Membangun Museum Itu Mudah!


Pada Januari 2017 saya berkesempatan menyambut dan menemani salah seorang curator museum dari Musee de Louvre, Dr. Yannick Lintz yang sedang berkunjung ke Jakarta untuk berkeliling ke Museum Nasional dan Museum Bayt Al Quran di Jakarta. Dalam kesempatan perbincangan kami, Dr. Lintz  yang ahli dalam kajian seni Islam itu mengatakan, ada tiga syarat utama dalam membangun museum, yaitu: Story-telling, Koleksi, dan Program Museum. Sekilas, tampaknya persyaratan itu tidak terlalu sulit untuk dipenuhi, gampang dicanangkan tapi sesungguhnya dalam praktek susah dilaksanakan

Dalam pengamatan saya, banyak museum di Indonesia yang masih fokus pada koleksi. Kebanyakan pengelola museum cukup merasa puas memiliki banyak koleksi yang dapat dipamerkan dan terkadang dipamerkan secara sekaligus, sehingga ruang pamer museum lebih tampak seperti gudang storage daripada ruang pamer. Fokus yang kedua, kebanyakan museum sudah merasa tampil baik, jika bagian interior museum telah diperbaiki, tampilan grafis mulai tampak kekinian, meski kadang lupa mana bagian grafis yang berfungsi untuk menyampaikan informasi dan mana tampilan grafis yang berguna sebagai elemen art suatu ruang.
Lalu bagaimana dengan story-telling? Tampaknya bagian ini yang kerap diremehkan. Para pengelola museum banyak yang merasa cukup, cerita peristiwa yang dimiliki oleh koleksi museum tersimpan dalam benak mereka. Bahkan ada juga pengelola museum yang tidak mengetahui informasi sejarah koleksi yang dipamerkan, hanya mencukupkan kepada label nama koleksi dan sedikit informasi intrinsic lainnya, seperti milik siapa? Diperoleh dimana? Atau harganya berapa? Cerita yang lainnya? Belum terungkap dengan tuntas.
Tampaknya story-telling ini hal yang sederhana, padahal tidak. Dalam suatu pameran komik di Bentara Budaya Jakarta, saya pernah berbincang  dengan seorang komikus kawak dari Malang, Jawa Timur tentang story telling ini. Kata sang komikus, saat ini banyak generasi baru komikus yang secara tehnis menggambar sudah cukup mapan bahkan lebih canggih dari para komikus pendahulu, tapi sayang generasi baru komikus ini tidak cukup pandai menyusun sebuah rangkaian cerita. Walhasil banyak tampilan komik yang bagus tapi kisahnya garing, kriuk!
Nah, museum juga seperti itu. Di Indonesia banyak museum yang tampil menawan dari sudut interior dan grafis, tapi melempem dalam menyusun story-line museum. Alih-alih malas menggali cerita koleksi-koleksinya, banyak museum yang mulai menggunakan media pamer seperti gambar trick-art atau game interaktif berbasis teknologi digital untuk menarik pengunjung bermain dalam museum. Fenomena seperti ini biasanya hanya trend sesaat, satu atau dua tahun akan menghilang dan berganti dengan tema menarik lainnya yang sebenarnya bersifat sekunder dalam urutan tata pamer museum, bahkan tersier!

Bagaimana dengan program dalam museum? Ya, banyak lembaga atau instansi di Indonesia dengan mudah membangun museum secara fisik, lalu menelantarkannya begitu selesai karena tidak berkesinambungan dalam merawat museum dan menjalankan program dalam museum. Program publik dalam museum yang antara lain terdiri dari program edukasi yang fun dan mudah diakses oleh masyarakat luas, adalah salah satu tulang punggung bagi langgengnya suatu museum. Di Indonesia, hal ini menjadi tantangan berat bagi museum-museum di Indonesia, mengingat program edukasi museum akan mendapat respon sesuai dengan tingkat kesadaran dan kematangan pendidikan masyarakat secara keseluruhan. Di Indonesia, masyarakat yang menjadi sasaran edukasi museum, secara mayoritas masih sebatas menggemari kerumunan dan kemeriahan, belum masuk dalam unsur yang lebih utama, seperti pengetahuan atau informasi.
Demikianlah, singkatnya yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, membangun museum itu mudah, tapi tentu tidak mudah untuk menjaga, merawat, dan mengembangkan museum pada tahap selanjutnya! Selamat membangun museum!

Comments

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante