Museum Bank Indonesia :Sepenggal kisah proses pembangunan (2004 – 2009) Bagian 2

Bekerjasama dengan Para Arsitek, Desainer Grafis dan Perupa

Karena keterbatasan staf di UKMBI, pada tahun 2004 saya kerap kali terpaksa dilibatkan dalam tugas-tugas yang semestinya bukan bagian dari tanggung jawab saya. Tapi kebetulan saat itu, Pak Ashadi, direktur UKMBI, mempunyai tipikal samen bundeling van alle crachten! Jadi semua tenaga SDM dikerahkan secara bersama-sama untuk menuntaskan suatu pekerjaan. Kebetulan, pada 2004 – 2005 itu pekerjaan penentuan konsep ruang sejarah Museum Tahap I telah mengejar-ngejar UKMBI, maka jadilah saya tercebur untuk ikut-ikutan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan itu. Mulanya saya hanya bertugas memastikan bahwa narasi sejarah yang akan ditulis dalam panel-panel museum itu sudah sesuai dengan fakta sejarah yang telah dituliskan.

Kemudian tugas saya bertambah lagi, yaitu menyediakan berbagai bahan image atau apa saja yang dimungkinkan untuk dapat menjadi materi ilustrasi atau grafis panel museum. Dari sini, saya mulai terlatih untuk memainkan feel bagaimana agar suatu narasi sejarah dapat dikomunikasikan dalam bentuk visual. Kedua hal itu harus selaras, antara teks dengan gambar haruslah pas! Itulah yang saya kerjakan selama bertahun-tahun di UKMBI. Dalam proses itu saya mulai banyak belajar dan menyerap berbagai cara dan pengetahuan dari rekan-rekan kerja dalam meja rapat, yaitu para arsitek, desainer grafis dan belakangan para perupa!

Memang ada perbedaan mendasar antara konsep ruang sejarah pada tahap I dengan konsep ruang sejarah pada tahap II. Jika di tahap I, sentuhan perupa sama sekali tak muncul, permainan interior dan grafis lebih utama di tahap ini. kami berseloroh bahwa tahap I itu, Museum Bank Indonesia tampil dalam format Kebun Panel! Pada tahap II, peran perupa lebih terasa. Selain waktu penyusunan yang lebih memungkinkan, ditambah anggaran museum yang juga bertambah bengkak, maka keterlibatan perupa-perupa itu dimungkinkan pada tahap II. Hasilnya, pada tahap ini berbagai kreativitas perupa lebih kental rasanya!



Latar belakang: Kebun Panel di tahap I




Kreasi para Perupa di tahap II

Keterlibatan saya dalam penyusunan konsep-konsep ruang itu memang bukan hal yang normal. Karena tidak sesuai dengan tugas pekerjaan saya yang seharusnya. Saya hanya pegawai outsourching setingkat staf golongan tiga! Tapi begitulah UKMBI, adagium “4 L” lu lagi lu lagi kerap terjadi dalam proses kerja di satker ini. sudah biasa saya melihat beberapa staf yang terpaksa harus melakukan pekerjaan yang berada di luar tugas mereka, sementara staf yang lainnya terkesan “berusaha” kurang maksimal. Tapi itu kenyataan yang kurang menyenangkan itu ternyata mendatangkan kebaikan buat saya di kelak kemudian hari. Dalam keadaan organisasi kerja yang kurang teratur itu saya justru terjerumus di jalan yang benar! Di jalan yang saya yakini suatu saat akan bermanfaat untuk karir saya di kelak kemudian hari. Di jalan yang memberi kesempatan kepada saya untuk mengetahui bagaimana seluruh proses pembangunan museum dilaksanakan. Di jalan dimana saya dapat mengamati bagaimana para arsitek, para perupa, dan para desainer itu bekerja. Ya, saya banyak mengamati dan mencatatnya baik-baik dalam benak dan pikiran.

Gagasan Museum sebagai Project Komunikasi atau Project Klarifikasi?
Membangun museum bukanlah sekedar membangun suatu bangunan fisik saja. Tapi secara lebih luas, membangun museum adalah membangun sebuah institusi! Tentunya sebelum membangun Museum Bank Indonesia, para petinggi bank sentral itu telah mempunyai visi dan misi yang akan mereka sampaikan melalui institusi bernama museum itu. Secara kebetulan saya mengetahui beberapa pemikiran ini, karena pada periode 2004 itu, lagi-lagi karena kurangnya staf, saya beberapa kali mendapat arahan dari direktur UKMBI untuk menyusun draft pidato atau kata pengantar yang akan disampaikan oleh Deputi Gubernut, atau oleh beliau (direktur) sendiri dalam suatu acara.

Dalam arahan itu, secara umum saya mengetahui bahwa Museum Bank Indonesia sebenarnya ditujukan sebagai sebuah project komunikasi lembaga bank sentral kepada masyarakat luas. Setelah penjelasan tentang berbagai dasar hukum konstitusional yang biasanya saya tuliskan dengan hati-hati, saya memahami bahwa Museum Bank Indonesia mengemban amanat untuk dapat menjelaskan kepada masyarakat tentang peran dan fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral, dengan begitu diharapkan image atau pandangan minor masyarakat terhadap bank sentral yang ada pada titik menara gading menjadi melandai, membumi, dapat dimengerti oleh masyarakat. Dua tujuan mulia itu dibarengi dengan beberapa misi lainnya, seperti museum menjadi sarana edukasi dan rekreasi, serta melestarikan bangunan cagar budaya, yaitu gedung BI Kota. Dengan begitu, Museum Bank Indonesia memang tak sekedar berkisah tentang masa lalu saja, tak hanya sejarah saja, tak hanya yang kuno-kuno saja, tapi lebih bersifat kini dan akan datang.

Sebagai negara dunia ketiga, hampir semua lembaga di negeri pasti mempunyai kaitan dengan masa lalu, entah kelam entah terang. Kisah-kisah yang kelam atau yang terang itu akan dicoba untuk disampaikan dengan arif dan bijaksana. Yang kelam akan diterangkan sejelas-jelasnya agar dapat menjadi pelajaran baik yang menjadi pengingat agar kita tak melakukannya lagi. Sementara yang terang akan terus menjadi penerang agar lembaga itu dapat bekerja dan mengabdi kepada negara dan masyarakat dengan lebih baik lagi. Pada titik ini, museum juga dapat mengambil perannya sendiri sebagai media klarifikasi sejarah, sebagai media penjelasan lembaga tentang sepak terjang yang ia lakukan di masa lampau. Mengapa begini, mengapa begitu di masa lampau? Akan dapat juga dijelaskan dalam museum.

Museum Bank Indonesia juga demikian, beberapa kisah kelam lembaga itu tetap disajikan dengan kearifannya sendiri, dengan cara khas Indonesia. Kisah tentang pimpinannya yang mengundurkan diri karena berbeda dengan pemerintah, museum sampaikan. Kisah tentang Bank Tunggal yang menghempaskan institusi Bank Indonesia sebagai bank sentral juga mereka gambarkan. Lalu kisah tentang BLBI dalam kondisi krisis bangsa ini juga mereka tuturkan dengan sudut pandang mereka sebagai pelaku yang terdesak dan turut bertanggung jawab! Demikianlah cara “kultural” Bank Indonesia dalam memperbaiki gambaran masa lalunya. Tidak menghapus jejak sejarah, tidak menyembunyikan fakta, tapi mengolahnya sebagai suatu informasi yang dapat diwacanakan dan diperdebatkan dalam masyarakat luas! Beginilah saya! Beginilah kami! Beginilah bank sentral milik masyarakat Indonesia ini! Silahkan bubuhilah nilai bagi sepak terjang kami! Kira-kira begitulah yang ingin disampaikan Museum Bank Indonesia kepada masyarakat luas.



Tentang Bank Tunggal: Jusuf Muda Dalam tetap ada dalam image tersebut


Dilema: Benda bersejarah atau Kisah Kebijakan bersejarah!
Sudah sering kita membaca atau mendengar, bahwa secara etimologis, museum berasal dari kata Yunani, mouseion, yang sebenarnya merujuk kepada nama kuil pemujaan terhadap Muses, dewa yang berhubungan dengan kegiatan seni. Mouseion merupakan sebuah bangunan tempat suci untuk memuja Sembilan Dewi Seni dan llmu Pengetahuan. Salah satu dari sembilan Dewi tersebut ialah: MOUSE, yang lahir dari maha Dewa Zous dengan isterinya Mnemosyne. Dewa dan Dewi tersebut bersemayam di Pegunungan Olympus. Mouseion selain tempat suci, pada waktu itu juga untuk berkumpul para cendekiawan yang mempelajari serta menyelidiki berbagai ilmu pengetahuan, juga sebagai tempat pemujaan dewa-dewi.

Sementara itu museum, berdasarkan definisi yang diberikan International Council of Museums, adalah institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan publik, dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengkomunikasikan, dan memamerkan benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan kesenangan. Karena itu ia bisa menjadi bahan studi oleh kalangan akademis, dokumentasi kekhasan masyarakat tertentu, ataupun dokumentasi dan pemikiran imajinatif di masa depan.

Demikianlah definisi itu, dan seturut dengan bagaimana museum-museum disusun di negeri ini, maka dalam benak kita selalu ada pengertian mendasar, bahwa museum adalah benda. Tanpa benda bersejarah yang tersimpan di dalamnya lembaga museum tak akan disebut sebagai museum. Saya rasa, inilah problem mendasar yang dimiliki oleh Bank Indonesia ketika ingin membangun museum. Bank Indonesia hanya memiliki gedung bersejarah yang indah, kisah sejarah yang panjang, membentang jauh dari periode 1800 hingga saat ini abad ke 21, kisah lebih dari dua abad. Tapi sayangnya tak sebanding dengan koleksi benda bersejarah yang mereka miliki. Modal Museum Bank Indonesia adalah bangunan bersejarah dan kisah! Itu saja.



Salah satu koleksi benda display di Museum Bank Indonesia

Memang ada satu dua benda bersejarah yang dimiliki oleh Bank Indonesia yang dapat menuturkan kisahnya, satu-persatu UKMBI berusaha mengumpulkan benda-benda itu untuk selanjutnya diberi informasi sejarah. Kebanyakan benda-benda itu hanya sedikit saja dapat terkait dengan kisah yang ingin disampaikan museum, terutama untuk soal-soal administratif organisasi. Misalnya mesin ketik dengan berbagai jenisnya, meja-kursi kantor atau jam dinding kantor, tentu hanya bisa bercerita sedikit saja tentang masa lalu Bank Indonesia. Sebenarnya Bank Indonesia memiliki koleksi andalan berupa ragam uang kuno yang sebelumnya telah terhimpun dalam Museum Artha Suaka, Kebon Sirih.

Namun demikian, dalam kaitannya dengan pembangunan Museum Bank Indonesia, koleksi uang-uang kuno tersebut belum bisa seluruhnya mengungkap peran dan fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Maka problem “benda bersejarah” masih tetap ada, benda sejarah apa yang akan didisplay dalam museum? Benda bersejarah asli milik Bank Indonesia? atau benda-benda replika imitatif yang banyak beredar di pasar-pasar benda antik? Sepadankah atau patutkah hal itu dilakukan? Museum yang megah tapi mendisplay benda-benda yang bukan dari khazanahnya sendiri? Semua memang masih bisa diperdebatkan, semuanya masih terus bisa menjadi wacana, sepanjang kisahnya atau sejarahnya yang tidak dipalsukan! Bukankah demikian?

Minimnya benda bersejarah yang dimiliki oleh Bank Indonesia itu menjadikan Museum Bank Indonesia memilih kisah kebijakan bank sentral sebagai koleksi utamanya. Namun demikian tidak mudah tentunya untuk mengisahkan kembali kebijakan moneter, pengawasan perbankan atau sistem pembayaran yang pernah dilaksanakan oleh Bank Indonesia di masa lampau. Jika pada tahap I, Museum hanya menyajikan kisah kebijakan itu melalui medium panel-panel dan film dokumenter, maka pada tahap II kisah kebijakan itu disampaikan dengan lebih kreatif, meski masih tidak mudah untuk dicerna semua kalangan. Mungkin, diantara informasi peran dan fungsi bank sentral itu, tema perkembangan kelembagaan dan koleksi numismatik saja yang cukup mudah dicerna oleh masyarakat luas.

Menggantikan fungsi benda-benda bersejarah dalam museum, Museum Bank Indonesia memilih menggunakan diorama dan karya instalasi ruang untuk mengisahkan kondisi atau kebijakan yang pernah mereka lakukan di masa lampau. Diantara karya instalasi ruang yang menurut saya lumayan cerdas dan bernas adalah display yang menggambarkan kebijakan Morning and Evening Call yang ingin menjelaskan betapa berjibaku-nya Bank Indonesia dalam menghadapi krisis moneter yang menerpa Indonesia pada 1998. Selain itu, beberapa diorama yang disusun pada tahap II Museum Bank Indonesia juga terlihat lebih dramatik dari tahap sebelumnya.



Salah satu karya instalasi “Morning and Evening Call”

Yang perlu diketahui dari diorama-diorama itu adalah, jika biasanya museum-museum di Indonesia menggunakan diorama sebagai display yang menggambarkan suatu peristiwa yang jelas waktu dan tempatnya. Maka berbeda dari itu, diorama Museum Bank Indonesia bukanlah diorama peristiwa bersejarah. Diorama Museum Bank Indonesia adalah diorama yang menggambarkan suasana zaman dari periode tertentu atau diorama yang merekonstruksi suasana bank dan kegiatan perbankan di masa lalu. Dengan demikian tidak ada peristiwa bersejarah tertentu yang dirujuk oleh diorama-diorama itu.

Dengan format sedemikian rupa, maka kegiatan kuratorial di Museum Bank Indonesia bukanlah kuratorial koleksi benda bersejarah atau produk seni rupa lainnya. Kuratorial pada Museum Bank Indonesia adalah kuratorial kisah kebijakan, maka tak mengherankan jika title para peneliti di lembaga UKMBI adalah Peneliti Sejarah Kebijakan! Kuratornya pun adalah Kurator Kebijakan! Itulah uniknya Museum Bank Indonesia dari museum-museum yang ada di Indonesia saat ini, Maka dari itu, menurut hemat saya Museum Bank Indonesia yang hadir di tengah kita saat ini adalah jenis museum baru di Indonesia, yaitu museum kebijakan.

Kelebihan dan Kekurangan Museum Bank Indonesia
Sebagai museum yang baru saja mempunyai eksistensi dalam kancah permuseuman di Indonesia, Museum Bank Indonesia cukup berhasil mencuri perhatian masyarakat Indonesia secara luas. Disamping upaya marketing yang cukup maksimal, antara lain masuk dalam suatu acara infotainment, Museum Bank Indonesia juga cepat dikenal sebagai museum yang menggunakan sarana media tekonologi modern. Pada Desember 2006, ruang “play-motion” Museum Bank Indonesia cukup digemari oleh pengunjung. Tampilan media teknologi itu dengan cepat menjadi primadona dan seolah menjadi identitas yang paling dikenal dari Museum Bank Indonesia.



Play-motion: media kreatif tapi mahal

Selain tampilan gedung museum yang cukup menawan, tampilan tata ruang yang relative modern, dan penggunaan berbagai media teknologi yang modern (dan mahal tentunya) dapat dikatakan telah berhasil menempatkan Museum Bank Indonesia sebagai salah satu museum terbaik di Indonesia. Semua yang aspek yang sebutkan itu adalah salah satu kelebihan Museum Bank Indonesia sebagai museum yang modern, yang edukatif dan rekreatif. Tidak banyak museum di Indonesia yang dapat tampil sedemikian menawan, meskipun kita cukup mafhum, bahwa Bank Indonesia sebagai bank sentral, lembaga pengelola devisa negara kita tercinta ini, tentu mempunyai “kekuatan yang lebih cukup” untuk mewujudkan museum yang sedemikian rupa baiknya. Bayangkan, dari sisi fasade bangunan saja, bisa kita bayangkan berapa biaya perawatan yang diperlukan untuk mempertahankan agar bangunan putih bersih itu tampil tak kusam dan muram di tengah-tengah kondisi polusi udara wilayah kota tua!

Sebagai sebuah museum, untuk mewujudkan dimensi “modern” dalam tampilan fisiknya cukuplah mudah. Kuncinya adalah pada kekyatan financial dan daya kreativitas. Meskipun yang pertama lebih dominan. Karena tampaknya sudah banyak museum di Indonesia yang mulai mengubah tampilannya menjadi lebih modern. Gaya interior dan tampilan grafis yang lebih mengikuti trend, seperti tampil cerah penuh warna, atau justru bersahaja tapi tampak mewah sudah menjadi jejak lumrah bagi beberapa museum di Indonesia. Tapi diluar dimensi modern itu, dimensi edukatif dan rekreatif lah yang susah untuk diwujudkan dalam museum-museum kita. Ada museum yang cukup edukatif, tapi belum dapat tampil rekreatif, demikian pula sebaliknya.

Dalam kondisi demikian, menurut hemat saya, sejauh ini Museum Bank Indonesia tampil cukup edukatif dan rekreatif. Beberapa media interaktif yang digunakan dalam museum tersebut mencoba menjelaskan beberapa pengetahuan perbankan dan moneter yang cukup rumit. Memang harus diakui bahwa hingga saat ini belum semua kalangan masyarakat dapat dengan mudah menyerap pengetahuan tentang kebijakan moneter, perbankan dan sistem pembayaran yang terkandung dalam museum. Jejalan informasi dan berbagai pesan kreasi instalasi sarat pengetahuan ekonomi politik yang serius serasa membuat Museum Bank Indonesia adalah “beban yang berat bagi isi kepala pengunjung”. Untunglah berbagai game dengan media teknologi canggih di sela-sela ruang pamer dapat menolong situasi “berat” itu menjadi lebih “ringan”.

Tampaknya kesan “berat dan serius” inilah yang menjadi kelemahan Museum Bank Indonesia saat ini. Tidak banyak orang yang mampu menyerap edukasi yang ingin disampaikan museum, dan konyolnya untuk kelas masyarakat pengunjung museum di Indonesia, tidak banyak yang mau dengan mudah diajak merenung dan berkontemplasi dengan tema-tema serius yang terjadi di republik ini. Pengunjung museum di Indonesia memang tidak selalu pada gelombang pengetahun dan keingin-tahuan yang sama, dan yang harus kita sadari susah sekali mengajak mereka untuk benar-benar kontemplatif dan mengambil pelajaran dalam kunjungan mereka ke tempat-tempat semacam museum. Istilahnya, mereka maunya diajak yang senang-senang saja, yang asyik-asyik saja, tanpa beban, tanpa pikiran!

Kelemahan lainnya yang bagi saya cukup mengkhawatirkan adalah ketergantungan tata pamer museum terhadap media teknologi. Selain biaya pengadaan yang mahal, perawatan benda-benda teknologi ini juga cukup menyita anggaran museum. Saya banyak melihat pada beberapa museum di Indonesia yang sebenarnya sudah mengenal media layar sentuh sejak beberapa tahun yang lalu (meski dalam bentuk yang masih sederhana), saat ini banyak yang menelantarkan media-media tersebut karena rusak dan tak cukup terawatt dengan baik. Yang harus dipastikan oleh museum dalam menggunakan teknologi yang canggih adalah ketersediaan dana yang tak terbatas. Mengingat perkembangan teknologi yang cukup pesat, nilai kekinian suatu produk teknologi juga cukup singkat.

Sejauh yang saya ketahui, Museum Bank Indonesia memang terlampau berkiblat pada museum-museum di negera maju (umumnya di Eropa, dan yang terdekat adalah Singapura) yang telah menggunakan berbagai media teknologi yang canggih. Ada nilai positifnya dan negatifnya. Saya tak lagi berbicara soal biaya-biaya teknologi itu. Anggaplah untuk urusan satu itu, Museum Bank Indonesia sudah tak perlu dipersoalkan lagi kesanggupannya. Tapi cobalah dilihat dari sisi humanisnya. Bak revolusi industri, penggunaan teknologi yang terlampau berlebihan dapat mematikan potensi kreatif sumber daya manusia yang kita punya!

Penggunaan media companion misalnya, memang cukup pas jika digunakan oleh museum-museum di negara seperti Singapura, dimana sumber daya manusia terbatas dan mahal. Dan lagi kisah dramatik dan tragik apa yang perlu dikisahkan dari kisah sejarah dalam museum-museum di Singapura itu? Atau boleh jadi masyarakat pengunjung (termasuk wisatawan asing) di negara yang serba maju itu sudah pada tingkat tak butuh lagi sentuhan “human”. Sehingga uluk salam pun bisa digantikan dengan image audio visual dari suatu teknologi yang canggih.

Hal itu sangat berbeda dengan kondisi masyarakat di Indonesia, sentuhan humanis masih sangat diperlukan dalam melayani masyarakat pengunjung kita.Sambutan guide museum yang hangat dan penjelasan memukau yang dramatis, serta tutur mereka yang seakan-akan mengisahkan dirinya sendiri masih cukup diperlukan untuk masyarakat kita saat ini. Meski dalam sisi SDM ini kita juga masih banyak prihatin, karena tak banyak guide kita yang memiliki kualitas yang baik. Bahkan seorang pemimpin suatu komunitas pecinta heritage-pun masih memberikan tips “ngeles” dalam suatu workshop tentang guide yang pernah saya ikuti di Museum Bank Indonesia dahulu. Sungguh tragis! Demikianlah beberapa kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh Museum Bank Indonesia dalam pandangan saya.

Museum dalam Pikiran saya
Berbicara tentang bagaimana seharusnya museum kita bangun dan kita susun, saya teringat pembicaraan saya dengan mentor saya, Pak Wahyono. Beliau pernah menuliskan kenapa kiranya masyarakat kita tidak atau kurang gemar untuk mengunjungi museum? Beliau berpendapat bahwa museum bukan terlahir dari peradaban orang Indonesia, yang masih bagian dari dunia Timur. Museum adalah tradisi Barat, maka tak mengherankan jika masyarakat Barat bukan hanya gemar mengunjungi museum, tapi mereka mewujudkan museum mereka sendiri! Di Amerika, instansi kepolisian setingkat polres saja sudah memiliki museum sendiri, semua Presiden Amerika Serikat mempunyai museumnya sendiri-sendiri. Museum-museum itu tidak hanya didanai oleh pemerintah saja, tapi masyarakat pun memberikan donasi kepada museum!



Saya dan Pak Wahyono

Lihatkah di Kanada, di Jepang, beberapa pembangunan museum HAM diprakarsai oleh publik dan mencari sumber pendanaan juga dari masyarakat luas. Sementara, di Indonesia museum-museum harus mencari “bapak asuh” untuk membiayai hidup mereka. Sedikit saja orang-orang kaya dari Timur di Indonesia yang concern terhadap museum. Jika di barat problem filantropi masyarakat kaya telah usai, di Indonesia masih terus berlangsung. Kedermawanan di dunia kita ini harus dipancing dengan janji-janji Surga di Hari Akhir. Dan kita berpikir bahwa museum bukanlah tempat atau bukanlah sarana yang dapat menyampaikan kita kepada Surga-Surga itu! haha. Bukankah demikian?

Dalam perbincangan dengan Wahyono itu, saya mempunyai pendapat sendiri, meski pendapat mentor saya itu memang benar juga adanya. Menurut hemat saya, lemahnya gairah masyarakat untuk berkunjung ke museum adalah karena masyarakat itu tidak melihat diri mereka dalam kisah sejarah yang disampaikan dalam museum itu. Masyarakat tidak melihat adanya repesentasi glory dan kebanggan jati diri mereka dalam kisah-kisah atau benda-benda yang dipamerkan dalam museum. Ada jarak yang memisahkan antara identitas masyarakat dengan kisah sejarah yang disampaikan dalam museum. Karena apa? Karena masyarakat kita tidak diberi kesempatan untuk mewuudkan museumnya sendiri! Karena selama ini museum-museum kita cukup egois untuk menentukan kisah sejarah dalam versinya sendiri! Dengan demikian yang terjadi adalah kepalsuan atau paling nggak suatu yang semu, sumir tidak jelas! Lalu dalam kondisi seperti itu bagaimana suatu museum dapat membangkitkan kesadaran?

Berdasarkan argument saya itu, maka bagaimana bentuk museum yang ideal menurut pikiran saya? jawabannya adalah museum yang dapat memberikan atau membangkitkan identitas masyarakat sebagai suatu bangsa sebagai suatu entitas yang berperan dalam sejarah! Sejarah adalah milik masyarakat, karena merekalah yang membuat sejarah itu ada. Museum menurut pikiran saya adalah museum yang bisa membuat masyarakat melihat diri mereka terlibat aktif dalam pergumulan sejarah yang dikisahkan dalam museum! Tentunya pendapat ini baru sebatas teori, tapi baiklah dalam tulisan saya berikutnya akan saya kisahkan bagaimana secara kongkret kita mewujudkan museum sebagaimana yang saya angankan itu. (selesai)

Comments

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante