Jung Jawa

Prolog
Perahu bercadik terkenal yang terpahat di Borobudur, disebut dengan Perahu Borobudur, hanyalah satu petunjuk bahwa kapal-kapal dan pelayaran telah memainkan peran besar dalam segenap urusan Jawa dan Laut Jawa selama berabad-abad sebelum abad ke-15. Maka tidak mengherankan tatkala pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka telah menemukan wilayah ini didominasi kapal-kapal dagang milik orang Jawa yang disebut dengan “Jung Jawa”. Pada saat itu jung-jung ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat penting, yang terbentang antara Malaka, Jawa, dan Maluku.

Istilah “Jung” digunakan pertama kali dalam catatan-catatan perjalanan Rahib Odorico, John de Marignolli, dan Ibnu Battuta pada abad ke-14. Sebagian pendapat menyatakan bahwa istilah "jung" berasal dari kata chuan (bahasa Cina) yang berarti perahu. Hanya saja, perubahan pengucapan dari chuan menjadi jung nampaknya terlalu jauh. Yang lebih mendekati adalah kata jong (bahasa Jawa) yang berarti kapal. Manguin bersikeras bahwa arti jong sebagai kapal dapat ditemukan dalam sejumlah prasasti Jawa kuno abad ke-9. Makna itu kemudian masuk ke dalam bahasa Melayu menjelang abad ke-15. Untuk itu Undang-undang Laut Melayu (The Malaya Maritime Code) yang disusun pada akhir abad ke-15 juga menggunakan kata jung untuk menyebut kapal pengangkut barang.

Seperti Apa Gambaran Kapal Jung ?
Konstruksi Jung
Jenis kapal Asia Tenggara atau Nusantara yang dirakit di wilayah Nusantara mempunyai konstruksi sebagai berikut :
Lambung perahu dibentuk dengan menyambung papan-papan pada lunas kapal dan kemudian saling disambungkan dengan pasak kayu tanpa menggunakan kerangka (kecuali untuk penguat tambahan), baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip, dilengkapi dengan dua batang kemudi (kembar) menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat yang diikat dengan tali.

Kapal ini sangat berbeda dibanding kapal tipe Cina (yang sering digambarkan secara berlebihan), lambungnya dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi pada kerangka dan dinding penyekat (amat penting secara struktural) yang memisahkan ruang muatan. Kapal-kapal Cina memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk buritan.

Pendapat berbeda dikemukakan Pierre-Yves Manguin. Hasil-hasil temuan arkeologi kelautan selama dua dasawarsa terakhir telah menggoyahkan dikotomi konstruksi kapal sebagaimana tersebut diatas. Dituliskan oleh Manguin :
“dari selusin atau lebih kapal karam yang berhasil di gali di wilayah ini, ada tujuh yang memiliki susunan lambung yang tergolong dalam tradisi pembuatan kapal yang tidak pernah didengar sebelumnya dengan ciri-ciri campuran ‘tradisi Cina” dan “tradisi Asia Tenggara”.... “.

Semua bangkai kapal yang ditemukan pada berbagai titik lokasi sekitar Laut Cina Selatan dan Teluk Siam ini diperkirakan beroperasi antara Abad ke-13 dan 17, dan tampaknya pernah terlibat dalam perdagangan antara Asia Tenggara dan Cina bagian Selatan. Haluan kapal-kapal tersebut disatukan dengan pasak kayu sebagaimana gaya Asia Tenggara, tetapi selain itu juga digunakan tambahan paku besi dan penjepit untuk mengencangkan atau menopang bilah-bilah kayu ke kerangka utama sebagaimana gaya Cina. Jenis semacam ini oleh Manguin disebut sebagai Jung Hibrida Laut Cina Selatan. Jenis jung inilah pada abad ke-16 mendominasi perairan Asia Tenggara.

Bobot Jung
Jung Jawa yang pertama kali digambarkan oleh orang Portugis secara spesifik adalah sebuah kapal yang mereka tawan pada 1511 dalam perjalanan menuju Melaka, dengan empat lapis papan lambung yang mampu menahan tembakan meriam Portugis, berbobot sekitar 600 ton dengan ukuran melebihi kapal-kapal perang Portugis. Orang Portugis mengenali Jawa sebagai tempat asal jung-jung terbesar, demikian pendapat mereka tentang Jawa :
“dari kerajaan Jaoa juga datang kapal-kapal junco raksasa (dengan empat tiang layar) ke kota Malaca, yang amat berbeda dibanding gaya kapal-kapal kita, dibuat dari kayu sangat tebal, sehingga bila kayu ini menua maka papan-papan baru dapat dilapiskan kembali di atasnya.”

Manguin, berdasarkan laporan orang-orang Eropa, memperkirakan bahwa bobot mati jung-jung pengangkut muatan besar rata-rata berkisar 400-500 ton. Ukuran ini pada saat itu bisa dikatakan dua kali lebih besar dari kapal-kapal dagang lainnya yang berlayar pada saat itu. Jung terbesar yang pernah dilaporkan adalah sebuah pengangkut pasukan berbobot mati sekitar 1000 ton dengan lambung belapis-lapis papan untuk menambah kekuatan, yang dibuat oleh orang Jawa (Pati Unus Demak) untuk menyerang Malaka pada 1513.

Menurut laporan orang Belanda, hanya Jung Jawa yang terbesar pada saat itu yang membawa beras dari Jawa ke kota-kota di Sumatra dan Semenanjung Melayu. Bobotnya menurut mereka lebih dari 200 ton. Sampai tahun 1620 Raja Mataram masih memiliki sebuah jung pengangkut beras seberat 400 ton. Pada perkembangan berikutnya kapal-kapal Asia menjadi lebih kecil tetapi jumlahnya menjadi lebih banyak, sehingga seorang pelancong Belanda memperkirakan bahwa kepadatan pelabuhan-pelabuhan Surabaya di Selat Madura sekitar seribu kapal berbobot 20-200 ton.

Salah satu penulis kronik Belanda pertama yang terbaik, Lodewycksz, mencatat bahwa di Banten masih ada jung-jung Jawa yang memiliki tiga layar dengan ruang muatan terbagi menjadi petak-petak. Dia hanya terkesan oleh banyaknya jumlah Jung, bukan karena ukuran kapal. Ia mengatakan ”pulau-pulau Hindia Timur banyak memiliki kapal, tetapi semuanya perahu-perahu kecil, sehingga jung yang pernah saya lihat tidak pernah mengangkut lebih dari 40 ton”. Catatan ini ia tuliskan karena rupanya (kebetulan) ia tidak sempat melihat jung-jung “raksasa” terbesar yaitu jung pengangkut beras dari Jepara dan Semarang. Jepara setidaknya pada saat itu memiliki satu jung pengangkut beras berbobot 400 ton.

Dimana Jung Dibuat?
Tentang lokasi pembuatan Jung Jawa, ada yang mengatakan bahwa Jung Jawa dibuat di Pegu, sebagaimana bangsa lain yang berdagang di Malaka juga memesan kapal-kapal mereka dari sana. Kenapa Pegu? Karena daerah ini terkenal dengan tukang-tukangnya yang sangat terampil selain kayujati Burma dan Siam pada saat itu diakui sebagai bahan pembuat kapal yang paling baik. Galangan kapal di Martaban, bandar Pegu tempat penjualan kayu jati Burma yang besar-besar, memasok banyak jung bagi para saudagar Malaka dan secara tidak langsung untuk saudagar Jawa, Sumatra, Luzon. Bahkan para saudagar Cina Selatan juga membeli kapal Pegu di Malaka.

Meskipun demikian, Jawa dan Kalimantan juga memproduksi Jung-nya sendiri. Pada tahun 1590 an Jung Banten yang terbesar di buat di Kalimantan. Sedangkan Orang Jawa membuat kapal-kapalnya di Rembang, Juwana dan Lasem, pantai utara Jawa yang menjadi pusat pembuatan kapal karena berdekatan dengan hutan penghasil kayu jati di kawasan Rembang. Dari Lasem inilah sebagian armada besar Jung di dekat Jepara dibuat.

Akhir Jung Jawa
Para sejarawan menyimpulkan, jung dan tradisi besar maritim Jawa hancur akibat ekspansi militer-perniagaan Belanda. Pada abad ke-17 kapal-kapal Jung Jawa cenderung dianggap sebagai saingan oleh Belanda (VOC), terutama jika jung-jung tersebut melakukan aktivitas perdagangan rempah-rempah dari Maluku atau perdagangan beras ke Malaka-Portugis.

Pada pertengahan abad ke-17 perahu pribumi tidak lagi disebut sebagai Jung. Kapal yang terbesar adalah kapal milik penguasa, dalam bentuk kapal perang atau kapal pengangkut barang dengan desain Eropa atau Cina yang berada di tangan raja-raja Banten, Arakan dan Ayutthaya. Kata jung pada periode ini hanya digunakan untuk kapal milik orang Cina yang berbobot 200-800 ton.

Menghilangnya Jung Jawa (juga Jung Asia Tenggara) dari perairan nusantara diakibatkan malapetaka yang ditimbulkan oleh orang-orang Eropa. Karena Jung adalah jenis kapal dagang, yang berukuran besar sehingga efisien untuk perdagangan, tetapi lemah secara pertahanan. Besarnya ukuran Jung menjadikan kapal tersebut tidak dapat berlayar dengan cepat untuk menghindarkan diri atau melakukan manuver menghindari serangan musuh, bangsa-bangsa Eropa.








Referensi :

Adrian Horridge, The Prahu : Traditional Sailing Boat of Indonesia, Oxford University Press, 1981.

Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara : Sebuah Pemetaan. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2004.

Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis : Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680 Jilid II. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1999.

Gerrit Knaap, Shallow Waters, Rising Tide : Shipping and Trade in Java Around 1775. Jakarta : KITLV Press, Leiden 1996.

Comments

Anonymous said…
Sunggh blog yang sangat menarik, tulisan dan paparan yang berkualitas, serta fokus tema yang unik...

Salam Kenal..
Ahmad Roiz said…
jepara juga penghasil jung. era Ratu kalinyamat

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante