Bank Tunggal


Pada masa lalu Bank Indonesia dan dunia perbankan nasional pernah mengalami suatu perubahan revolusioner, yaitu sistem perbankan tunggal. Dalam sistem itu semua bank, baik bank sentral maupun bank komersial dilebur menjadi satu wadah dalam Bank Tunggal. Kebijakan seperti itu tentu saja tidak lazim dilakukan dalam dunia perbankan di mana pun juga, tapi perbankan nasional justru pernah mengalaminya. Selain itu salah satu peristiwa unik yang terjadi dalam periode ini adalah lenyapnya “nama” Bank Indonesia dari dunia perbankan nasional untuk beberapa saat, karena diubah menjadi Bank Negara Indonesia (BNI) Unit I. Barangkali peristiwa seperti itu hanya terjadi sekali saja dan tak pernah terulang lagi di masa yang akan datang.........

Bank Indonesia dan Ekonomi Terpimpin
Agar dapat sesuai dan searah dengan Ekonomi Terpimpin, diperlukan adanya perubahan-perubahan dan penyesuaian institusional yang kerap kali menyebabkan departemen pemerintah atau lembaga-lembaga lainnya seperti Bank Indonesia mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri. Kesulitan yang sama juga dialami oleh perusahaan-perusahaan negara maupun swasta yang bergerak dalam berbagai sektor, termasuk sektor perbankan.
Di antara sekian banyak kebijakan dalam Sistem Terpimpin yang cukup berpengaruh bagi perbankan, khususnya Bank Indonesia sebagai bank sentral, adalah pembentukan Bank Tunggal. Sebelum benar-benar merealisasikan Bank Tunggal, pemerintah telah terlebih dahulu memulai proses pembentukan Bank Tunggal secara bertahap sejak dikeluarkannya dekrit.
Mulanya pada 29 Desember 1960 pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1960 tentang tugas dan kebijaksanaan tata kerja Bank Indonesia. Menurut Penpres tersebut, dengan pertimbangan adanya perubahan ketatanegaraan Indonesia sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Bank Indonesia harus menyelaraskan tugas dan kebijaksanaan tata kerjanya dengan Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berencana yang telah ditetapkan sebagai GBHN.
Penyelarasan itu juga sesuai dengan ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 yang antara lain menghendaki supaya diadakan penyesuaian tugas-tugas seluruh aparatur negara dalam rangka pelaksanaan Manipol dan Pembangunan Semesta Berencana. Berkaitan dengan itu pula, pada saat itu juga terdapat usaha untuk meninjau kembali Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953 dan menyusun undang-undang pokok perbankan baru yang telah ditugaskan kepada suatu panitia khusus tetapi gagal. Oleh karena itu, Penpres No. 6 Tahun 1960 juga memberi wewenang kepada Menteri Keuangan dengan persetujuan Menteri Pertama, mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam rangka penyesuaian tata kerja Bank Indonesia dengan GBHN, meskipun harus menyimpang dari Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953.
Kebijakan pertama yang dilakukan oleh Menteri Keuangan dalam rangka penyesuaian itu adalah perubahan cara penyusunan neraca Bank Indonesia. Selama masa penyesuaian itu, sejak 1 Januari 1961 neraca singkat Bank Indonesia tidak diumumkan kepada publik. Akibatnya rakyat luas tidak dapat lagi mengetahui kondisi neraca Bank Indonesia sehingga mendorong usaha-usaha spekulasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Selanjutnya pada saat Soekarno melaksanakan regrouping kabinet pada 1962, Gubernur Bank Indonesia yang saat itu dijabat oleh Mr. Soemarno, diangkat kedudukannya sebagai Menteri Urusan Bank Sentral (MUBS). Sejak saat itu Gubernur Bank Indonesia merangkap jabatan sebagai seorang menteri kabinet dan kedudukan Bank Indonesia juga berubah menjadi bagian dari aparat pemerintah, yaitu sebagai pelaksana dalam bidang keuangan. Masuknya Bank Indonesia dalam kabinet menyebabkan posisinya berada dalam kendali Presiden sehingga kedudukannya menjadi tidak independen.
Pada 1963 regrouping terhadap Kabinet Kerja kembali dilakukan untuk kedua kalinya. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 232 tanggal 13 Nopember 1963 dilakukan Regrouping untuk menjamin pelaksanaan Program Kabinet yang ditekankan pada perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme. Regrouping menentukan Bidang Keuangan Kabinet diubah menjadi Kompartemen Keuangan dan ditambahkan seorang menteri yaitu Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta (MUPBMS). Sebagaimana MUBS, menteri baru ini juga menggunakan Bank Indonesia sebagai aparaturnya sekaligus sebagai penghubung antara menteri dan seluruh bank-bank swasta. Dengan demikian dalam periode Demokrasi Terpimpin ini, Bank Indonesia digunakan oleh dua kementerian sekaligus yaitu Kementerian Urusan Bank Sentral dan Kementerian Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta.
Bank Berdjoang Menuju Bank Tunggal
Pada dasawarsa 1960-an kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek-proyek politik, termasuk politik luar negeri meningkat pesat. Pada 1963 timbul sengketa regional di Asia Tenggara, dengan dibentuknya Negara Federasi Malaysia yang kemudian berlanjut dengan politik konfrontasi. Di Indonesia sendiri pada 1963 diadakan persiapan-persiapan Pekan Olah Raga Games of the New Emerging Forces (Ganefo), setelah pada 1962 diadakan Asian Games yang menimbulkan defisit. Program Tiga Komando Rakyat (Trikora) untuk merebut kembali Irian Barat sendiri pada 1962 menelan biaya 24% dari seluruh Anggaran Belanja Nasional.
Perkembangan itu kemudian menimbulkan gagasan pada Gubernur Bank Indonesia/MUBS, Jusuf Muda Dalam, mengembangkan konsep Bank Indonesia dan perbankan nasional sebagai Bank Berjuang. Berkaitan dengan itu suatu musyawarah kerja yang disebut dengan “Musyawarah Bank Berjuang Sabang-Merauke” kemudian diadakan di Jakarta pada 1-5 Juli 1964, bertepatan dengan peringatan Hari Bank. Musyawarah yang dihadiri oleh seluruh pemimpin cabang bank pemerintah seluruh Indonesia, termasuk Irian Barat, serta wakil-wakil perusahaan sejenis dan perbankan nasional swasta itu, bertujuan untuk menyelaraskan antara tatanan ideal perbankan dengan tujuan dan cita-cita revolusi yang telah digariskan dalam Manipol dan Dekon.
Dengan semangat gotong-royong antar sesama warga perbankan, akhirnya musyawarah merumuskan suatu kesimpulan yang terangkum dalam Doktin Bank Berjuang. Doktrin tersebut pada intinya terdiri dari lima butir doktrin yang disebut Panca Sakti Bank Berjuang, yaitu :
1. Bank sebagai alat revolusi wajib melaksanakan Deklarasi Ekonomi.
2. Mengadakan kesatuan jiwa di kalangan perbankan.
3. Menyelenggarakan politik kepegawaian dan pendidikan demokratis yang bermutu tinggi dan yang ber-Manipol-USDEK
4. Bank menumbuhkan suasana kekeluargaan di dalam perusahaan bank seperti yang dimaksudkan dalam pasal 33 UUD 1945
5. Mengadakan integrasi antara perjuangan perbankan dengan perjuangan masyarakat.
Secara lebih konkrit kelima butir doktrin tersebut diterjemahkan dalam Program Perjuangan Bank Berjuang, yaitu :
1. Bank Berjuang berorientasi kepada Pembangunan Nasional Semesta bukan hanya berdasarkan pertimbangan untung-rugi dengan motif memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
2. Bank Berjuang menuju kepada pemberian kredit berdasarkan atas rencana produksi yang diajukan.
3. Bank Berjuang bersikap dinamis-aktif terjun ke tengah-tengah kehidupan ekonomi bangsa, terutama jika terjadi kemacetan-kemacetan.
Untuk melaksanakan konsepsi Bank Berjuang itu pemerintah menganggap perlu untuk menyesuiakan tugas masing-masing bank pemerintah dengan kondisi ekonomi Indonesia guna membantu usaha pemerintah dalam menanggulangi dan memperbaiki perekonomian negara secara efisien.
Berhubung dengan itu, maka di antara bank-bank pemerintah dilakukan pembagian tugas dalam melayani sektor-sektor ekonomi tertentu, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan perusahaan-perusahaan yang bernaung di bawah berbagai departemen. Pembagian tugas itu merupakan langkah pertama untuk menuju ke arah spesialisasi dengan menetapkan departemen yang harus dilayani oleh bank-bank pemerintah. Bank Indonesia (BI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN), Bank Dagang Negara (BDN), dan Bank Umum Negara (BUNEG) dilibatkan dalam penanganan program departemen pemerintah. Bank-bank tersebut menjadi semacam bank pembangunan yang bertugas membiayai proyek-proyek pembangunan yang dijalankan oleh departemen pemerintah.
Proses Pembentukan Bank Tunggal
Rencana peleburan bank-bank pemerintah sebenarnya telah muncul sebelum konsepsi Bank Berjuang dicetuskan dalam Musyawarah Bank Berjuang Sabang Merauke. Berdasarkan dokumen Risalah Rapat Direksi Bank Indonesia tanggal 22 April 1964 pimpinan rapat antara lain memberitahukan rencana sentralisasi bank-bank pemerintah dengan catatan sebagai berikut :
“Pimpinan memberitahukan, bahwa ada kemungkinan peleburan bank-bank pemerintah ke dalam Bank Indonesia. Perihal peleburan ini, Direksi-Direksi Bank Pemerintah telah menyatakan kesediaannya kepada Y.M. Menteri Urusan Bank Sentral.”

Catatan risalah tersebut juga sesuai dengan arsip surat pernyataan pimpinan bank-bank pemerintah, termasuk Bank Indonesia, kepada MUBS pada 20 April 1964 yang menyatakan hasil musyawarah Bank Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Umum Negara, Bank Dagang Negara, dan Bank Koperasi Tani dan Nelayan bersedia bergabung menjadi satu bank.
Rencana peleburan bank-bank pemerintah mulai semakin jelas, ketika pada 11 April 1965Presiden Soekarno di hadapan Sidang Umum MPRS III menyatakan bahwa struktur perbankan Indonesia secara bertahap akan diarahkan kepada sistem Bank Tunggal. Dengan sistem tersebut diharapkan kebijakan pemerintah di bidang moneter dan perbankan dapat dijalankan secara efektif, efisien dan terpimpin demi suksesnya pelaksanaan program perjuangan pemerintah.
Sebulan setelah pidato presiden itu, Bank Indonesia mengadakan Konferensi Kerja Berdikari yang diselenggarakan di Jakarta, 4 – 8 Mei 1965, yang dihadiri oleh segenap pemimpin cabang Bank Indonesia seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke, serta kepala-kepala perwakilan di luar negeri. Konferensi tersebut membahas lima pokok persoalan :
1. Pelaksanaan Program Ekonomi Perjuangan berdasarkan Dekon, Tahun Vivere Pericoloso (Tavip) dan tingkat perkembangan Revolusi Indonesia.
2. Pengintegrasian perjuangan bank dengan perjuangan masyarakat.
3. Penjelmaan politik pendidikan dan kepegawaian yang bersifat demokratis, berjiwa Manipol dan bermutu tinggi.
4. Meletakkan dasar-dasar lebih kokoh untuk kesatuan antara pimpinan dan organisasi pekerja.
5. Meletakkan dasar-dasar yang lebih kokoh untuk kesatuan jiwa antara Bank-Bank Negara.
Dalam konferensi kerja yang kedua ini beberapa konsep mengenai Bank Berjuang --yang telah dicetuskan dalam Musyawarah Bank Berjuang Sabang Merauke yang digelar setahun sebelumnya -- kembali dipertegas. Sesuai dengan perkembangan suhu politik luar negeri Indonesia yang semakin mamanas --terutama Konfrontasi terhadap Malaysia -- dihasilkan satu resolusi yang berisi dukungan politik konfrontasi Soekarno terhadap Imperialisme baru. Resolusi yang paling utama adalah resolusi tentang pelaksanaan Dekon/Berdikari, pengintegrasian Bank Berjuang dengan perjuangan masyarakat, politik pendidikan dan kepegawaian, serta dasar-dasar kesatuan antara pimpinan dan organisasi pekerja.
Tahap pertama dari pelaksanaan penyatuan bank-bank pemerintah ke dalam suatu bank tunggal adalah pengintegrasian bank-bank pemerintah ke dalam bank sentral (Bank Indonesia). Pengintegrasian tersebut ditetapkan melalui Penetapan Presiden No. 8 Tahun 1965 tanggal 4 Juni 1965. Pada tanggal yang sama pemerintah menetapkan pengintegrasian Bank Koperasi Tani dan Nelayan ke dalam Bank Indonesia. Menyusul berikutnya pengintegrasian Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, dan Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia pada 21 Juni 1965.
Dalam konferensi persnya di Bank Indonesia pada Senin pagi, 26 Juli 1965, MUBS Jusuf Muda Dalam menyatakan bahwa struktur perbankan tunggal dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan Program Ekonomi Perjuangan, sebagaimana digariskan oleh Presiden dalam amanat politiknya di depan Sidang Umum MPRS 11 April 1965. Menurut MUBS adanya struktur tunggal dapat lebih memudahkan pelaksanaan pengawasan dan penggunaan dana-dana secara efisien dan efektif. Selain itu struktur tunggal juga dapat menyebarkan para tenaga ahli perbankan yang akan memperluas jaringan perbankan guna pengaturan sistem pembayaran dan lalu lintas uang yang lebih terpimpin dan terorganisasikan.
Untuk mendukung kebijakan integrasi bank-bank tersebut, secara khusus MUBS membentuk Staf MUBS urusan Persiapan Pengintegrasian Bank-Bank Umum Negara dan Bank Tabungan Negara ke dalam bank sentral (disebut dengan Staf Urusan Integrasi). Staf ini bertugas membantu MUBS/Gubernur Bank Indonesia dalam memikirkan dan merumuskan ketentuan-ketentuan dalam taraf persiapan maupun pelaksanaan integrasi bank-bank pemerintah ke dalam bank sentral secara fungsional, organisatoris, personil, dan administratif. Selain itu pada saat yang sama juga dibentuk Staf Pelaksana Integrasi yang bertugas melaksanakan ketentuan yang akan ditetapkan oleh Staf Urusan Integrasi.
Pengintegrasian bank-bank pada tahap pertama itu tidak berjalan secara efektif sesuai dengan Penpres yang menetapkannya. Secara konkrit hanya Bank Koperasi Tani dan Nelayan saja yang benar-benar terintegrasi dengan Bank Indonesia, sementara ketiga bank pemerintah lainnya tampaknya belum pernah secara konkrit berintegrasi ke dalam Bank Indonesia. Dalam hal pengintegrasian Bank Koperasi Tani dan Nelayan, secara khusus MUBS membentuk Panitia Integrasi Bank Koperasi Tani dan Nelayan yang terdiri dari beberapa pimpinan Bank Indonesia dan sejumlah tokoh dari organisasi petani di luar Bank Indonesia. Hal yang sama tidak dilakukan terhadap bank-bank pemerintah lainnya. Selain itu mulai 1 Juli 1965 nama Bank Koperasi Tani dan Nelayan diubah menjadi Bank Indonesia Urusan Koperasi Tani, dan Nelayan.
Tahap kedua dari penyatuan bank-bank pemerintah adalah dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 17 Tahun 1965 tanggal 27 Juli 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal milik negara. Bank tunggal tersebut bernama Bank Negara Indonesia (BNI). Di dalam wadah Bank Negara Indonesia (bank tunggal) inilah akan dilebur Bank Indonesia, bekas Bank Koperasi Tani dan Nelayan, Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia, dan Bank Dagang Negara. Dalam Penpres tersebut dinyatakan bahwa BNI akan berfungsi sebagai bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum, serta bertugas secara aktif sebagai alat revolusi.
Dalam pembentukan bank tunggal ini, Bank Dagang Negara dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) tidak ikut bergabung dalam Bank Tunggal, meskipun dalam Penpres No.17 Tahun 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal milik Negara, Bank Dagang Negara termasuk bank pemerintah yang ikut dilebur dalam Bank Tunggal. Absennya BDN dari bank tunggal disebabkan penolakan Direktur Utama Bank Dagang Negara, JD. Massie yang saat itu menjabat sebagai Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta. Ia menyatakan ketidak-setujuannya atas pembentukan bank tunggal kepada Presiden Soekarno dengan alasan bahwa konsep bank tunggal yang menyatukan bank sentral dengan bank-bank umum lainnya akan membingungkan para koresponden di luar negeri. Pendapat Massie tersebut cukup beralasan, sehingga Presiden Soekarno dapat menerimanya meski telah terlanjur menyetujui Bank Tunggal yang dimotori oleh Jusuf Muda Dalam sebagai Menteri Urusan Bank Sentral.
Sedangkan Bapindo, karena bank tersebut tetap berfungsi sebagai bank pembangunan bukan bank umum maka tidak dilebur bersama bank pemerintah lainnya dalam bank tunggal. Selain itu, Bapindo berada dibawah wewenang Kompartemen Pembangunan, sehingga tidak termasuk dalam wewenang Menteri Urusan Bank Sentral yang berada dalam Kompartemen Keuangan.
Keberadaan Bank Dagang Negara di luar struktur Bank Tunggal itu kemudian dikukuhkan dalam Penpres No. 21 Tahun 1965 tentang Berlangsungnya Bank Dagang Negara. Dalam penpres yang dikeluarkan pada 24 September 1965 itu disebutkan bahwa Bank Dagang Negara tetap beroperasi berdasarkan undang-undang pendiriannya. Struktur, organisasi dan kegiatan Bank Dagang Negara tetap seperti sedia kala, tidak berubah. Dalam penpres disebutkan bahwa hal itu dilakukan karena dalam rangka mempertinggi efektivitas dan efisiensi kerja serta usaha yang sedang dan terus dilakukan oleh Bank Dagang Negara.
Pelaksanaan Bank Tunggal
Beberapa saat setelah pembentukan Bank Tunggal, terjadilah Peristiwa 30 September 1965 yang cukup memberi pengaruh kepada seluruh aspek kehidupan negara, termasuk dalam tubuh organisasi Bank Tunggal. Besarnya pengaruh tragedi nasional itu bagi Bank Tunggal tercermin dari himbauan yang dikeluarkan oleh MUBS kepada seluruh Koordinator BNI Unit, Direksi Bank Dagang Negara dan semua pimpinan instansi dalam jajarannya, agar tetap konsekwen dan setia dalam melaksanakan Komando Presiden dan MUBS dalam hal menghadapi akibat-akibat yang ditimbulkan Peristiwa 30 September 1965 dalam lingkungan Bank Tunggal.
Tidak banyak yang dapat dilaporkan tentang bagaimana pelaksanaan Bank Tunggal secara konkrit dalam lapangan perbankan di Indonesia. Agaknya tidak ada yang berubah dari operasional perbankan, kecuali dalam hal administratif berkaitan dengan perubahan nama BNI Unit. Sejak semula telah ditetapkan bahwa pada masa peralihan bank-bank unit tetap melakukan tugasnya seperti sedia kala.
Demikian halnya dalam pelaksanaan tugas-tugas Bank Sentral dan Bank Sirkulasi, dalam masa peralihan kedua tugas tersebut dijalankan oleh BNI Unit I (BI). Berkaitan dengan itu di tingkat pusat, BNI Unit I menjalankan fungsi sebagai Kantor Pusat Bank Tunggal, dan dipimpin langsung oleh MUBS/Gubernur Bank Tunggal. Keputusan ini semakin mempertegas bahwa sesungguhnya kebijakan Bank Tunggal tidak berpengaruh secara efektif bagi Bank Indonesia, kecuali pengubahan nama menjadi BNI Unit I dan beberapa kekacauan dalam sistem kepegawaiannya.
Hal terakhir ini dapat kita lihat dalam salah satu surat pernyataan yang disampaikan oleh beberapa staf BNI Unit I kepada MUBS. Dalam surat tersebut disampaikan keprihatinan mereka atas beberapa hal seperti adanya kekaburan dalam penilaian dan penghargaan prestasi pegawai; dan adanya kenaikan pangkat pegawai yang tidak mengindahkan norma-norma obyektif dan melanggar prosedur. Selain itu mereka menganggap bahwa dalam kepemimpinan Jusuf Muda Dalam terdapat beberapa kebijakan MUBS yang hanya menguntungkan sekelompok (golongan) kecil pegawai. Akibatnya, keadaan tidak sehat ini memicu lumpuhnya mentalitet personiil pegawai, terutama di tingkat Kantor Pusat yang mungkin akan segera meluas sampai di Kantor-Kantor Cabang.
Agaknya hingga beberapa bulan setelah struktur bank tunggal ditetapkan, kendala kelembagaan menjadi masalah utama yang menghambat efektifitas jalannya bank. Beberapa keputusan yang telah dihasilkan dalam rapat dinas dan musyarah kerja beberapa bulan sebelumnya, tampaknya belum membuahkan kerja bank yang baik. Kesimpulan ini dapat kita lihat, misalnya dari nota yang disampaikan oleh S. Kertopati kepada MUBS pada 23 Februari 1966. dalam nota tersebut antara lain dikatakan :
“Akan tetapi bank-bank pemerintah yang resminya telah dilebur menjadi BNI - Tunggal tsb. hingga dewasa ini belum diintegrasikan satu sama lain (one policy one structure), sehingga bank-bank pemerintah tsb. dalam kenyataannya dewasa ini secara organisatoris masih berdiri sendiri-sendiri.”Nota tersebut panjang lebar membahas betapa sulitnya mengintegrasikan beberapa lembaga bank besar, yaitu bank-bank pemerintah, yang masing-masing telah mempunyai latar sejarah yang panjang. Hal ini menyebabkan integrasi bank-bank dalam struktur tunggal akan membutuhkan waktu yang lama. Menuruntnya langkah pertama yang harus ditempuh dalam melaksanakan bank tunggal adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang siap (human material). Maka dari itu solusi dari nota itu adalah (lagi-lagi) menyarankan kepada MUBS untuk mengadakan suatu Pekan Indoktrinasi dan Seminar yang akan memberikan pendidikan dan pembinaan kesatuan jiwa (corps-geest) bagi seluruh pegawai dalam struktur bank tunggal.
Berakhirnya Bank Tunggal
Pada akhir 1965 dan awal 1966 Indonesia penuh dengan gejolak, tekanan ekonomi yang semakin berat terus menghimpit kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ditambah lagi, dampak Peristiwa 30 September1965 secara politis telah menggiring pada suatu proses peluruhan kekuasaan pemerintahan terpimpin. Demonstrasi mahasiswa (angkatan 66) yang menuntut perbaikan keadaan ekonomi, sosial, dan politik, mulai menggoyahkan kekuasaan pemerintah.
Kemudian, pada Maret 1966 lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberikan wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk menertibkan keadaan. Salah satu tindakan penertiban itu adalah pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menangkap beberapa tokoh menteri yang dianggap bersinggungan dengan partai tersebut. Gubernur bank tunggal, MUBS Jusuf Muda Dalam adalah salah seorang menteri yang ditangkap itu.
Penangkapan itu menyebabkan MUBS absen dari kepemimpinannya dalam bank tunggal. Langkah pertama yang diambil pemerintah untuk mengisi kekosongan itu adalah mengangkat Menteri Koordinator Kompartemen Keuangan, Soemarno diangkat sebagai Menteri ad interim Urusan Bank Sentral. Pada saat itu dalam struktur Kabinet Dwikora II Urusan Bank Sentral bernaung dalam kompartemen keuangan. Menteri ad interim ini segera melakukan beberapa langkah pemulihan bank sentral, antara lain dengan membentuk Tim Koordinasi pada 25 Maret 1966.
Setelah untuk beberapa saat bank tunggal dipimpin oleh seorang menteri ad interim, pada 27 Maret 1966 dalam Kabinet Dwikora III (27 Maret 1966 - 25 Juli 1966) diangkatlah Radius Prawiro sebagai Deputi Menteri Urusan Bank Sentral sekaligus sebagai Gubernur Bank Negara Indonesia. Di bawah gubernur yang baru ini proses pemulihan fungsi bank sentral terus berlanjut.
Melanjutkan kebijakan menteri ad interim MUBS sebelumnya, pada 6 April 1966 Radius Prawiro mengangkat beberapa pegawai dari Direktorat Akuntan Negara dan pejabat Bank Negara Indonesia sebagai anggota Tim Pemeriksa Intern. Tim pemeriksa itu telah dibentuk oleh menteri ad interim Soemarno pada 30 Maret 1966 untuk membantu pelaksanaan tugas-tugas Tim Koordinasi.
Berkaitan dengan hal ini, Radius Prawiro dalam buku terakhirnya mengatakan :
“Segera setelah Kabinet Ampera diresmikan, sebuah pemeriksaan keuangan diadakan atas bank sentral dan bank-bank negara. Tujuan pertama dari pemeriksaan keuangan ini adalah untuk memperoleh pengertian tentang keadaan keuangan bank sentral pada saat itu, dan kedua untuk merekonstruksi catatan-catatan akuntansi yang berlaku surut yang terlantar atau dipalsukan pada tahun-tahun sebelumnya.”Tidak diketahui dengan pasti apakah tindakan audit keuangan ini terkait erat dengan pembentukan Tim Pemeriksa Intern yang melibatkan para Akuntan Negara tersebut. Berdasarkan keterangan diatas, Tim dibentuk pada April 1966, sedangkan tindakan audit dilakukan setelah pembentukan Kabinet Ampera, Juli 1966. Terlepas dari perbedaan itu, hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa sebelum menyusun struktur bank sentral dan perbankan yang baru, terlebih dahulu dilakukan tindakan yang dapat memberikan gambaran akurat dari keadaan bank sentral dan perbankan.
Selanjutnya kebijakan pemulihan bank sentral diteruskan dengan pembentukan suatu tim yang bertugas dalam merumuskan usul-usul dan rancangan-rancangan penyempurnaan Bank Negara Indonesia Unit I pada 3 Juni 1966. Agaknya tim tersebut berkaitan erat dengan dua tim yang disebutkan oleh Radius Prawiro dalam pidatonya, yaitu Tim Penertiban Personalia dan Tim Peninjauan Struktur Organisasi Bank. Kedua tim tersebut dibentuk sebagai persiapan reorganisasi BNI Unit I untuk kembali kepada fungsinya sebagai Bank Sentral. Khusus untuk Tim Penertiban Personalia bertugas terutama untuk melakukan screening pegawai dari unsur-unsur yang terlibat PKI.
Akhirnya pada 28 Juli 1966 pemerintah mengesahkan terbentuknya Kabinet Ampera (25 Juli 1966 - 17 Oktober 1967) yang dipimpin oleh Letjend. Soeharto sebagai ketua presidium kabinet. Dalam susunan kabinet yang baru ini, tidak lagi kita jumpai pos Urusan Bank Sentral di dalamnya. Artinya, sejak berlakunya kabinet Ampera itu, kedudukan gubernur bank sentral kembali berada di luar kabinet dan tentunya tidak lagi merangkap sebagai menteri urusan bank sentral, seperti sebelum masa terpimpin.
Setelah berdirinya Kabinet Ampera, pemerintah kemudian mengukuhkan Radius Prawiro sebagai Gubernur Bank Negara Indonesia pada 15 Agustus 1966. Pada saat pelantikan Gubernur Bank Negara Indonesia, Menteri Utama Bidang Ekonomi dan Keuangan dalam sambutannya antara lain mengatakan :
“Dengan gembira saya melihat bahwa di dalam Kabinet Ampera yang sekarang ini Gubernur Bank Negara Indonesia tidak termasuk sebagai anggauta Kabinet, bahkan tidak diberikan pangkat Menteri. Yang demikian itu berarti bahwa Gubernur Bank Negara Indonesia beserta Bank Negara Indonesia yang dipimpin olehnya tidak lagi menjadi bagian dari Pemerintahan. Akan tetapi secara independen berdiri di samping Pemerintah Republik Indonesia di dalam bidang ekonomi dan keuangan.”
Demikianlah akhirnya kedudukan bank sentral untuk sementara waktu telah dapat dipulihkan kembali. Meskipun belum tuntas seluruhnya, tapi pemulihan itu cukup berarti bagi bank sentral agar kembali bebas tanpa tekanan dalam menilai dan mengoreksi tindakan pemerintah dalam bidang ekonomi, terutama yang berkaitan dengan kebijakan moneter. Bahkan pada saat itu bank sentral diharapkan dapat segera memberikan dukungan yang berpengaruh bagi pelaksanaan program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi yang sedang porak poranda.
Sementara itu sambil menunggu proses perumusan undang-undang perbankan yang baru, dalam 1966 itu secara de facto telah ditetapkan bahwa seluruh bank pemerintah kembali menjalankan usahanya sesuai dengan undang-undang lama yang menetapkan pendirian masing-masing bank. Berdasarkan ketetapan tersebut, sistem bank tunggal secara praktis telah berakhir.
Kembali menjadi Bank Indonesia
Setelah Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral ditetapkan, maka secara de jure bank sentral Republik Indonesia --yang pada 1965 disebut dengan BNI Unit I-- memperoleh nama aslinya kembali, yaitu Bank Indonesia. Meskipun undang-undang ini baru disahkan pada 31 Desember 1968 dan berlaku pada 1 Januari 1969, akan tetapi sejak permulaan 1966 bank sentral telah mulai beroperasi secara tidak formal di bawah peraturan-peraturan yang kemudian menjadi undang-undang.
Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, dalam Penjelasan Umum Undang-undang Bank Sentral 1968 tersebut dinyatakan bahwa bank sentral adalah lembaga negara yang bertugas membantu Presiden dalam melaksanakan kebijakan moneter. Oleh karena itu, bank sentral menjalankan tugasnya berdasarkan garis-garis pokok kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu dalam Penjelasan Umum juga dinyatakan latar belakang pemikiran tentang perlunya penataan kembali sistem perbankan yang akhirnya melahirkan undang-undang bank sentral tersebut . Berikut petikannya :
“Sebagai langkah ke arah usaha penyehatan tata-perbankan pada umumnya, maka dianggap perlu untuk membangun kembali Bank Sentral yang menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya dalam menjaga dan memelihara kestabilan intern maupun kestabilan ekstern dari nilai Rupiah kita guna mendorong kelancaran produksi dan pembangunan.”
Secara umum Undang-Undang Bank Sentral 1968 mencakup hal-hal sebagai berikut :
- Bank Indonesia menjadi pemantau dari sistem perbankan, dengan tanggung jawab pengawasan untuk semua kegiatan perbankan komersial di Indonesia.
- Bank Indonesia diberi tanggung jawab untuk menjaga integritas mata uang negara, Rupiah.
- Kebijakan moneter akan ditetapkan melalui sebuah Dewan Moneter terdiri dari Gubernur Bank Indonesia, menteri keuangan, dan menteri perdagangan.
- Jumlah pemberian pinjaman yang dapat diberikan oleh Bank Indonesia kepada pemerintah dibatasi berdasarkan anggaran yang telah disetujui oleh DPR. Bank akan memberi pinjaman kepada pemerintah dengan tarif 3 persen setahun, atau dengan tarif yang akan ditetapkan oleh Dewan Moneter.
- Bank Indonesia akan mulai mempublikasikan laporan-laporan tahunan dan pembaruan-pembaruan keuangan bulanan. Laporan-laporan ini dimaksudkan untuk memberi informasi yang perlu dalam mengevaluasi keadaan perekonomian.
Di bawah Undang-Undang Bank Sentral 1968 inilah Bank Indonesia menjadi otoritas moneter pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun. Nantinya pada 1999, setelah terlebih dahulu melewati masa krisis perekonomian Indonesia, undang-undang tersebut kembali direformasi.

Daftar Pustaka

Buku
Abdullah Ali, Liku-Liku Sejarah Perbankan Indonesia Memoar Abdullah Ali Presiden Direktur Bank Central Asia. Jakarta : Penerbit PT Grasindo, 1995.

Dawam Rahardjo, Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta : LP3ES, 1995.

Dawam Rahardjo, Independensi BI dalam kemelut politik. Jakarta : PT Pustaka Cidesindo, 2000.

Jalur Baru Sesudah Runtuhnya Ekonomi Terpimpin (The Leader, the Man, and the Gun). Jakarta : Penerbit Sinar Harapan, 1984.

Marwati Djoened,dkk., Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka, 1993.

Mengenal Kabinet RI Selama 40 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta :PT Kreasi Jaya Utama, 1986.

Muhono, Ketetapan MPRS dan Peraturan negara Jang Penting Bagi Anggauta Angkatan Bersendjata. 1966.

Noek Hartono, Bank Indonesia Sejarah Lahir & Pertumbuhannya. 1976.

Radius Prawiro, Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi : Pragmatisme dalam Aksi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 1998.

Richard Robison, Indonesia : The Rise of Capital. Asian Studies Association of Australia, 1986.

TPSBI, Sejarah Bank Indonesia Periode II : 1959-1966 Bank Indonesia pada Masa Ekonomi Terpimpin.UKMBI, 2004.

Tim Pembentukan Museum Bank Indonesia, Sejarah Pembentukan Bank Tunggal. Jakarta, 21 Januari 2002.

Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik : kebijaksanaan ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta : LP3ES, 1991.
Non Buku

Bank Indonesia. Laporan Tahun Pembukuan 1960-1968.

Berbagai undang-undang, penpres, dan peraturan pemerintah dalam Lembaran Negara tahun 1960-1968.

Arsip Rupa-Rupa dan Arsip Keputusan Direksi, 1963-1968, Koleksi Bagian Arsip Bank Indonesia.

Harian Kompas, 1965-1966

www.wikipedia.indonesia.com

Comments

Nanang A.S said…
Salam kenal....

Posting-portingnya menarik mas.
Ditunggu posting selajutnya.
Bahan postingnya terus terang sangat langka menurut saya.


- Na2ng -
Hai semua,

Saya ibu Sandra Ovia, pemberi pinjaman wang swasta, adalah di dalam kamu kredit yang buruk? Anda perlu untuk memperbaiki kewangan? Saya telah didaftarkan dan diluluskan oleh kerajaan untuk mengawal institusi kewangan. Saya memberi pinjaman kepada bereputasi-bereputasi dan individu untuk tahap Avail pada 2%. Saya memberi pinjaman kepada tempatan dan Lapangan Terbang Antarabangsa kepada semua orang yang memerlukan pinjaman, dan yang boleh membayar balik pinjaman, di seluruh dunia. Saya memberi pinjaman melalui pemindahan akaun atau cek bank disahkan untuk apa yang pernah anda menerima sebuah bank di negara ini. Ia tidak memerlukan banyak kertas kerja. Jika anda ingin mendapatkan
meminjam daripada bereputasi kami. Anda boleh menghubungi kami melalui
sandraovialoanfirm@gmail.com

Terima kasih
Sandra firma Ovia Pinjaman
Ibu Sandra Ovia

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante