PKI, wa maa adroka maa PKI?(PKI, dan apa yang kamu ketahui tentang PKI?)

….andaikata saya sebagai seorang Komunis atau simpatisan, maka yang pertama – tama jadi pertanyaan dan yang tidak masuk di akal, apa perlunya dan apa keuntungannya PKI itu melibatkan diri dalam peristiwa G 30 S itu, padahal PKI itu termasuk partai yang besar ? ….”

Demikian bunyi surat terbuka Ratna Sari Dewi kepada Soeharto, dikutip dari Peter Dale Scott, CIA dan Penggulingan Soekarno, Lembaga Analisis Informasi ‘LAI’, Yogyakarta, 1999.
Berangkat dari kutipan tersebut, tulisan singkat ini akan saya hantarkan, dengan mengurai lahirnya PKI dari tahun 1920 hingga berakhirnya pada tahun 1965. Uraian singkat saya bukanlah usaha untuk mempropagandakan PKI, tapi bukankah demi keadilan sejarah umat manusia, PKI atau komunis yang telah terlanjur menjadi vampir dalam jutaan benak anak bangsa, harus mendapatkan hak-nya untuk diketahui dengan pasti, dengan jelas, sesuai dengan data, bukan gosip atau syak wasangka dan propaganda yang ditanamkan oleh alat kekuasaan, atau siatu apa yang membenci sejarah. Pun demikian segala informasi yang saya paparkan adalah sesuatu yang harus terus dikaji, dikomparasikan dengan data – data yang lain, yang kini semangkin banyak bermunculan.
Berdirinya PKI tidak lepas dari pergulatan orang-orang komunis Indonesia dalam Sarekat Islam (SI) cabang Semarang periode 1917 – 1920. SI ini kemudian dicap sebagai SI Merah yang lantas lewat berbagai pergulatannya melawan Kolonial Belanda menjelma menjadi Partai Komunis di Hindia atau PKI pada tanggal 23 Mei 1920. PKI ini diketuai oleh Semaoen, Darsono, Alimin dkk. (Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, 1999) PKI periode pertama ini adalah wujud pengindonesiaan dari gerakan marxisme yang pertama kali di Indonesia. Pada akirnya kelompok peride pertama ini terpecah dalam dua kubu, yaitu kubu Tan Malaka yang anti pemberontakan ( Trotskys) dan kubu Sardjono (Stalinis) atau kelompok Prambanan yang melakukan pemberontakan pada tahun 1926 terhadap kolonial Belanda. ( Soe Hok Gie, Orang – Orang di Persimpangan Kiri Jalan, 1997). Konyolnya dalam banyak buku cetak sejarah, murid-murid sekolah telah memahami bahwa pemberontakan ini adalah pemberontakan jahat orangt-orang PKI, meskipun mereka melawan Belanda! Wal hasil tokoh bangsa sekaliber Tan Malaka, yang disegani Soekarno, Hatta, Sjahrir juga para bapak bangsa lainnya, telah dikenal sebagai penjahat komunis oleh murid-murid sekoah!
Selanjutnya pada masa pasca kemerdekaan, orang-orang komunis sekali lagi muncul malalui FDR (Front Demokrasi Rakyat) pada tahun 1948 lewat pemberontakannya di Madiun (Madiun Affair). Pemberontakan ini adalah gerakan pertama kali orang – orang komunis dalam koridor NKRI, meskipun banyak versi yang juga mengatakan bahwa Madiun Affair adalah pertikaian internal di kalangan tentara; Madiun affair adalah provokasi Hatta, agar mereka memberontak, lalu pemerintah mempunyai alasan menumpasnya, lalu blok Sekutu, yaitu Amerika, akan melihat bahwa “oh, Indonesia telah bebas lho dari orang-orang komunis”, politik demikian akan menguntungkan diplomasi luar negeri Indonesia yang pada saat itu sedang sangat berharap kepada dukungan Sekutu dalam menghadapi Belanda. Terlepas dari sebab musabab pemberontakan 1948 tersebut ada beberapa kesimpulan yang dpt kita cermati dari peristiwa Madiun Affair ini :
1. Madiun Affair adalah awal mula persinggungan Angkatan Darat dengan PKI
2. Adalah momentum awal munculnya konflik abangan dan santri, dimana abangan diwakili oleh PKI dan santri diwakili oleh kelompok Islam seperti Masyumi dan NU.
3. Madiun Affair tidak terlepas dari kondisi awal mula perang dingin di dunia.
Belajar dari peristiwa Madiun, lahirlah kelompok muda PKI yang pada tahun 1950 kembali membangun organisasi PKI dengan menggunakan strategi baru. Kelompok muda ini dipelopori oleh D.N. Aidit, Njoto, dan Mh Lukman, three musketers baru yang banyak belajar dan menganalisa perubahan dalam masyarakat Indonesia pasca Madiun Affair. Aidit menyadari bahwa teori Konflik antar Kelas ala Marxisme tidak dapat diterapkan di Indonesia secara hitam putih. Perpecahan dalam masyarakat Indonesia bukanlah perpecahan antar kelas semata tapi lebih merupakan perpecahan antar santri dan abangan ( Rex Mortimer, 1982).
Pada tahun 1950-an PKI dibawah Aidit dkk. menempuh langkah sebagai berikut :
1. menjalin kerjasama dengan kelompok nasionalis yang anti terhadap Islam yaitu PNI dan Soekarno.
2. Mengembangkan Sarana Organisasi untuk membuka peluang bagi rekrutmen anggota partai secara meluas.
3. Menyandarkan perjuangan dengan simbol Nasionalisme dan Kesatuan Nasional
Langkah tersebut ditempuh oleh PKI berdasarkan kesadaran bahwa komunisme di Indonesia berbeda dengan gerakan komunisme di Cina, Vietnam dan Rusia yang menyatu bersama gerakan kemerdekaan atau perubahan. Ditambah lagi dengan citra komunis sebagai pengkhianat dalam Madiun Affair. Maka dari itu, simbol Nasionalisme dan revolusi yang belum selesai ala Soekarno diredusir oleh PKI ke dalam wacana pergerakannya. Hal ini jelas akan menampakkan PKI sebagai partai komunis yang tidak menjalani pakem komunisme itu sendiri.
Keberhasilan PKI menurut Ruth Mc Vey ( 1996) dimulai pada masa kepemimpinan Aidit karena beberapa langkah yang ditempuh sebagai berikut :
1. menjalankan organisasi PKI sebagai organisasi yang modern.
2. Menempuh sistem pengkaderan yang sistematis (sel) dan berdasarkan semangat egalitarian dan ilmiah antar kader partai.
3. Menjadikan organisasi sebagai basis utama bagi pergerakan. Bahwa kemajuan PKI tidak bersandar pada individu tokoh PKI tapi karena berkembangnya organisasi.
4. Melakukan Ekspansi dan Kooptasi terhadap geakan masyarakat (block with in)
5. Dalam penentuan pimpinan partai yang diutamakan dalam PKI adalah bersihnya perangai dan tindak tanduk dari individu calon pemimpin dalam PKI.
Dengan lima langkah tersebut PKI berhasil menjadi empat partai besar dalam Pemilu 1955. Kemudian dua tahun kemudian dalam pemilihan umum daerah PKI berhasil muncul menjadi partai terbesar kedua setelah PNI. Karena itu, pemilu nasional yang semestinya dilaksanakan pada tahun 1960, oleh kabinet Juanda dinyatakan diundur sampai batas yang belum ditentukan. Hal tersebut menunjukkan betapa kuatnya pengaruh PKI dalam tahun 1960-an.
PKI menjadi partai yang populer di Indonesia. ( Daniel S. Lev, 1966) Partai itu digandrungi oleh rakyat jelata, semakin menggila dan terus menggila. Terlebih lagi saat itu dimana trend dari para elite partai adalah korupsi dan hidup mewah, maka tokoh-tokoh PKI muncul sebagai sosok yang merakyat dan sederhana. Menurut sebuah literatur yang baru saja diterbitkan, tauladan kesederhanaan itu dicontohkan langsung oleh Aidit. Contohnya saja Aidit ini emoh untuk poligami, sebagai salah satu indikasi kesederhanaan, kelurusan hidup pada saat itu. Bahkan konon hubungannya dengan Njoto mulai renggang, dan mulai mencopot satu persatu wewenangnya dalam partai, saat mengetahui bahwa kawannya itu hendak kawin lagi dengan seorang perempuan Yugoslavia.
Pada tahun 1964 PKI kemudian mengklaim bahwa partainya telah berhasil menghimpun 3 juta anggota, Barisan Tani (BTI) beranggotakan 1,5 juta, Pemuda Rakyat 2 juta dan Gerwani 1,75 juta atau lebih kurang 25 juta massa telah tergabung dalam organisasi underbouw nya. Perkembangan ini kemudian menuai kritik dari Nikita Khruschev dalam kunjungannya ke Indonesia, Februari 1960. Kruschev mengatakan bahwa “partai komunis bukanlah toko grosir, banyaknya barang yang terdapat dalam toko tidak menentukan kesuksesan toko tersebut“ (Brian May, 1978).
Secara garis besar selama periode 1951 – 1965 bahwa PKI menerapkan strategi yang radikal dan agresif, sehingga dapat menarik minat banyak pengikut dalam waktu singkat. Untuk strategi ini PKI mempunyai langkah yang radikal, mahir bermain dengan issue masyarakat akar rumput, khususnya petani dan rakyat yang sengsara. PKI dengan piawai dapat mengolah realitas apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Ajaran marxisme dan komunisme telah berhasil mereka ejawantahkan dengan cara-cara lokal. Maka nggak heran kalo muncul konsep tiga penyebab kesengsaraan rakyat pada saat itu (tengah 1960-an) :
1. para imperialis, terutama AS
2. di desa – desa ada tujuh setan desa, yaitu : Tuan Tanah yang tidak mau melaksanakan UUPA dan UUBH (1959 – 1960), Pejabat membela kepentingan Tuan tanah, Tengkulak, Kabir atau Kapitalis Birokrat, bandit desa antek tuan tanah, rentenir dan penghisap darah rakyat yang menjebak petani menjadi penghutang seumur hidup
3. di kota ada tiga setan kota sipil dan militer, yaitu : kaum kabir, para penggelap dan pejabat korup.
Nah, tiga konsep ajaran itu laku keras di kalangan petani, rakyat miskin ditambah lagi dengan didukung kampanye besar – besaran oleh PKI. Namun harus diakui bahwa massa yang diperoleh dari agitasi dan provokasi semacam itu hanya bersifat dangkal, atau ada yang militan tapi militan ngawur. Maka, tak heran terjadi dalam kampanye aksi sepihak PKI tahun 1963 dengan sendirinya banyak aksi – aksi ngawur dari anggota BTI atau PKI. Pada titik ini PKI tidak menyadari bahwa pelaksanaan land reform yang maksa seperti itu semakin membuka konflik abangan – santri yang semakin menganga. Dan PKI menuai hasilnya pada peristiwa pembataian massanya pasca perisriwa G 30 S nanti. PKI merasa di atas angin, dan usulan pembentukan angkatan kelima, yaitu buruh tani yang dipersenjatai guna perjuangan revolusi melawan imperialis barat, mulai berkumandang. Angkatan Darat semakin resah persaingan dua wayang Sukarno mulai semakin panas. Dan pada akhirnya kisah wayang itu diakhiri dengan matinya sang dalang!

Berdasarkan pertimbangan kekuatan PKI yang semacam itu, kedudukan PKI yang di atas angin itu, Crouch meyakini bahwa beberapa tokoh PKI seperti Aidit tidak mungkin tidak terlibat dalam peristiwa 30 September 1965. Issu sakitnya Soekarno cukup mendominasi wacana persaingan antar kekuatan Tentara dan Komunis saat itu. Meskipun demikian Crouch tidak meyakini bahwa Aidit dkk terlibat secara keseluruhan dalam peristiwa tersebut. Dan semua kalangan sepakat bahwa keterlibatan AD dalam kapasitas apapun mempunyai andil yang cukup besar dalam peristiwa 30 September 1965.
Untuk sementara tulisan ini akan saya gantung dengan kesimpulan Hermawan Sulistyo yang masyhur tentang lima skenario yang mungkin terjadi dalam peristiwa 30 September 1965. Kelima Sekenario tersebut adalah : PKI sebagai Dalang, Masalah Internal AD, Soekarno yang Bertanggung Jawab, Soeharto dibalik Gestapu, dan Jaringan Intelijen – CIA adalah perekayasa G 30 S. (Hermawan Sulistyo, Palu Arit Di Ladang Tebu, 2000)
Dari kelima Teori tersebut kita hanya bisa mereka – reka, tidak akan pernah ada gambaran yang sempurna untuk Peristiwa 30 September 1965 yang telah lampau. Sejauh mana kita akan merekontruski peristiwa, maka sejauh itu pula peristiwa tersebut akan tampak semakin buram bagi kita. Sejarah bagaikan puzzle yang tak pernah tersusun secara rapih.Tapi sejarah melahirkan kearifan bukan benar atau salah.

Tapi itu normatifnya, yang terpenting dari itu semua, kalau kita telaah kembali berbagai literatur yang menyajikan teori – teori, maka ada sesuatu yang berdesir, membisikkan kira-kira siapa atau seberapa besar andil masing – masing pihak dalam peristiwa G 30 S tersebut. Maka, jangan mudah – mudah menyimpulkan PKI itu baik nggak salah sama sekali. Tapi juga harus ingat bahwa tentara tidak dapat begitu saja cuci tangan dan selalu menjadikan jenderal – jenderal yang terbunuh sebagai prisai, padahal yang bunuh-membunuh,baik di kubu PKI maupun kubu Angkatan Darat, ya tentara – tentara juga! Demikian tulisan ini, semoga akan segera menyusul pembahasan selanjutnya.

Comments

Ira Mustikawati said…
waspadai komunis gaya baru dari gontor!!

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante