Perbankan dalam Sistem Terpimpin

Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin
Setelah Dewan Konstituante mengalami kegagalan dalam menyusun undang-undang dasar baru, maka pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno dengan dukungan Angkatan Darat mengeluarkan Dekrit Presiden yang mengembalikan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai undang-undang dasar negara. UUD tersebut memberikan kewenangan besar kepada Presiden sebagai kepala negara sekaligus pimpinan pemerintah. Tidak lama kemudian pada 17 Agustus 1959 Soekarno mengucapkan pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita yang terkenal sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Dalam pidatonya tersebut secara garis besar Soekarno telah mencanangkan dilaksanakannya sistem Demokrasi Terpimpin.[1]

Sebagai tema utama ideologi Soekarno, Manipol Usdek terdiri dari lima hal pokok, yaitu: UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Sejak saat itu setiap gerak dan langkah seluruh komponen bangsa Indonesia harus berdasarkan Manipol Usdek. Oleh karena itu sistem ekonomi terpimpin menuntut seluruh unsur perekonomian Indonesia, termasuk dunia perbankan, untuk menjadi alat revolusi.[2]

Dalam ekonomi terpimpin, kegiatan perekonomian ditekankan pada konsepsi gotong royong dan kekeluargaan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 33 UUD 1945. Secara tersirat pasal tersebut telah menetapkan bahwa negara perlu memelopori dan memimpin kegiatan ekonomi. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan ekonomi pada masa terpimpin juga dilandaskan atas strategi dasar (basic strategy) ekonomi Indonesia yang diamanatkan dalam Deklarasi Ekonomi (DEKON) oleh Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963.[3]

Kondisi Lembaga Perbankan pasca Dekrit Presiden 1959

Bank Pembangunan Daerah dan Bank Pemerintah
Pada awal periode 1959 – 1960, di Indonesia tercatat terdapat tujuh bank pemerintah, yaitu : Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral; Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tani dan Nelayan (BTN) dan Bank Umum Negara (BUNEG) sebagai bank umum; Bank Industri Negara (BIN) sebagai bank pembangunan serta Bank Tabungan Pos sebagai bank tabungan.[4] Selanjutnya, dalam rangka nasionalisasi bank-bank Belanda, pada April 1960 pemerintah menetapkan nasionalisasi P.T.Escomptobank. Segala kegiatan usaha bank tersebut akhirnya ditampung dalam Bank Dagang Negara (BDN) yang didirikan tidak lama kemudian.[5]
Masih pada tahun yang sama pemerintah juga mendirikan Bank Koperasi, Tani dan Nelayan (BKTN) dengan tujuan menyediakan perkreditan rakyat, khususnya bagi koperasi kaum tani dan nelayan. Untuk memenuhi tujuan tersebut, pemerintah meleburkan BRI dan BTN dalam BKTN. Beberapa bulan kemudian, Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) juga dimasukkan dalam BKTN.[6] Sementara unsur BRI dan BTN menjalankan fungsi perkreditan rakyat, terutama bagi koperasi petani dan nelayan, unsur NHM dalam BKTN tetap menjalankan fungsi perkreditan bagi golongan-golongan lain sebagaimana sebelumnya. Pengintegrasian sepenuhnya tiga unsur bank dalam BKTN tersebut secara bertahap dilaksanakan mulai 1962 dan baru selesai pada akhir 1964. Sehingga mulai tahun itu tidak ada lagi pemisahan antara BKTN Urusan Exim dan BKTN ex BRI atau BTN.[7]

Selanjutnya perubahan terakhir bank-bank pemerintah dalam periode ini terjadi pada Bank Tabungan Pos. Semula bank ini berada dalam lingkungan Departemen Perhubungan, tapi kemudian pada 22 Juni 1963 bank tersebut dipindahkan dibawah Bidang Keuangan dan dirubah menjadi Bank Tabungan Negara.[8]

Dalam bidang pembangunan, pemerintah pada 25 Mei 1960 mendirikan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dengan tugas utama untuk membantu pemerintah dalam membiayai usaha-usaha pembangunan nasional. Sebelumnya fungsi bank pembangunan telah dijalankan oleh Bank Industri Negara (BIN) yang kemudian fungsinya dimasukkan dalam Bapindo pada 17 Agustus 1960.[9]

Selain Bapindo, pemerintah juga membentuk Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang ketentuannya diatur dalam UU No. 13/1962. Bank ini didirikan dengan tujuan untuk membantu melaksanakan pembangunan yang merata ke seluruh daerah di Indonesia. Bank-bank ini didirikan di setiap Ibukota Daerah Tingkat I yang kepemilikannya adalah usaha bersama antara Pemerintah Daerah dan Swasta. Sampai dengan 1965, tercatat 22 Daerah Tingkat I di Indonesia telah mempunyai BPD dengan beberapa kantor cabangnya masing-masing. Berbeda dengan BPD, Bank Pembangunan Swasta yang telah dibuka pada tahun 1963 berdasarkan UU No. 12/1962 baru mulai bekerja sejak 1 Maret 1964. Bank itu hanya mempunyai satu kantor pusat di Jakarta dan belum memiliki cabang-cabang.[10]

Bank Asing dan Bank Swasta
Selanjutnya untuk bank swasta, sampai dengan Agustus 1964 masih tertutup kemungkinan bagi pembukaan bank umum dan bank tabungan swasta baru. Hingga kemudian berdasarkan Pengumuman Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta No. 4 tertanggal 29 Agustus 1964, telah dibuka kembali kesempatan untuk membuka bank di daerah, terutama di kota-kota pada daerah yang masih belum mendapatkan pelayanan perbankan secara memadai. Sedangkan kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang dan Makassar masih tetap dinyatakan sebagai kota tertutup bagi pembukaan bank swasta baru maupun kantor-kantor cabang baru bank swasta. Setelah pengumuman itu, pada akhir 1964 diberikan ijin pembukaan untuk satu bank umum nasional swasta baru dan pada tahun 1965 diberikan ijin kepada empat bank umum nasional swasta baru.[11]


Hingga akhir tahun 1965 pemerintah telah mengizinkan pembukaan cabang-cabang baru dari bank-bank umum nasional swasta yang telah berjumlah 22 bank. Sementara itu untuk bank tabungan swasta, pada akhir 1964 telah dibuka kembali kemungkinan pembukaan bank baru berdasarkan keputusan Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta. Tetapi situasi moneter dalam negeri pada saat itu tidak memungkinkan bagi bank-bank tabungan swasta untuk dapat berkembang dengan baik. Sehinga dengan berbagai kesulitan yang dihadapi oleh bank tabungan swasta dalam mengembangkan usahanya, bank-bank yang telah berdiri sebagian besar masih mempergunakan ijin sementara. Dari 14 bank tabungan swasta yang ada, hanya dua bank saja yang telah menyesuaikan dengan peraturan-peraturan yang berlaku sehingga mendapat ijin tetap.[12]


Sementara itu untuk perbankan asing, setelah dalam 1960 proses nasionalisasi bank-bank Belanda telah selesai dilaksanakan, maka di Indonesia masih terdapat beberapa bank asing yang masih beroperasi, yaitu : The Chartered Bank, Hongkong Shanghai Banking Corporation, Oversea Chinese Banking Corporation dan Bank of China. Bank-bank tersebut merupakan bank devisa dan bergerak di bidang ekspor dan impor. Meskipun telah berkurang peranannya, tetapi bank-bank milik asing dikenal mempunyai kemampuan finansial lebih jika dibandingkan dengan bank-bank pemerintah.[13]


Pada 1963 ketika Indonesia tengah menjalankan politik konfrontasi terhadap Malaysia, Oversea Chinese Banking Corporation (OCBC) dicabut izin usahanya. Suasana konfrontasi yang terus memanas menyebabkan Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) mengajukan permohonan untuk menghentikan usahanya pada awal tahun 1964. Hal yang sama juga ditempuh oleh Bank of China.[14] Karena menganggap Inggris adalah dalang pembentukan Konfederasi Malaysia, maka pada Desember 1964 pemerintah RI memutuskan untuk menguasai semua perusahaan Inggris di Indonesia, termasuk The Chartered Bank. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Urusan Bank Sentral tertanggal 17 Februari 1965 ditetapkan bahwa seluruh asset The Chartered Bank di Jakarta diserahkan kepada Bank Umum Negara (BUNEG). Sedangkan asset bank di Surabaya dan Medan diserahkan kepada Bank Negara Indonesia.[15]
Dengan terjadinya berbagai perubahan tersebut, maka sejak 1964 tidak ada bank asing yang beroperasi di Indonesia.[16] Sementara itu bank pemerintah terdiri dari tujuh bank yaitu : Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral; Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Umum Negara (BUNEG), Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN), Bank Dagang Negara (BDN) sebagai bank umum; Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebagai bank pembangunan dan Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai bank tabungan. Ketujuh bank tersebut terus bertahan hingga masa pembentukan Bank Tunggal pada 1965.

Persiapan Menuju Bank Tunggal
Perkembangan Kabinet
Perkembangan selanjutnya, pada 1964 pemerintah membentuk Badan Ekonomi dan Keuangan (BEK), yaitu suatu badan yang berfungsi sebagai cordinating body bagi Kabinet dalam usaha penyelesaian soal-soal di bidang ekonomi dan keuangan. Dalam melaksanakan tugasnya, BEK menyelenggarakan sidang-sidang yang terdiri atas Sidang Inti dan Sidang Paripurna. Sidang Inti BEK beranggotakan 17 Menteri, antara lain Menteri Urusan Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota. Atas undangan Ketua, Sidang Inti juga dapat dihadiri oleh menteri-menteri lainnya. Sedangkan Sidang Paripurna BEK, terdiri dari anggota Sidang Inti ditambah dengan menteri-menteri lain dalam Kabinet, serta anggota Direksi Bank Indonesia dan Bank Pembangunan Indonesia.[17]

Berdasarkan Peraturan penetapannya, BEK antara lain bertanggungjawab untuk mengambil alih tugas-tugas Dewan Moneter yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Menteri Urusan Bank Sentral dan Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta. Berdasarkan hal itu, Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta ditugaskan untuk menetapkan ketentuan-ketentuan yang bersifat kelembagaan yang berlaku terhadap bank-bank swasta, termasuk bank asing. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan fungsi-fungsi bank sentral termasuk segi-segi moneter ekonomis dan pengawasan terhadap bank-bank pemerintah dikeluarkan oleh Menteri Urusan Bank Sentral.

Sebelumnya peran Dewan Moneter secara de facto telah dinon-aktifkan dan segala wewenangnya telah berpindah ke kabinet, ketika pada tahun 1962 pemerintah mengangkat Gubernur Bank Indonesia sebagai Menteri Urusan Bank Sentral. Dalam Regrouping kabinet, Menteri ini diposisikan dalam Bidang Keuangan Kabinet Kerja III.[18] Maka sejak saat itu juga, Bank Indonesia sebagai lembaga bank sentral secara praktis telah dikuasai oleh pemerintah. Hal ini semakin mempertegas lemahnya peranan Bank Indonesia sebagai bank sentral, penjaga stabilitas moneter, sejak hengkangnya Gubernur pertama, Sjafruddin Prawiranegara, dari tapuk pimpinan Bank Indonesia.[19]

Tidak lama kemudian, pada tahun 1963 Presiden juga menambahkan satu menteri dalam Bidang Keuangan, yaitu Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta. Dengan pengangkatan ini, kewenangan pembinaan dan pengawasan bank yang semula menjadi wewenang Menteri Urusan Bank Sentral (MUBS) dialihkan kepada Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta (MUPBMS). Setelah bekerja selama kurang lebih sembilan bulan, pada 27 Agustus 1964 Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta dipindahkan dari Kompartemen Keuangan ke Kompartemen Pembangunan. Setelah peralihan tersebut MUPBMS mendapat tugas untuk melakukan bimbingan kepada bank-bank swasta yang diharapkan dapat menyalurkan dana bagi pembangunan.[20]

Doktrin Bank Berdjoang
Dengan sistem Ekonomi Terpimpin pemerintah berusaha menggerakkan bank-bank pemerintah sebagai alat revolusi secara terpimpin. Dengan demikian diperlukan adanya kesatuan jiwa, pikiran dan tindakan di kalangan bank-bank pemerintah. Maka, sebagai langkah awal dari usaha tersebut, pada April 1964 dibentuk Badan Pertimbangan Menteri Urusan Bank Sentral yang terdiri dari para pembantu MUBS dan para direktur bank-bank pemerintah. Melalui badan tersebut para pemimpin bank pemerintah secara bersama-sama diikut-sertakan dalam perumusan kebijakan-kebijakan perbankan.[21]


Selanjutnya pada 1964 dilaksanakan Musyawarah Bank Berdjoang Sabang-Merauke yang bertujuan untuk menyelaraskan antara tatanan ideal perbankan dengan tujuan dan cita-cita revolusi yang telah digariskan dalam Manipol dan DEKON. Musyawarah tersebut dihadiri oleh seluruh pemimpin cabang bank pemerintah seluruh Indonesia, termasuk Irian Barat, serta wakil-wakil perusahaan sejenis dan perbankan nasional swasta.[22] Dengan semangat gotong-royong antar sesama warga perbankan, akhirnya musyawarah merumuskan suatu kesimpulan yang terangkum dalam Doktin Bank Berdjoang. Doktrin tersebut pada intinya terdiri dari lima butir doktrin yang disebut Panca Sakti Bank Berdjoang [23], yaitu :
1. Bank sebagai alat revolusi wajib melaksanakan Deklarasi Ekonomi.
2. Mengadakan kesatuan jiwa di kalangan perbankan.
3. Menyelenggarakan politik kepegawaian dan pendidikan demokratis yang bermutu tinggi dan yang ber-Manipol-USDEK
4. Bank menumbuhkan suasana kekeluargaan di dalam perusahaan bank seperti yang dimaksudkan dalam pasal 33 UUD 1945
5. Mengadakan integrasi antara perjuangan perbankan dengan perjuangan masyarakat.

Secara lebih kongkrit kelima butir doktrin tersebut diterjemahkan dalam Program Perdjoangan Bank Berdjoang, yaitu :
1. Bank Berdjoang berorientasi kepada Pembangunan Nasional Semesta bukan hanya berdasarkan pertimbangan untung-rugi dengan motif memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
2. Bank Berdjoang menuju kepada pemberian kredit berdasarkan atas rencana produksi yang diajukan.
3. Bank Berdjoang bersikap dinamis-aktif terjun ke tengah-tengah kehidupan ekonomi bangsa, terutama jika terjadi kemacetan-kemacetan.[24]

Konsekwensi dari konsepsi Bank Berdjoang adalah proses integrasi antar bank pemerintah dalam membantu langsung program pemerintah agar dapat menangani perekonomian negara secara efisien. Untuk itu pada akhir tahun 1964, Menteri Urusan Bank Sentral mulai merintis pelaksanaan asas spealisasi di kalangan bank-bank pemerintah dengan menetapkan departemen yang harus dilayani oleh bank-bank pemerintah. BI, BNI, BKTN, BDN dan BUNEG dilibatkan dalam penanganan program departemen pemerintah. Bank-bank tersebut menjadi semacam Bank Pembangunan yang bertugas membiayai proyek-proyek pembangunan yang dijalankan oleh departemen pemerintah.[25]

Pembentukan Bank Tunggal : Bank Negara Indonesia
Proses integrasi bank-bank pemerintah mulai semakin jelas, ketika pada 11 April 1965 Presiden Soekarno di hadapan Sidang Umum MPRS menyatakan bahwa struktur perbankan Indonesia secara bertahap akan diarahkan kepada sistem Bank Tunggal. Dengan sistem tersebut diharapkan kebijakan pemerintah di bidang moneter dan perbankan dapat dijalankan secara efektif, efisien dan terpimpin demi suksesnya pelaksanaan program perjuangan pemerintah.[26]


Sebelum membentuk Bank Tunggal, terlebih dahulu dilaksanakan pengintegrasian bank-bank umum negara dan bank tabungan negara dalam bank sentral. Pengintegrasian tersebut ditetapkan melalui Penetapan Presiden No. 8/1965 tanggal 4 Juni 1965.[27] Kemudian, pada tanggal yang sama dilakukan pengintegrasian BKTN dalam BI. Menyusul berikutnya pengintegrasian BUNEG, BTN dan BNI ke dalam BI pada 21 Juni 1965.[28] Namun demikian pengintegrasian tersebut tidak berjalan sesuai dengan Penpres yang menetapkannya. Secara kongkret hanya BKTN saja yang benar-benar telah terintegrasi dengan BI, sementara ketiga bank pemerintah lainnya belum pernah secara kongkret berintegrasi dalam BI.[29]

Selanjutnya pada 27 Juli 1965 dikeluarkan ketetapan pembentukan Bank Tunggal milik negara melalui Penetapan Presiden No. 17/1965 dengan nama Bank Negara Indonesia dengan tugas menjalankan aktivitas bank sirkulasi, bank sentral dan sekaligus bank umum.[30] Penpres pembentukan bank tunggal tersebut kemudian dilaksanakan melalui Surat Keputusan Menteri Urusan Bank Sentral No. 65/UBS/65 tanggal 30 Juli 1965 yang memutuskan bahwa kantor-kantor bank pemerintah yang dilebur dalam bank tunggal beroperasi sejak 17 Agustus 1965. Bank-bank tersebut dibagi dalam beberapa Unit sebagai berikut : BI menjadi Bank Negara Indonesia Unit I, BKTN menjadi Bank Negara Indonesia Unit II, BNI menjadi Bank Negara Indonesia Unit III, BUNEG menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan BTN menjadi BNI Unit V. [31]

Dalam pembentukan bank tunggal ini, BDN dan Bapindo tidak diikutsertakan.[32] Absennya BDN dari bank tunggal disebabkan penolakan Direktur Utama BDN, JD. Massie yang saat itu menjabat sebagai Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta. Ia menyatakan ketidak-setujuannya atas pembentukan bank tunggal kepada Presiden Soekarno, padahal sebelumnya Massie bersama para pemimpin bank pemerintah lainnya turut menandatangani hasil musyawarah yang menyetujui pembentukan bank tunggal. [33]

Kepada Presiden Soekarno, Massie menyampaikan pendapatnya bahwa konsep bank tunggal yang menyatukan bank sentral dengan bank-bank umum lainnya akan membingungkan para koresponden di luar negeri. Pendapat Massie ini cukup beralasan, sehingga Presiden Soekarno dapat menerimanya meski telah terlanjur menyetujui Bank Tunggal yang dimotori oleh Jusuf Muda Dalam sebagai Menteri Urusan Bank Sentral.[34] Adapun absennya Bapindo, disebabkan karena bank pembangunan ini berada dibawah wewenang Kompartemen Pembangunan, sehingga tidak termasuk dalam wewenang Menteri Urusan Bank Sentral yang berada dalam Kompartemen Keuangan.[35]

Setelah secara resmi terbentuk, pemerintah segera menetapkan tujuan dari Bank Tunggal [36], yaitu :
1. Sebagai Alat Revolusi dan Abdi Ampera yang dijiwai oleh Dekon dan doktrin-doktrin revolusi lainnya, turut aktif dalam segala tingkat perjuangan revolusi guna membangun masyarakat Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila.
2. Sebagai Alat Revolusi melakukan usaha-usaha Bank Berdjoang, untuk menyelenggarakan dan mendorong kegiatan-kegiatan dibidang ekonomi dan keuangan sesuai dengan kebijakan yang digariskan oleh Pemimpin Besar Revolusi dan pemerintah.
3. Sebagai Alat Revolusi secara aktif, dinamis dan kreatif bersama-sama New Emerging Forces (NEFO) menggalang kerjasama di bidang ekonomi moneter menuju terwujudnya Dunia Baru yang bebas dari penghisapan atas manusia oleh manusia.
4. Sebagai Alat Revolusi membangkitkan dan memupuk daya cipta dan swadaya Buruh/Pekerja sebagai sokoguru Revolusi untuk melaksanakan Amanat Berdikari menuju terwujudnya Trisakti Tavip [37]
5. Sebagai Alat Revolusi, mengantarkan jasa-jasa bank dengan segala cara dan daya sampai ke pelosok-pelosok untuk mengintegrasikan diri dengan masyarakat dan aktif menggali potensi rakyat.

Dalam melaksanakan kebijakan bank tunggal, pemerintah tetap mempertimbangkan segala potensi dan faktor-faktor positif yang terdapat dalam setiap bank yang tergabung di dalamnya. Hal itu dilakukan agar pelaksanaan kebijakan bank tunggal tidak akan menimbulkan kemacetan dalam usaha perbankan secara umum., sehingga unit-unit yang terdiri dari eks bank-bank pemerintah tetap dipertahankan. Selain itu kebijakan bank tunggal dilaksanakan dengan landasan tiga asas, sebagai berikut : Sentralisasi, Spesialisasi dan Dekonsentrasi. Dalam asas sentralisasi, Menteri Urusan Bank Sentral mendapatkan kekuasaan untuk menentukan kebijakan dan melaksanakan kepemimpinan dalam bank tunggal yang pada hakekatnya adalah sentralisasi kebijakan dan komando. Sedangkan spesialisasi adalah pengarahan kegiatan pada obyek-obyek ekonomi dan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang manajemen ke daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan kegiatan perbankan sehari-hari.[38]

Kondisi Lembaga Perbankan Akhir Periode Terpimpin
Dengan kebijakan bank tunggal, secara hukum lembaga perbankan di Indonesia telah berubah secara total, meskipun dalam prakteknya bank-bank pemerintah masih beroperasi sesuai dengan spesialisasinya masing-masing sebagaimana ditetapkan dalam 1964. Meskipun secara hukum hanya ada tiga bank pemerintah, yaitu BNI (Bank Tunggal), BDN dan Bapindo, tapi sesungguhnya dalam praktek lembaga perbankan Indonesia masih sama seperti awal tahun 1960-an, terdiri dari tujuh bank pemerintah yaitu, BI, BKTN, BNI, BUNEG, BTN, BDN dan Bapindo.

Dikerahkannya perbankan nasional untuk membiayai proyek-proyek vital pemerintah, yang sebagian besar adalah proyek non pembangunan, nantinya akan menggiring Indonesia dalam jurang kehancuran ekonomi. Dalam hal ini, Bank Negara Indonesia Unit I, sebagai bank sentral terpaksa harus menutupi defisit anggaran itu dengan terus mencetak uang dalam jumlah besar. Maka tak pelak lagi, penciptaan uang ini telah memicu tekanan laju inflasi yang terus menghebat dan terus memuncak pada tahun 1965.

Pada saat itu bank sentral praktis harus menjadi penyedia dana dari dua segmen sekaligus, yaitu bank-bank pemerintah yang menyalurkan dananya untuk pemerintah, dan sekaligus kepada pemerintah sendiri yang memprioritaskan proyek-proyek non ekonomi yang bersifat politis semacam CONEFO (Conference of the New Emerging Forces), pembangunan Monumen Nasional, Masjid Istiqlal maupun proyek-proyek dengan unsur ekonomi semacam pendirian Sarinah atau Hotel Banteng. Proyek-proyek tersebut telah menimbulkan defisit yang sangat besar pada anggaran pemerintah dan menimbulkan serangkaian hyper-inflasi yang memuncak pada tahun 1966, hingga mencapai 635,3% setahun.[39]

Beberapa saat kemudian, tidak lama setelah dibentuknya bank tunggal, terjadilah Peristiwa 30 September 1965 yang memicu runtuhnya Sistem Terpimpin Soekarno dan diikuti dengan runtuhnya berbagai produk sistem lainnya, termasuk sistem Bank Tunggal. Dan akhirnya Surat Perintah 11 Maret 1966, telah mengakhiri kekuasaan Soekarno yang semakin melemah. Berbagai perubahan fundamental segera terjadi di segala bidang, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ekonomi.

Segera setelah itu, hancurnya sistem perbankan yang ditimbulkan oleh pemerintahan Terpimpin Soekarni, telah menjadi salah satu perhatian utama bagi Kabinet Ampera untuk segera diperbaiki. Maka dalam rangka pengamanan keuangan negara dan pengawasan serta penyehatan tata perbankan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 55 Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/66, pemerintah telah menyampaikan kepada DPRGR delapan Rancangan Undang-Undang (RUU), yaitu RUU tentang Pokok-Pokok Perbankan, tentang Bank Sentral dan enam RUU tentang pendirian Bank-Bank Pemerintah.[40] Sementara itu sambil menunggu disahkannya RUU tersebut, dalam tahun 1966 telah ditetapkan bahwa seluruh bank pemerintah kembali menjalankan usahanya sesuai dengan undang-undang lama yang menetapkan pendirian masing-masing bank. Berdasarkan ketetapan tersebut, sistem bank tunggal secara praktis telah berakhir.[41]

Selanjutnya pada akhir tahun 1967 RUU tentang Pokok-Pokok Perbankan telah dapat diselesaikan. RUU tersebut kemudian disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang, yaitu UU No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan. Dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. Kep. 01/M/IV/1/1968 tertanggal 10 Januari 1968 undang-undang tersebut dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1968. Kemudian masih dalam tahun 1968, pembahasan mengenai RUU lainnya terus dilanjutkan, hingga akhirnya pada bulan Desember 1968 semua RUU tersebut dapat diselesaikan den telah disahkan pula oleh Presiden menjadi undang-undang, sebagai berikut :
1. Undang-undang No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral.
2. Undang-undang No. 17 tahun 1968 tentang Bank Negara Indonesia 1946.
3. Undang-undang No. 18 tahun 1968 tentang Bank Dagang Negara.
4. Undang-undang No. 19 tahun 1968 tentang Bank Bumi Daya.
5. Undang-undang No. 20 tahun 1968 tentang Bank Tabungan Negara.
6. Undang-undang No. 21 tahun 1968 tentang Bank Rakyat Indonesia.
7. Undang-undang No. 22 tahun 1968 tentang Bank Ekspor Impor Indonesia.

Dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. Kep. 600/M/IV/12/1968 tanggal 18 Desember 1968 semua undang-undang tersebut di atas ditetapkan saat mulai berlakunya, yaitu pada tanggal 31 Desember 1968. Maka dengan berlakunya Undang-undang tersebut di atas, bank-bank pemerintah yang sebelumnya merupakan unit-unit yang tergabung dalam Bank Tunggal Bank Negara Indonesia, sejak tanggal 31 Desember 1968 masing-masing menjadi bank pemerintah yang berdiri sendiri berlandaskan undang-undangnya masing-masing.[42]


Daftar Pustaka :
Buku :
A.Banuarli, Perbankan di Indonesia, stensilan tidak diterbitkan, t.t.

Awaloedin Jamin (ed.), Pahlawan Nasional, Ir. H. Djuanda;Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama, Penerbit Kompas, 2001

Bagian Humas Bank Indonesia, Menuju Bank Berdjoang Tunggal: Pidato Pimpinan Urusan Bank Sentral dalam menyambut Hari Bank 1965.

Bruce Glassburner (ed.), The Economy of Indonesia: Selected Readings, Cornell University Press, Ithaca London, 1971.

Dawam Rahardjo, Bank Indonesia daam Kilasan Sejarah Bangsa, LP3ES, 1995.

Hendra Esmara, Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan, PT Gramedia, Jakarta, 1987.

Muhono, Ketetapan MPRS dan Peraturan Negara, tanpa penerbit, 1966.

Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI, Balai Pustaka, 1993.

Noek Hartono, Bank Indonesia Sejarah Lahir dan Pertumbuhannya, stensilan tidak diterbitkan, 1976.


Publikasi lainnya :
Laporan Tahunan Bank Indonesia, 1950 – 1960
Laporan Tahunan Bank Negara Indonesia Unit I, 1965 -1968
Lembaran Negara Republik Indonesia 1950 - 1968





[1] Marwati Djoened, 1993. Hal. 313.
[2] Awaloedin Jamin, 2001. Hal. 147-148.
[3] Ibid., Hal. 157. Menurut DEKON titik berat politik ekonomi jangka pendek diletakkan pada soal sandang pangan. Sedangkan politik ekonomi jangka panjang ditujukan untuk menyehatkan dan mengembangkan perekonomian dengan memberi prioritas pada proyek-proyek pembangunan sesuai memorandum MPRS.
[4] Laporan Tahunan BI 1960 – 1965, Hal. 62. lihat juga Glassburner, 1971, Hal. 361.
[5] Nasionalisasi Escomptobank berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 13/1960 dan BDN dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 13/ 1960 tertanggal 2 April 1960.
[6] BKTN didirikan berdasarkan Perpu No. 41/1960 tanggal 26 Oktober 1960 dan kemudian BRI dan BTN dilebur dalam BKTN pada waktu yang sama berdasarkan Perpu No. 42 dan 43 tahun 1960. Sedangkan Nasionalisasi NHM berdasarkan PP No. 44/1960 yang berlaku surut hingga 3 Desember 1957 dan penyerahan NHM kepada BKTN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tanggal 30 Nopember 1960
[7] Laporan Tahunan BI 1960 – 1965. Hal. 64. Untuk menghindari kekeliruan pada masyarakat, di tingkat cabang BKTN ex NHM diberi tambahan sebutan dengan “Urusan Exim” untuk membedakannya dengan BKTN ex BRI atau ex BTN.
[8] Perubahan tersebut berdasarkan Perpu No. 4/ 1963. Selanjutnya status hukum BTN diperbarui dengan UU No. 2/1964.
[9] Bapindo didirikan berdasarkan Perpu No. 21/1960 tertanggal 25 Mei 1960 sedangkan peleburan BIN dalam Bapindo ditetapkan berdasarkan Perpu No. 30/1960 tertanggal 16 Agustus 1960.
[10] Laporan Tahunan BI 1960 – 1965.
[11] Laporan Tahunan BI 1960 – 1965.
[12] Laporan Tahunan BI 1960 – 1965.
[13] A.Banuarli, 1970. Hal. 26 – 27.
[14] Noek Hartono, 1967. Hal. 143- 144. OCBC ditutup berdasarkan SK Menteri Urusan Bank Sentral No. 35/63/Kep/MUBS tahun 1963, HSBC mengehentikan usahanya berdasarkan Surat Direksi Bank Indonesia No. 11/ 904/UM/PU Rahasia, sedangkan Bank Of China persetujuan penutupannya dilaksanakan berdasarkan SK MUPBS No. 23/UPBMS/64. Laporan Tahunan BI 1960 – 1965. Hal. 341 – 347.
[15] Penguasaan atas perusahan-perusahaan milik Inggris di Indonesia dilakukan berdasarkan Pen.Pres. No. 6/ 1964.
[16] Laporan Tahunan BI 1960 – 1965. Hal. 57.
[17] Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1964 dalam Lembaran Negara 1964.
[18] Laporan Tahunan BI 1960 – 1965. Hal. 58 – 59.
[19] Glassburner, 1971. Hal. 363.
[20]
[21] Menudju Bank Berdjoang Tunggal, Bag. Humas BI, 1965. Hal. 4.
[22] Noek Hartono, 1976. Hal. 144.
[23]
[24] Noek Hartono, 1976. Hal. 145.
[25] Noek Hartono, 1976. Hal. 146 – 148 dan Dawam Rahardjo, 1995. Hal. 122.
[26] Noek Hartono, 1976. Hal. 148.
[27] Sesuai dengan pasal 2 dari Penpres tersebut ditetapkan bahwa proses integrasi akan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan perkembangan keadaan, Lembaran Negara RI No. 45, 1965. Hal. 239 – 241.
[28] Lembaran Negara RI, No. 46, 56, 57, 59, tahun 1965.
[29] Kesimpulan ini tersirat dalam Penetapan Presiden No. 17/1965 tentang pendirian Bank Tunggal Milik Negara
[30] Lembaran Negara RI, No. 74, 1965. Hal. 383 – 386.
[31] Noek Hartono, 1976. Hal. 150.
[32] Noek Hartono, 1976. Hal. 150.
[33] Padahal sebelumnya Massie bersama para pemimpin bank pemerintah lainnya turut menandatangani hasil musyawarah yang menyetujui pembentukan bank tunggal, lihat arsip hasil musyawarah pimpinan bank, Jakarta, 20 April 1964.
[34] Dengan posisi seperti itu, Massie telah berhasil membawa BDN menjadi semacam “bank sentral kecil” yang independen dari campur tangan pemerintah, lihat Glassburner, 1971. Hal. 364.
[35] Hendra Asmara, 1987, Hal. ....
[36] Tujuan Bank Tunggal ditetapkan dalam SK Menteri Urusan Bank Sentral No. 72/UBS/65 tertanggal 19 Agustus 1965 dan berlaku surut sejak 17 Agustus 1965, lihat Arsip BI.
[37] Trisakti adalah slogan pada masa pemerintahan Soekarno yang terdiri dari tiga sakti, yang diantaranya sakti dalam bidang ekonomi atau berdikari sedangkan TAVIP adalah singkatan dari Tahun Vivere Pericoloso, yaitu pidato yang diucapkan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1964.
[38] Dawam Rahardjo, 1995. Hal. 125.
[39] Dawam Rahardjo, 1995. Hal. 147.
[40] Laporan Tahunan BNI Unit I 1968. Hal. 28.
[41] Laporan Tahunan BNI Unit I 1966 – 1967. Hal. 42.
[42] Laporan Tahunan BNI Unit I 1968. Hal. 28.

Comments

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante