Siapa Gubernur Bank Indonesia Berikutnya?












ini adalah tulisan lama, saya membuatnya sekitar Januari 2010. berharap kapan segera Bank Indonesia mempunyai nahkoda baru. ternyata hingga sekarang tak kunjung ada pengganti. menurut saya, BI benar2 tidak menjadi prioritas. sektor moneter pada periode SBY ini memang tidak hanya selaras dengan kebijakan pemerintah. tapi, cenderung manut....maka tak heran, jika BI hanya perlu dijaga oleh seorang DGS saja, tak perlu Gubernur. setidaknya setahun ini berlaku demikian. selamat menyimak....


(Januari 2010)
Apa tugas utama dari seorang Gubernur Bank Indonesia? Jika kita merujuk kepada undang-undang tentang Bank Indonesia, UU No. 23/1999 yang disempurnakan dengan UU No. 3/2004, Gubernur Bank Indonesia bertugas memimpin Bank Indonesia sebagai bank sentral yang bertanggung jawab untuk menjaga inflasi, mengawasi sistem perbankan, sistem pembayaran nasional, dan menjaga nilai tukar rupiah. Tentunya Gubernur Bank Indonesia tidak memimpin bank sentral seorang diri. Kepemimpinan bank sentral di Indonesia sebagaimana diatur dalam undang-undang dilakukan secara kolektif oleh Dewan Gubernur yang terdiri Gubernur Bank Indonesia, sebagai pucuk pimpinan, Deputi Gubernur Senior (DGS) sebagai wakil, dan beberapa anggota Deputi Gubernur (DG) yang memimpin langsung beberapa direktorat di dalam struktur organisasi Bank Indonesia. Sebagaimana lazimnya yang terjadi pada negara-negara dengan kedudukan bank sentral sebagai otoritas moneter yang independen, figur dan eksistensi seorang gubernur bank sentral mau tidak mau dapat mempengaruhi kredibilitas perekonomian negara tersebut, meskipun bank sentral dipimpin secara kolektif.
Sejak pencalonan Boediono sebagai calaon wakil presiden dan kemudian secara resmi berhenti sebagai Gubernur Bank Indonesia pada 16 Mei 2009, jabatan Gubernur Bank Indonesia praktis lowong. Hingga saat ini, kurang lebih tujuh bulan lamanya, Bank Indonesia dipimpin oleh seorang DGS sebagai pelaksana tugas Gubernur Bank Indonesia. Tercatat dua orang DGS yang telah mengisi posisi pelaksana tugas Gubernur, yaitu Miranda Gultom yang kemudian digantikan oleh Darmin Nasution.Padahal, pada saat pengunduran diri Boediono dari posisi Gubernur Bank Indonesia, pemerintah menjanjikan akan segera mengajukan calon Gubernur Bank Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun pada kenyataannya, hingga parlemen berganti, dan kabinet telah terbentuk, pengangkatan Gubernur Bank Indonesia belum juga dilakukan.
Masalah politis
Sejauh ini, memang belum ada dampak serius yang dirasakan oleh perekonomian kita akibat absennya Gubernur Bank Indonesia ini, meski harus diakui bahwa para pelaku pasar ekonomi mulai bertanya-tanya tentang kepastian siapa Gubernur Bank Indonesia setelah Boediono. Pemerintah dan DPR tampaknya masih masygul menghadapi kasus demi kasus yang terus terjadi dalam dunia politik Indonesia. Dari kasus perseteruan antara KPK dan Polri (Cicak dan Buaya) hingga skandal Bank Century yang belakangan ini juga mulai menyeret beberapa nama pimpinan Bank Indonesia periode kepemipinan Boediono-Miranda. Dua kasus politik itu rupanya telah menyita perhatian pemerintah dan DPR, hingga masalah kepemimpinan Bank Indonesia seakan belum menjadi prioritas. Pun demikian di sela-sela ramaianya pembicaraan skandal Century, dalam berbagai kesempatan beberapa kalangan mulai menyuarakan agar pemerintah dan DPR segera menetapkan siapa Gubernur Bank Indonesia yang akan datang.
Jika melihat gelagatnya, agaknya pemerintah cukup puas dengan komposisi Dewan Gubernur yang memimpin Bank Indonesia pada saat ini. Sehingga jika nantinya resmi diajukan, dapat dipastikan bahwa Darmin Nasution, DGS yang saat ini menjabat sebagai pelaksana tugas Gubernur Bank Indonesia, adalah kandidat kuat yang akan mengisi posisi lowong Gubernur Bank Indonesia. Maka jika ini benar terjadi, berarti pemerintah harus mencari DGS baru yang beberapa kandidatnya pun juga mulai beredar di kalangan pelaku ekonomi dan masyarakat luas.
Namun demikian, posisi Gubernur Bank Indonesia tentu tidak segamblang dan sejelas itu. Pada masa reformasi ini pimpinan bank sentral adalah salah satu posisi politis yang abu-abu, kerap diperebutkan dan diperdebatkan secara alot, penuh dengan syak wasangka. Artinya dalam masa reformasi ini kerap kita menyeret-nyeret urusan moneter dan pengawasan perbankan kepada urusan kepentingan politik yang sesaat. Hal yang sebenarnya tidak boleh terjadi. Lamanya waktu yang dibutuhkan pemerintah untuk mengajukan nama yang mengisi jabatan Gubernur Bank Indonesia setidaknya telah menunjukkan hal itu. Ada pertimbangan politis yang selalu tak dapat ditinggalkan.
Dari Dalam atau Luar
Lamanya waktu penetapan calon Gubernur ini, belakangan mulai menimbulkan berbagai macam spekulasi di kalangan pelaku pasar ekonomi Indonesia. Ada yang mulai menyuarakan bahwa seharusnya Gubernur Bank Indonesia nantinya diambil dari luar Bank Indonesia, yaitu kalangan bankir profesional. Pertimbangan bahwa dengan pengalaman sebagai bankir profesional, maka diharapkan Bank Indonesia akan lebih memperhatikan sektor riil dan tidak melulu berpaku pada urusan moneter.
Sementara itu, banyak kalangan yang menyuarakan bahwa sebaiknya Gubernur Bank Indonesia yang baru adalah figur yang tepat, yang menguasai permasalahan moneter dan perbankan, baik karena latar belakang dispilin ilmu yang mereka kuasai atau karena faktor pengalaman. Dengan mengacu kriteria tersebut, sebenarnya banyak figur dari dalam Bank Indonesia yang cukup memenuhi syarat. Sebut saja Hartadi A.Sarwono, Muliaman D Hadad, Siti Fajriyah adalah figur-figur dari dalam Bank Indonesia yang cukup mumpuni dan disegani di kalangan pelaku ekonomi, namun belum cukup terpublikasi dengan baik.

Tegas dan Independen (pengalaman sejarah)
Terlepas dari polemik antara figur dari dalam ataupun luar organisasi Bank Indonesia yang nantinya akan menjadi Gubernur. Ada kriteria lain yang harus mutlak dimiliki oleh figur Gubernu Bank Indonesia, yaitu sikap tegas dan independen. Beberapa permasalahan yang muncul belakangan ini, menyiratkan betapa mahalnya harga suatu ketegasan pimpinan bank sentral dalam mempertahankan independensinya. Terutama dalam hal menghadapi intervensi dari kepentingan vested interest baik dari kubu pemerintah, partai politik atau kelompok kepentingan manapun yang ingin mengambil keuntungan dari kebijakan bank sentral. Karena nila setitik rusak susu sebelanga, karena dosa segelintir pemipinya runtuhlah kepercayaan publik terhadap semua kinerja bank sentral. Begitulah kira-kira harga yang harus dipertaruhkan oleh bank sentral jika dipimpin oleh figur kepemimpinan yang lemah, tidak tegas dan kurang teguh dalam mempertahankan independensi.
Dalam sejarah bank sentral, ada beberapa figur Gubernur yang dapat menjadi teladan kita dalam hal ketegasan dan independensi. Gubernur Bank Indonesia yang pertama, yaitu Mr. Sjafruddin Prawiranegara adalah salah satu teladan yang baik dalam hal ketegasan dan independensi. Sjafruddin berpendapat bahwa bank sentral memerlukan pemimpin yang handal (ahli), baik secara keilmuan (teoritis) maupun pengalaman (teknis). Selain itu kepemimpinan dalam bank sentral seharusnya bersifat berkesinambungan, tidak ada kata jeda, terlebih lagi karena permasalahan politik. Berbeda dengan kabinet yang boleh jadi akan berubah-ubah akibat berbagai pengaruh dan kepentingan politik. Pimpinan bank sentral pun harus bebas dari kepentingan politik, agar tidak dapat dimanfaatkan oleh kekuatan politik.
Sjafrudin mengibaratkan urusan moneter dan perbankan yang diamanatkan kepada bank sentral dan pemimpinnya, dalam beberapa hal mempunyai kesamaan dengan kedudukan hukum dan otoritasnya (hakim). Kedua hal itu tidak boleh berada dibawah kekuasaan pemerintah, atau kekuasaan siapapun yang berkuasa. Karena urusan moneter, perbankan, dan hukum hanya dapat ditegakkan bila sama sekali bebas dari pengaruh, politik dan campur tangan pemerintah atau penguasa.

Comments

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante