Membangun Museum: Imajinasi dan Kerja Kolektif



Akhir-akhir ini pada setiap pertemuan saya dengan institusi lembaga Negara atau perusahaan swasta yang sedang berminat untuk membangun museum, selalu muncul pertanyaan siapakah gerangan individu profesional atau tim kolegial yang membangun museum???

Pertanyaan semacam ini membuat saya menerawang kepada pengalaman saya pada awal 2004 ketika pertama kali bergabung dengan Unit Khusus Museum Bank Indonesia. Ketika itu sebagai asisten peneliti sejarah, saya antara lain menemukan dokumen “Rencana Tata Pamer Museum Bank Indonesia”. Tidak main-main, dokumen itu disusun oleh para maestro dunia permuseuman Indonesia, ada Sudarmadji Dhamais yang kita kenal dengan Aji Dame’, ada sejarawan dari Universitas Indonesia, dan sejumlah praktisi museum dan arsitek kesohor yang berbasis di Jakarta dan Surabaya.

Unit Khusus MBI
Setelah saya baca dokumen itu, dengan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan saya tentang museum pada saat itu, saya berpikir bahwa harusnya Bank Indonesia telah siap untuk mendirikan suatu museum, museum bank sentral yang pertama di Indonesia. Tetapi kenapa hal itu tidak terjadi? Dan malah baru membentuk unit khusus yang secara ad hoc bertugas membangun museum? Artinya pekerjaan baru saja dimulai, setidaknya untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak bersifat fisik arsitektural. Apakah rekomendasi para maestro yang ada dalam dokumen itu belum cukup lengkap untuk mendirikan suatu museum? Apakah ada hal-hal lain yang masih perku dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai persiapan dalam membangun museum?

Setelah saya tenggelam dalam dunia penelitian sejarah bank sentral untuk beberapa tahun kemudian dan ikut terlibat dalam menyusun beberapa detail rancangan museum, barulah saya dapat menyimpulkan kenapa dokumen para maestro itu tidak dapat mewujud menjadi suatu museum. Pertama, Rencana Tata Pamer itu belum mampu menggugah imajinasi pihak Bank Indonesia sebagai lembaga yang akan mengelola museum, sebagai institusi yang memiliki kisah sejarah dan pesan masa kini yang ingin mereka sampaikan kepada masyarakat, sehingga merasa yakin bahwa Rencana Tata Pamer itulah yang akan mereka wujudkan secara fisik sebagai museum.

Tim Museum Polri
Imajinasi adalah salah satu faktor penting yang harus dimiliki dan kemudian digunakan oleh individu atau tim dalam membangun suatu museum. Saya sepakat dengan pendapat Susan M Pearce (1994) yang mengatakan bahwa para pemilik pengelola atau pembangun museum cenderung akan mengumpulkan benda-benda bersejarah sebagai koleksinya berdasarkan imajinasi dan fantasi yang ada di kepala mereka. Selain itu mereka akan menganggap bahwa benda apa pun yang telah mereka miliki adalah koleksi yang akan dipamerkan dalam museum, terlepas dari penilaian apapun yang melekat pada benda bersejarah itu. Dalam kasus dokumen Rencana Tata Pamer Museum Bank Indonesia itu, menurut saya boleh jadi telah mumpuni dan lengkap sebagai suatu kajian tentang materi pamer museum, tapi pada sisi lain belum mampu merangsang imajinasi dan fantasi Bank Indonesia dan memberi gambaran seperti apa museumnya kelak akan hadir di tengah masyarakat sebagai representasi dari citra diri yang mereka inginkan.  

Kedua, setelah memiliki dokumen Rencana Tata Pamer, Bank Indonesia belum mempunyai pengetahuan siapakah individu atau tim profesional yang akan mewujudkan pembangunan secara fisik? Apakah suatu tim arsitek? Apakah para museolog, arkelolog atau  ahli sejarah? Atau para seniman?  Pada akhirnya baru pada 2007 Unit Khusus Museum Bank Indonesia mulai mengumpulkan para seniman (seni rupa) yang dikolaborasikan dengan tim arsitek (interior dan eksterior bangunan), para pembuat film dokumenter, para penulis naskah yang handal, dan beberapa tim lainnya yang diminta untuk mengolah koleksi dan peristiwa (sejarah) yang telah dimiliki oleh Bank Indonesia untuk kemudian diwujudkan dakam suatu tampilan tata pamer museum. Pada titik ini dapat kita katakan bahwa museum adalah hasil kerjasama tim, bukan individu tertentu. Museum adalah hasil kolaborasi imajinasi berbagai pihak yang harus dipertemukan, dipadukan antara satu sama lain, kemudian mewujud dalam suatu tampilan fisik yang dapat dinikmati keindahannya, diserap dan dimengerti nilai dan pesan yang terkandung di dalamnya.

Tim Omah Munir
Jadi dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang muncul akhir-akhir ini, tentang bagaimana membangun  museum dan siapa yang akan membangun museum? Saya selalu menjawab, museum adalah kerja suatu tim yang harus maha hebat dan maha kompak yang terdiri dari para sejarawan, arkeolog, museolog, arsitek, seniman, dan beberapa pihak lainnya yang bersatu dalam mengkolaborasikan imajinasi-imajinasi! Setelah terkumpul tim seperti itu, barulah dibutuhkan seorang dirijen yang mengatur irama kolaborasi dan menata imajinasi-imajinasi agar berpadu menghasilkan maha karya bernama museum! Lalu akan ada pertanyaan siapa sang dirijen itu? Dengan diplomatis dan sedikit promosi, saya mengatakan bisa siapa saja, termasuk saya, seorang sejarawan dan konsultan museum!

Comments

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante