Gus Dur



Satu
Rabu sore 30 Desember 2009, saya sedang kongkow dengan beberapa teman di Cilandak. Entah mulanya apa, obrolan ngalor ngidul itu sampai pada topik Gus Dur. Saya berkisah kepada teman-teman tentang Gus Dur, yang ringan-ringan, termasuk tentang bagaimana perhatian beliau terhadap sejarah, disiplin ilmu kami semua. Magrib terlewat, beberapa sms masuk “ Innalillahi wa Inna ilaihi Roji’un Gus Dur meninggal sore ini” sontak melalui TV kami beramai menonton berita yg terus memantau “kiamat kecil dunia itu”. Saya masygul mengontak dua nama, Inayah Wahid dan Seno. Keduanya, tak menjawab. Baru beberapa saat kemudian Seno, menjawab dari seberang telpon dengan suara parau, ya Pak Dur meninggal.
Saya tidak menangis, Gus Dur bukan bapak saya. Dan saya cukup bisa menerima kenyataan itu, usianya menjelang 70 tahun. Lumayan uzur, ia lebih uzur daripada kakeknya yang meninggal pada usia 50an tahun dan apalagi ayahnya yang juga wafat pada usia 40 an tahun. Selain itu, saya tahu Inay memang setahun ini disibukkan oleh ayahnya untuk menjalani beberapa terapi kesehatan, termasuk cuci darah seminggu tiga kali itu, dan kita kerap menyusun jadwal bertemu di luar hari-hari itu. Saya tidak cukup kaget Gus Dur meninggal, karena beberapa hari sebelumnya saya memantau lewat detik.com kondisi beliau yang sempat drop di Jombang, lalu ke RSCM menjalani pengobatan dan saya dengar terakhir, selasa pagi beliau akan operasi gigi. Tapi tangisan dan rasa kaget tidak pernah menjadi satu-satunya ekspresi duka. Untuk Gus Dur saya hanya hanya tercenung……
Serasa ada yang bolong dalam hati saya. Seolah berita wafatnya Gus Dur telah membuat lobang yang cukup besar, lobang yang menganga, oi ada sesuatu yang hilang, dan kita menyadarinya ketika sesuatu itu pergi. Saya jadi menarawang beberapa nama, pertama sahabat saya Alfanny, aktivis mahasiswa yang mati-mati an membela Gus Dur semasa di kampus dulu. Lalu, ada almarhum Mahrus Irsyam, yang menjelang ajalnya berpesan kepada saya “ Win, kamu harus menjadi sejarawan NU, tulis NU, tulis NU, ingatkan Gus Dur, tulis Gus Dur!”
Saya menerawang kapan pertama kali mengenal Gus Dur? Saya masih ingat momen persentuhan itu, baik pemikiran maupun fisik.
Saya mendengar dan membaca nama Gus Dur sejak di bangku pesantren dahulu. Tapi hanya sekedar membaca berita-berita koran tentang perseteruannya dengan para ulama (awal 1990), terutama tentang ucapan selamat pagi, selamat siang atau selamat malam yang menurutnya bisa menggantikan ucapan Assalamu’alaikum. Lalu di tengah kekuasaan Soeharto, (1994?) ia berpolemik dengan Abu Hasan, berebut kepemimpinan NU. Saya yang mulai dewasa (ABG tepatnya!) dan mulai keranjingan politik Indonesia, mulai mencari-cari siapa Gus Dur? Sesekali kyai saya, kyai Syukri Zarkasyi sepulang dari Jakarta membawa oleh-oleh cerita kondisi politik nasional, antara lain tentang Megawati dan PDI yang dianggapnya bukan golongan Islam, selalu disupport oleh tokoh Islam, yaitu Gus Dur. Lalu ada Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI ) yang lagi trend pada 90’ mewabah juga di pesantren saya, banyak yang mengulas, para guru atau ustadz mulai berkisah tentang ICMI. Dan saya membaca ada Gus Dur dengan Forum Demokrasi (Fordem) yang berada di seberangnya.
Tapi kala itu, saya belum mengerti betul semua pergulatan itu. Favorit saya bukan Gus Dur, idola saya bukan beliau, dan lagi saya belum menemukan tulisan-tulisan nya. Saya baru berkenalan dengan tulisan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dan langsung mengidolakannya, terutama karena tau Cak Nun pernah nyantri juga di Gontor. Waktu itu saya malah lebih sering mengutip tulisan Amin Rais untuk bahan pidato-pidato saya, lalu mereke bengong, nggak ngerti apa yang sedang saya bicarakan. Tapi saya juga belum matang betul saat itu, bacaan saya masih cetek lah. Bahkan ada seorang teman sekelas, tapi lebih tua usianya, seorang gus dari Madura yang berseloroh “wah, kamu belum bisa diskusi dengan saya, bacaan kita belum setara”. Waduh? Bisa begitu ya? Saya memang merasakannya, pikiran saya belum matang benar, tapi saya tak luput merekam, selalu merekam, sedikit menganalisa meski belum tajam!
Lalu pasca pesantren, saya baru membaca tulisan Gus Dur dan beberapa tokoh lainnya. Semasa pengabdian di pesantren Gintung, saya mempunyai waktu luang yang cukup banyak. Dan saya mulai membaca, mengkoleksi buku, kliping Koran, dan majalah. Kebiasaan itu terbawa hingga saat saya nyantri di Kudus. Di Gintung, 1996-1997, Indonesia, bumi pertiwi tengah hamil tua. Beberapa peristiwa menandai itu, antara lain bertemunya dua arus Islam besar, media menyebutnya arus atas dan arus bawah, yaitu Amin Rais, ketua dewan pakar ICMI sekaligus pemimpin Muhammadiyah dan Gus Dur, ketua Fordem sekaligus ketua PB NU. Acara pertemuan itu digelar di masjid Sunda Kelapa, dengan moderatornya Cak Nun, hadir pula Cak Nur (Nurcholis Madjid) sebagai salah satu mediator. Peristiwa besar, saya tak ingat lagi kapan, yang jelas itu tejadi pada tahun 1996. Klop sudah, dua tokoh besar bertemu, dan sebenarnya yang lebih menyenangkan saya adalah bertemunya trio Jombang, Gus Dur, Cak Nur dan Cak Nun.
Di Kudus, saya semangkin dekat dengan orang-orang yang mengidolakan Gus Dur, banyak kyai atau guru kitab saya yang punya pemikiran mirip-mirip Gus Dur. Saya seolah memperoleh konfirmasi “ini, nih yang aku cari”. Di Kudus pula saya mempunyai kesempatan untuk melihat Gus Dur secara langsung, meski dari kejauhan. Waktu itu ada perayaan malam haul Mbah Asnawi, TBS Kudus. Dalam acara itu,Gus Dur dijadwalkan datang untuk memberikan ceramah di hadapan jama’ah NU di Kudus. Saya penasaran dengan beberapa teman saya hadir, di bawah hujan gerimis malam itu, ribuan umat telah berkumpul, saya duduk diantara mereka beberapa puluh meter dari podium. Lalu beberapa saat saya menyaksikan rombomgan Gus Dur datang, beliau turun dari mobil sedan butut (untuk tidak mengatakan rombeng) berwarna gelap. Dalam hati “ wah, mobil ketua PB NU yang kesohor kayak begitu……” lalu beliau segera naik podium dan mulai berceramah dengan menggunakan bahasa Jawa, setelah terlebih dahulu izin kepada para hadirin beliau berpidato tanpa teks tanpa mengutip satu pun ayat al Qur’an dalam bahasa arab, beliau memaparkan asasul khomsah, salah satu kaidah dalam ilmu usul fiqih dengan contoh-contoh yang luwes membumi. Saya kagum, betapa beliau dengan sangat sederhana menjelaskan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi yang terkandung dalam asas itu dengan cara yang sangat bersahaja. Dan saya menjadi lebih mengerti, “sial ini pelajaran saya di Gontor sebelum lulus, saya baru menyadari nilainya, dahulu cuman menghafal tanpa berusaha memaknai dan menjiwai”.
Beberapa bulan kemudian, saya hijrah ke Jakarta. Saya mulai beraktifitas sebagai pengajar pesantren sekaligus aktivis mahasiswa. Pengalaman, pergaulan dengan dunia pesantren Kudus, ibrah dari para kyai adalah bekal berharga bagi saya untuk menentukan ekspresi saya sebagai seorang guru dan mahasiswa. Lalu saya lebih memilih PMII, organisasi mahasiswa yang terkait dengan NU daripada menjadi seorang GMNI. Padahal akar saya adalah abangan. Pernah berpikir menjadi HMI, seperti Cak Nur, seperti kawan-kawan Gontor yang lain. Tapi tidak, saya tidak melihat sosok saya di sana, saya terlanjur jatuh cinta dengan jam’iyyah NU, apa yang berbau NU saya suka, saya kagum dengan beberapa tokoh dan aktivis mudanya. Saya melihat apa yang dituliskan oleh Emha tentang rakyat kecil, tentang wong cilik yang tertindas, terbelakang di desa-desa, konotatif dengan kampungan “ndeso”, adalah jam’iyyah NU. Nah, saya suka yang seperti itu, itu ladang amal ibadah yang sesungguhunya buat saya, meskipun saya jarang qunut, saya tak menggunakan nawaitu, saya nggak mahir untuk membaca marawis atai sholawatan seperti orang-orang NU biasanya…. Saya membayangkan Gus Dur!

Dua
Dengan PMII, saya kerap berkunjung ke Ciganjur, dan saya ditabalkan menjadi aktivis PMII juga di kediaman Kiai Said Aqil Siradj di komplek pesantren Ciganjur. Orang-orang, kawan-kawan mulai menganggap saya Gus Dur-ian, dan beberapa bercanda saya mirip dengan beliau, terutama karena secara fisik mata saya sebelah kiri cacat, buta, seperti beliau…..hahaha ada-ada saja. Sehingga sampai hari ini, beberapa kawan aktivis memanggil saya dengan panggilan “gus”, hahaha ini lebih ngaco lagi, karena saya tak punya darah biru dalam NU. Darah saya merah, semerah-merahnya, ayah saya terlibat Pemuda Rakyat, demikian ibunda. Nenek saya meski sekolah di madrasah NU, tapi beliau pengagum Soekarno, kakek saya dari ibunda juga seorang tentara nasionalis! Saya santri gadungan! Saya tak pernah mencium tangan kyai!
Akhirnya, pada pergulatan politik 1999, Gus Dur terpilih menjadi Presiden, saya tidak begitu happy, meski ada seorang senior saya aktivis PMII, komat kamit depan TV merapal wirid untuk mendukung Gus Dur dalam pemilihan presiden dalam forum MPR melawan Megawati, saya tetap tidak happy, saya belum matang dalam berpolitik. Entah kenapa saya nggak begitu antusias. Hah, NU jadi Presiden, saya mungkin terkena sindrom minderwardeg wong cilik yang tak membayangkan untuk menjadi penguasa. Begitu pula dengan Gus Dur, bagi saya maqam beliau adalah di tengah jelata, bukan menjadi pimpinan formal yang memimpin suatu negara bernama Republik Indonesia. Tidak, Gus Dur tidak boleh menjadi pemimpin macam itu, Ia harus tetap kharismatis, mistik, penuh misteri, penuh guyonan, tapi tidak janggal dalam keseharian kita yang jelata. Gus Dur bukan Kresna atau Yudhistira tokoh Pandawa. Nggak bukan itu. Gus Dur adalah Semar, ya semacam itu, tokoh punawakan yang menyapa dengan banyolan, mempunyai kentut yang sakti, sekaligus ia panutan para ksatria Pandawa.
Tapi semua tenggelam,dalam kemenangan, NU mengalami suatu eforia. Di sekitar saya banyak orang-orang yang mendadak kaya, mengalami shock culture, tadinya pake sepatu butut mendadak bersepatu Itali dan takut dicuri waktu berdiskusi! Tadinya bau keringat, sekarang wangi, tadinya wartawan kemudian menjadi hartawan! Tadinya berkendara metro-mini, ojeg dan bajaj, sekarang bermobil dan mendadak fasih memaparkan seluk beluk mobil mewah. Wah semua pada merayakan pesta! aktivis-aktivis NU ini bukan lagi bagian dari wong cilik, saya jadi membenarkan teori Paulo Freire tentang rakyat tertindas, yang sebenarnya secara diam-diam di bawah sadar mereka ingin meniru kelakuan para penindasnya! hehehehe
Begitulah. Dan kekuasaan itu tak berlangsung lama. Pesta itu tampaknya mulai akan berakhir, tahun 2000-2001 adalah tahun saya getol-getolnya menjadi aktivis PMII. Selama periode Gus Dur menjadi presiden, PMII disibukkan dalam kegiatan bela membela Gus Dur, capek deh. Puncaknya adalah ketika saya menjadi ketua PMII Depok periode itu, saya terlibat dalam kegiatan bela-membela itu, dan konyolnya saya tiba pada masa sengsara. Kalau sebelumnya, PMII mendapat banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, karena kekuasaan PKB dan Gus Dur, saya mengalami hal sebaliknya. Orang-orang secara perlahan mulai meninggalkan dukungan terhadap NU, PKB dan Gus Dur. PMII Depok yang saya pimpin tekena imbasnya. Situasi politik nasional mulai memojokkan Gus Dur, tak ada yang membela, semua media cetak dan elektronik mulai memojokkan dan bahkan cenderung mengolok. Do kampus, saya dan PMII tertimpa getah sebagai antek penguasa, antek Gus Dur. Berbagai isu negatif mulai berhembus, suatu saat kawan-kawan BEM UI mendapat isu bahwa PMII akan menyerang Pusgiwa UI bersama banser Ansor. hah? Entah dari mana isu itu….
Saya bukan membela buta. Sungguh pun saya senang Gus Dur tidak lagi menjadi presiden, seperti alasan yang saya kemukakan sebelumnya. Tapi saya juga tak tega melihat sang tokoh diolok dan diperlakukan macam begitu, jam’iyyah NU di bodoh-bodohi, distigma berpolitik kotor, tidak elegan dan kampungan. Sungguhpun banyak yang menjadi aji mumpung dalam NU karena kekuasaan, tapi tidak lah perilaku itu menggambarkan perilaku keseluruhan umat NU. Selain itu, setau saya ada kelompok lain yang lebih oportunis, dan sudah diuntungkan oleh kekuasaan selama 32 tahun, pada saat itu belagak menjadi kelompok yang paling suci. Sial bener…..
Sebagai aktivis saya berpikir, biarlah kekuasaan Gus Dur berakhir. Tapi harus dengan cara yang elegan dan sopan. Bukan dengan politikng Buloggate dan Bruneigate yang melahirkan pansus dengan jumlah anggaran lebih besar dari jumlah dana yang akan diusut! Gus Dur boleh tidak lagi menjadi Presiden, turun dari istana Negara kembali ke istana rakyat, tapi harus dengan cara yang baik dan benar, bukan dengan olok dan fitnah. Dengan pemikiran itulah saya berjuang mati-matian membela Gus Dur di kampus UI. PMII akibatnya menjadi tampak sektarian, pembela rejim yang tidak jujur, tapi secara jantan saya hadapkan PMII yang minoritas dengan politik BEM yang didominasi kelompok rohis, pembela PKS dan poros tengah!
Dan akhirnya Gus Dur jatuh. MPR yang dimotori Amien Rais menetapkan impeach bagi presiden. Agak aneh memang, Amien Rais yang kita tau meminta Gus Dur untuk maju sebagai presiden (menandingi Megawati) malah akhirnya yang memotori pemakzulan pilihannya sendiri. Ini juga yang mungkin menyakitkan bagi sebagian kyai khos pendukung Gus Dur. Tapi itulah politik, itulah bagian dari pasang surut hubungan kedua tokoh pemimpin dua arus besar itu. Setelah serangkaian politik bela membela antara pro dan kontra, Gus Dur meninggalkan istana dengan caranya sendiri. Ia sempat mengeluarkan dekrit yang membekukan parlemen dan membubarkan Golkar! Lalu kalah. Dan ia meninggalkan Istana Negara di tengah kepungan massa demonstran yang anti terhadapnya, menganggapnya thogut, boneka yahudi yang keji. Pada suatu momen, sebelum meninggalkan istana Gus Dur menampakkan diri dengan hanya menggunakan celana pendek dan berkaos (penampilan yang sangat informal) sambil melambaikan tangan…. Seakan ia ingin katakan “ini lho kekuasaan yang angkuh dan diperebutkan itu, tidak mengubah apa-apa, tidak berpengaruh apa-apa bagi diriku…”
Segera setelah Gus Dur jatuh, PMII bak anjing kurap, tak ada yang bantu lagi dan dijauhi. Saya tertatih mencari dukungan financial untuk PMII, senior-senior yang saya datangi pada bokek nggak ada lagi proyek politik yang menguntungkan. Para lembaga atau dermawan simpatisan NU yang biasanya mendukung organisasi pada berpaling tak mau lagi bertemu. Aduh, suram sekali saat itu. Meski saya lega, tidak lagi sibuk bela membela Gus Dur. Kami lebih fokus ke hal lainnya yang lebih prioritas daripada sekedar bela membela.

Tiga
Ketika itu tahun 2000, sebagai aktivitas PMII, saya dekat dengan beberapa aktivis mahasiswa yang mengurusi rumah singgah untuk anak jalanan. Suatu saat ada seorang anak jalanan yang terkena musibah. Ia tersengat aliran listrik saat berlarian di atas KRL. Akibatnya separuh tubuhnya gosong, dan mungkin nyawanya akan tak tertolong jika tidak segera diobati. Dalam keadaan bingung salah seorang kawan kemudian bertemu dengan saya dan meminta tolong untuk mengadakan pengobatan buat si anak jalanan itu. Saya pun menyanggupi untuk mencari bantuan. Hingga kemudian di stasiun UI Depok, saya melihat Inayah, putri Gus Dur yang kebetulan adik kelas saya di kampus Sastra UI. Inay belum mengenal saya tentunya. Tapi siapa yang tidak kenal putri presiden yang juga nyentrik seperti bapaknya (saat itu ia kerap muncul dalam liputan dengan mode rambut disemir dengan berbagai warna) itu.
Entah kenapa, saya langsung aja menyapa Inay dan memperkenalkan diri. Lalu saya utarakan niat saya untuk meminta bantuan pengobatan anak jalanan itu. Saya langsung memberi alamat kamar tempat si anak dirawat di RSCM. Inay menyanggupi dan saya setelah itu tidak pernah memastikan lagi apa benar Inay akan mengusahakan bantuan. Tapi beberapa minggu kemudian, kawan saya datang lagi mengucapkan terima kasih karena anak jalanan asuhannya telah sembuh, nyawanya dapar tertolong berkat bantuan Ibu Shinta Nuriyah, yang lansung datang ke RSCM untuk memastikan pengobatan si anak. Waduh, saya kaget sekaligus gembira sekali. Lalu saya cari-cari Inay untuk mengucapkan terima kasih atas bantuan nya. Kongkret sob…..
Sejak itu saya bersahabat dengan Inay. Setiap saya mensetting suatu kepengurusan Senat Mahasiswa Sastra, saya selalu memintanya untuk menjadi bagian dari Senat Mahasiswa. Hanya itu, kami tak pernah berbicara tentang Gus Dur ataupun NU. Saya tak pernah sekalipun mengajak Inay untuk bergabung dengan PMII, entah kenapa. Saya hanya berpikir yang satu ini berbeda, ia bukan orang biasa, ia bagaimanapun adalah penerus Bani Wahid kelak, saya hanya cukup memastikan dia baik-baik saja, bergaul dengan benar sembari berharap kelak ia akan dapat menyiapkan dirinya untuk ngemong jam’iyyah NU seperti bapaknya. Selain Inay, ada seorang putri Gus Dur yang juga bersekolah di UI, Anit biasa saya memanggilnya. Saya tidak terlalu akrab, ia lebih senior dari saya meski umur kami sama, maklum saya veteran. Berbeda dengan Inay, yang nggak pernah serius berpolitik kampus, Anit rasa-rasanya aktif dalam kegiatan politik kampus. Ia juga tidak mengenal PMII, malahan lebih sering bergabung dengan kelompok sosialis (sinpatisan fordem) yang berbasis di Fisip dan Sastra. Saya hanya mengenal Anit sambil lalu.
Semua mengalir begitu saja, hingga saya lulus dan bekerja di Museum Bank Indonesia. Pada 2004 saya berpikir untuk membuat suatu foundasi untuk kepentingan kaderisasi NU, khususnya di kampus UI Depok, saya mengajak Inay, meski ternyata ia telah mempunyai tujuan sendiri dan berniat membentuk suatu organisasi sendiri. Saya pun hanya sesekali saja bertemu, sangat jarang, tapi jika bertemu pasti kita berdiskusi bersama Seno panjang lebar, tentang kepemudaan, dan sesekali nyentil NU. Pada tahun-tahun itu Inay sedang menyiapkan pertemuan pemuda Asia Tenggara. Beberapa persiapan dilakukan dan saya hanya mendukung secara pasif saja.
Tahun 2008 adalah tahun saya kembali intens untuk bertemu Inay-Seno dengan diskusi-diskusi yang serius tentang konsep kebahagiaan bagi umat manusia. Tampaknya (mungkin) ia tak (belum) tertarik dengan politik dan mencoba cara yang lebih baik alam kontribusinya untuk bangsa, yaitu jalan religiusitas. Saya pikir mungkin itulah jalan yang ingin ia pilih atau secara tak sadar ia mewarisi sisi kereligiusan bapaknya, Gus Dur. Agustus 2008, sepulang dari India ia mengajak saya kepada sesuatu yang sangat serius, menemukan “jalan bahagia untuk umat manusia”, Inay berpikir mungkin bangsa ini bisa disembuhkan dengan jalan bahagia itu. Akhir tahun 2008 ia mengajak saya melawat ke Bali bertemu dengan tokoh Oneness, India. Saya sangat berterima kasih untuk perjalanan itu. Ada suatu pengalaman religi yang saya dapat dari perjalanan itu. Saya menjadi semangkin mantap, tenang dan tentram. Saya mulai menghayati moola mantra yang menyihir batin itu.
Intensitas ini, meski sesaat, telah membawa saya untuk memperhatikan kehidupan Pak Dur dari dekat. Pasca kekalahannya dalam PKB (oleh kubu Muhaimin), Pak Dur sering pulang sore, begitu katanya. Beliau seperti kehilangan aktifitas, fisiknya mulai melemah, dan saya mendengar dari Inay, bahwa sebenarnya kesehatan beliau kerap kali terlampau mengkhawatirkan, tapi Pak Dur tak pernah peduli. Seakan beliau masih haus untuk mengajari bangsa ini, maka perjalanan demi perjalanan terus beliau lakukan, dan ngantor rutin di gedung PB NU Kramat, mungkin adalah aktifitasnya yang paling rutin, selain cuci darah tentunya. Tapi sudah lah, saya juga tak tau banyak untuk urusan kesehtan ini.
Yang ingin saya kisahkan adalah bahwa saya sangat beruntung pernah bertemu, pernah mencium tangan, dan pernah menyaksikan sekelumit kehidupan hari-hari tokoh ini. Meski hanya sekali. Tapi saya rasa itu akan menjadi kisah saya yang abadi untuk anak cucu saya kelak.
Suatu sore (pukul delapan malam) setiba di rumah, saya pernah menyaksikan Pak Dur mengajak Inayah untuk duduk menemaninya makan malam. Tak ada pembicaraan yang hangat, entah kenapa, beliau hanya menanyakan kepada putrinya, apa aktivitasnya hari ini. Lalu senyap. Pak Dur meneruskan makan malam, sejenak usai dan kemudian meminta dibaringkan di ruang tamu utama, sambil tiduran mendengarkan audio book hingga jam sebelas malam. Sementara sang ajudan dengan setia duduk menunggu di depan pintu. Seusai itu Pak Dur baru masuk kamar, dan ajudan diperbolehkan untuk pulang. Begitulah katanya, hari-hari beliau ketika berada di rumah.
Pernahkah saya berbicara dengan Pak Dur? Terus terang belum pernah. Saya tak mempunyai keberanian. Mungkin maqam saya masih terlalu kotor untuk berhadapan langsung dengan tokoh setulus Pak Dur. Menurut Inayah, bapaknya memegang teguh prinsip, siapa yang menanam maka ia akan memetik, maka dengan keyakinan itu beliau tidak pernah merasa dendam, marah kepada siapapun yang pernah berbuat dosa, kejahatan kepadanya. “Gitu aja kok repot”. Ya, sesederhana itu sikapnya, pragmatis, tapi tentu sukar sekali meneladaninya, karena kita semua cenderung “repot” dalam menghadapi segala sesuatu.
Saya tak pernah berbicara dengan Pak Dur. Tapi kerap kali jika bertemu muka di Ciganjur, saya akan menyempatkan diri, dan meminta kepada Inayah untuk mengantarkan saya kepada bapaknya, hanya untuk sekedar mencium tangannya. Bagi saya itu telah memberikan oase yang cukup besar dan membekas dalam hati saya. Hingga saat ini, yang membanggakan saya adalah, saya sempat mengajak istri saya, Karin, untuk hanya sekedar berada dekat dengan Pak Dur, lalu menjabat tangannya. Bahkan pada suatu kesempatan , Inayah mencoba mengenalkan saya kepada bapaknya dengan mengatakan bahwa saya adalah peminat sejarah NU. Sungguh di luar dugaan, Pak Dur menanggapi perkenalan itu, lalu panjang lebar bercerita kepada saya tentang sepenggal kisah sejarah NU di Sumatra. Saya cukup terkesan. Tercekat tak mampu berkata, hanya menyimak dan menyimak. Cukup.
Lalu lama. Saya tak lagi berjumpa dengan Pak Dur. Beberapa bulan, pula saya tak lagi bertandang ke Ciganjur. Saya hanya mendengar kabar Pak Dur dari berita ke berita, atau bertanya langsung kepada Inay dan Seno, jika bertemu. Hingga suatu malam, pada acara bedah buku salah satu tokoh NU, saya untuk terakhir kalinya melihat Pak Dur di podium. Beliau sudah tampak menurun drastis kondisi kesehatannya. Di atas kursi roda, dengan suara parau, beliau bersemangat untuk memaparkan kisah sejarah NU hampir satu jam lamanya. Seolah tak mau berhenti, Pak Dur terus berkisah…..dan itu rupanya kisah yang terakhir bagi saya. Pak Dur, saya mengagumi Anda. Saya bangga hidup pada penggalan masa kehidupan Anda. Kelak saya akan kisahkan, kisah Abdurrahman Wahid kepada anak cucu saya, dan dengan bangga akan saya katakan, bahwa “Aku pernah (sempat) merasakan kehidupan zaman Gus Dur”.
Tulisan ini bukanlah apa-apa. Hanya pengikat ingatan. Dan salam takzim yang tak terkira untuk guru bangsa, Abdurrahman Wahid atau panggil saja Gus Dur, Pak Dur.

Comments

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante