Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante

Lahirnya Konstituante
Dalam suhu politik yang memanas, saat pertikaian-pertikaian di Jakarta menjadi semakin sengit dan ketegangan di desa-desa semakin meningkat, pemilihan umum yang lama ditunggu-tunggu akhirnya terlaksana juga. Pemilihan Umum 1955 ini adalah pemilu nasional yang pertama dan yang terpenting yang pernah dilakukan oleh rakyat Indonesia. Pemilu 1955 ini diikuti oleh 34 partai politik dan dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama pada 29 September 1955 untuk memilih anggota parlemen dan tahap kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante.

Kedua tahap pemilu tersebut, baik untuk pemilihan parlemen maupun untuk Konstituante menghasilkan empat partai politik besar pemenang pemilu, yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Hasil pemilu ini mempertegas polarisasi antara partai-partai Islam dan non Islam, serta menghasilkan keseimbangan antara faksi-faksi yang bertentangan dalam Konstituante.

Konstituante sendiri adalah suatu dewan perumus konstitusi yang bertugas merancang dan mengesahkan undang-undang dasar yang tetap bagi Republik Indonesia. Sebelumnya, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang federal pada akhir tahun 1949, sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB). Konstitusi itu kemudian dengan cepat diganti dengan suatu UUD Sementara, pada saat Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan pada Agustus 1950.

Setelah bekerja selama beberapa tahun, Konstituante dapat mencapai kesepakatan mengenai berbagai masalah, seperti masalah bentuk negara: apakah federal atau kesatuan, masalah parlemen: apakah sistem satu badan atau dua badan, dan masalah kekuasaan kepala negara. Dalam hubungan dengan bentuk negara, penyelesaiannya rupanya tidak sesulit seperti yang diduga semula.

Berkaitan dengan bentuk negara, sebelumnya melalui suatu mosi yang dikenal dengan mosi integral dari Natsir, telah memudahkan jalan bagi Indonesia untuk membentuk negara kesatuan. Tetapi masalah ini muncul lagi pada sidang-sidang Konstituante di Bandung tahun 1956 itu. Dalam sidang yang membicarakan bentuk negara, terbentuk dua kubu yang tampaknya mempunyai hubungan dengan kuat tidaknya kedudukan masing-masing di Pulau Jawa.

Partai-partai yang mempunyai pengikut terbanyak di pulau Jawa, seperti PNI dan PKI, dari semula sudah memperjuangkan bentuk negara kesatuan. Sedangkan mereka yang mempunyai pengikut lenih banyak di luar Jawa cenderung memilih ke bentuk negara serikat. Dalam kubu terakhir ini terdapat partai-partai Islam yang banyak berbasis di luar Jawa, meski Nahdlatul Ulama (NU) adalah termasuk salah satu partai yang kekuatannya terletak di Jawa. Sikap NU ini tampaknya disebabkan oleh pertimbangan untuk mendapatkan tambahan pengikut di luar Jawa, sekurang-kurangnya untuk tidak mengasingkan dari kalangan Islam di luar Jawa.

Dari kesemua itu, yang terpenting adalah adalanya kenyataan bahwa “masalah bentuk negara” ini tidak terlalu menjadi persoalan bagi kalangan Islam. Akhirnya Pesatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan NU segera meninggalkan ide federalisme, sementara Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) hanya bersifat acuh terhadap isu bentuk negara ini. .

Lain halnya dalam membicarakan dasar negara. Setelah merdeka, masalah dasar negara adalah masalah pilihan antara Islam dan Pancasila. Mulanya, mereka mencapai kata sepakat dengan mencantumkan tambahan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dalam (rancangan) pembukaan UUD tahun 1945. Kesepakatan itu dituangkan dalam suatu persetujuan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta, 22 Juni 1945 (lihat Noer, 1987, hal. 36) Tetapi pada 18 Agustus 1945 tujuh kata itu dihapuskan dari preambule UUD 1945.

Setelah lama terpendam, masalah pilihan dasar negara itu kembali mencuat pada dekade 1950-an sesudah penyerahan kedaulatan, mungkin karena selama periode revolusi, perhatian tercurah dalam mempertahankan kemerdekaan. Dalam Konstituante permasalahan dasar negara adalah permasalahan fundamental yang telah berkembang menjadi suatu isu pokok yang menyebabkan terbentuknya dua kubu yang sulit dikompromikan, yaitu kubu Pancasila dan kubu Islam.

Kubu Pancasila dalam Konstituante menganggap bahwa kelima sila, yaitu Ketuhanan, Perikemanusiaan, Nasionalisme, Demokrasi, dan Keadilan sosial, merupakan Dasar Negara. Sementara kubu Islam, tanpa kompromi mengajukan Islam sebagai Dasar Negara. Selain kedua blok itu, juga terdapat kubu Sosial-Ekonomi yang mengajukan ekonomi sosialis dan demokrasi sesuai dengan Pasal 33 dan Pasal 1 dari UUD 1945 sebagai Dasar Negara.

Dalam Konstituante kubu Pancasila mempunyai 274 kursi dengan terdiri dari tujuh faksi besar, yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia), Republik Proklamasi, Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katholik, PSI (Partai Sosialis Indonesia), dan IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) bersama empat belas faksi kecil lainnya.

Sementara kubu Islam mempunyai 230 kursi dan terdiri dari empat faksi besar yaitu Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), serta empat faksi kecil lainnya. Sedangkan kubu Sosial-Ekonomi mempunyai 10 kursi dan terdiri dari tiga faksi yaitu Partai Buruh Partai Murba dan Acoma.

Pancasila versus Islam

Dalam kubu Islam sendiri, mulanya pada awal dekade 1950-an memang masih ada ketegangan diantara partai-partai Islam. Tetapi sejak tahun 1956, Masyumi dan NU boleh dikatakan mempunyai sikap yang sama dalam menentang Kabinet Ali. Sejak saat itu, terutama setelah pemilu 1955, partai-partai Islam segera membentuk suatu front bersama jika menghadapi partai-partai non Islam dan yang anti Islam, yang telah bergabung dalam satu kubu yaituPancasila. Kecendurangan polarisasi Islam versus Pancasila ini, menurut Feith, berasal dari atau imbas dari kampanye pemilu 1955. Pancasila yang pada waktu sebelumnya, telah diterima oleh para pemimpin politik Muslim sebagai suatu lambang, yang setidak-tidaknya dapat mereka setujui bersama-sama buat sementara, sekarang telah menjadi milik kaum anti muslim. Bahkan bagi kalangan muslim, Presiden Soekarno sebagai pembela Pancasila yang gigih, mulai tampak sebagai juru bicara salah satu pihak dalam perjuangan itu, dan bukannya sebagai seorang kepala negara yang tidak memihak.

Semakin lama kompromi antara kedua kubu semakin tidak dimungkinkan, dan persoalan antara keduanya semakin tidak dapat diselesaikan lagi. Namun demikian pada kenyataannya, tidaklah mungkin untuk memperoleh dukungan mayoritas suara untuk gagasan “Negara Islam”. Demkian halnya dengan gagasan “Negara Pancasila” tidaklah dapat diperoleh dua pertiga suara mayoritas dalam forum Konstituante, seperti yang disyaratkan untuk membentuk undang-undang dasar, meskipun terdapat dukungan dari golongan Komunis sekalipun.

Dalam konflik itu, Konstituante memang benar-benar menghadapi kebuntuan dalam menyelesaikan masalah Dasar Negara. Hal ini berpengaruh pada perlunya waktu yang lama dalam menyusun konstitusi baru bagi Indonesia. Tetapi bagaimanapun juga, sebenarnya pada permulaan 1959 Konstituante telah berhasil menyelesaikan 90% kerjanya dalam waktu kurang dari 2,5 tahun. Hal tersebut dapat diketahui, ketika pada 18 Februari 1959, pada penutupan sidang Panitia Perumus Konstitusi, Ketua Konstituante Wilopo melaporkan kepada sidang dengan perasaan puas bahwa Konstituante telah dapat menyelesaikan tugasnya 90%. Agaknya sisa yang 10% itu berhubungan dengan tugas sidang umum Konstituante berupa perubahan, pemilihan alternatif, dan pengesahan.

Tawaran Kembali kepada UUD 1945
Namun perkembangan Konstituante itu ditanggapi secara berbeda oleh Soekarno dan tentara dibawah pimpinan Abdul Haris Nasution. Mereka menganggap bahwa Konstituante bekerja secara lamban, dan tampaknya kurang setuju dengan hasil yang akan diberikan oleh Konstituante. Sejak Juli 1958, di luar Konstituante pimpinan tentara mengusulkan suatu cara penyelesaian “kebuntuan” dalam Konstituante, menurut mereka daripada menyusun undang-undang dasar baru, lebih baik kembali kepada UUD 1945.

Tidak mengherankan jika kemudian, terdengar dari Nasution pada suatu pertemuan antara sipil dan militer di Padang, 13 Februari 1959, bahwa tentara sedang memelopori usaha kembali ke UUD 1945. Konstitusi UUD 1945 ini memang memberi kekuasaan yang besar kepada kepala negara dan sejalan dengan Konsepsi Terpimpin yang dicetuskan Soekarno sejak 1957. Bagi Soekarno sendiri, kembali ke UUD 1945 telah memberikan harapan akan hidupnya kembali semangat optimisme, pengabdian, dan revolusi yang berhubungan dengan suasana heroisme tahun 1945 yang diinginkannya.

Pada tanggal 2 Maret 1959, Perdana Menteri Djuanda mengemukakan kepada parlemen pemikiran untuk kembali ke UUD 1945. Hal yang sama juga dilakukan oleh Presoden Soekarno kepada Konstituante di Bandung pada 22 April 1959, dua bulan sebelum ia memulai perjalanan luar negerinya. Dalam suatu pidato yang panjang, Res Publica sekali lagi Res Publica, Soekarno menghimbau Konstituante untuk kembali kepada UUD 1945. Setelah bagian pengantar dalam pidatonya menekankan lamanya waktuKonstituante bersidang, yaitu selama 2 tahun, 5 bulan dan 12 hari, hampir dua setengah tahun. Sisa pidato Soekarno mengikuti dengan cermat 24 butir materi yang tercantum dalam keputusan kabinet dalam “mewujudkan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945”.

Menanggapi hal itu, sebagian anggota Konstituante, termasuk faksi-faksi Islam, berpendapat bahwa sebaiknya Konstituante terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaannya yang semula, sebelum berbicara soal UUD 1945 sebagaimana diusulkan pemerintah. Meskipun demikian, mereka juga tetap memberikan perhatian untuk membicarakan usulan pemerintah tersebut. Terutama kubu Pancasila, PNI dan PKI menyetujui ajakan untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Bagi mereka kembali ke UUD 1945 adalah kembali kepada rumusan Pancasila seperti semula, dan dengan begitu tamatlah sudah pertentangan menghadapi kubu Islam tentang Dasar Negara.

Dalam menanggapi usulan pemerintah itu, para wakil Islam di Konstituante, tetapi tidak ingin menerima UUD 1945 tanpa modifikasi. Mereka mengambil kesempatan untuk memasukkan kembali ke dalam UUD 1945 tujuh kata yang hilang dahulu, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Demikian halnya dengan NU, partai itu menerima ajakan kembali ke UUD 1945, dengan catatan Piagam Jakarta dicantumkan dalam UUD 1945 dan mempunyai kekuatan hukum sebagai bagian darinya.

Menanggapi hal itu Djuanda pada 22 April 1959 dalam keterangannya, sebagai jawaban terhadap petanyaan-pertanyaan dari para wakil Islam di Konstituante, menyatakan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” UUD 1945, dan oleh karena itu memberi dasar bagi pelaksanaan hukum agama.

Tentu saja keterangan itu tidak memuaskan kalangan Islam. Maka ketua Fraksi Islam di Konstituante, yang saat itu dijabat oleh KH Masjkur dari NU, mengemukakan mosi agar ketujuh kata tersebut diatas dapat masuk lagi dalam mukaddimah UUD 1945. Namun Masjkur kalah dalam mosi itu dengan perolehan 201 : 265 suara dari jumlah anggota yang hadir, yaitu sebanyak 470 orang. Meski tidak berhasil, hal itu mencerminkan telah terjadi pertentangan keras antara kubu Islam dan Pancasila dalam Konstituante, menyikapi rumusan Piagam Jakarta.

Pintu Menuju Dekrit
Akhirnya usulan pemerintah untuk kembali UUD 1945 (tanpa perubahan) diserahkan kepada mekanisme pemungutan suara. Dan lagi-lagi, usulan ini juga tidak diterima, karena hasil suara 2/3 mayoritas untuk setuju tidak tercapai. Dalam usaha untuk memperoleh hasil menerima atau tidak UUD 1945, Konstituante melakukan tiga kali pemungutan suara, yaitu tanggal 30 Mei 1959 dengan hasil 269 pro dan 199 kontra; tanggal 1 Juni 1959 dengan hasil 264 pro dan 204 kontra; kemudian tanggal 2 Juni 1959 dengan hasil 263 pro dan 203 kontra. Jumlah terkahir itu hanya mencapai 56% suara Konstituante, artinya kurang dari jumlah dua pertiga yang diperlukan untuk mencapai kuorum. Akibatnya, Konstituante mengalami kebuntuan.

Reaksi atas hasil itu, beberapa anggota Konstituante dari kubu pro Pancasila, seperti IPKI, PNI dan PKI menyarankan agar Konstituante membubarkan diri. Banyak diantara mereka menyatakan tidak akan hadir lagi dalam sidang-sidang Konstituante berikutnya. Dan akhirnya tanggal 2 Juni 1959 itu adalah hari terakhir Konstituante bersidang.

Sedangkan kubu Islam dalam Konstituante berharap agar dewan dapat kembali kepada kerjanya semula, yaitu menyelesaikan konstitusi baru, sebelum kembali melanjutkan pembahasan UUD 1945. Beberapa anggota Konstituante meminta kepada pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada Konstituante guna menyelesaikan tugasnya sampai Maret 1960, mengingat sisa kerjanya yang 10% itu. Mereka khawatir kalau-kalau tentara akan tambah mencampuri masalah-masalah politik seperti tercermin dalam larangan kegiatan politik oleh Nasution, segera setelah terjadi kebuntuan dalam menerima opsi kembali ke UUD 1945.

Detik Akhir Konstituante
Usaha ketua Konstituante untuk memulai kembali sidang-sidangnya dan menyelesaikan sisa tugasnya, tidak berhasil. Konstituante seakan-akan menjadi lumpuh, karena banyak anggotanya yang tidak lagi hadir dalam persidangan. Melihat perkembangan itu, pimpinan tentara dan PNI masing-masing mengirim kawat (telegram) kepada Presiden Soekarno yang sedang berada di Tokyo, Jepang, dalam rangkaian perjalanan keliling dunianya, agar segera memberlakukan UUD 1945 melalui suatu dekrit. Bahkan Menteri Penerangan Roeslan Abdulgani, pergi menghadap Presiden di Tokyo untuk memberi laporan langsung.

Gayung bersambut, Soekarno sependapat dengan pimpinan tentara dan PNI. Setelah ia kembali pulang ke Jakarta pada 29 Juni 1959, ia segera mengumumkan rencana dekrit itu di Istana Bogor, lalu menandatangani rumusan dekrit pada 4 Juli 1959, dan mengumumkannya secara resmi keesokan harinya di Istana Merdeka. Dekrit itu dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Bagian pertama dekrit itu terdiri dari lima pertimbangan. Pertama bahwa Konstituante tidak dapat mengambil keputusan yang diperlukan, yaitu mayoritas dua pertiga, mengenai usul kembali ke UUD 1945. Kedua, bahwa sebagian besar anggota Konstituante menolak menghadiri rapat-rapat selanjutnya, sehingga Konstituante tidak dapat meneruskan tugasnya. Ketiga, oleh karena itu telah timbul situasi yang berbahaya bagi kesatuan dan kesejahteraan negara. Keempat, bahwa dengan dukungan sebagian besar rakyat serta dikukuhkan oleh keyakinannya, sekarang Presiden harus mengambil tindakan untuk menyelematkan negara. Kelima, bahwa Presiden yakin bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” UUD 1945 dan merupakan kesatuan dari konstitusi tersebut.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu, Presiden mendekritkan bahwa Konstituante dibubarkan dan menetapkan kembali secara resmi UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara. Sejak saat itu, bubarlah Konstituante. Harapan untuk mendapatkan suatu konstitusi baru yang lebih sempurna telah lenyap bersamaan dengan tuntasnya krisis perpecahan ideologi antar golongan. Selanjutnya, suatu stabilitas politik yang diprakarsai oleh tentara telah tercipta dan kemudian membawa Indonesia pada suatu babak demokrasi terpimpin ala Soekarno.

Pancoran, 8 Mei 2007-05-08

EK


Referensi :
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi kasus sosi- legal atas Konstituante 1956 – 1959, Pustaka Utama Grafiti, 1995.

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan : studi tentang percaturan dalam Konstituante, LP3ES, 1985.

B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945 - 1972, Penerbit PT Grafiti Pers, 1985.

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945 – 1965, Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 1987.

Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, 1999.

Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Cornell University Press, 1962.

Herbert Feith, Lance Castles (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965, LP3ES, 1988.

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, Serambi, 2005.

Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945 – 1967:menuju Dwi Fungsi ABRI, LP3ES 1986.

Comments

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)