Kuasa Kuratorial dalam Tata Pamer Museum


Dus djuga keberanian memasang label “ahli museum” itu merupakan suatu keharusan yang mutlak sebagai stootkapitaal kita bersama asalkan kita tetap waspada akan batas-batas kemampuan kita demi kelancaran kerja, hubungan-hubungan kolegial, yang juga sama-sama kita perlukan.”  

Moh. Amir Sutaarga (Majalah Budaya 3/4/5 Maret – Mei 1963)


Sejauh data yang berhasil saya temukan, profesi atau jabatan kurator atau asisten kurator mulai digunakan oleh beberapa praktisi museum di Indonesia sejak akhir 1950 an atau awal 1960 an. Memang tidak keliru jika Agus Hujatnikajennong menyatakan dalam bukunya Kurasi dan Kuasa (2015) bahwa kurator dapat diasumsikan sebagai jenis pekerjaan yang tidak ada dalam khazanah kehidupan masyarakat Indonesia. Kurator adalah profesi yang datang dari khazanah kehidupan masyarakat luar Indonesia, terutama jika dikaitkan dengan profesi kurator museum yang memang benar-benar berasal dari khazanah kebudayaan dari luar Indonesia.
Masih menurut Agung, bahkan hingga 1990 an, posisi kurator seni rupa juga belum menjadi profesi yang popular di Indonesia, baru kemudian pada pertengahan tahun 2000 profesi kurator mulai mengemuka dan banyak dinyatakan oleh para praktisi museum atau penggiat dunia seni rupa di Indonesia. Tentu dengan pernyataan ketidak-populeran kurator itu bukan berarti profesi itu tidak ada sama sekali di Indonesia. Mungkin hampir sama dengan kutipan dari pidato Moh. Amir Sutaarga (1962)  dalam pembuka tulisan ini, banyak praktisi museum yang sudah terlibat dalam pembangunan dan pengembangan museum, tapi belum secara yakin menyatakan bahwa mereka adalah seorang kurator!
Dunia permuseuman, termasuk museum atau galleri seni rupa di Indonesia, mulai menjadi perbincangan serius sejak akhir 1950 an. Pada masa itu, kekuasaan Presiden Soekarno menjadi semakin stabil dan pengalamannya berjumpa dengan berbagai karya seni rupa dunia sudah lumayan kaya dari masa-masa sebelumnya. Sejak saat itu mulailah Soekarno mengemukakan wacana pembangunan national art gallery untuk Indonesia. Sementara di bidang permuseuman, Pemerintah Indonesia pernah memperbantukan John Irwin, ahli museum dari Inggris untuk memberikan semacam konsultasi bagi pengembangan museum nasional. 
Pada periode yang sama, akhir 1950 an, saya menemukan beberapa tulisan tentang museum yang banyak diantaranya ditulis oleh Moh Amir Sutaarga dan Ghozali, keduanya bisa dikatakan sebagai perintis dari pengembangan Museum Nasional yang kita miliki hingga saat ini. Hanya saja, dari kedua tokoh museum tersebut, hanya Ghozali yang secara konsisten mencantumkan profesi Asisten Kurator pada tiap tulisannya. Puncaknya kata kurator sebagai suatu profesi atau jabatan termaktub secara resmi dalam Keppres 246 tahun 1964 tertanggal 19 September 1964 tentang pembentukan Panitia Museum Nasional, Wisma Seni Nasional dan Perpustakaan Nasional.  
Dalam Keppres tersebut di atas dicantumkan dalam jajaran panitia beberapa nama dengan profesi atau jabatan sebagai kurator, yaitu: 
-       Moh Amir Sutaarga, Direktur Museum Pusat (sekarang Museum Nasional), mungkin tokoh ini juga berhak menyandang jabatan kurator meski ia tidak pernah mencantumkannya.  
-     Ghozali, Asisten Kurator Museum Pusat (dikenal sebagai orang kedua setelah Amir Sutaarga)
-       Koesnadi, Kurator Gallery Seni Rupa Direktorat Kebudayaan P&K.
-       Gani Lubis, Asisten Kurator Gallery Seni Rupa Direktorat Kebudayaan P&K.
Demikian data yang paling awal, yang saya temukan terkait dengan profesi kurator, baik untuk kurator museum maupun kurator seni rupa. Lalu bagaimana sesungguhnya peran seorang kurator dalam organisasi museum? Terkait hal itu ada baiknya kita cermati apa yang ditulis oleh Ghozali dalam tulisannya berjudul “Curator: bagaimana perannanya pada Museum” (bulletin Museum Pusat, Juli 1967) yang antara lain sebagai berikut:

Itu adalah petikan pemikiran pada akhir 1960 an, sehingga dapat saya pahami berdasarkan pendapat Ghozali, bahwa M. Amir Sutaarga sebagai Direktur Museum Pusat (sekarang Museum Nasional) adalah kurator utama, dan Ghozali sendiri adalah asisten kurator. Lebih jauh tentang tugas yang maha hebat dari seorang kurator museum ia nyatakan sebagai berikut:


Tentu saja apa yang disampaikan oleh Ghozali tersebut di atas adalah sesuai dengan konteks zaman, ketika dunia museum di Indonesia masih kurang mendapat perhatian, baik dari segi pembiayaan maupun sumber daya manusia. Dapat dikatakan, secara umum pemerintah pada masa itu tidak terlalu peduli dengan dunia museum dan juga dunia seni rupa. Meski demikian, pada 1974 kita sempat menyaksikan bagaimana akhirnya Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagas oleh Ibunegara dibangun di pinggiran Jakarta. Secara konsep TMII, dibangun hampir sama dengan usulan John Irwin pada akhir 1950 an, bahwa Museum Nasional Indonesia baiknya bersifat open-air dan mendisplay berbagai macam rumah adat (semacam pavilion) daerah-daerah seluruh Indonesia.
Masa sekarang tugas kurator museum, terutama yang di kota-kota besar (keadaan yang relative sama dengan periode akhir 1960 an?) tentu saja jauh lebih mudah daripada masa sebelumnya. Umumnya museum-museum telah memiliki berbagai divisi yang menunjang berbagai tugas dan fungsi museum dalam kegiatan operasional sehari-hari. Meski, terus terang saja, peranan para kurator museum itu kurang menonjol, kurang terlihat, karena dalam keseharian yang berada di garis depan layanan museum adalah para pemandu museum atau bahkan gawai digital yang menyampaikan informasi museum. Para kurator museum masih berada di balik meja kerja masing-masing atau (mungkin) kurang percaya diri tampil di depan publik menyampaikan temuan-temuannya, hasil risetnya, atau pemikiran kuratorialnya, karena mengemban tugas sebagai “wali koleksi” atau “wali tema” dengan cakupan tema yang terlampau besar, tidak spesifik, sehingga menyebabkan mereka banyak mengetahui tapi tidak mengetahui banyak
Sementara itu, Katy Deepwell (2006) menyatakan bahwa sejak akhir abad ke-20 profesi kurator mulai banyak dikaitkan dengan manajemen pengelolaan seni, pengetahuan atau kritik tentang sejarah seni, dan berkolaborasi secara erat dengan seniman dalam menyelenggarakan pameran. Dalam perkembangannya para kurator museum atau galeri seni juga mulai mengembangkan beberapa kreativitas kuratorial yang biasa dilakukan oleh para kurator di dunia seni yang bekerja secara independen. Dalam gambaran kuratorial semacam itulah, pengalaman saya sebagai kurator museum atau galeri sejarah selama ini berlangsung. 
Sesuai dengan pengalaman saya dalam mengkurasi beberapa materi museum satu dekade terakhir, apa yang disampaikan oleh Ghozali (pada akhir 1960 an) masih relevan pada masa sekarang. Seorang kurator, berdasarkan pengetahuannya yang ia peroleh dari riset sejarah, menganalisa koleksi, membaca berbagai literature, dan juga berdiskusi dengan para ahli, memiliki kapasitas sebagai wali koleksi, empunya narasi yang disampaikan kepada masyarakat pengunjung museum. Kurator memiliki kuasa kuratorial yang bisa ia wujudkan dalam tata pamer museum, meski harus ia sampaikan dengan berbagai cara yang luwes, tepat, dan menarik agar dapat diterima oleh berbagai pihak, baik pengelola museum (owner atau manajemen museum lainnya) atau pengunjung yang menikmati tata pamer museum.
Terkait dengan kuasa kuratorial ini, pernah pada proses pembangunan Museum Polri (2009) saya dengan beberapa rekan kurator bersiasat mewujudkan agar kisah Kusni Kasdut, penjahat legendaris tahun 1970 an, ada dalam tata pamer museum. Beberapa stakeholder Museum Polri pada waktu itu langsung menolak tema Kusni Kasdut tersebut, dengan alasan penjahat kelas kakap tidak layak dibadikan dalam museum milik Polri yang menangkapnya hingga kemudian pengadilan menjatuhkan hukuman mati. Sebagai kurator, keluwesan untuk menyampaikan suatu fakta sejarah mutlak dibutuhkan agar dapat memberi sudut pandang yang berbeda dari suatu tema. Terkadang sudut pandang itu tidak mainstream bagi cara pandang pemerintah atau otoritas kekuasaan lainnya, tapi bagaimanapun fakta sejarah harus disampaikan apa adanya sambil memaknainya dengan baik. Makna atau tafsir yang berbeda tapi justru dapat memberikan sudut pandang yang lebih positif dan berguna.
Kami katakan kepada para petinggi Polri pada saat itu, justru dengan mengangkat tema Kusni Kasdut, masyarakat akan mengetahui bagaimana usaha para personel Polri dalam menundukkan pencuri yang terkenal sakti dan lihai itu! Tim Kurator menyampaikan data yang menunjukkan bahwa kejahatan Kusni Kasdut yang meresahkan itu mendapat perhatian khusus dari Kapolri pada masa itu, dan secara khusus menemuinya beberapa saat sebelum eksekusi mati dilaksanakan atau Kusni Kasdut. Dan akhirnya, terwujudlah display itu!


Mengangkat figure yang dianggap kontroversial adalah suatu tantangan bagi Kurator dalam menyusun tata pamer. Bagaimanapun seorang kurator harus menggunakan kuasanya untuk menyampaikan kebenaran dan atau kisah sesungguhnya secara utuh, tentunya setelah melalui suatu proses penelitian sejarah yang menyeluruh. Sebelumnya, saya juga mempunyai pengalaman menarik ketika mengusulkan agar sosok Jusuf Muda Dalam (JMD) masuk dalam bagian narasi tata pamer Museum Bank Indonesia (2009).  
JMD pada masa Orde Baru, mungkin hingga masa reformasi, adalah figur yang tabu untuk dikisahkan dalam sejarah bank sentral Indonesia. Ia seorang Soekarnois, sempat memimpin Bank Negara Indonesia (1946) lalu diangkat menjadi Menteri Urusan Bank Sentral (nama jabatan untuk gubernur bank sentral pada masa pemerintahan Soekarno). Puncak kebijakannya, JMD menggagas dibentuknya Bank Tunggal yaitu wadah meleburnya semua bank-bank pemerintah termasuk bank sentral. Hanya satu orang yang berani menolak gagasan JMD masa itu, dan langsung menghadap Soekarno untuk menolaknya, yaitu J.D. Massie, pemimpin Bank Dagang Negara (BDN) yang tak pernah dilebur dalam Bank Tunggal.
Karena sepak terjangnya itu, dan masa lalu yang kelam JMD karena berakhir pada pengadilan terkait dengan Peristiwa 30 September 1965, Bank Indonesia (terutama pada masa Orde Baru) berusaha tidak menyinggung sosok JMD. Meski demikian, pada 1995 – 1997 Prof. Dawam Rahardjo bersama tim LP3ES yang menyusun buku sejarah Bank Indonesia untuk pertama kali diterbitkan secara resmi, dengan jelas menulis tentang JMD. Bank Indonesia kemudian mengedarkan buku itu secara luas dengan format yang lebih kecil (warna biru) dan tidak memuat kisah JMD di dalamnya. Selain itu buku yang sama juga dicetak dalam format hard-cover berukuran besar (warna merah), diedarkan terbatas dalam lingkungan Bank Indonesia dan memuat kisah JMD, sebagaimana hasil lengkap penelitian Tim LP3ES.

Berdasarkan pelajaran dari siasat penerbitan itu, ketika mengkurasi tata pamer Museum BI, saya mengusulkan agar sosok JMD dan Bank Tunggal tetap masuk dalam tata pamer Museum BI. Saya beralasan bahwa, dengan mengangkat JMD masyarakat akan belajar apa yang pernah terjadi dalam periode akhir pemerintahan Soekarno. Ketika politik menjadi panglima, dan semua orang tidak lagi memiliki daya kritik, menjadi ABS (Asal Bapak Senang), taruhannya adalah kondisi ekonomi yang carut-marut, tata kelola perbankan yang amburadul, sehingga kemudian berimbas pada krisis politik dan sosial yang lebih besar dampaknya bagi bangsa Indonesia.
Dengan tata pamer yang menyajikan Bank Tunggal, secara teori masyarakat akan memperoleh pelajaran bahwa bank sentral harus independen dalam menjalankan tugasnya. Peranan bank sentral sebagai banker’s bank atau lender of the last resort tentu saja tidak dapat dicampur aduk dalam satu atap kelembagaan bersama bank komersial atau jenis usaha bank lainnya. 


Dalam display tersebut, informasi tentang JMD tidak banyak dikemukakan, meski display koleksi tongkat komando dapat menjadi bukti bagaimana perangkat ekonomi terpimpin pada masa itu merasuk dalam dunia perbankan Indonesia. Sementara itu, kisah Bank Tunggal oleh seniman diilustrasikan sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh kurator, antara lain berdasarkan bahan gambar sebagai berikut:
Foto copy potret suatu parade pegawai-pegawai bank dalam rangka pembentukan Bank Tunggal pada tahun 1965. Pada saat penelitian, kurator tidak menemukan potret aseli, beruntung lembaran foto copy dari potret masih bisa ditemukan dan menjadi bahan seniman dalam menyusun instalasi seni menggambarkan suasana pembentukan Bank Tunggal sebagai berikut: 

Itulah dua pengalaman bagaimana kuasa kuratorial dapat diwujudkan dalam tata pamer museum. Dalam menyusun storyline museum, tentunya banyak rangkaian peristiwa yang dapat disampaikan, baik peristiwa yang didukung oleh adanya koleksi maupun yang tidak memiliki koleksi pendukung peristiwa. Kurator dengan bekerjasama dengan seniman dapat memberikan pilihan – pilihan menarik yang akan ditampilkan dalam tata pamer. Apapun bentuk tata pamer itu, hendaknya kurator kembali kepada pendapat Ghozali (1967) tersebut di atas, bahwa sebagai wali dari suatu koleksi atau penyusun suatu narasi, kurator memiliki tanggung jawab moral dalam penyampaian koleksi atau narasi tersebut. Pada titik ini, kuasa kuratorial dapat digunakan secara efektif dalam menyampaikan fakta sejarah dalam sudut pandang yang obyektif dan edukatif. 
Selamat mengkurasi!



Daftar pustaka:

Agung Hujatnikajennong. Kurasi dan Kuasa: Kekuratoran dalam Medan Seni Rupa Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Marjin Kiri, 2015.
Janet Marstine. New Museum Theory and Practice: an Introduction. Blackwell Publishing, 2006. 
Mary Jo Arnoldi. From the Diorama to the Dialogic: A Century of Exhibiting Africa at the Smithsonian's Museum of Natural History (Du Diorama au dialogue: un siècle d'exposition sur l'Afrique au Smithsonian Museum of National History). Source: Cahiers d'Études Africaines, Vol. 39, Cahier 155/156, Prélever, exhiber. La mise en musées (1999), pp. 701-726

Buletin Museum. Museum Pusat, No.8 Juli 1969
Buletin Museum. Museum Pusat, No. 1 Maret 1969

Comments

Blogger said…
You should see how my buddy Wesley Virgin's biography launches in this SHOCKING and controversial video.

As a matter of fact, Wesley was in the military-and shortly after leaving-he found hidden, "SELF MIND CONTROL" secrets that the government and others used to get whatever they want.

These are the same tactics many celebrities (especially those who "come out of nowhere") and the greatest business people used to become wealthy and successful.

You probably know that you use less than 10% of your brain.

Really, that's because most of your brain's power is UNCONSCIOUS.

Maybe this thought has even taken place IN YOUR own mind... as it did in my good friend Wesley Virgin's mind around seven years ago, while driving an unlicensed, trash bucket of a vehicle with a suspended driver's license and on his banking card.

"I'm very fed up with living paycheck to paycheck! When will I become successful?"

You've taken part in those conversations, ain't it so?

Your success story is going to start. All you need is to believe in YOURSELF.

WATCH WESLEY SPEAK NOW
EBO GAMINGS said…

Ebobet merupakan situs slot online via deposit pulsa aman dan terpercaya, Dengan menggunakan Satu User ID bisa bermain semua game dari Bola, Live Casino, Slot online, tembak ikan, poker, domino dan masih banyak yang lain.

Sangat banyak bonus yang tersedia di ebobet di antaranya :
Bonus yang tersedia saat ini
Bonus new member Sportbook 100%
Bonus new member Slot 100%
Bonus new member Slot 50%
Bonus new member ALL Game 20%
Bonus Setiap hari 10%
Bonus Setiap kali 3%
Bonus mingguan Cashback 5%-10%
Bonus Mingguan Rollingan Live Casino 1%
Bonus bulanan sampai Ratusan Juta
Bonus Referral
Minimal deposit hanya 10ribu

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante