Jusuf Muda Dalam dan Bank Indonesia
Sejarah Bank Indonesia pada periode 1965 -1966 adalah sejarah yang kelam. Jusuf Muda Dalam (JMD) Menteri Urusan Bank Sentral sekaligus gubernur bank sentral melebur Bank Indonesia dalam Bank Tunggal, menyatukannya dengan bank-bank pemerintah lainnya, mengubah nama Bank Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit I bagian dari Bank Negara Indonesia (Bank Tunggal). Sejenak nama Bank Indonesia terhapus dari peta perbankan Indonesia bahkan dunia. Penggalan sejarah itu menjadi pelajaran yang berharga bagi Bank Indonesia. Meski kelam dan pahit untuk dikenang, Bank Indonesia tetap mengingatnya, menuliskan dalam buku sejarahnya mengabadikan dalam museumnya.
Siapakah gerangan Jusuf Muda Dalam atau JMD itu? Jusuf
Muda Dalam sebelumnya adalah Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI) yang
lahir di Sigli, Aceh, 1 Desember 1914. Pada 1936 ia pergi ke negeri Belanda
untuk menempuh pendidikan Ekonomische Hoge School di Rotterdam hingga mencapai
tingkat doktoral selama 2 tahun sampai datangnya pendudukan Tentara Nazi Jerman
pada 1941. Pada 1943 – 1944 ia bergabung bersama mahasiswa Rotterdam dalam
gerakan bawah tanah yang menentang pendudukan Nazi Jerman, dan menjadi wartawan
dari harian De Waarheid milik partai komunis Belanda.
Setelah
Perang Dunia II, pada November 1946 hingga Februari 1947 Jusuf Muda Dalam kembali
ke Indonesia melakukan liputan jurnalisme tentang revolusi Indonesia untuk harian De Waaheid. Pada Maret 1947
kembali lagi ke Indonesia dan bekerja pada Kementerian Pertahanan di Yogyakarta
dan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika meletus
pemberontakan PKI Madiun 1948, Jusuf Muda Dalam ditahan di Wirogunan karena
dituduh terlibat dalam pemberontakan tapi berhasil lolos dari penjara ketika
terjadi penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta. Dalam PKI, ia pernah menjadi
Ketua Seksi Ekonomi PKI cabang Yogyakarta dan pada 1949 menjadi wakil PKI di
DPR.
Pada
1951 Jusuf Muda Dalam memutuskan untuk keluar dari PKI dengan alasan bahwa
partai itu tidak lagi sesuai dengan sikap politiknya. Selanjutnya pada 1954 ia bergabung
dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) duduk sebagai pengurus pusat partai
yakni anggota Seksi Keuangan dan Ekonomi, dan duduk sebagai anggota fraksi di
DPR bagian Ekonomi dan Keuangan. Pada 1956 atas ajakan Soemargono
Djojohadikusumo, Jusuf Muda Dalam masuk sebagai staf Bank Negara Indonesia
(BNI). Karirnya melesat cepat, karena
pada 1957 ia telah duduk sebagai Direktur BNI dan pada 1959 sebagai Presiden
Direktur BNI hingga diangkat sebagai Menteri Urusan Bank Sentral merangkap sebagai Gubernur Bank Indonesia pada 1963 (Penerbit
Kedjaksaan Agung Bidang Chusus, 1967).
Pada
1964 di tengah gencarnya Presiden Soekarno melancarkan politik konfrontasi
terhadap kekuatan imperealisme barat, Jusuf Muda Dalam mempunyai konsep untuk
menjadikan Bank Indonesia dan perbankan nasional sebagai Bank Berjuang (Tim
Penulis LP3ES, 1995). Dari konsep inilah gagasan Bank Tunggal mulai dirumuskan, direncanakan, dan dilaksanakan pada Juli 1965. Namun bank tunggal hanya berusia singkat. Pada akhir 1965
dan awal 1966 Indonesia penuh dengan gejolak, tekanan ekonomi yang semakin
berat terus menghimpit kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ditambah lagi, dampak
Peristiwa 30 September 1965 yang melibatkan PKI dan tentara secara politis
telah menggiring pada suatu proses peluruhan kekuasaan pemerintahan terpimpin. Demonstrasi
mahasiswa (angkatan 66) yang menuntut perbaikan keadaan ekonomi, sosial, dan
politik, mulai menggoyahkan kekuasaan pemerintah. Bank tunggal pun juga terhenti karenanya.
Pada 11 Maret
1966 lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberikan
wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk menertibkan keadaan. Salah satu
tindakan penertiban itu adalah pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan bertindak
atas nama Presiden pada 18 Maret 1966 melakukan tindakan pengamanan terhadap 15
orang menteri kabinet, termasuk Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam, dengan alasan untuk melindungi
mereka dari amarah rakyat karena dianggap terlibat atau terkait dengan PKI. Surat
pengangkapan dan penahanan atas Jusuf Muda Dalam secara resmi baru
dikeluarkan pada oleh Tim Pemeriksa Pusat Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban pada 18 April 1966. Setelah itu, proses pengadilan Jusuf Muda
Dalam salah satu bagian drama politik yang paling banyak mendapat perhatian
dari media dan masyarakat luas.
Pada
15 Agustus 1966 Harian Berita Yudha mengabarkan bahwa pada 13 Agustus 1966
Menteri Utama/Menteri Panglima Angkata Darat Jenderal Soeharto telah
menyerahkan berkas perkara bekas MUBS Jusuf Muda Dalam kepada Jaksa Agung
Mayjen Sugih Arto. Pada 24 Agustus 1966 Jaksa Agung mengumumkan telah membentuk
Komando Penyelenggara Peradilan Subversi untuk menyidangkan perkara Jusuf Muda Dalam
mulai 30 Agustus 1966 di gedung Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional)
yang kemudian diplesetkan oleh media menjadi Badan Pemeriksaan Pengkhianatan
Nasional.
Jika
digambarkan pada masa sekarang, peradilan Jusuf Muda Dalam pada masa itu adalah
pengadilan selebritas yang melibatkan sejumlah istri muda atau dan
wanita-wanita terkenal teman perempuan mantan MUBS (media menyebutnya nona-nona
manis) sebagai saksi dalam persidangan.
Harian
Api Pantjasila pada 30 Agustus 1966, hari pertama persidangan JMD, menuliskan:
“kita tidak akan mengungkit-ungkit bagaimana seremnya dia main wanita yang a
moral itu, tetapi kejadian tokoh Jusuf Muda Dalam itu telah memberikan
pelajaran bagi kita, bahwa tiap-tiap tokoh yang pegang tampuk pimpinan negara
apa lagi yang pegang posisi penting, misalnya keuangan, bila punya perbuatan a
susila dan a moral tidak akan sukses dalam pekerjaannya. Bahkan akan membawakan
bencana bagi tugas-tugas yang dipikulkan negara kepadanya.” Pernyataan itu boleh
jadi juga dimaksudkan menyindir Presiden Soekarno yang pada saat itu juga
diketahui oleh publik memiliki sejumlah istri muda.
Pada
saat itu kalangan media khawatir bahwa para hakim dan jaksa dalam pengadilan
tidak cukup berani mengadili Jusuf Muda Dalam, mengingat sebelumnya ia adalah
orang yang paling berpengaruh dalam penentuan kebijakan ekonomi selama
pemerintahan Presiden Soekarno. Mereka juga mensinyalir bahwa dari 270 juta USD
jumlah Deferred Payment Credit (DPC) yang diselewengkan oleh Jusuf Muda Dalam,
hanya 10% saja yang akan diperkarakan dan sisanya akan dibekukan, dengan tujuan
untuk menghapus jejak beberapa oknum lainnya yang terlibat. Selain itu kekhawatiran
juga muncul kalau-kalau pengadilan Jusuf Muda Dalam akan ditujukan kepada
kesalahan-kesalahannya yang lain, seperti skandalnya dengan para perempuan dan
kejahatan yang lainnya sehingga akan divonis dengan hukuman ringan.
Pada
malam 9 September 1966, --setelah mendatangkan 175 saksi-- pengadilan
memutuskan hukuman mati kepada Jusuf Muda Dalam karena terbukti secara hukum
melakukan:
1. Tindak pidana subversi
2. Tindak pidana khusus penguasaan senjata api tanpa hak
3. Tindak pidana korupsi
4. Perkawinan yang dilarang oleh undang-undang
Menanggapi
vonis hukuman mati itu, media nasional merilis berbagai macam komentar berbagai
pihak yang merasa puas dan menganggap bahwa pengadilan terhadap Jusuf Muda Dalam
adalah pengadilan rakyat. Ada beberapa pihak yang menuntut bahwa pengadilan
tidak berhenti hanya pada Jusuf Muda Dalam, tapi juga beberapa oknum yang
dianggap terlibat dengan mantan MUBS itu dan kecipratan dana Deferred Payment
Credit. Beberapa nama terkenal yang disebut oleh media pada saat itu antara
adalah Ratna Sari Dewi (istri Presiden Soekarno) dan Baby Huwae (seorang
sosialita terkenal).
Harian
KAMI menyatakan salut kepada pengadilan yang menjatuhkan hukuman mati bagi Jusuf
Muda Dalam dan tetap berharap agar pada pengadilan subversi lainnya,
saksi-saksi harus didatangkan tanpa pandang bulu. Dari pihak NU, KH Moch
Dachlan menyatakan bahwa dari segi hukum agama, moral, dan segi ekonomi politik
hukuman mati masih terlalu ringan bagi Jusuf Muda Dalam. Seharusnya hukuman
yang setimpal baginya adalah dihukum mati tiga kali, atau dihukum gantung di
depan khalayak ramai.
Harian
KMI menyitir mingguan Abad Muslimin menyatakan bahwa seharusnya pengadilan atas
Jusuf Muda Dalam mampu mengurai peranan
Jusuf Muda Dalam dalam kegiatan PKI di Indonesia. Ternyata pengadilan itu
merosot menjadi pengadilan skandal seks dan mengabaikan pengungkapan hubungan Jusuf
Muda Dalam dengan suatu rencana PKI untuk merebut kekuasaan di Indonesia.
Jika
dilihat dari proses jalannya sidang pengadilan atas Jusuf Muda Dalam,
diantara empat dakwaan pengadilan, hanya
dua dakwaan yang benar-benar terbukti secara kuat, yaitu:
1. Tindak pidana korupsi, karena Jusuf Muda Dalam
menyalah gunakan wewenang dalam pelaksanaan kebijakan Deferred Payment
Credit, memberikan kemudahan kredit atau izin impor kepada beberapa
perusahaan dan individu melalui mekanisme Deferred Payment Credit dengan
imbalan memberikan pungutan untuk menghimpun Dana Revolusi, menyalahgunakan
Dana Revolusi, dan menggelapkan uang yang ada dalam wewenangnya sebagai MUBS)
2. Perkawinan yang dilarang oleh undang-undang, karena
Jusuf Muda Dalam memiliki enam orang istri dalam rentang waktu 1964-1966)
Sedangkan
dua dakwaan lainnya, yaitu tindak pidana subversi dan tindak pidana khusus
penguasaan senjata api tanpa hak, kurang terbukti secara meyakinkan. Dari sisi
pemberitaan media, berbagai pihak berusaha mengkaitkan kebijakan Jusuf Muda
Dalam dalam perkreditan luar negeri
dianggap membawa Indonesia dalam perangkap kekuasaan ekonomi Republik Rakyat
Tjina (RRT). Dengan demikian menurut pihak itu Jusuf Muda Dalam telah
menjalankan suatu peranan yang dapat menguntungkan bagi strategi politik luar
negeri PKI hingga meletusnya Gerakan 30 September 1965.
Sedangkan
dalam hal pembelian persenjataan dari Cekoslowakia untuk Polisi Bank atau Wira
Bank, secara jelas Jusuf Muda Dalam bisa menjelaskan bahwa persenjataan itu
digunakan oleh polisi bank untuk pengamanan pengiriman uang dalam jumlah besar.
Biasanya bank mendapat pinjaman persenjataan dari pihak kepolisian, tapi pada
saat itu polisi harus menarik pinjaman persenjataan itu karena polisi
kekurangan senjata. Oleh karena itu tidak ada langkah lain bagi MUBS untuk
memerintahkan pembelian senjata untuk memenuhi kebutuhan mereka yang mendesak
dalam mengamankan pengiriman uang.
Dalam
pembelaannya Jusuf Muda Dalam mengatakan bahwa apa yang dilakukannya selama
menjabat sebagai MUBS, terkait dengan Bank Tunggal, pemberlakuan sistem Deferred
Payment Credit, dan menghimpun Dana Revolusi adalah bagian dari pelaksanaan
program kerja Kabinet Dwikora, yaitu mengganyang Malaysia dan meningkatkan
ketahanan revolusi (kebijakan penguatan national character building).
Namun Demikian, pembelaan itu belum mampu menyelamatkannya dari vonis hukuman
mati (Penerbit Kedjaksaan Agung Bidang Chusus, 1967).
Itulah sepenggal kisah Jusuf Muda Dalam dan Bank Indonesia. Setelah vonis hukuman mati itu, rezim pun berganti. Presiden Soekarno semakin melemah, satu persatu pendukungnya menjadi buruan unntuk diamankan oleh pemerintahan Orde Baru. Bank Indonesia dipulihkan kembali. Bank Negara Indonesia Unit I berganti lagi menjadi Bank Indonesia. Tapi periode itu bukanlah satu-satunya penggalan sejarah kelam yang dialami Bank Indonesia. Pada babak sejarah selanjutnya beberapa penggalan kelam akan dialami lagi dan lagi oleh Bank Indonesia.
Itulah sepenggal kisah Jusuf Muda Dalam dan Bank Indonesia. Setelah vonis hukuman mati itu, rezim pun berganti. Presiden Soekarno semakin melemah, satu persatu pendukungnya menjadi buruan unntuk diamankan oleh pemerintahan Orde Baru. Bank Indonesia dipulihkan kembali. Bank Negara Indonesia Unit I berganti lagi menjadi Bank Indonesia. Tapi periode itu bukanlah satu-satunya penggalan sejarah kelam yang dialami Bank Indonesia. Pada babak sejarah selanjutnya beberapa penggalan kelam akan dialami lagi dan lagi oleh Bank Indonesia.
************
Comments