelayaran transito. Pada 1909, Tanjung Priok (yang telah dibangun sejak 1877) diperluas dengan kolam-kolam pelabuhan yang baru. Ujung (Tanjung Perak) pelabuhan pangkalan laut di Surabaya, mulai dikembangkan sebagai kompleks galangan kapal yang dibuka pada 1917 dan disempurnakan pada 1925. Di bagian barat, pada 1920 Belanda membuka pelabuhan laut dalam yang baru di Belawan untuk melayani ekspor produk perkebunan yang bernilai dari Sumatera Utara dan mengapalkannya secara transito melalui Penang dan Singapura. 
Sementara itu di bagian timur, Belanda membangun galangan kapal laut dalam yang baru di Makasar yang dilengkapi dengan gudang-gudang besar untuk kopra. Keempat pelabuhan ini menjadi poros poros utama perdagangan Hinda Belanda, selain dikembangkan juga pelabuhan minyak di Sumatera Utara, Palembang, Balikpapan, dan Tarakan, serta pelabuhan batubara di Emmahaven (Teluk Bayur, Padang), Palembang, dan Kalimantan Timur.
Pada 1911 usaha pasifikasi maritime yang dilakukan KPM hampir usai. Pada 1913 tercatat KPM memiliki 85 kapal api di kepulauan, lebih dua kali lipat dari jumlah kapal api China. Pada saat itu kapal kapal China yang berbasis di pelabuhan milik Belanda telah bekerjasama melayani seluruh tujuan KPM menyatukan kepulauan Hindia Belanda (Indonesia).”  
Hal senada tentang KPM juga disampaikan oleh sejarawan maritim terkemuka A.B. Lapian (lihat Henri Chambert-Loir, 1999) sebagai berikut:
Akan tetapi di lain pihak monopoli perdagangan dan pelayaran yang diberlakukan oleh Belanda membatasi keleluasaan gerak di laut sehingga harus menggunakan kapal-kapal mereka. Sunan Mataram misalnya, memperoleh kuda Persia dengan bantuan kapal VOC, dan pada awal abad ke- 20 jamaah haji menggunakan kapal KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), perusahaan pelayaran kolonial yang pada paruh pertama abad ke-20 praktis menguasai pelayaran Nusantara. Namun jaringan yang telah dikembangkan KPM telah mempercepat komunikasi antarpulau dan melancarkan hubungan antara pusat pemerintahan kolonial dengan daerah, yang dengan tak sengaja menjadi sarana untuk mempersatukan sekian banyak suku bangsa dalam kesatuan Indonesia yang lebih besar.” 

Selanjutnya pada zona ke-3, yaitu “Pelabuhan Awal Masa Kemerdekaan, dst.” alur pengunjung bersifat tematis. Setelah menyaksikan tema Pelabuhan Awal Masa Kemerdekaan sebagai materi pembuka, pengunjung bebas untuk memilih tema-tema mana yang selanjutnya akan mereka saksikan materi pamernya. Berikut beberapa tema yang ada di zona ke-3 ini:
a.    Pelabuhan Awal Masa Kemerdekaan dan Sejarah PT Pelabuhan Indonesia II.
b.    Profil Pelabuhan Belawan (Sumatera Utara), Tanjung Priok (Jakarta), Sunda Kelapa dan Onrust (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya), Tanjung Mas (Semarang), Teluk Bayur (Padang), Pelabuhan Cirebon (Jawa Barat), dan Pelabuhan Makassar (Sulawesi Selatan).   
c.    Pelabuhan dalam Kehidupan: Pelabuhan bagian dari Kota, sebagai Penghubung Nusantara, pelabuhan dan perdagangan, pelabuhan dan teknologi, serta pelabuhan dan interakasi budaya.
d.    Aktivitas pelabuhan dan pelayaran, di dalamnya terdapat info peranan pelabuhan dalam pertahanan dan keamanan.

Sementara itu zona ke-4 yang berada di lantai II, alur pengunjung juga bersifat tematis. Karena keterbatasan ruang zona ini terbagi dalam dua tema utama, yaitu:
a.    Konsep Poros Maritim Nusantara.
b.    Proyeksi Pelabuhan Tanjung Priok di Masa Depan.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia sempat mengambil alih pengelolaan pelabuhan - pelabuhan yang ada, terutama melalui Badan Keamanan Rakyat Laut (cikal bakal TNI Angkatan Laut) bersama-sama dengan para pejuang yang umumnya adalah pekerja pelabuhan. Namun, pada akhir September 1945 wewenang pemerintah RI atas beberapa pelabuhan di Jawa diambil kembali oleh NICA (Nederlands Indies Civil Administration – Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Bahkan, pada 1946 KPM kembali memulihkan kondisi armada dan rute pelayarannya hingga berjumlah sekitar 25 rute. 
Selanjutnya meski Indonesia sudah memperoleh kedaulatan, Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 menetapkan pengelolaan pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta harus dikembalikan kepada KPM yang masih memiliki konsesi selama 75 tahun sejak 1877, yang berarti baru berakhir pada 1952. Setelah masa itu berakhir, pada 1952 pemerintah RI menasionalisasi pelabuhan Tanjung Priok dan pengelolannya diserahkan kepada Djawatan Perhubungan Laut dengan pelaksananya adalah Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP). Untuk pelaksanaan aktivitas pelabuhan, seluruh kapal KPM diambil alih dan diserahkan kepada PN Dok Tanjung Priok. BPP mengelola fasilitas gudang, dermaga, dan fasilitas lainnya yang melibatkan beberapa jawatan lainnya, seperti Djawatan Bea dan Cukai, Djawatan Pengerukan, Djawatan Imigrasi, Komandan Militer Kota, Kesatuan Pelaksana Pengaman Pelabuhan, dan Kesatuan Pengamanan Laut dan Pantai. (lihat PT Pelabuhan Indonesia II. Dari Sunda Kelapa ke New Tanjung Priok. t.t.) 


Sementara itu, terkait dengan sejarah terbentuknya PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) secara kronologis dapat disusun timeline sebagai berikut: 
·     1 Januari 1950: Nasionalisasi Pelabuhan yang dibangun oleh Belanda menjadi Jawatan Pelabuhan dan Pengerukan di bawah Departemen Pekerjaan Umum. 
·     1 Januari 1961 Berdasarkan UU No. 19 Prp 1960 Jawatan Pelabuhan dan Pengerukan dialihkan statusnya menjadi Perusahaan Negara (PN).
·     1964-1969: Aspek komersialisasi dan operasional pelabuhan dipisahkan. Pengelolaan komersial oleh PN Pelabuhan, aspek operasional dikoordinasikan oleh Lembaga Pemerintah yang disebut Port Authority (Otoritas Pelabuhan). PN Pelabuhan dibagi menjadi I hingga VIII.
·     1969-1983: Pengelolaan masing-masing pelabuhan umum dilakukan oleh Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1969. PN Pelabuhan pun dibubarkan diganti menjadi BPP. 
·     1983-1991: Pengelolaan pelabuhan dibedakan antara pelabuhan umum diusahakanyang dilakukan Perusahaan Umum (PERUM) Pelabuhan I - IV dan pelabuhan umum tak-diusahakandikelola oleh Unit Pelaksanaan Teknis di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan.
·      1991 : PERUM Pelabuhan direorganisasi menjadi Persero (PT) Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I – IV. PT Pelindo II ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 57 tanggal 19 Oktober 1991 dan dikukuhkan melalui Akta Pendirian Perusahaan Nomor 3. 
·     2008 : Perubahan AD PT Pelindo II sebagai BUMN berdasarkan UU No. 19/2003 tentang BUMN, UU No. 29/2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No. 17/ 2008 tentang Pelayanan.
Pada zona ini, untuk melengkapi sejarah pelabuhan di Indonesia, dipilih secara tematis kisah enam pelabuhan yang dianggap menjadi pelabuhan penting di Indonesia pada masa lampau dan masih bertahan hingga saat ini, yaitu  Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Semarang (kemudian dikenal dengan Tanjung Emas), Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Belawan (Medan, Sumatera Utara), dan Pelabuhan Teluk Bayur (Padang, Sumatera Barat).Selain itu dikisahkan juga Pelabuhan Cirebon, salah satu pelabuhan tua yang memiliki peran penting di utara pantai Jawa bagian barat yang pada saat ini berada di wilayah kerja PT Pelabuhan Indonesia II. 
Pelabuhan Tanjung Priok, Sunda Kelapa, dan pulau Onrust mendapatkan porsi yang cukup besar untuk dikisahkan dalam storyline Museum Maritim Indonesia. Ketiga lokasi tersebut masih terlihat jejaknya hingga saat ini, dan khususnya Tanjung Priok tampaknya “harus” menjadi tema sentral dalam museum yang berada di dalam kawasan pelabuhan. Terkait dengan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok, Susan Blackburn (2011) menulis sebagai berikut:
“Pada periode kolonial, para pendatang dari luar negeri yang tiba di Batavia tentunya datang melalui jalur laut. Kesan pertama mereka tentang Batavia adalah kota pelabuhan di dataran rendah yang tidak menyenangkan dan pegunungan di kejauhan sebagai latar belakangnya. Sebelumn 1880 an kapal-kapal masih berlabuh di lepas pantai Batavia, dekat muara kali Ciliwung yang terlindungi oleh Kepulauan Seribu. Dari atas dek, pendatang dapat mengamati kesibukan para pekerja pelabuhan saat kapalnya tiba. Di sana terlihat kumpulan perahu, buaya di muara kali, dan tongkang yang datang untuk membongkar muatan kapal.
Kesulitan mendarat di dermaga merupakan penyebab utama pemindahan pelabuhan utama dari pelabuhan ini ke Tanjung Priok pada 1880 an. Peningkatan endapan lumpur di muara kali menyebabkan kapal-kapal harus berlabuh semakin jauh dari daratan. Usaha yang dilakukan untuk menjaga agar jalur masuk ke kali tetap terbuka melibatkan perjuangan berkepanjangan melawan endapan pasir melalui kombinasi pengerukan dengan pembangunan dinding kanal yang menjorok ke laut. 
Proses bongkat muat melibatkan rombongan tongkang yang biasanya memakan waktu dan cukup berbahaya, terutama jika dilakukan pada saat musim muson barat, karena pada saat itu terjadi gelombang besar di laut. Pada seperti itu menara Syahbandar akan mengibarkan bendera biru memberitahu bahwa perahu perahu tidak diperbolehkan meninggalkan atau memasuki kanal kali. 
Bagi kapal uap yang beroperasi sepanjang tahun, kecepatan operasi sangat dibutuhkan terkait dengan pengeluaran yang mereka gunakan. Namun kelemahan Batavia ditoleransi hanya karena tidak ada pelabuhan lain di Jawa bagian utara yang memiliki fasilitas yang lebih baik. 
Pembukaan Terusan Suez pada 1869 mendorong kepada perubahan yang tak terhindarkan. Semakin meningkatnya jumlah kapal uap yang diikuti dengan semakin pendeknya rute ke Eropa, mendorong Batavia dan kota pelabuhan Jawa lainnya untuk meningkatkan mutu pelabuhannya. Persaingan dengan Singapura yang didirikan pada 1819 juga memacu usaha perbaikan kualitas.
Mulanya keputusan pemindahan lokasi pelabuhan ke Tanjung Priok yang berjarak 9 km dari Pelabuhan Batavia banyak diragukan oleh banyak pihak. Perdebatan antara pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan terus terjadi selama bertahun tahun hingga akhirnya Kamar Dagang Batavia menolak keputusan pemindahan pelabuhan. Mereka khawatir pemindahan pelabuhan akan mematikan bisnis tongkang yang selama ini menguntungkan. Mereka juga khawatir pengalihan proses bongkar muat kargo ke pelabuhan baru akan mematikan Kota Tua.
Pembangunan pelabuhan Tanjung Priok dimulai pada 1877 dan selesai pada 1886. Dengan demikian Jawa memiliki pelabuhan laut dalam pertama, dimana kapal-kapal dapat ditambatkan ke dermaga, memuat batubara dan menjalani perbaikan di dok kering. Pelabuhan Tanjung Priok dihubungkan dengan Batavia melalui jalan, kanal, dan jalur kereta api. 
Para pengusaha Batavia lega ketika pada perkembangannya, di Tanjung Priok tidak terbentuk pusat perniagaan yang dapat menjadi saingan. Lingkungan Priok dijangkiti malaria sehingga sedikit sekali orang mau tinggal atau bekerja di sana. Sejak saat itu para pengunjung Batavia mendarat di Tanjung Priok dan menggunakan kereta api untuk menuju kota. Dengan demikian tidak ada lagi pengalaman mendarat yang unik dan eksotis seperti pada masa sebelumnya.”

Sementara itu tentang Pelabuhan Cirebon, sebagai pelabuhan yang “sezaman” dengan Sunda Kelapa kita sampaikan informasi yang tercatat dalam Suma Oriental karya Tome Pires (Armando Cortesao ed., 2015) sebagai berikut: 
“Negeri Cirebon terletak di samping Sunda. Penguasanya dikenal dengan Lebe Upa, ia merupakan bawahan dari Pate Rodim (Raden Patah) tuan negeri Demak. Lebe Upa (Lebe Uca) adalah Sunan Gunung Jati dan Pate Rodim adalah Raden Patah Sultan Demak. 
Cirebon memiliki pelabuhan yang baik, dimana terdapat 3 atau 4 jung di tempat tersebut. Tempat ini memiliki beras dan bahan makanan lain dalam jumlah besar. Di sana (di pelabuhan) juga terdapat setidaknya 10 lanchara (jenis perahu kecil).”
Sementara itu Nina H. Lubis (2000) memberikan informasi bahwa pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Pada 1596 rombongan pedagang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman mendarat di Banten dan pada tahun yang sama mereka ke Cirebon untuk pertama kali dan melaporkan bahwa Cirebon adalah kota dagang yang relative kuat sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai. 
Pada 1681 Ketiga Sultan Cirebon (Kasepuhan, Kanoman, dan Panembahan) melakukan perjanjian persahabatan dengan VOC yang menyatakan para sultan Cirebon akan bersahabat dengan VOC yang diperbolehkan melakukan monopoli untuk mengimpor kain dan candu, serta mengekspor lada, beras, kayu, gula, dll. Selain itu VOC juga berhak membangun pelabuhan Cirebon untuk kepentingan perdagangannya.
Pada perkembangannya, pelabuhan Cirebon dikepalai oleh seorang syahbandar yang biasanya dipilih secara bersama-sama oleh 7 orang mantri, yaitu 3 orang mantri dari Kasultanan Kasepuhan, 2 orang mantri dari Kasultanan Kanoman, dan 2 orang mantri dari Panembahan. Ketujuh mantri pelabuhan ini secara bersama memilih Kapten Cina di Cirebon. Selanjutnya pada 1686 J. Camphuys kepala politik dan dagang VOC membangun loji atau benteng yang disebut Benteng Beschermingh yang terletak di daerah pelabuhan. Sejak saat itu para pemimpin VOC di Cirebon mulai tinggal di dalam benteng. Menurut Nina, pada awal abad ke-20 Cirebon merupakan salah satu dari lima kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda dengan jumlah penduduk 23.500 orang. Produk utama Cirebon adalah beras, ikan, tembakau, dan gula. Perusahaan tembakau Amerika, British American Tobacco membuka pabrik yang besar di Cirebon. 
Membahas tentang profile beberapa pelabuhan dalam Museum Maritim Indonesia, membawa kita untuk mengetahui apa fungsi dan peran pelabuhan dalam kehidupan suatu bangsa atau masyarakjat dunia secara luas. Dalam bahasa Inggris terdapat dua istilah untuk pelabuhan: harbourdan port. Harbour adalah tempat kapal atau perahu berlabuh. Port adalah pintu keluar masuk atau tempat yang menghubungkan bagian luar (foreland) dan bagian pedalaman (hinterland). Sementara itu dalam bahasa Indonesia dikenal kata bandar yang berarti kota pelabuhan atau kota perdagangan. Fungsi utama pelabuhan adalah tempat berlabuh dan tempat berkumpul untuk berdagang. Kegiatan perdagangan adalah faktor pendorong kemajuan pelabuhan. Meski dalam konteks lain, pelabuhan di Indonesia juga berfungsi sebagai sarana penghubung antar pulau dan atau antar daerah dalam suatu pulau karena sulit dijangkau melalui jalan darat. Pelayaran adalah gerak yang menghubungkan bagian-bagian wilayah Nusantara. (Susanto Zuhdi, 2017).
Lebih jauh sejarawan maritime Susanto Zuhdi (2017) menulis : 
“Fungsi Pelabuhan dari segi ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya. Dalam aspek ekonomi pelabuhan menjadi indicator pertumbuhan ekonomi suatu daerah bahkan negara. Melalui pelabuhan dapat diamati perkembangan laju arus barang ekspor dan impor. Dalam kaitannya dengan wilayah pedalaman, ketersediaan komoditas dagang di pelabuhan ditentukan sejauh mana dukungan pedalaman terhadap pelabuhan. 
Fungsi sosial pelabuhan dapat dilihat dari perkembangan kota yang tergantung oleh maju mundurnya kegiatan pelabuhan. Beberapa kota besar di Indonesia, perkembangannya dipengaruhi oleh pelabuhan yang berada di wilayahnya, seperti Jakarta (Batavia), Surabaya (Ujung), Semarang, Medan, dan Makassar. Dalam konteks ini pelabuhan tidak hanya sebagai tempat belabuh kapal, bongkar muat barang, tapi juga memfasiitasi perkembangan sosial ekonomi. Pelabuhan membutuhkan tenaga kerja yang disediakan oleh kota, lalu tenaga kerja itu membentuk pemukiman dan menggerakkan aspek-aspek kehidupan lain di sekitar pelabuhan.
Dalam konteks budaya, pelabuhan memberi peluang berbagai bangsa untuk bertemu dan saling berinteraksi secara budaya. Bahkan berbagai jenis suku bangsa ini mendukung terjadinya pemekaran kota. Hingga hari ini masih bisa kita temui keberadaan kampong-kampung etnis di tengah kota, seperti Pekojan (Arab), Keling (India), dan Pecinan (China). Di Jakarta hingga hari ini masih kita kenal kampong-kampung seperti kampong Makassar, kampong Bandan, Bugis, dan Buton.”  
Berbicara tentang dunia bahari dan maritime Indonesia, pada 22 Juli 2014 pasangan Presiden dan Wakil Presiden RI yang terpilih melalui Pemilu 2014, Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam pidato kemenangannya di atas kapal pinisi Hati Buana Setia di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, antara lain mengatakan: 
Pemilu presiden kali ini .... memunculkan optimisme baru, jiwa yang merdeka. Kesukarelaan yang telah mati suri kini hadir kembali. ....... Hal ini ditunjukkan oleh semangat kegotong royongan relawan yang tidak pernah mati, mulai dari seniman sampai pengayuh becak. Kegotong royongan ini yang bisa membuat Indonesia menjadi pusat maritim dunia. (Kompas, 23 Juli 2014)

Sejak masa kampanye pilpres Joko Widodo selalu mengatakan bahwa laut adalah masa depan negeri. Oleh karena itu ketika terpilih menjadi Presiden RI, Joko Widodo langsung mengajak rakyat kembali melihat lautan yang luasnya sebesar 73% dari seluruh wilayah Indonesia. Ajakan itu menandai berubahnya orientasi pembangunan Indonesia, yang selama 69 tahun selalu berorientasi ke daratan, dan mulai pemeritahan Joko Widodo pada 2014 Indonesia kembali meneguhkan cita-citanya menjadi poros maritim dunia.  
Dalam suatu kesempatan CEO Forum, 7 November 2014 Presiden Joko Widodo menyebut kekuatan Indonesia berada di laut dan samudra. Presiden pada kesempatan itu menantang dunia usaha dan perbankan untuk terlibat mengembangkan kemaritiman. Menurut Presiden, upaya membangkitkan “raksasa” Indonesia yang sekian lama tertidur itu menjadi tantangan terbesar bagi Kabinet Kerja yang baru saja dibentuknya.   
Pada masa kembali digaungkannya gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia, sebenarnya potensi apa saja yang dimiliki oleh dunia maritim Indonesia? Dalam suatu simposium di Jakarta Ikatan Alumni Universitas Indonesia memetakan lima potensi yang dimiliki oleh Indonesia, yakni potensi geografis, sumber daya laut, industri pelayaran niaga, industri pelayaran rakyat, serta industri perkapalan dan galangan kapal. Dari lima potensi ini saja, jika Indonesia bisa mengembangkan secara maksimal, niscaya akan membawa kesejahteraan bagi bangsa dan negara Indonesia.
Dalam konteks  industri pelayaran niaga, tentu saja Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta yang melayani lebih dari 60 persen logistik nasional menjadi sorotan pertama pemerintahan Joko Widodo. Menurut beberapa pengamat, pada 2014 pelabuhan Tanjung Priok sudah melayani barang melebihi kapasitas. Waktu tunggu kapal dan waktu bongkar muat lebih lama dibandingkan dengan pelabuhan – pelabuhan di negara lain, karena beberapa kendala teknis antara lain banyaknya tarik menarik kepentingan instansi yang melakukan pemeriksaan. Hal itu membuat pengusaha mengeluarkan biaya lebih sehingga berpengaruh pada meningkatnya biaya produksi, imbasnya produk Indonesia memiliki daya saing yang rendah.
Dari gagasan poros maritim tersebut, banyak perubahan dan perbaikan yang dilakukan pada masa pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Dalam sektor pelabuhan, PT Pelabuhan Indonesia II (persero) antara lain telah mulai mewujudkan amanah yang terkandung dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2025, yaitu mengembangkan pelabuhan Tanjung Priok sebagai Pelabuhan Utama Internasional yang menjadi pintu gerbang konektivitas ekonomi nasional dan internasional. 
Selanjutnya, kesungguhan mewujudkan gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia juga disampaikan Presiden Joko Widodo dalam forum KTT Asia Timur di Myanmar, 13 November 2014. Berikut antara lain pidato Joko Widodo dalam forum tersebut:
“Bagi Indonesia, KTT Asia Timur berperan penting bagi keamanan, stabilitas, dan kemakmuran ekonomi di kawasan. Oleh karena itu, saya memilih forum ini untuk menyampaikan gagasan saya tentang Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, dan harapan saya tentang peran KTT Asia Timur ke depan.
Indonesia menyadari, sebuah transformasi besar sedang terjadi di abad ke-21 ini. Pusat gravitasi geo-ekonomi dan geo-politik dunia sedang bergeser dari Barat ke Asia Timur. Negara-negara Asia sedang bangkit. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen pertahun, dengan total GDP sekitar USD 40 trilyun, kawasan Asia Timur merupakan kawasan paling dinamis secara ekonomi. Sekitar 40 persen perdagangan dunia ada di kawasan ini.
Dalam dinamika itu, laut akan semakin pentingnya artinya bagi masa depan kita. Jalur laut yang menghubungkan dua samudera strategis --Samudera Hindia dan Samudera Pasifik-- merupakan jalur penting bagi lalu lintas perdagangan dunia. Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) merupakan “lorong” lalu lintas maritim dunia. Dua samudera strategis itu juga menyimpan kekayaan besar --energi dan sumberdaya laut lainnya—yang akan menentukan masa depan kemakmuran di kawasan. Indonesia berada tepat ditengah-tengah proses perubahan strategis itu, baik secara geografis, geopolitik, maupun geo-ekonomi. Oleh karena itu, sebagai negara maritim, Indonesia harus menegaskan dirinya sebagai Poros Maritim Dunia, sebagai kekuatan yang berada di antara dua samudera: Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Posisi sebagai Poros Maritim Dunia membuka peluang bagi Indonesia untuk membangun kerjasama regional dan internasional bagi kemakmuran rakyat.”
Demikianlah storyline dan alur cerita yang disusun dalam kuratorial Museum Maritim Indonesia, secara kronologis dan tematis kisah sejarah maritim Indonesia diletakkan dalam satu alur cerita yang berlanjut dengan gagasan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, yang kembali mengemuka pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. 
Konsep Tata Pamer Museum 
Dari storyline dan alur pengunjung yang telah disusun, kurator menetapkan bentuk media pamer yang akan digunakan dalam tata pamer museum. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa materi pamer museum terbagi dalam tiga bentuk yaitu: gambar dan ilustrasi grafis; artwork yang terdiri dari panel interaktif, maket, mini-diorama, diorama-ruang, koleksi replika benda-benda bersejarah; dan informasi media digital. Tidak semua konten akan penulis sajikan dalam tulisan ini, hanya beberapa konsep tambahan yang belakangan muncul menggantikan materi sebelumnya yang akan kami sampaikan.
Pada prinsipnya, menyusun tata pamer museum adalah pekerjaan yang mengandalkan tehnik bercerita atas suatu storyline secara informative dan atraktif-edukatif, atau lebih baik lagi jika menjadi inspiratif. Informatif dalam pengertian storyline yang disampaikan dapat dengan mudah dimengerti oleh pengunjung; Atraktif-edukatif artinya menarik perhatian dan minat sehingga pengunjung terbimbing rasa keingin-tahuannya lalu tergerak mendalami suatu informasi; Inspiratif, artinya pengunjung mendapatkan pelajaran berharga dari telaahnya atas storyline museum dan pada akhirnya akan memiliki gagasan baru dan rencana tindakan positif terkait dengan pesan yang telah disampaikan oleh museum.


Bagaimana menyajikan storyline secara informative tentu sudah banyak cara dan tehnik yang dihasilkan oleh banyak ahli, khususnya yang menguasai teori komunikasi massa, baik secara tekstual, verbal, maupun visual. Tapi, untuk mengukur sejauh mana tata pamer museum bersifat atraktif dan inspiratif tentu akan bersifat sangat subyektif sekali. Dalam ranah museologi, terdapat dua pendekatan utama, yaitu art approachatau container approach. Dalam prakteknya, art approachmenekankan pada perlunya bangunan dan tampilan museum yang unik dan menarik, sementara pendekatan kedua lebih mengandalkan kekuatan isi materi koleksi dan program museum. Dua pilihan pendekatan ini muncul sebagai konsekuensi dari perkembangan dunia museum yang harus mulai memerhatikan bagaimana museum memasarkan dirinya dan dapat memenuhi selera masyarakat penikmat museum.

Terkait dengan Museum Maritim Indonesia, kurator sebisa mungkin menyeimbangkan antara kedua pendekatan tersebut di atas, demi menjangkau segmen pengunjung yang luas, yang dapat menikmati storyline museum dengan baik. Sebagaimana kita ketahui, kelemahan Museum Maritim Indonesia yang paling mendasar adalah belum tersedianya koleksi bersejarah yang dipamerkan dalam museum. Oleh karena itu, kekuatan museum berupa bangunan pusaka yang cukup bersejarah dan kisah sejarah pelabuhan dan kemaritiman Indonesia yang harus diolah sedemikian rupa agar tampil informative, atraktif-edukatif, dan inspiratif. Tampilan desain gambar atau ilutrasi grafis, minidiorama, diorama ruang, dan permainan digital multimedia dalam museum diupayakan tampil secara maksimal sebagai tulang punggung tata pamer museum.

Daftar Pustaka


Agus Aris Munandar. Mitra Satata: Kajian Asia Tenggara Kuna. Jakarta: Penerbit WWS, 2014.
Andaya, Leonard Y. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke 17. Makassar: Penerbit Inninawa, 2013.
Babad VOC: Mur Jangkung Jan Pieters Zoon Koen. Yogyakarta: Bentara Budaya, 2005.
Balchin, Jon. Jelajah Ujung Dunia: Perjalanan Para Penjelajah Besar. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009.
Bambang Bujono. Melampaui Citra dan Ingatan: Bunga Rampai Tulisan Seni Rupa 1968 – 2017. Yayasan Jakarta Biennale, 2017.
Blusse, Leonard. Persekutuan Aneh: Pemukim China, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: LKiS, 2004.
Burnet, Ian. East Indies: The 200 year struggle between The Portuguese Crown, The Dutch East India Company and The English East India Castlereagh, Duncan. The Great Age of Exploration. London: The Readers Digest Association Limited, 1971.
Company for Supremacy in The Eastern Sea. Australia: Rosenberg Publishing, 2017.
Cortesao, Armando (ed.). Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan Dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015. 
Damais, Soedarmadji Jean Henry. Majapahit Terracotta. Jakarta: BAB Publishing, 2012.
Dunn, Ross E. Petualangan Ibnu Battuta: Seorang Musafir Muslim Abad ke 14. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013.
Guillot, Claude. Barus: Seribu Tahun Yang Lalu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
Henri Chambert-Loir ed.. Panggung Sejarah : Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dan Yayasan Obor Indonesia, 1999.  
Heuken SJ, A. Tempat Tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1997. 
Indonesia, Wonderful. Pinisi: New Chapter of Legend. Jakarta: Kementerian Pariwisata, 2016.
J. Thomas Linblad. Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Lapian, Adrian B. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX.Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.
Lapian, Adrian B. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke 16 dan 17.Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
Lavery, Brian. Ship: 5000 Years of Maritime Adventure.London: Dorling Kindsley Limited, 2017.
Lilie Suratminto (ed.).Historia Jakarta: Kota Tua Punya Cerita. Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2012.
Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya 1 -3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.  
Marcus Langdon. George Town’s Historic Commercial & Civic Precincts. Penang: George Town World Heritage Incorporated, 2015. 
Mellefont, Jeffrey. Guide Australian National Maritime Museum. Sydney: Australian National Maritime Museum, 2002.   
Nathan, Fernand. Navires De Haute Mer. Paris: Eurobook Limited, 1976.
Nina H. Lubis. Sejarah Kota Kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint, 2000.
O.W. Wolters. Kemaharajaan Maritim Sriwijaya & Perniagaan Dunia Abad III – VII. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011.
Paul Michel Munoz. Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia: Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (Jaman Pra Sejarah- Abad XVI). Yogyakarta: Mitra Abadi, 2009.
Philips B Meggs & Alston W. Purvis. A History of Graphic Design.Hoboken, New Jersey:   John Wiley & Sons, Inc., 2006. 
Poelinggomang, Edward L. Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2016. 
PT Pelabuhan Indonesia II. Dari Sunda Kelapa ke New Tanjung Priok. t.t. 
Raap, Oliver Johannes. Kota Di Jawa Tempo Doeloe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2015.
Raymond Flower. Raffles The Story of Singapore. Singapore: Marshall Cavendish Editions, 2007.
R.Z. Leirissa (ed.). Sunda Kelapa sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995. 
Stavrianos, L.S. The World Since 1500: A Global History. New Jersey: Prentice Hall, 1995.
Suarez, Thomas. Early Mapping of Southeast Asia: The Epic Story of Seafarers, Adventurers, and Chartographers Who First Mapped the Region between China and India. Singapore: Periplus Editions, 1999. 
Suarez, Thomas. Early Mapping of The Pacific: The Epic Story of Seafarers, Adventurers, and Chartographers Who Mapped the Earths Greatest Ocean. Singapore: Periplus Editions, 2004.
Sukendar, Harris. Pustaka Warisan Budaya: Perahu Tradisional Nusantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002. 
Susan Blackburn. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup Jakarta, 2011. 
Susanto Zuhdi. Integrasi Bangsa Dalam Bingkai Keindonesiaan. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2017.
Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.

(bersambung....)

Comments

Popular posts from this blog

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Jung Jawa

Museum Bank Indonesia :Sepenggal kisah proses pembangunan (2004 – 2009) Bagian 1