Bank Jawa Masa Perang

Kondisi Ekonomi Hindia Belanda dan De Javasche Bank Sebelum Perang
Sebelum Perang Dunia kedua, Hindia Belanda terkenal sebagai koloni Belanda yang kaya raya dan menduduki tempat pertama dalam ekspor karet (kurang lebih 400 ribu ton setahun), dan tempat kedua dalam ekspor gula (rata-rata 1200 ribu ton setahun) pada akhir tahun 1930-an. Produksi dan ekspor hasil-hasil pertanian, perkebunan, dan pertambangan yang meliputi antara lain beras, karet, gula, teh, kopi, lada, kopra, tembakau, kapuk, kelapa sawit, tapioka, minyak tanah dan timah, merupakan bagian terbesar dari Produk Domestik Bruto yang selama berabad-abad negeri Belanda memperoleh bagian yang sangat lumayan bagi Produk Nasional Bruto-nya.

Sebagai contoh perhitungan, pada rentang 1925 -1934 rata-rata 15 % dari Produk Nasional Brutto negeri Belanda berasal dari Hindia Belanda berupa deviden, bunga laba, uang pensiun, penghasilan usaha perkapalan, ekspor ke Indonesia, perdagangan hasil-hasil Indonesia, dan banyak lagi lainnya. Selain itu 4,1% dari Produk Nasional Brutto itu dibentuk dari jumlah yang diterima para pekerja Belanda di Hindia Belanda.Menjelang pecah perang dunia kedua, tepatnya pada 1938 jumlah yang pertama mencapai 14% sedangkan yang kedua berjumlah 2,1%.

Maka dari itu Hindia Belanda memang sangat penting bagi perekonomian negeri Belanda dan bagi penempatan tenaga dan modalnya.Gambaran perekonomian Hindia Belanda yang kokoh (solid) dan mantap ini dan yang berlangsung sekian lamanya sebelum perang dunia kedua, tidak tampak lagi pada saat bangsa Indonesia berdaulat penuh atas Hindia Belanda dan memproklamasikannya menjadi Indonesia.

Sementara De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi, dalam masa itu telah mengalami berbagai perkembangan, baik dari segi jaringan kantornya maupun landasan hukumnya.. Setelah masa oktroi kedelapan telah usai, pada 31 Maret 1922 pemerintah Hindia Belanda mengundangkan De Javasche Bankwet 1922. Wet ini tidak jauh berbeda dengan oktroi yang berlaku sebelumnya, dan dapat dikatakan bahwa De Javasche Bank masih berfungsi sebagai bank komersial dengan hak menerbitkan uang kertas.

Sejak diberlakukannya Bankwet 1922 hingga masa datangnya kekuasaan Jepang, De Javasche Bank dipimpin oleh :
§ E.A. Zeilinga (1922 – 1924)
§ Mr. L.J.A. Trip (1924 – 1929)
§ Mr. Dr. G.G. van Buttingha Wichers (1929 – 1945)

Dalam masa menjelang kedatangan tentara Jepang, De Javasche Bank telah berkembang pesat, selain kantor pusatnya di Batavia, De Javasche Bank juga mempunyai 16 Kantor Cabang, yaitu : Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makasar dan Manado. Serta kantor perwakilan di Amsterdam dan New York.

Persiapan Hindia Belanda menghadapi perang
Kenapa Cilacap?
Deman Perang Dunia II yang telah berkecamuk di Eropa telah menginspirasikan adanya pengembangan pertahanan di Hindia Belanda. Ketika ancaman Jepang berupa ekspansi teritorial semakin nyata, pemerintah Hindia Belanda segera membenahi diri untuk urusan-urusan pertahanan. Sebelumnya pada April 1936 dibawah kekuasaan Gubernur Jenderal GG de Jonge, pemerintah membentuk suatu Dewan Mobilisasi Negara (Staatsmobilisarieraad).

Pada Maret 1936 Dewan untuk pertama kali mengadakan pertemuan. Ada dua pertanyaan pokok yang dibahas dalam pertemuan itu, yaitu bagaimana cara mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi serangan Jepang dan apa yang harus dilakukan jika Hindia Belanda, sebagian atau seluruhnya, jatuh ke tangan Jepang. Berkaitan dengan itu Dewan mempunyai perhatian yang besar terhadap Pelabuhan Cilacap, yang diharapkan mampu memainkan peranan jika pelabuhan-pelabuhan pantai utara diserang musuh.

Untuk itu secara khusus dibentuk Komisi Pelabuhan Cilacap pada 21 Juni 1938 guna mempersiapkan pelabuhan Cilacap agar siap untuk menampung aktifitas perdagangan di masa perang maupun di masa damai. Dalam rentang 1939 – 1940 pemerintah Hindia Belanda terus menyiapkan segala sarana, prasarana dan infrastruktur pelabuhan Cilacap. Sarana telekomunikasi, transportasi menuju ke Cilacap terus diperbaharui agar distribusi dari Pusat ke Cilacap berjalan lancar, selain itu kemampuan pelabuhan juga terus ditingkatkan.

Rencana pertahanan di Cilacap mulai terlihat pada tahun 1940, seiring dengan semakin memanasnya suhu perang di Eropa. Pada 11 Desember 1941 Departemen Angkatan Laut Hindia Belanda menetapkan bahwa lalu lintas kapal dari dan ke Jawa sebanyak mungkin dilakukan melalui pelabuhan pantai selatan. Akan tetapi karena kapasitasnya terbatas maka tetap diperlukan juga dari Tanjung Priok dan Surabaya.

Setelah pelabuhan Surabaya menjadi sasaran pemboman pertama pesawat tempur Jepang (awal Februari 1942), hampir semua buruh pelabuhan pribumi meninggalkan pekerjaannya. Cilacap kemudian menjadi penuh sesak dengan para pengungsi. Pada pergantian tahun 1941-1942, tampak lebih banyak kapal masuk ke Pelabuhan Cilacap, sehingga pelabuhan tersebut tampak penuh sesak. Terlebih lagi ketika pelabuhan Tanjung Priok berhasil diruntuhkan pertahanannya, dengan terbakarnya tangki minyak di pelabuhan. Sejak saat itu hubungan laut dan pertahanan Hindia Belanda tampaknya bergantung pada Pelabuhan Cilacap. Cilacap berperan sebagai pelabuhan evakuasi bagi orang Belanda militer atau sipil. Ribuan perwira dan prajurit kebanyakan dari Surabaya di evakuasi ke Australia atau Kolombo, Srilanka dari Cilacap.

Bagaimana dengan persiapan De Javasche Bank? Sebelumnya Mr. Dr. G.G. van Buttingha Wichers, Presiden De Javasche Bank ke-14 dalam Laporan Tahunan De Javasche Bank Tahun Pembukuan ke-113 yang disampaikan pada pertengahan Juni 1941, telah memperingatkan perlunya diperhitungkan kemungkinan meluasnya wilayah Perang Dunia II di Eropa sampai ke Asia/Pasifik. Selain mengirim wakilnya untuk pergi bersama rombongan pemerintah Hindia Belanda ke Australia, De Javasche Bank juga melakukan langkah-langkah penyelematan untuk cadangan emas moneternya.
Dengan persiapan itu, tepat menjelang kedatangan Jepang di pulau Jawa, yaitu 28 Februari 1942, Buttingha berhasil memindahkan semua cadangan emasnya ke Australia dan Afrika Selatan. Pemindahan tersebut dilakukan, terutama melalui pelabuhan Cilacap.


Emas Moneter De Javasche Bank diselamatkan?
Pada bulan-bulan pertama tahun 1940, sebagian dari seluruh persediaan emas yang bernilai 380 juta gulden atau seberat kurang lebih 190 ton, seberat 125 ton yang bernilai sekitar 250 juta gulden telah berhasil dikapalkan ke Amerika Serikat. Selanjutnya dibawah tekanan peperangan, tepatnya pada 8 Januari 1942, ketika itu Jepang telah menduduki Hongkong, Malaka Utara, dan Kalimantan Utara, De Javasche Bank kembali memutuskan untuk mengungsikan sisa terakhir persediaan emas moneter ke luar Hindia Belanda, yaitu ke Australia, Afrika Selatan dan Amerika Serikat.

Dengan bantuan tentara KNIL (Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger) untuk pengamanan transportasi darat dari Bandung menuju Tanjung Priok dan ke Cilacap. Melalui kantor cabang De Javasche Bank di Cilacap sisa persediaan emas tersebut dibagi ke dalam kapal-kapal yang telah disiapkan. Pada saat itu emas moneter yang masih tersisa dalam khazanah perang di Kantor De Javasche Bank Bandung seberat sekitar 60 ton atau senilai 120 juta gulden. Dengan pertimbangan besarnya resiko telah dipilih sebanyak 12 kapal yang masing-masing memuat 10 juta gulden dengan berat 5.000 kg.

Rencana pemberangkatan 12 kapal tersebut tidak berjalan dengan lancar. Akibat mendesaknya situasi perang, pengapalan emas moneter ke luar Hindia Belanda hanya menggunakan 7 kapal, sehingga setiap kapalnya harus memuat lebih dari rencana semula. Dalam salah satu telegram terakhirnya pada tanggal 5 Maret 1942 kepada pemerintah Belanda yang bermukim dalam pengungsian di London, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Perdana Menteri Pieter Sjoerds Gerbrandy mengenai keadaan persediaan emas Hindia Belanda berbunyi sebagai berikut :

menunjuk : telegram Tuan No. 66 : Butir 5 : Persediaan emas Java Bank dengan pasti telah aman tiba di luar negeri, namun penegasan resmi belum kami terima. Rincian nilainya dalam jutaan gulden berturut-turut adalah sebagai berikut : New York 250,2 ; Australia 9,2 ; Australia dalam pelayaran 74; Afrika Selatan 14,5 ; Afrika Selatan dalam pelayaran 30,8 ; Jumlah 378,7. Emas tersebut tidak terlantar--- Starkenborgh” (Emas moneter tersebut setelah di kapalkan ke luar Hindia Belanda disimpan dalam khazanah Commonwealth Bank of Australia dan di dalam khazanah de Reserve Bank van Suid Afrika di Pretoria)

Lima kapal (dari tujuh kapal) yang mengangkut emas moneter DJB ke luar Hindia Belanda, yaitu :
KM Phrontis (1926, 6.181 brt) nahkoda J. Hendriks Jansen, MP “Ocean”, tiba di Tg. Priok 13 Februari 1942, dimuat emas pada 19 Februari 1942, berangkat 20 Februari 1942 ke Geelong, di Melbourne, Australia.
KM Java (1939, 11.927 brt) nahkoda W. Persson, MP “Nederland”, berangkat dari Tg. Priok 20 Februari 1942 ke New York, tiba 17 Maret 1942.
KM Tegelberg (1938, 14.150 brt) nahkoda JW Zuyderhoudt, MP “KPM” berangkat dari Cilacap 16 Februari 1942 ke Afrika Selatan dengan muatan 25 juta gulden = 12,5 ton, tiba di Durban awal Maret 1942
KM Tjitjalengka (1939, 10.972 brt) nahkoda J. Adriaanse, MP “Java-China –Japan Lines” berangkat dari Cilacap 21 Februari 1942 dengan dikawal oleh KM Willem v.d. Zaan tiba di Melbourne 5 Maret 1942.
KM Jagersfontein (1934, 10.083 brt) nahkoda M.A. van der Est, MP NSM berangkat dari Cilacap 21 Februari 1942 dengan dikawal oleh KM Willem v.d. Zaan tiba di Melbourne 4 Maret 1942.
(brt. = berat kotor dalam ton)
untuk bagian tersebut diatas saya kutip secara langsung dari tulisan terjemahan R. Hardjo Santoso, selengkapnya lihat daftar referensi

Dalam suasana perang yang mencekam itu, pemerintah Hindia Belanda telah meminta kepada bank-bank agar tetap mempertahankan aparatnya secara terbatas dan terus melanjutkan kegiatan perbankan untuk menghindari lumpuhnya kegiatan perekonomian secara total. Berdasarkan instruksi pemerintah tersebut, De Javasche Bank meminta kepada para pemimpin cabangnya untuk tetap berada di posnya masing-masing dan mencabut kembali instruksi pemusnahan persedian kas yang pernah di keluarkan sebelumnya.

Pada akhir Februari 1942 Gubernur Jenderal Hindia Belanda beserta beberapa pejabat tinggi pemerintah telah mengungsikan diri ke Bandung. Hal yang sama juga dilakukan oleh para direksi bank-bank Belanda, pada 28 Februari 1942 pemerintah telah meminta mereka untuk memindahkan kantor-kantor pusat bank ke Bandung. Pada saat itu antara Jepang dan Hindia Belanda telah tercapai kesepakatan bahwa tidak ada pertempuran yang akan dilakukan kedua belah pihak di Bandung, dengan alasan bahwa kota tersebut pada saat itu telah penuh sesak oleh penduduk sipil, wanita dan anak-anak.

Pada Maret 1942 ketika kekuasaan di Jawa mulai terasa tidak dapat dipertahankan lagi, pemerintah memutuskan untuk meninggalkan Hindia Belanda sementara waktu. Tepatnya pada tanggal 20 Februari 1942 HJ van Mook tiba di Cilacap, atas perintah Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, menyusun evakuasi sejumlah pejabat tinggi. Mereka adalah anggota-anggota Dewan Hindia (de Raad van Indie) yaitu Van der Plas (1) dan RAA Soejono (2), pimpinan departemen yaitu : Mr JE van Hoogstraten (urusan ekonomi) (3), R Lukman Djajadiningrat (urusan pendidikan) (4) dan Mr Blom (urusan kehakiman) (5), sekretaris Direktur De Javasche Bank Dr Smits (6), Kepala Bagian Industri (nijverheid) Ir Warners (7), seorang guru besar, delegasi pertama pada komisi hukum lalu lintas dalam masa perang yaitu Prof Mr Eggens (8), dan kepala Agen KPM di Singapura yaitu Van Denise (9). Pada 2 Maret 1942 seluruh anggota rombongan itu telah diungsikan ke Australia kecuali Van der Plas. (delapan orang dari mereka tewas, karena pesawat mereka hanya beberapa menit setelah mendarat di Broome ditembak oleh musuh dan terbakar)

Rombongan kecil yang terdiri dari beberapa tokoh pengusaha dan pejabat pemerintah Hindia Belanda ini, termasuk salah seorang Direktur De Javasche Bank, adalah perwakilan Hindia Belanda yang bertugas memelihara hubungan kepentingan Hindia Belanda dengan dunia internasional serta mempersiapkan pembangunan kembali Hindia Belanda pasca perang.

Kedatangan Jepang
Di dalam usahanya untuk membangun suatu imperium di Asia, Jepang telah meletuskan suatu perang di Pasifik. Pada tanggal 8 Desember 1941 secara tiba-tiba Jepang membom Pearl Harbor dan menyerbu Asia Tenggara. Menyikapi hal itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang. Di Asia Tenggara, dalam gerakannya ke selatan, Jepang menyerbu Hindia Belanda. Pada 11 Januari 1942 tentara Jepang telah mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur. Beberapa hari kemudian, tentara Jepang telah berhasil menduduki beberapa kota penting di Kalimantan. Setelah berhasil menduduki Palembang pada 16 Februari 1942, segera posisi Jawa dalam keadaan terancam.

Sebelumnya, dalam menghadapai serbuan Jepang ke Pasifik tersebut, pihak sekutu pernah membentuk suatu komando gabungan dengan nama American British Dutch Australian Command (ABDACOM) yang markas besarnya ada di Lembang, dekat Bandung, dengan panglimanya Jenderal Sir Archibald Wavell. Sedangkan Letnan Jenderal H. Ter Poorten diangkat sebagai panglima tentara Hindia Belanda (KNIL). ABDACOM ini hanya berfungsi dari 15 Januari sampai 25 Februari 1942. Pada akhir Februari 1942 Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh telah mengungsi ke Bandung disertai oleh pejabat-pejabat tinggi Pemerintah. (Hotel Homann dan Preanger penuh dengan pejabat tinggi Hindia Belanda yang mengungsi ke Bandung)

Selanjutnya pertempuran-pertempuran di Jawa berakhir dengan kemenangan di pihak Jepang dalam waktu yang sangat singkat. Pada 1 Maret 1942 Tentara Keenam belas Jepang berhasil mendarat di tiga wilayah sekaligus, yakni Teluk Banten, Eretan Wetan, Jawa Barat dan di Kragan, Jawa Tengah. Setelah pendaratan itu ibu kota Batavia (Jakarta) pada tanggal 5 Maret 1942 diumumkan sebagai kota terbuka yang berarti bahwa kota itu tidak akan dipertahankan oleh pihak Belanda. Segera setelah jatuhnya kota Batavia ke tangan mereka, tentara ekspedisi Jepang langsung bergerak ke selatan dan berhasil menduduki Buitenzorg (Bogor).

Beberapa hari kemudian, setelah usaha penyerangan ke Bandung (kota pertahanan pemerintahan Hindia Belanda), tepatnya 8 Maret 1942 terjadi penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jenderal H. Ter Poorten, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda atas nama Angkatan Perang Serikat di Hindia Belanda kepada tentara ekspedisi Jepang dibawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura.

Pemerintahan Militer Jepang
Sejak saat itu berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, dan dengan resmi ditegakkan kekuatan Kemaharajaan Jepang. Indonesia memasuki suatu periode baru, yaitu periode pendudukan militer Jepang. Berbeda dengan jaman Hindia Belanda, dimana hanya ada satu pemerintahan sipil, maka pada jaman Jepang terdapat tiga pemerintahan militer pendudukan, yaitu :
Pemerintahan militer Angkatan Darat (Tentara Keduapuluh lima) untuk Sumatra dengan pusat di Bukittinggi
Pemerintahan militer Angkatan Darat (Tentara Keenam belas) untuk Jawa-Madura dengan pusatnya di Jakarta;
Pemerintahan militer Angkatan Laut (Armada Selatan Kedua) untuk daerah yang meliputi Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku dengan pusatnya di Makassar.
Pada periode pendudukan ini, posisi Gubernur Jenderal (pada masa Hindia Belanda) dihapuskan, dan segala kekuasaan yang dahulu ada di tangannya pada masa pendudukan Jepang dipegang oleh panglima tentara Jepang. di Jawa. Panglima Tentara Keenambelas di Jawa yang pertama adalah Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Segera setelah berkuasa, Jepang menyusun pemerintahan militer di Jawa yang merombak susunan birokrasi dengan seperangkat aturan yang sifatnya men-“Jepangkan” Hindia Belanda.

Perbankan Masa Pendudukan Jepang
Segera setelah tentara Jepang menduduki Hindia Belanda, diambil tindakan terhadap bank-bank bekas milik musuh. Bank bekas musuh dilikuidasi berdasarkan undang-undang No. 13/1942. Antara lain beberapa bank milik Belanda yaitu De Javasche Bank yang berfungsi sebagai bank sirkulasi, Nederlandsche Handels Maatschappij, Nederlands Indische Escompto Bank dan beberapa bank Belanda lainnya. Bank-bank milik Inggris dan bank asing lainnya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan hutang-hutangnya sampai batas waktu 20 Nopember 1942. Bank-bank itu adalah The Chartered Bank of India, The Hongkong and Shanghai Corporation Ltd dan Overseas Chinese Banking Corporation Ltd.

Pada 4 Maret 1942 Direksi bank-bank di Hindia Belanda yang umumnya telah dikumpulkan dan diundurkan ke Bandung, secara terpaksa harus menandatangani dan mengeluarkan suatu pernyataan, bahwa semua bank milik Belanda tanpa kecuali diserahkan kepada Jepang. Pada 11 April 1942 diumumkanlah suatu moratorium-bank (penundaan pembayaran tanggungan bank) mendahului likuidasi semua bank-bank antara lain De Javasche Bank, bank-bank Belanda dan bank-bank asing lainnya dan beberapa bank Cina atas perintah Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Jawa. Tindakan serupa juga dilakukan terhadap bank-bank di Sumatra, namun sesuai dengan pembagian wilayah perangnya, perintah tersebut dikeluarkan oleh Panglima Balatentara Jepang di Sungapura, sedang untuk Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia bagian Timur lainnya oleh kementerian Angkatan Laut di Tokyo.

Nanpo Kaihatsu Ginko bertugas sebagai likuidator yang terdiri dari orang-orang Jepang yang dibantu oleh Staf dan tenaga tata-usaha bank-bank bersangkutan. Tugas dari panitia likuidator ini adalah :
- Menyelesaikan tagihan bank-bank yang ada. Usaha ini tidak mendatangkan hasil, sebagaimana telah dibayangkan sebelumnya.
- Pembayaran kembali kepada kreditur-kreditur; dibayarkan kepada pemegang rekening yang bukan musuh sebesar 30%. Yang tidak mau dan tidak dapat menggunakan kesempatan tersebut, jumlah-jumlah yang seharusnya dibayarkan dipindahkan kepada Nanpo Kaihatsu Ginko.
- Penyelesaian simpanan-simpanan tertutup dan safe-loketten; simpanan tertutup dan safe-loketten yang tidak langsung berguna untuk Balatentara Jepang akan dikembalikan kepada pemilik, namun dalam kenyataannya kalimat “tidak langsung berguna” tersebut ternyata sangat elastis, sehingga dalam prakteknya banyak barang-barang simpanan yang hilang atau kepada mereka diganti dengan semacam tanda memiliki tagihan-tagihan terhadap Nanpo Kaihatsu Ginko. (sayangnya, tanda-tanda tersebut tidak mempunyai nilai sama sekali)

Dengan ditutupnya bank-bank, dan agar perekonomian dan keuangan dapat lebih dikendalikan, maka fungsi dari perbankan segera pula diambil-alih oleh bank-bank Jepang yang pada waktu sebelumnya telah berdiri di Hindia Belanda tetapi kemudian ditutup oleh pemerintah Hindia Belanda, karena pecahnya perang antara Belanda dan Jepang. Bank-bank tersebut adalah Yokohama Ginko, Mitsui Ginko, Taiwan Ginko dan Kana Ginko. Semua bank-bank Jepang tersebut berada di bawah supervisi Nanpo Kaihatsu Ginko (Perbendaharaan untuk Kemajauan Wilayah Selatan) yang selama masa pendudukan Balatentara Jepang di Jawa bertindak sebagai Bank Sirkulasi.(lihat Surat Kabar Kan Po, No. 5 Thn. I (Oktober 1942), hal. 8).

Nasib De Javasche Bank Masa Pendudukan Jepang
Sebagai bank sirkulasi, De Javasche Bank adalah salah satu bank yang dilikuidasi oleh Jepang bersama dengan bank-bank yang lain. Dalam rangka pelaksanaan likuidasi bank-bank, para anggota dan staf eksekutif De Javasche Bank dipaksa untuk bertindak sebagai penasehat terhadap likuidator Jepang. Mereka justru berusaha agar likuidasi dihentikan dengan alasan Komando Militer Jepang belum mencabut undang-undang yang berlaku antara lain Bankwet 1922. Tetapi usaha mereka tidak berhasil dan likuidasi tetap dijalankan.

Untuk menggantikan De Javasche Bank, pada April 1943 di Jawa didirikan Nanpo Kaihatsu Ginko yang bertugas sebagai bank sirkulasi untuk seluruh wilayah pendudukan. Tapi pada kenyataannya Nanpo Kaihatsu Ginko ini hanya bertindak sebagai koordinator, karena sesungguhnya yang beroperasi di beberapa kota adalah Yokohama Specie Bank untuk Jawa dan Taiwan Bank untuk daerah luar Jawa.

Pada tahap pertama likuidasi, pihak Jepang telah memanfaatkan tenaga-tenaga staf dan tata usaha dari bank-bank yang akan dilikuidasi. Mulanya jumlah tenaga yang dilibatkan dalam jumlah banyak, hingga akhirnya mengerucut menjadi sejumlah tim inti saja dari De Javasche Bank. Dalam hal ini muncul dilema besar dalam benak para tenaga yang dilibatkan dalam proses likuidasi tersebut. Mereka mulanya merasa berat hati karena sebagai pegawai bank yang akan dilikuidasi harus bekerjasama dengan pihak likuidator, sekalipun mereka diberi posisi sebagai penasehat likuidasi. Namun akhirnya mereka memutuskan untuk mau bekerjasama secara pasif, karena dengan demikian para staf bank Belanda tersebut masih dapat memata-matai sejauh mana tindakan Jepang dalam melikuidasi bank-bank mereka.

Selama masa pendudukan itu beberapa pegawai De Javasche Bank meninggal dunia, baik karena melawan Jepang atau meninggal dalam kamp interniran milik tentara Jepang. Kondisi mengenaskan itu juga dialami oleh Buttingha Witchers, Presiden De Javasche Bank yang masih bertahan di Jawa, sehingga ia merasakan ditahan selama 10 bulan oleh Kempetai di Bandung, Jakarta dan Bogor. Selebihnya ia hidup dalam kamp tawanan di Jakarta, Bandung dan Cimahi. Keadaan itu berbeda dengan yang dialami oleh R.E. Smits, salah seorang Direktur De Javasche Bank, yang mengikuti rombongan pemerintah Hindia Belanda ke luar Hindia Belanda.

Di luar Hindia Belanda, mula-mula Smits bertugas sebagai anggota Komisi Hindia Belanda untuk Australia dan Selandia Baru, kemudian menjadi Direktur Keuangan dari Pemerintah Sementara Hindia Belanda di Melbourne dan Brisbane, Australia. Dan terakhir ia diberi tugas oleh Commission for Safeguarding Rights during Wartime di London untuk mengurusi dan menyelesaikan tagihan dan kewajiban bank diluar daerah pendudukan Jepang, sesuai dengan kapasitasnya sebagai Direktur De Javasche Bank. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa selama pendudukan Jepang akitvitas De Javasche Bank di Hindia Belanda berhenti secara total.

Kebijakan likuidasi bank-bank yang dijalankan oleh Tentara Pendudukan Jepang telah menimbulkan kesan kepada perwakilan Hindia Belanda di luar negeri, bahwa kondisi perbankan di Hindia Belanda dalam keadaan lumpuh dan sulit diharapkan untuk dapat berfungsi kembali apabila perang telah usai. Untuk itu pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan Surat Keputusan E-10 tanggal 3 Februari 1944 yang menetapkan larangan melakukan kegiatan perbankan di Hindia Belanda tanpa seizin atau atas nama Gubernur Jenderal. Keputusan tersebut dikeluarkan di London karena pada saat yang sama pemerintah Belanda sedang dalam pengungsian akibat serangan Jerman ke negerinya.

Surat keputusan tersebut kemudian ditindak-lanjuti dengan Surat Keputusan 21 Februari 1944 tentang pendirian De Bank Voor Nederlandsch Indie di Paramaribo, Suriname sebagai satu-satunya wilayah koloni Belanda yang masih bebas. Para pemegang saham dari bank tersebut adalah Pemerintah Hindia Belanda, Nederlandsche Handel Maatschappij NV (NHM), Nederlandsch Indische Handelsbank (NIHB) dan Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij (NIEM). Saham Pemerintah Hindia Belanda pada saatnya nanti akan dialihkan ke De Javasche Bank. Dengan demikian bank baru ini pada hakekatnya merupakan gabungan dari bank-bank utama yang pernah ada di Hindia Belanda, termasuk De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi

Peredaran Uang Masa Pendudukan Jepang
Dalam soal keuangan, menurut undang-undang No.2 tertanggal 8 Maret 1942 ditetapkan untuk kepentingan jual-beli dan pembayaran lainnya, mata uang yang berlaku sebagai tanda pembayaran yang sah adalah uang rupiah atau gulden Hindia Belanda. Peraturan ini dikeluarkan karena tampaknya pemerintah militer Jepang dalam bidang moneter, berusaha sekeras-kerasnya untuk mempertahankan nilai mata uang tersebut dengan harapan agar harga barang-barang dapat dipertahankan sebagaiman sebelum perang, dan untuk mengawasi lalu lintas permodalan dan arus kredit.

Pada masa itu, untuk menopang ekonomi daerah pendudukan (Hindia Belanda), di bidang keuangan, pemerintah militer Jepang hanya memperoleh pemasukan dari sumber yang terbatas, yaitu pungutan pajak dan penjualan hasil perkebunan. Sementara itu, pengeluaran daerah pendudukan membutuhkan biaya yang sangat besar, terutama untuk kepentingan perang, seperti membuat kubu-kubu pertahanan, pembuatan alat-alat perang dan lain-lain yang bertalian dengan usaha perang. Untuk menutup defisit keuangan pemerintah tersebut, satu-satunya jalan adalah mengeluarkan uang baru (mencetak uang).

Melalui Oendang-Oendang No. 1 Pimpinan Bala Tentara Dai Nippon mengumumkan di surat-surat kabar bahwa mulai 11 Maret 1942 uang gulden dan uang militer merupakan alat pembayaran yang sah di daerah-daerah pendudukan Jepang. Pada saat itu Jepang mengedarkan uang kertas Jepang yang disebut dengan uang invasi atau uang militer (gunpyo) dengan tanda De Japansche Regeering Betaalt aan toonder (pemerintah Jepang membayar kepada pembawa). Uang tersebut diedarkan dengan menggunakan nilai gulden dan cent, tanpa tanda tahun dan terdiri dari tujuh pecahan, yaitu 1, 1.50, 5, 10 gulden dan 1, 5, 10 Cent.

Agar tidak menggoyahkan keadaan, untuk sementara uang-uang De Javasche Bank dan uang-uang pemerintah dinyatakan tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Pengeluaran dan pengedaran “invasion-money” ini mula-mula dilakukan oleh penguasa-penguasa militer untuk keperluannya, namun kemudian diambil alih oleh Nanpo Kaihatsu Ginko.

Mulai September 1944 diedarkan uang baru dalam 5 pecahan, mulai dari 50 Sen sampai dengan 100 rupiah (istilah gulden telah diubah menjadi rupiah). Khusus untuk Sumatra uang pecahan 100 rupiah dicetak tersendiri dan dilakukan di Jepang. Sampai pertengahan Agustus 1945, sebelum kapitulasi Jepang, telah terdapat lebih kurang 4 miliar rupiah uang dalam peredaran, ialah di Jawa lebih kurang 2,4 miliar, sedang di Sumatera lebih kurang 1,6 miliar, belum terhitung sebagain kecil lagi di Kalimantan dan Sulawesi.

Pada September 1944 Nanpo Kaihatsu Ginko juga mengeluarkan uang kertas baru dengan sebutan Nanpatsu dengan bertanda Dai Nippon Teikoku Seifu (Pemerintahan Balatentara Dai Nippon) dan khusus menggunakan nilai rupiah. Uang tersebut di cetak di Jawa dalam pecahan ½, 1, 5 dan 10 Rupiah yang juga diedarkan di Sumatera, Kalimantan dan wilayah Timur Indonesia. Selain itu khusus untuk daerah Sumatera juga diedarkan pecahan 100 rupiah dan 1000 rupiah (pecahan ini disangsikan peredarannya) yang dicetak secara khusus di Jepang. Secara sporadis Jepang juga mengeluarkan uang logam dari alumunium terdiri dari pecahan 10, 5 dan 1 sen, namun pengedarannya sangat terbatas.

Sebenarnya secara yuridis uang kertas Jepang yang dikeluarkan tanpa jaminan (emas) ini merupakan alat pembayaran yang tidak sah. Berdasarkan konvensi Den Haag 1899 dan 1907 telah disepakati bahwa pihak yang menduduki suatu negara lain dilarang mengeluarkan uangnya sendiri. Dalam konvensi tersebut Jepang ikut meratifisir dan menanda-tanganinya, tetapi mereka mengabaikan isi konvensi tersebut.

Pada masa pendudukan Jepang, tidak pernah dikeluarkan suatu undang-undang yang mencabut berlakunya uang-uang pemerintahan Hindia Belanda ataupun Uang De Javasche Bank yang telah beredar sebelumnya. Oleh karena itu pada masa ini uang-uang tersebut masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah pendudukan Jepang bersama dengan uang Jepang lainnya.

Diantara jumlah tersebut, Jepang telah memasukkan dalam peredaran uang sebesar 87 juta gulden yang berasal dari unissued notes yang ditemukan dalam khasanah De Javasche Bank dan kira-kira 20 juta gulden uang logam perak yang juga diambil Jepang dari khasanah De Javasche Bank. Sejak 15 Agustus 1945 telah masuk dalam peredaran uang di wilayah Hindia Belanda sejumlah 2 milyar gulden. Sebagian dari uang tersebut adalah uang yang ditarik secara curang oleh tentara Jepang dari bank-bank di Sumatera serta sebagian lagi Jepang merampas dari Kantor De Javasche Bank Surabaya dan beberapa kota lainnya.


Setelah kemerdekaan
Sementara itu, Belanda dari semula tentu saja tidak mau melepaskan Hindia Belanda dari kekuasaannya. Untuk itu jauh-jauh hari sebelumnya (pada masa pendudukan Jepang) telah diusahakan dengan segala daya upaya untuk mengembalikan Hindia Belanda sebagai daerah jajahannya, baik melalui Konperensi di Chequers (Perancis) pada tanggal 24 Agustus 1945 dalam bentuk “Civil Affairs Agreement” sebagai tahap akhir, maupun sebelumnya dengan usaha-usaha lainnya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka oleh Pemerintahan sipil Hindia Belanda dalan pengungsian di London, sejak Desember 1942 telah dipersipakan untuk mencetak uang Nederlandsch Indie dalam sembilan pecahan, mulai 50 sen sampai 100 gulden. (meskipun pencetakan uang 5 Gulden ke atas oleh pemerintah, sebenarnya bertentangan dengan bankwet 1922 yang memberikan hak tunggal pencetakan uang kertas 5 Gulden ke atas). Uang kertas yang kemudian terkenal dengan “uang NICA” yang dicetak di Amerika oleh American Bank Note Company.

Pada tahun 1944 kekuatan Jepang di Pasifik telah berhasil dihalau oleh Amerika dan pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Sejak saat itu beberapa peristiwa terjadi dengan cepat, pendudukan berakhir dan kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Jepang meninggalkan Indonesia dalam kedaan ekonomi yang porak-poranda. Kondisi perang terus berlangsung dengan terjadinya perselisihan antara pihak Republik Indonesia dan Netherlands Indie Civil Administration (NICA). Hingga Maret 1946 jumlah uang beredar di wilayah Hindia Belanda berjumlah sekitar 8 milyar Gulden. Hal tersebut menimbulkan hancurnya nilai mata uang dan memperberat beban ekonomi wilayah Hindia Belanda.

Dengan runtuhnya kekuasaan Jepang, bank-bank Jepang termaksud pada gilirannya dibubarkan. Nanpo Kaihatsu Ginko pun dilikuidasi di bawah pengawasan De Javasche Bank yang kembali melakukan fungsi dan tugasnya sebagai bank sirkulasi dan bank umum seperti sediakala.

Terjadi dua belah wilayah kekuasaan di wilayah eks Hindia Belanda, wilayah RI dan wilayah NICA........

Terdapat dua sistem perbankan yang bekerja dalam dua wilayah kerja yang berbeda, sesuai dengan perkembangan kondisi politik, De Javasche Bank di wilayah NICA dan Bank Negara Indonesia di wilayah RI.......

Kondisi Ekonomi Masa Kemerdekaan
Selama masa tahun 1945 – 1949 perkembangan perekonomian Indonesia (sebelumnya Hindia Belanda) sangat menyedihkan. Semua indikator makro ekonomi dengan tiada kecualinya dengan jelas menunjukkan betapa dalamnya perekonomiannya telah jatuh, yang ditandai dengan turunnya produksi secara hebat karena hancurnya sebagian besar alat produksi, defisit neraca perdagangan yang besar selama beberapa tahun, defisit anggaran belanja pemerintah baik, pemerintah Republik Indonesia, maupun pemerintah Hindia Belanda. Keduanya mempunyai pengeluaran yang sangat besar di bidang militer, karena peperangan yang terus terjadi antara keduanya.

Situasi moneter semakin gawat karena terus bertambahnya volume uang yang sangat meningkatkan permintaan barang tanpa diimbangi dengan perluasan secara proporsional pada sisi penawaran sehingga mendorong inflasi yang semakin deras. Keadaan ekonomi dan moneter benar-benar parah, gambaran yang sangat memprihatinkan tersebut terdapat, baik di daerah yang diduduki Belanda maupun yang berada di bawah kekuasaan pemerintah Republik Indonesia.

Selama masa 1945-1949, baik dari Pemerintah Republik Indonesia maupun Pemerintah Hindia Belanda tidak dapat menyusun Anggaran Belanja masing-masing dengan baik. Dalam masa dimana ketegangan politis antara kedua pemerintah dan bentrokan, bahkan peperangan antara kedua kekuatan militer meningkat, dapatlah dimengerti bahwa administrasi keuangan negara terpaksa diterlantarkan. Namun demikian, penyusunannya dilakukan sesudah lewatnya tahun-tahun yang bersangkutan, Anggaran Belanja tahun 1947, 1948 dan 1949 berhasil disusun oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Dalam rentang waktu tersebut, pemerintah Hindia Belanda telah melakukan deficit financing untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya, dengan jalan mengadakan pinjaman dari De Javasche Bank disamping menciptakan uang kertas Pemerintah, dan penempatan kertas perbendaharaan meskipun kecil jumlahnya. Dari tahun 1945 hingga 1949 utang lancar Pemerintah Hindia Belanda bertambah semakin besar, yaitu meningkat dari 347 juta gulden pada tahun 1945 menjadi 2.859 juta gulden pada tahun 1949. Nantinya utang lancar dalam negeri sebesar 2.859 juta gulden inilah yang dialihkan dari Pemerintah Hindia Belanda ke Pemerintah Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.

Cara pembiayaan yang ditempuh Pemerintah Hindia Belanda tersebut agak berbeda dengan pembiayaan pada masa sebelum perang. Sebelum terjadinya perang (dunia), kedua pembiayaan defisit anggaran belanja terutama ditampung di Negeri Belanda, dalam bentuk kredit jangka pendek dari Pemerintah Belanda, yang pada waktunya dikonsolidasikan dalam utang jangka panjang. Tidak demikian halnya sesudah perang dunia kedua, sejak mana sebagian besar defisit Anggaran Belanja dibiayai dengan utang dari De Javasche Bank. Dan dari jumlah utang lancar itu De Javasche Bank adalah pemberi utang terbanyak yaitu sebesar 1. 352 juta Gulden pada tahun 1949.


Dengan besarnya jumlah kontribusi uang De Javasche Bank dalam utang lancar Pemerintah Hindia Belanda yang dialihkan kepada Pemerintah Republik Indonesia, maka dapat dimengerti kenapa De Javasche Bank ditetapkan sebagai bank sirkulasi bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Sesuai dengan kesepakatan KMB 1949, De Javasche Bank dipertahankan sebagai bank sirkulasi dalam rangka penyelesaian hutang-hutang ini.

Kebijakan di bidang keuangan negara di daerah yang dikuasai Republik Indonesia selama 1945-1949 tidak banyak berbeda dengan kebijakan yang ditempuh di daerah pendudukan Belanda. Pemerintah Republik Indonesia juga melakukan deficit financing dengan mencetak ORI. Seiring dengan meningkatnya pengeluaran perang, pencetakan ORI juga terus meningkat. Pada akhir tahun 1949 jumlah ORI dan ORIDA yang dikeluarkan oleh pemerintah sebesar Rp 6 miliar. (Saubari dalam majalah SIKAP 12 Maret 1949)

Dengan demikian deficit financing sebagai cara termudah untuk membiayai peperangan telah dijalankan oleh kedua pemerintahan, baik Pemerintah Hindia Belanda maupun Pemerintah Republik Indonesia. Kebijakan demikian telah menyebabkan volume uang beredar meluap sampai tingkat yang tinggi. Keadaan moneter menunjukkan perkembangan yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. Volume uang beredar telah meluap sampai tingkat yang sangat tinggi. Pada akhir tahun 1949 di daerah yang dikuasai oleh Republik, volume uang beredar telah mencapai jumlah Rp 6 miliar, sedangkan di daerah pendudukan Belanda jumlahnya adalah Rp 3,7 miliar.

Kalau jumlah-jumlah tersebut dibandingkan dengan volume uang beredar sebelum pecah perang dunia kedua, yang menunjukkan angka setinggi ƒ 420 juta pada bulan Maret 1938, maka peredaran demikian besarnya pada tahun 1949 sudah jelas mencerminkan perkembangan inflasi yang sangat serius yang melanda kedua daerah tersebut, yakni seluruh wilayah Hindia Belanda, atau wilayah RI dan NICA.

Selanjutnya terdapatnya berbagai jenis mata uang yang beredar dalam masyarakat yang berbeda-beda nilai tukarnya menyebabkan situasi moneter menjadi sangat ruwet dan membingungkan. Selama pendudukan Jepang, bahkan beberapa waktu sesudah itu, uang Jepang, yang dikenal juga sebagai uang invasi, beredar bersama-sama dengan uang kertas De Javasche Bank dan uang kertas Pemerintah Hindia Belanda, begitu pula dengan uang logam yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank. Terutama dalam daerah pendudukan Belanda beredar juga uang NICA, yang merupakan uang kertas pemerintah dan dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda setelah Jepang menyerah. Disamping jenis-jenis mata uang tersebut terdapat pula mata uang yang dikeluarkan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah daerah Republik Indonesia, yang terutama beredar di daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia.

Di daerah pendudukan Belanda merajalelanya inflasi sedikit banyak dapat dikurangi dengan adanya distribusi barang-barang. Walaupun demikian, harga dari barang-barang yang ditempatkan dibawah “pengawasan” masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga sebelum perang, yaitu kurang lebih 650%. Di pasar bebas Jakarta tingkat harga barang-barang makanan dalam Oktober 1947 diperkirakan 200% dari tingkat harga barang-barang yang diawasi sedangkan untuk barang-barang lain harga bebasnya ditaksir antara 300-500% dari harga yang diawasi.

Sementara itu, kebijakan ekonomi moneter di daerah yang dikuasai Republik Indonesia terpaksa bersifat pasif, yaitu memberikan akomodasi kepada keperluan-keperluan politik dan militer serta mengusahakan jaminan minimal bagi kehidupan rakyat sehari-hari. Memang dalam suasana revolusi dan perjuangan tidaklah mungkin untuk menempuh suatu kebijakan moneter yang secara sistematis dan meyeluruh diarahkan kepada stabilitas sambil meningkatkan produksi. Dalam UUD 1945 pasal 23 dan 33 telah diatur kebijakan ekonomi dan moneter. Akan tetapi keadaan masa perjuangan sukar untuk melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Undang-undang dasar.

De Javasche Bank dan Perbankan Masa Kemerdekaan
Pada 10 Oktober 1945 NICA telah memperoleh akses ke kantor-kantor pusat bank Jepang di Jakarta. Ternyata kondisi perbankan pasca pendudukan Jepang tidak separah seperti yang dibayangkan sebelumnya. Secara umum bank-bank Belanda menyatakan bahwa kerugian yang diderita selama pendudukan Jepang tidak membuat mereka lumpuh. Oleh karena itu mereka merasa mampu untuk kembali beroperasi dan menjalankan fungsinya seperti sedia kala. Selanjutnya pada 2 Januari 1946 Gubernur Jenderal secara resmi mengijinkan De Javasche Bank dan bank-bank Belanda lainnya untuk mulai membuka kantor-kantornya seiring dengan perkembangan wilayah-wilayah yang telah diduduki oleh Belanda. Keputusan tersebut dengan demikian telah mencabut keputusan Pemerintah Hindia Belanda pada 1944 tentang larangan kegiatan perbankan di Hindia Belanda.

Segera setelah itu semua bank besar milik Belanda seperti Nedelandsch Handel Maatschappij, Nederlandsch Indische Handels Bank dan Escomptobank beroperasi kembali seperti sebelum masa pendudukan Jepang. Selain bank-bank Belanda tersebut bank-bank milik Inggris juga diberi kesempatan untuk beroperasi kembali, yaitu The Chartered Bank of India, Australia and China dan Hong Kong and Shanghai Banking Corporation. Bank-bank asing lainnya yang juga turut beroperasi kembali adalah Overseas Chinese Banking Corporation dan Bank of China.

Selain bank-bank tersebut terdapat beberapa bank lokal yang beroperasi di wilayah pendudukan Belanda, yaitu : NV Bankvereeniging Oei Tiong Ham (1906) dibuka kembali di Semarang, Bank Timur NV (1949) di Semarang, Chung Hwa Shangieh Maatschappij di Medan, NV Batavia Bank (1918) dibuka kembali di Jakarta dan dirubah menjadi Bank Jakarta dan Bank Boemi IMA di Jakarta. Masih di periode revolusi, pemerintah pendudukan Belanda mendirikan suatu lembaga baru di luar bank yaitu Bureau Herstel Financering (BHF). Lembaga tersebut didirikan oleh Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) dan berlindung dibawah Departemen Keuangan. Lembaga tersebut bertugas menyediakan pembiayaan bagi rehabilitasi perusahaan-perusahaan yang rusak akibat perang dunia kedua.

Sementara itu, De Javasche Bank kembali diberi tugas sebagai bank sirkulasi dan mengambil peranan Nanpo Kaihatsu Ginko. Mulai saat itu bank-bank Jepang yang masih beroperasi di beberapa tempat telah berada di bawah pengawasan Belanda yang diwakili oleh De Javasche Bank dan Nederlandsche Handel Maatschappij. Kemudian bank-bank Jepang tersebut mulai dilikuidasi dan ditutup pada 15 Januari 1946. Pada saat pembukaan kembali kegiatan perbankan tersebut banyak permasalahan perbankan yang harus dihadapi oleh bank-bank. Untuk mengatasi hal itu dibentuk Komisi Perbankan pada Nopember 1945 yang terdiri dari Director of Finance sebagai Presiden dan anggota komisi yang terdiri dari seorang Managing Directors masing-masing bank di Hindia Belanda serta seorang sekretaris.

Sebagaimana yang terjadi pada dunia perbankan umumnya, De Javasche Bank juga mengalami beberapa kesulitan ketika memulai kembali kegiatannya. Pada 15 Nopember 1945 Presiden De Javasche Bank, Buttingha Wichers mengadakan pertemuan pertama setelah perang yang membahas beberapa resolusi menyangkut perbankan di Indonesia. Tetapi tidak lama kemudian, pada 17 Nopember 1945 Buttingha meninggal dunia karena serangan jantung. Meninggalnya Butinggha dan absennnya R.E Smits menyebabkan jabatan manajemen De Javasche Bank lowong. Karena pada saat itu tidak dimungkinkan pemilihan manajemen sesuai dengan prosedur, maka pada 28 Februari 1946 atas dasar kewenangan yang ada padanya, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (H.J. van Mook) menunjuk J.C. van Waveren untuk sementara menjadi Presiden dan H.J. Manschot sebagai Managing Director.

Namun posisi itu tidak lama bertahan, karena pada September 1946, R.E. Smits tiba di Indonesia dan Waveren mengundurkan diri dari jabatan Presiden karena harus meninggalkan Hindia Belanda untuk memulihkan kesehatan. Dengan Keputusan Letnan Gubernur Jenderal tanggal 10 Oktober 1946 R.E. Smits diangkat sementara sebagai Presiden dan H. Teunissen sebagai Managing Director De Javasche Bank.

Dalam periode 1945 – 1949 De Javasche Bank secara bertahap melaksanakan pembukaan kantor-kantor cabangnya di seluruh wilayah Indonesia. Pertama kali De Javasche Bank membuka Kantor Pusat di Jakarta pada 14 Maret 1946 kemudian diikuti dengan Kantor Cabang Semarang, Menado, Surabaya, Banjarmasin, Pontianak, Bandung dan Medan. Sebelumnya di Makassar dan Kalimantan, untuk pertama kali bank-bank menerapkan suatu pooling system dan Kantor Cabang De Javasche Bank setempat bertindak sebagai pimpinan pool. Hal itu dikarenakan masih kecilnya jumlah bisnis yang akan dilaksanakan di wilayah tersebut, maka tidak ekonomis apabila masing-masing bank membuka kembali kantor-kantornya secara terpisah.

Kemudian setelah Aksi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947 De Javascvhe Bank membuka Kantor Cabang Palembang, Cirebon, Malang dan Padang. Tahap akhir pembukaan kantor cabang De Javasche Bank dilaksanakan setelah Aksi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Pada saat itu dibuka Kantor Cabang Yogyakarta, Solo dan Kediri. Kantor Cabang Yogyakarta kemudian ditutup kembali pada 29 Juni 1949. Hal itu terjadi karena tentara Belanda ditarik kembali dari Yogyakarta setelah dilakukan diplomasi antara NICA dan RI. Akhirnya hanya Kantor Cabang Aceh yang tetap belum dibuka kembali oleh De Javasche Bank karena situasi dianggap belum memungkinkan.

Sejak Agustus 1947 Pemerintah Hindia Belanda mengukuhkan R.E. Smits sebagai Presiden De Javasche Bank untuk masa lima tahun. Setelah itu secara bertahap dilakukan pengisian beberapa posisi Direksi yang lowong guna memantapkan manajemen De Javasche Bank. R.E Smits tidak dapat menyelesaikan tugasnya sebagai Presiden De Javasche Bank hingga akhir masa jabatan, karena pada 13 September 1949 ia meninggal dunia. Selanjutnya pada 29 Oktober 1949 A. Houwink diangkat menjadi Presiden De Javasche Bank menggantikan R.E. Smits. Di bawah kepemimpinan Houwink inilah kelak pada 1951 De Javasche Bank dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Dengan nasionalisasi itu Houwink mengundurkan diri dan sebagai Presiden De Javasche Bank terakhir yang berkewarga negaraan Belanda.

Daftar Pustaka :

Drs. Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter, jilid I (1945-1958). Jakarta : Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1991.

Dawam Rahardjo, Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta : LP3ES, 1997.

Noek Hartono, Bank Indonesia Sejarah Lahir dan Pertumbuhannya, stensilan t.t.

Marwati Djoened Poseponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, jilid VI. Jakarta : Balai Pustaka, 1993.

Susanto Zuhdi, Cilacap (1830-1942) : Bangkitnya dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2002.

Berbagai terjemahan R. Hardjo Santoso yang dituliskan ulang dalam makalah :
De Javasche Bank Pada Masa Peperangan : Perang Asia-Pasifik 1941 – 1945 dan Sesudahnya, 2000, Gambaran Perbankan Pada Sebelum dan Sesudah Tahun 1945 dan De Bank Voor Nederlandsch Indie 21 Februari 1944 – 31 Desember 1948, 2000, dan Penyelamatan Persediaan Emas De Javasche Bank Pada Perang Dunia II, 2007.

Comments

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante