Seri Kedudukan Bank Sentral : (1) Kedudukan Bank Indonesia dalam Sistem Pemerintahan ORDE LAMA

Berdirinya Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
Konferensi Meja Bundar telah sepakat untuk membentuk suatu uni yang longgar antara negeri Belanda dan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis. Hasil KMB kemudian diajukan kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk diratifikasi. Soekarno diangkat sebagai Presiden RIS pada 17 Desember 1949 dan tiga hari kemudian ia melantik Kabinet RIS yang dipimpin oleh Perdana Menteri Moh. Hatta. Selanjutnya pada 27 Desember 1949, baik di Indonesia maupun di negeri Belanda diadakan upacara penanda-tanganan naskah penyerahan kedaulatan. Mulai saat itu secara formal Belanda mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). (Ricklefs, 1989, hal. 317 )
Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena pada 17 Agustus 1950 pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) secara resmi dibubarkan. Indonesia memutuskan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak saat itu pemerintahan dijalankan berdasarkan sistem parlementer, Indonesia menganut Demokrasi Liberal. Pada awal periode ini, perekonomian Indonesia mempunyai beban yang berat yaitu perekonomian pasca perang. Pemerintah tidak berhasil meningkatkan produksi dengan menggunakan sumber-sumber yang masih ada untuk peningkatan pendapatan nasional. Misalnya dalam kegiatan ekspor, Indonesia hanya bergantung pada sektor perkebunan saja dengan nilai produksi masih dibawah nilai sebelum Perang Dunia II. Kelemahan dari ekonomi Indonesia saat itu adalah bahwa politik keuangan Indonesia bukan hasil rancangan Indonesia tetapi rancangan Belanda. Oleh karena itu pada awal 1950-an struktur ekonomi nasional masih didominasi oleh struktur perekonomian Belanda. (Thee Kian Wie, 2005, hal. 35 )
Perubahan bentuk negara tersebut tidak merubah kedudukan De Javasche Bank (DJB) sebagai bank sirkulasi. Hal itu dikarenakan adanya aturan dalam UUD Sementara RI (UUD Sementara yang disepakati untuk menggantikan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat) pada pasal 110 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa “Untuk Indonesia ada satu Bank Sirkulasi dan Penunjukan sebagai Bank Sirkulasi dan Pengaturan tataan dan kekuasaannya dilakukan dengan undang-undang”.
Namun demikian kembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan telah memicu munculnya semangat untuk mewujudkan perekonomian nasional yang bebas dari dominasi asing, terutama Belanda. Dalam kondisi demikian pemerintah RI berusaha melepaskan diri dari ikatan ketentuan-ketentuan yang dibuat bersama Belanda dalam KMB. Selanjutnya mulai mengemuka berbagai desakan untuk menasionalisasi semua institusi perusahaan yang masih didominasi oleh pihak asing, termasuk DJB. Pada saat itu DJB sebagai bank sirkulasi untuk RI masih berstatus bank swasta milik Belanda. Seharusnya sebagai negara yang telah berdaulat RI harus mempunyai bank sentral sendiri dengan aturan-aturan yang disesuaikan dengan kepentingan nasional dan tidak terkait dengan aturan negara lain. Keinginan tersebut akhirnya diarahkan kepada upaya nasionalisasi DJB yang selama ini telah berfungsi sebagai bank sirkulasi dan telah mempunyai andil besar dalam mendukung kegiatan perekonomian negara. ( M. Dawam Rahardjo, 1995, hal. 87 )
Pada 30 April 1951 Menteri Keuangan Jusuf Wibisono di hadapan media massa mengemukakan maksud pemerintah untuk menasionalisasi DJB dalam waktu dekat.. Pewartaan tersebut tanpa memberi konfirmasi Direksi DJB terlebih dahulu. Dengan kejadian itu A. Houwink, Presiden DJB saat itu meminta untuk berhenti. Ia merasa bahwa dirinya tidak mendapat kepercayaan lagi dari pemerintah dan tidak lagi mempunyai kekuasaan yang perlu untuk dapat memenuhi tugasnya sebagai pimpinan DJB. Pada 28 Mei 1951 Kabinet Sukiman mengumumkan keputusan nasionalisasi DJB di hadapan DPR. Tidak lama kemudian, pemerintah melalui Keputusan Pemerintah No. 118 tanggal 2 Juli 1951 mengesahkan pembentukan Panitia Nasionalisasi yang telah bekerja sejak 19 Juni 1951. (Ibid., Dawam, 1995, 81)
Panitia Nasionalisasi terdiri dari Moh. Soediono sebagai anggota merangkap ketua, Mr. Soetikno Slamet, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, TRB Sabaruddin, Drs. Oudt dan Drs. Khouw Bian Tie. Panitia tersebut mempunyai tugas untuk mengajukan usul-usul mengenai langkah-langkah nasionalisasi, mengajukan rancangan undang-undang nasionalisasi dan merancang undang-undang baru tentang bank sentral. Langkah pertama yang dilakukan oleh Panitia adalah melakukan penawaran terhadap saham-saham DJB. Akhirnya pemerintah berhasil membeli 99,4% saham DJB di Bursa Saham Belanda dengan harga 20% diatas nilai nominal (120%) dalam mata uang Belanda atau kurs sebesar 360% dalam mata uang Rupiah. Proses pembelian berjalan lancar dengan harga nominal saham dan sertifikat seharga 8,95 Juta Gulden. Selanjutnya, pada 15 Desember 1951 pemerintah mengundangkan Nasionalisasi DJB melalui Undang-Undang No. 24 tahun 1951 tanggal 6 Desember 1951. Dengan nasionalisasi tersebut DJB telah resmi menjadi bank sirkulasi milik Pemerintah Indonesia, bukan lagi milik swasta (Belanda). (Op.cit., 1995, hal. 96 )
Setelah usainya nasionalisasi DJB pada 1951, Panitia Nasionalisasi melanjutkan tugasnya dengan merumuskan rancangan Undan-Undang Pokok Bank Indonesia, sebagai undang-undang bank sentral yang baru menggantikan Bankwet 1922. Rancangan tersebut kemudian disampaikan Pemerintah kepada Parlemen pada September 1952. Parlemen menyetujui rancangan tersebut pada 10 April 1953 dengan mengadakan beberapa perubahan yang penting di dalamnya. Pada 19 Mei 1953 rancangan undang-undang tersebut disahkan Presiden dan diumumkan pada 2 Juni 1953 sebagai Undang-Undang No. 11/ 1953 tentang Pokok Bank Indonesia yang berlaku mulai 1 Juli 1953. Maka sejak saat itu berdirilah Bank Indonesia sebagai bank sentral negara Indonesia.
Kedudukan Bank Indonesia dalam Sistem Parlementer
UU No.11/1953 atau Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953 berlaku pada 1 Juli 1953 menetapkan Bank Indonesia (BI) menggantikan De Javasche Bank, sebagai bank sentral di Indonesia dan menjalankan fungsi komersial. Tugas pokok Bank Indonesia dalam periode ini adalah menjaga stabilitas moneter, mengedarkan uang dan mengembangkan sistem perbankan.
Sedangkan dalam hubungannya dengan pemerintah, pada periode ini Bank Indonesia mempunyai beberapa kewajiban berikut : 1) bertindak sebagai kuasa atau bankir pemerintah pada transaksi-transaksi keuangan; 2) memberikan bantuan teknis pada perjanjian-perjanjan dengan negara asing dan organisasi-organisasi luar negeri atau internasional atas nama pemerintah; 3) memberikan bantuan cuma-cuma untuk mengeluarkan dengan langsung surat-surat hutang atas beban pemerintah; 4) memberikan uang muka dalam rekening koran kepada pemerintah setiap kali Menteri Keuangan menganggap perlu.
Berdasarkan UU No. 11/1953 Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi dan Dewan Penasehat. Dewan Moneter bertindak sebagai “policy-making body” yang bertugas menetapkan kebijakan moneter yang tanggung jawabnya berada pada Pemerintah. Dewan Moneter adalah suatu badan koordinatif yang didalamnya terdapat unsur dari Pemerintah dan unsur dari Direksi Bank Indonesia. Selanjutnya Direksi Bank Indonesia diberi tugas menyelenggarakan kebijakan moneter umum yang ditetapkan Dewan Moneter.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan kebijakan moneter umum yang diselenggarakan oleh Direksi Bank Indonesia pada periode ini adalah berbagai pekerjaan yang ditugaskan kepada Bank Indonesia dengan tujuan mempertahankan stabilitas moneter, termasuk pengaturan keseimbangan nilai satuan uang, memajukan perkembangan yang sehat dari urusan kredit dan bank, melakukan pengawasan terhadap urusan kredit, pengurusan dan pengelolaan cadangan devisa negara, mempertahankan perbandingan antara utang-utang bank yang segera dapat ditagih, dengan jaminan berupa emas, devisa dan sebagainya. (sesuai dengan UU No. 11/1953 pasal 7, pasal 13 ayat 8 dan 9, pasal 16,19,21 dan 22)
Dalam UU No. 11/1953 batas organisasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia menjadi tidak tegas, karena pimpinan tertinggi dari bank sentral bukan lagi Direksi Bank Indonesia melainkan Dewan Moneter yang terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian dan Gubernur Bank Indonesia. Maka selain menjalankan tugas-tugas yang bersifat eksekutif tersebut, Direksi Bank Indonesia juga diberi kesempatan dalam penentuan kebijakan yaitu dengan duduknya Gubernur Bank Indonesia yang mempunyai hak suara dalam Dewan Moneter. Jika terjadi perbedaan pendapat atau perselisihan paham antara sesama anggota Dewan Moneter dalam penetapan kebijakan moneter, maka Gubernur Bank Indonesia berhak untuk meminta supaya Dewan Menteri memutuskan perbedaan pendapat atau perselisihan paham itu. Diluar mekanisme tersebut, Gubernur Bank Indonesia tetap diberi hak untuk mengumumkan pendapatnya yang berbeda dengan Dewan Menteri. Meskipun demikian mekanisme yang telah ditetapkan dalam periode ini tidak pernah digunakan oleh Bank Indonesia. Oleh karena itu secara umum dapat kita katakan bahwa dalam sistem pemerintahan parlementer ini Bank Indonesia sebagai bank sentral kedudukannya masih berada dalam kekuasaan Pemerintah.
Berkaitan dengan masalah hubungan pemerintah dan bank sentral, Sjafruddin Prawiranegara pada saat proses pembuatan undang-undang bank sentral telah menyampaikan beberapa wacana berikut; Bagaimanakah harus diatur perhubungan antara bank sirkulasi dan pemerintah? Apakah pimpinan bank sirkulasi itu harus didudukkan dibawah pemerintah (gesubordineerd)?, hingga bank sirkulasi itu hanya merupakan alat dan kasir pemerintah semata-mata?; ataukah bank sirkulasi itu sebaiknya diberi otonomi terhadap pemerintah yang demikian rupa isinya, hingga bank itu tidak hanya merupakan alat dan kasir pemerintah saja, melainkan menjadi pula finansirnya?, yang berarti, bahwa bank itu kadang-kadang dapat memberi nasehat kepada pemerintah, dan kalau perlu, juga dapat menolak permintaan kredit dari pihak pemerintah berdasarkan tanggung djawab bank mengenai pemeliharaan nilai mata uang.
Sjafruddin Prawiranegara, Presiden DJB terakhir yang kemudian menjadi Gubernur Bank Indonesia, mengemukakan pula bahwa bila dipilih bank sentral didudukkan di bawah pemerintah hal tersebut dinilainya berbahaya karena menurut sejarah, lambat laun pemerintah akan mencampuri urusan uang dengan berbagai alasan antara lain guna mencegah pemalsuan uang atau agar pemerintah dapat memperoleh keuntungan dari penguasaan terhadap uang itu. Dalam kondisi demikian, peranan uang tidak hanya sebagai alat penukar dan pengukur secara ekonomis, melainkan juga merupakan alat kekuasaan secara yuridis. Jika Pemerintah diberi kekuasaan mengemudikan bank sirkulasi maka besar bahayanya. Pemerintah dapat tergoda melakukan hal-hal di luar anggaran belanja, karena uangnya dapat disediakan (diciptakan). (Laporan Tahunan DJB 1951-1952, hal. 13)
Bila dipilih bank sentral diberikan otonomi (independensi) terhadap pemerintah, maka bank sentral selain berfungsi sebagai alat dan kasir pemerintah, dapat pula menjadi finansir (penyedia keuangan) bagi pemerintah dan bila perlu dapat menolak permintaan kredit dari pemerintah berdasarkan tanggung jawab bank sentral terhadap pemeliharaan nilai mata uang. Dengan pilihan tersebut, pemerintah hanya diberi hak untuk mengawasi bank sentral agar menjalankan tugas yang ditentukan undang-undang atau pimpinan bank sentral tidak menyimpang dari huruf dan makna undang-undang. Dengan demikian ada pembagian tugas yang logis.
Untuk maksud tersebut pemerintah dapat menempatkan seorang atau beberapa komisaris pada bank sentral untuk mewakili tugas pengawasan tersebut. Otonomi bank sentral bukan berarti bahwa kebijakannya dapat bertentangan dengan politik pemerintah. Kebijakan tersebut harus selaras dengan politik keuangan dan ekonomi pemerintah, ibaratnya seorang masinis kapal yang harus menjalankan mesinnya sesuai dengan kehendak kapten mengenai kecepatan dan arah kapal.
Sungguhpun demikian, bila ada perbedaan pendapat antara pemerintah dan bank sentral mengenai masalah-masalah moneter, maka tidak semestinyalah pimpinan bank sentral secara otomatis tunduk pada pemerintah. Perbedaan tersebut harus ditiadakan dengan kembali kepada tujuan negara dan untuk menjembatani penyelesaian perbedaan pendapat seperti itu diperlukan badan/dewan yang mengkoordinasikannya. (Laporan Tahunan DJB 1951-1952, hal. 13-14)
Kedudukan Bank Indonesia dalam Sistem Terpimpin
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah tonggak dimulainya pemerintahan sistem terpimpin yang dilandaskan atas USDEK, yaitu UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Pada periode ini pemerintah tidak menjadikan kebijakan ekonomi sebagai fokus perhatian utama, melainkan sebagai bagian dari strategi politik. Dalam Ikhtisar Tahunan tentang pelaksanaan ketetapan MPRS No. II tahun 1960 mengenai Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
“ Untuk memenuhi pasal 7 ayat 3 Ketetapan MPRS No. II tahun 1960 yaitu bahwa dalam rangka pembangunan tata perekonomian nasional yang kuat dan bebas diperlukan adanya suatu sistem moneter yang sehat dan stabil guna melancarkan produksi, distribusi dan perdagangan, serta peredaran uang yang berencana, maka pada dewasa ini sedang dilakukan pemikiran-pemikiran mengenai penyesuaian tata perbankan di Indonesia. Dalam mencari sendi-sendi baru guna menyusun tata perbankan yang sesuai dengan asas Ekonomi Terpimpin, pemikiran diarahkan kepada ketentuan-ketentuan pokok mengenai sifat, fungsi, sistem, struktur dan organisasi seluruh perbankan, dengan berporos pada diadakannya anggaran dalam rangka suatu anggaran moneter yang merupakan dasar bagi usaha dan kegiatan di bidang keuangan.Berhubung dengan anggaran moneter merupakan alat dan mengatur peredaran uang yang berencana, dalam mana anggaran kredit merupakan salah satu bagian, maka di bidang perbankan harus diusahakan sistem sentralisasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta penilaian dari pembiayaan rencana nasional, dengan mengindahkan spesialisasi dalam bidang usaha dari tiap-tiap jenis bank dan dekonsentrasi sewajarnya dalam soal manajemen dari masin-masing bank.”
Berdasarkan pemikiran dalam Ikhtisar tersebut, dalam sistem terpimpin ini struktur dan organisasi perbankan nasional disusun secara piramidal. Bank sentral diposisikan untuk memimpin, mengkoordinasi, mengawasi serta menilai semua bank dalam pelaksanaan anggaran kredit dan anggaran devisa, sebagai bagian yang integral daripada anggaran moneter pemerintah. Maka dari itu anggaran bank-bank tersebut harus mendapatkan pengesahan dari pemerintah dan harus sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam bidang keuangan dan pembangunan. Bank-bank negara membantu bank sentral dalam mengadakan kesatuan tindakan dalam kerjasama bank-bank yang berusaha dalam suatu sektor ekonomi tertentu. (ISEI, 2005, hal. 28)
Untuk mewujudkan Rangka Ekonomi Moneter tersebut maka pemerintah dalam sistem ekonomi terpimpin ini pada tahun 1962 melakukan Regrouping Kabinet Kerja II, yang antara lain mengangkat Gubernur Bank Indonesia sebagai Menteri Urusan Bank Sentral (MUBS) sebagai bagian dari Bidang Keuangan Kabinet Kerja III. Berkaitan dengan itu pemerintah menon-aktifkan Dewan Moneter dan wewenangnya dalam menentukan kebijakan moneter dialihkan kepada kabinet. Dengan pengangkatan tersebut secara otomatis, secara kelembagaan Bank Indonesia adalah bagian dari Kabinet atau dalam arti lain Bank Indonesia sebagai bank sentral adalah bagian dari aparat pemerintah.
Dalam periode ini tampak sekali terjadinya ambiguitas antara visi ekonomi dan visi ideologi politik negara. Maka dari itu tidak mengherankan jika berbagai konsepsi ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah seringkali amburadul dan tidak dapat diaplikasikan secara teknis. Contohnya pada tahun 1963 pemerintah kembali mengeluarkan konsep pembangunan ekonomi yang terkenal dengan nama Deklarasi Ekonomi atau disebut Dekon. Dan kemudian pada 1964 pemerintah membentuk Badan Ekonomi dan Keuangan (BEK) yang antara lain melaksanakan tugas Dewan Moneter. Dalam Badan ini MUBS/ Gubernur Bank Indonesia menjadi salah satu anggota dari Sidang Inti. (Buku Sejarah BI Periode II, TPSBI, 2005, hal. 18-19)
Selain itu dalam pengawasan bank, pemerintah menambah satu menteri yang berbagi wewenang dengan MUBS. Pada tahun 1963 berdasarkan Keputusan Presiden No.232 Tahun 1963 ditetapkan adanya tambahan seorang Menteri di bidang keuangan, yaitu Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta (MUPBMS). Tugas utama menteri tersebut adalah dalam rangka realisasi ekonomi terpimpin yaitu pengalihan gerak dan kegiatan modal swasta dari bidang-bidang yang sukar diawasi ke arah bidang pembangunan dalam arti yang seluas-luasnya. Dalam hubungan ini, bank-bank swasta harus dibimbing agar melakukan kegiatannya sedemikian rupa sehingga dapat menjadi alat pemupuk dan penyalur dana-dana swasta ke bidang-bidang pembangunan.
Penunjukan MUPBMS tersebut kiranya tidak lepas dari penjabaran Rencana Pembangunan Semesta Berencana di bidang keuangan yang menyatakan bahwa sumber pembiayaan bagi pembangunan harus diusahakan atas dasar kekuatan dalam negeri sendiri dengan mengerahkan modal dan potensi (funds and forces) yang progresif, dengan sejauh mungkin tidak menambah beban rakyat. Dalam rangka penertiban bank swasta, menteri tersebut berkantor dan menggunakan aparat Bank Indonesia. Penertiban bank yang dilakukan oleh MUPBMS bersifat penertiban institusional dan tidak menyangkut segi-segi ekonomi moneter yang ada hubungannya dengan bank. Dalam periode ini, Bank Indonesia menjadi aparat dari dua menteri yaitu MUBS dan MUPBMS. (Buku Sejarah BI Periode II, TPSBI, 2005, hal. 17)
Puncak kebijakan sistem ekonomi terpimpin dalam bidang perbankan adalah integrasi bank-bank pemerintah, termasuk Bank Indonesia dalam suatu bank tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia Unit I. Pembentukan Bank Tunggal ini dilakukan pada tahun 1965 yang prosesnya didahului dengan pengintegrasian empat bank milik negara yaitu BKTN, BUNEG, BTN dan BNI ke dalam Bank Indonesia. Setelah itu bekas empat bank pemerintah yang telah diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia bersama Bank Indonesia sendiri dilebur ke dalam Bank Tunggal yang diberi nama Bank Negara Indonesia.
Mengenai BDN, pengintegrasian dan peleburannya menjadi Bank Tunggal dinyatakan akan ditentukan lebih lanjut, namun dalam kenyataannya hingga Bank Tunggal dibubarkan tidak pernah terlaksana. Uraian lebih lengkap mengenai pembentukan Bank Tunggal dapat dibaca pada Bab D butir 6. Berdasarkan Keputusan Menteri Urusan Bank Sentral No.65/MUBS/65 tanggal 30 Juli 1965, pengintegrasian BKTN, BUNEG, BTN dan BNI dan ke dalam Bank Indonesia dan peleburan Bank Indonesia beserta bank-bank milik negara di atas ke dalam Bank Tunggal ditetapkan berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1965.
Dengan pengintegrasian dan peleburan ke dalam Bank Tunggal, secara yuridis bank-bank yang bersangkutan telah menjadi satu badan hukum. Bank Tunggal terbagi atas unit-unit yang didasarkan pada asal bank milik negara masing-masing. Jenis usaha masing-masing unit tetap sama seperti sebelum terjadi integrasi. Meskipun secara yuridis setelah adanya integrasi hanya ada tiga bank pemerintah, yaitu Bank Negara Indonesia, Bank Dagang Negara dan Bank Pembangunan Indonesia, akan tetapi secara operasional, di samping BNI Unit I sebagai bank sentral, masih tetap terdapat enam bank pemerintah, yaitu :
a. Bank Negara Indonesia Unit II (dahulu BKTN);
b. Bank Negara Indonesia Unit III (dahulu BNI);
c. Bank Negara Indonesia Unit IV (dahulu BUNEG);
d. Bank Negara Indonesia Unit V (dahulu BTN);
e. Bank Dagang Negara (BDN);
f. Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo).
Dalam format bank tunggal ini MUBS sebagai pimpinan Bank Tunggal, antara lain mendiversifikasikan bank-bank dengan tugas-tugas tertentu dan menjadikan BI /BNI Unit I sebagai lembaga funding bagi proyek-proyek pemerintah diluar APBN. Kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam periode ini seolah-olah lenyap, tidak jelas fungsi dan kedudukannya sebagai bank sentral karena dilebur dalam satu badan hukum bank tunggal bersama-sama bank umum yang lainnya. Batasan hubungan antara the rule (Bank Indonesia) dan the ruled (bank-bank umum) menjadi semakin tidak jelas.
Apa akibat yang ditimbulkan dari integrasi tersebut? Tentunya integrasi bank sentral bersama bank-bank bukan saja telah melumpuhkan kinerja dan kemampuan Bank Indonesia dalam menjalankan tugas pokoknya, tapi Bank Indonesia juga kehilangan hal-hal yang paling prinsip dan secara teknikal elementer bagi kemungkinan suatu bank sentral bisa bekerja dengan lazim. Segera setelah pembentukan bank tunggal ini, terjadi kesimpang-siuran dalam dunia perbankan. Secara teknis manejerial konsep bank tunggal ini tidak dapat dijalankan.

Comments

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante