SIKAP ORANG INDONESIA TERHADAP MUSEUM


Oleh:
Wahyono Martowikrido (67) lahir di Solo 1 Agustus 1942. “Mahasiswa abadi” Jurusan Arkeologi UI, pendiri Mapala UI dengan inisial M 10, dan akhirnya lulus S1 Jurusan Arkeologi UGM (1979). 1990-an mengikuti kuliah S2 Jurusan Antropologi UI. Bekerja di Museum Nasional antara 1964 – 1998. Pada 2004 hingga akhir hayatnya pada Juli 2009, ia masih bekerja di Museum Bank Indonesia sebagai kurator.

Dalam tahun  1998 di koran-koran Jakarta ada berita mengenai pengunjung-pengunjung  Museum. Museum Bahari yang terletak di dekat pelabuhan Sunda Kelapa diberitakan kosong dari pengunjung. Hanya beberapa kuli dari pelabuhan Sunda Kelapa yang datang untuk beristirahat dan makan siang untuk kemudian kembali ke pelabuhan guna bekerja kembali. Dalam berita itu disebutkan bahwa menurut kepala  Museum itu, situasi tanpa pengunjung semacam ini telah berlangsung berbulan-bulan.  

Situasi semacam ini tidak hanya  melanda Museum Bahari di Jakarta saja, tetapi juga di museum-museum lain di Indonesia. Hanya sedikit  orang yang mengunjungi Museum setiap harinya dan hanya sangat sedikit diantara mereka adalah orang Indonesia. Hal ini terjadi bertahun-tahun, meskipun harus diakui bahwa ada tendensi bertambahnya pengunjung setiap tahunnya. Hal ini sangat berbeda dengan kenyataan bahwa Museum-museum di Eropa dan Amerika dikunjungi setiap harinya  oleh banyak pengunjung local maupun  turis.

Tulisan ini adalah suatu  upaya untuk menjawab  pertanyaan mengapa orang-orang Indonesia tidak sering berkunjung ke Museum. Kami menyadari bahwa usaha ini hanya akan menjawab sebagian kecil dari problema yang besar itu sehingga masih akan  ada problema-problema lain yang tidak terjawab. Telah banyak para ahli yang mencoba menjawab pertanyaan ini, tetapi kebanyakan mereka menghubungkannya dengan masalah tehnis seperti  misalnya  penyebab kelangkaan pengunjung karena display (tatapamer) kurang menarik, lighting (tata sinar) kurang, penggunaan warna kurang menarik, dll.  Tetapi jarang jawaban-jawaban itu berdasarkan landasan cara berpikir masyarakat Indonesia dan sikap mereka terhadap barang-barang buatannya sendiri.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya berusaha untuk menarik perhatian pembaca terhadap sikap masyarakat Indonesia terhadap benda-benda buatannya. Sikap terhadap benda-benda buatannya ternyata berbeda antara masyarakat Barat dengan masyarakat Timur, dan hal ini menjadi penyebab utama mengapa masyarakat Indonesia tidak mengunjungi Museum.Menurut pendapat kami, jawabannya dapat dicari  pada bagian Genesis dalam agama-agama dan kepercayaan lokal.

Julian Huxley (1970) mengelompokkan agama-agama dunia menjadi dua kelompok utama, yaitu agama-agama kawasan Barat dan kawasan Timur.Agama-agama seperti Kristen dan Islam adalah termasuk agama Barat, sedangkan agama-agama Hindu, Buddha, Tao, dan kepercayaan lokal adalah agama dan kepercayaan  Timur. Agama-agama Barat memandang Tuhan sebagai anthropomorphic  (berbentuk seperti manusia) atau suatu kosepsi bahwa manusia itu  berbentuk seperti Tuhan (Theomorphic). Dalam agama ini Tuhan sebagai pencipta menciptakan  manusia dan  alam  semesta, sebagaimana seorang penganjun membuat periuk. Dengan demikian, antara pencipta dan benda yang diciptakan merupakan  dua hal yang terpisah.

Sebaliknya, agama dan kepercayaan Timur percaya bahwa alam semesta diciptakan sebagai suatu emanasi (pancaran) dari penciptanya. Ini merupakan konsepsi dimana Dia yang suci dan manusia berada dalam qualitas yang sama (Theantropic). Di dalam kitab Brahmandapurana, buku penciptaan dalam agama Hindu, disebutkan bahwa alam semesta diciptakan memancar dari telur Brahma (Gonda, 1932). Di Jawa Barat, alat tenun diciptakan bukan oleh manusia, tetapi suatu emanasi (pancaran) dari Nyi  Pohaci, Dewi Kesuburan (Wahyono M., 1981). Menurut cerita  tersebut, dalam samadhinya Nyi Pohaci berpikir bahwa tanaman (flora) seharusnya memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk pakaian bagi manusia. Ia memerintahkan kepada Raden Tanjung,  pembantunya , untuk pergi ke gunung suci Galuh guna mengambil buah ratna dari pohon emas dengan daun-daun perak. Nyi Pohaci memberitahukan kepadanya supaya meminta bantuan kepada saudara wanitanya yang bernama Lutung Nunggal yang tinggal di dekat gunung itu. 

Setelah mengatasi berbagai kesulitan Raden Tanjung dapat memperoleh buah Ratna dan menyerahkannya kepada Nyi Pohaci. Ketika Nyi Pohaci membuka buah itu, kapas keluar dari dalam buah tersebut. Ia memintal kapas tersebut untuk dijadikan benang. Ia ingin membuat sebuah alat tenun untuk menenun benang-benang itu. Ia memberikan badannya untuk berubah menjadi alat tenun dan bagian-bagian badannya berubah menjadi bagian-bagian alat tenun tersebut. Rambutnya berubah menjadi jantera untuk memintal benang, iga-iganya berubah menjadi suri, tulang belakangnya berubah menjadi liro (yang bentuknya seperti pedang), tulangnya berubah menjadi  gendongan ( alat dari kayu yang ditaruh di bagian belakang penenun). Penduduk Jawa Barat memberi nama bagian-bagian  alat tenun itu, seakan akan bagian-bagian seorang manusia, misalnya gendongan  dinamakan Srangenge Brang Ejor Karoncang, suri dinamakan  Awi  Tali Nunggal, taropong  dinamakan  Tamiyang Sono, dll. Dari cerita ini jelaslah bahwa alat tenun itu tidak dibuat, tetapi badan Nyi Pohaci berubah menjadi alat tenun, sehingga bisa dikatakan bahwa badan dan alat tenun itu satu.

Opini terhadap penciptaan dalam agama Barat sebenarnya adalah hasil pengamatan yang panjang terhadap benda-benda yang dibuat oleh manusia. Sebuah kursi ada karena dibuat oleh seorang tukang kayu. Sebuah periuk dibuat oleh seorang penjunan. Penjunan dan periuknya berkedudukan seperti pencipta dan ciptaannya. Pertanyaan mengenai Pencipta muncul yaitu siapa yang menciptakan alam semesta? Alam semesta dan apa saja yang berada di dalamnya adalah  benda-benda yang terpisah dari penciptanya.  Hal ini mendorong munculnya opini  dan sikap masyarakat terhadap benda-benda buatan mereka sendiri. Karena benda ciptaan terpisah dari penciptanya, maka benda-benda buaatan manusia  terpisah pula  dari orang-orang pembuatnya. Akibatnya  berkembanglah keingin-tahuan masyarakat  untuk belajar lebih banyak lagi terhadap benda-benda itu. Jadi sikap masyarakat terhadap benda penuh dengan keingin-tahuan dan mau mempelajari benda secara lebih dalam lagi. Sikap seperti ini terdapat  pada pengunjung-pengunjung Museum di Negara-negara Barat.

Di pihak lain, cerita tentang penciptaan (genesis) dari agama dan kepercayaan lokal Timur menunjukkan bahwa semua benda termasuk manusia dan alam semesta  terpancar dari suatu  sumber seperti Telur Brahma, dewi atau benda-benda lain, yang kemudian menimbulkan pendapat bahwa  manusia dan benda-benda lain adalah sama. Tambahan lagi manusia dan benda-benda lain tidak hanya sejajar (sama) tetapi juga datang dari sumber yang sama. Benda-benda adalah bagian-bagian dari manusia, teremanasi (dipancarkan) dari manusia atau sebaliknya manusia dipancarkan dari benda. Jika seseorang membuat kursi, maka dapat dibayangkan bahwa seseorang dalam proses emansi (memancarkan ) kursi dari dirinya. Hal ini diperlihatkan dengan adanya fakta bahwa ada banyak kata-kata dalam bahasa  Java atau bahasa Indonesia yang umumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai  “to make” atau “to create”, tetapi sesungguhnya memiliki arti atau nuansa yang tidak tercakup dalam kedua kata bahasa Inggris itu.

Contohnya kata “cipta” yang berarti membuat. Tetapi kata itu mempunyai arti lain yaitu “pikiran”(the mind). Kata ini biasanya dipakai untuk hal-hal tertentu seperti “menciptakan lagu”, puisi, desain yang special, dsb. Dan selalu dipakai untuk Tuhan atau para dewa. Misalnya: Lagu ini ciptaan Ismail Marzuki, disain yang indah ini diciptakan oleh Hani, Tuhan menciptakan dunia dan isinya. Kata mencipta ini bisa berarti “membuat” tetapi kata ini mengandung nuansa bahwa seseorang tidak benar-benar membuat  sesuatu. Maksudnya ialah bahwa orang yang menciptakan sesuatu itu seperti membuat tetapi tidak ada  gerak, seperti membuat dengan menggunakan pikiran. Membuat tetapi tanpa gerak dan seakan membuat dengan pikiran ditunjukkan dengan jelas dalam cerita “Lara Jonggrang” yaitu cerita rakyat tentang pembuatan Candi Sewu, Jawa Tengah  dan tentang gadis desa yang bernama Lara Jonggrang

Ceritanya adalah demikian: Bandung Bandawasa seorang raja di daerah Prambanan, Jawa Tengah, meminta kepada Lara Jonggrang  untuk mau kawin dengannya. Tetapi Lara Jonggrang diam-diam tidak menyukainya sehingga dicarinya akal untuk menggagalkan perkawinan itu. Lara Jonggrang meminta kepada raja Bandung Bandawasa untuk membuatkan seribu candi dalam semalam Bandung Bandawasa menyanggupinya. Ia bersemadi pada malam itu dan satu persatu candi telah diciptakannya, dengan pertolongan makhluk halus. 

Karena melihat bahwa Bandung Bandawasa nampaknya hampir berhasil membuat seribu candi dalam semalam, maka  Lara Jonggrang ingin menggagalkannya. Diambilnyalah lesung dan penumbuknya lalu mulailah ia menumbuk beras yang kemudian diikuti oleh gadis-gadis di daerahnya. Suara orang menumbuk beras menyebabkan ayam-ayam berkokok seperti kalau fajar pagi telah tiba. Terpikir bahwa pagi telah tiba, Bandung Bandawasa membuka matanya dan mengakhiri samadhinya. Serenta ia tahu bahwa pagi belum tiba dan candi yang diciptakannya masih kurang, maka marahlah ia. Ia mengutuk Lara Jonggrang dan gadis-gadis di daerahnya akan terlambat masuk ke jenjang perkawinan.


Dalam cerita ini jelaslah bahwa kata “cipta” adalah erat berhubungan dengan  “pikiran “ (the mind) dan tidak ada bayangan seseorang meletakkan batu demi batu dalam pembangunan candi-candi tersebut. Kata lain yang hampir sama artinya ialah kata “karya”. Penggunaan kata ini hampir sama dengan kata “cipta” tetapi untuk kata-kata yang lain seperti lukisan, kesusasteraan. dll. Misalnya dalam kalimat-kalimat berikut: Lukisan ini karya Basuki Abdullah. Terjemahan dalam bahasa Inggris: This painting was painted by Baasuki Abdullah. Caligula adalah karya Albert Camus (Caligula is the work of Albert Camus). Terjemahan dalam bahasa Inggris menunjukkan adanya bayangan atau pengertian bahwa ada aktivitas seorang pelukis melukis, seorang penulis menulis tetapi kata  “karya” tidak memperlihatkan adanya aktivitas. Keadaan ini juga terdapat  pada kata dalam bahasa Jawa. Kata “yasan” dalam bahasa Jawa kebanyakan selalu dipakai oleh raja, umumnya berarti  “dibuat atas perintah”. Misalnya: Keris yasan dalem Pakubuwono  X, yang artinya Keris disuruh buat oleh Pakubuwono X. Kata “yasan” disini secara jelas  tidak memberi  gambaran aktivitas, karena keris itu dibuat bukan oleh raja Pakubuwono X tetapi oleh orang lain. Ada banyak kata-kata dengan konotasi yang mirip atau hampir sama sebagaimana diutarakan di atas dalam bahasa-bahasa lokal di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa “membuat suatu benda” memiliki konsep yang sama sekali berbeda dengan konsep  Barat.


Sebagai akibat dari pandangan ini, masyarakat menganggap bahwa benda buatan mereka sebagai bagian dari mereka. Jadi masyarakat telah mengetahui dan mengenal benda-benda itu seperti mereka mengenal diri mereka sendiri. Sebuah museum adalah produk budaya Barat. Pada mulanya Museum di Indonesia memuaskan keingin-tahuan masyarakat Barat yang tinggal di Indonesia.Museum pertama di Indonesia juga produk dari masyarakat Belanda yang tinggal di Indonesia.Museum itu memenuhi keingin-tahuan masyarakat Belanda tersebut terhadap benda-benda di Indonesia. Tetapi bagi pengunjung lokal, benda-benda yang dipamerkan di Museum tidak berarti apa-apa bagi mereka karena benda-benda itu dianggap “sudah diketahui” oleh mereka. Tentu saja tidak semua pengunjung lokal mempunyai pendapat yang sama. Ada beberapa pengunjung lokal yang melihat benda-benda yang dipamerka dengan rasa keingin tahuan yang besar dan mau belajar mengenai benda-benda yang dipamerkan. Tetapi berdasarkan observasi yang penulis lakukan selama bertahun-tahun terhadap pengunjung lokal di Museum Nasional, Jakarta, dapat dikatakan bahwa umumnya pengunjung lokal tidak banyak tertarik kepada benda-benda yang dipamerkan (benda koleksi).

Beberapa bulan yang lalu, ada berita di koran-koran tentang seseorang yang menemukan sebuah “yungelod”, mayat dari suatu makhluk yang dipercaya sebagai mayat manusia yang mengecil. Yungelod itu panjangnya 35 cm, seperti bentuk tubuh manusia dengan rambut panjang dengan muka yang kecil, gigi yang besar-besar dan tubuh yang kecil, yang dipercaya berdaging manusia.  Benda ini dipamerkan di gedung pameran yang terletak dekat mall Pondok Indah di Jakarta. Setiap hari ratusan orang datang ingin melihat benda itu, meskipun mereka harus membayar dengan harga tiket yang tinggi. Pada akhirnya diumumkan bahwa benda itu adalah palsu, tetapi masih banyak orang saja yang datang untuk melihat. Mengapa orang begitu banyak yang ingin melihat benda itu? Karena yungelod  (benda itu) berasal dari “domain” yang berbeda atau lain dari pada benda-benda koleksi museum. Ada jarak antara benda itu dengan  masyarakat sehingga menimbulkan rasa keingin-tahuan masyarakat terhadap benda itu.

Kondisi bahwa masyarakat tidak tertarik terhadap benda-benda buatannya sendiri, semakin lama akan semakin berkurang karena adanya pendidikan Barat. Pendidikan barat yang sekarang berlaku di Indonesia pada suatu ketika akan membuat masyarakat Indonesia berpikir a la Barat, dan karenanya akan ada jarak antara masyarakat dengan benda-benda buatannya dan dengan sendirinya memupuk keingin-tahuan masyarakat terhadap benda-benda buatannya sendiri. Pada waktu itu diharapkan bahwa masyarakat lokal itu akan pergi melihat-lihat koleksi museumnya. Namun hal itu masih lama akan terjadi.


BIBLIOGRAPHY
Hidding, K.A. H.  Ni Pohaci Sang Hyang Seri. Proefschrift, Leiden, 1929.
Huxley, Julian.   Man Stands Alone. Freeport, N.Y. books for Libraries Press (C. 1941), 1970.
Gonda, J. Het Oud-Javaansche Brahmandapurana I, Prosa Tekst en Kakawin Anteekeninge. Bibliotheca Javanica, Vol. V, Bandoeng, 1935.
Wahyono, M. Lurik Daerah Yogyakarta Dalam Perbandingan, Corak, Fungsi dan Artinya bagi Masyarakat, Unpublished, 1971. 

Comments

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante