Warna Warni Islam di Indonesia

Islam itu warna warni, bahkan dalam penyebutannya saja lidah orang Indonesia juga beda2....ada yang bilang Islam, eslam, ngislam, dll. Kenapa Islam? Mungkin kebetulan kali ini hari Jum’at, hari baik umat Islam, jadi tulisan ini paling tidak sebagai hadiah untuk hari Jum’at itu. Selain itu sudah lama, bahkan mungkin belum pernah saya, pekerja museum menulis tentang Islam secara khusus,,,

Tulisan yang saya sajikan ini tidak lebih dari sekedar outline atau garis besar dari warna-warni Islam di Indonesia itu, mungkin lebih cocok untuk disebut sebagai sejarah perkembangan kelembagaan Islam di Indonesia, daripada kita sebut sebagai sejarah pemikiran Islam di Indonesia, sebagaimana yang saya niatkan sebelumnya.

Tamhid
Islam sebagai agama dan kebudayaan, secara simplifikasi, dapat kita katakan telah masuk ke Indonesia (atau tepatnya Nusantara) pada abad ke –15. Suatu abad yang kita sebut sebagai masa kurun niaga, yaitu masa perdagangan bahari yang ditandai dengan munculnya berbagai bandar perdagangan di Indonesia.[1]
Kegiatan dagang itulah yang pada akhirnya menyelundupkan Islam secara budaya di kalangan masyarakat Indonesia. Tentu saja, agama Islam sebagai bentuk dari proses budaya diterima oleh masyarakat Indonesia dalam tiga bentuk sikap yang berbeda : Pertama, sikap menerima Islam sebagai agama yang harus dijalankan sesuai dengan model pertama yang mereka terima. Kedua, sikap menerima Islam sebagai agama yang mereka kompromikan dengan ajaran yang mereka panut sebelumnya. Ketiga, sikap menerima Islam sebagai agama yang harus mereka jalankan secara otentik sesuai dengan ajaran yang semurni-murninya.
Ketiga bentuk sikap inilah yang mulanya harus kita pahami dalam melihat perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Bentuk pertama akan membawa kita pada perdebatan siapakah yang mulanya memperkenalkan bangsa Indonesia kepada model pertama dari ajaran Islam? Bangsa Tionghoa (Cina) atau Arab?[2] Adapun bentuk kedua dan ketiga akan membawa kita kepada dua kategori pemikiran yang selalu berhadapan yaitu Islam tradisi dan Islam pembaharu.[3]
Mulanya pada abad 16 hingga abad 18 di tanah Jawa khususnya, terjadi polarisasi antara Islam Sunni dan Islam Panteistik atau Wihdatul Wujud. Dalam berbagai babad dikatakan bahwa persaingan antara keduanya telah terjadi semenjak Wali Songo berhadapan dengan tokoh kontroversial, Syech Siti Jenar. Selanjutnya persaingan antara kedua aliran itu juga dimaknai sebagai persaingan antara golongan islam pesisir (santri) dan islam pedalaman (abangan). Bahkan persaingan antar keduanya juga melambangkan persaingan antara penguasa “the rule” (Demak, santri, sunni) dengan yang dikuasai “the ruled” (eks Majapahit, abangan, wihdatul wujud).[4] Persaingan antara kedua kelompok ini juga terjadi di Sumatera antara Hamzah Al Fansuri dan Arraniri.
Adapun memasuki akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, konstelasi persaingan pun mulai bergeser. Semenjak kekalahan Islam panteistik dihadapan Islam Sunni, pada abad ke 18 arus pemikiran Islam di Indonesia didominasi oleh Islam Sunni yang telah beradaptasi dengan tradisi lokal. Pada saat itu, muncul kiai dan pesantren serta beberapa aliran tasawuf dengan jama’ahnya.[5]

Golongan Tradisi dan Modern
Syech Achmad Katib Al Minangkabawi adalah seorang ulama Minang yang tinggal di Makkah hingga akhir hayatnya. Ia adalah ulama Sunni yang terkemuka, mesti kagum kepada gerakan pan-Islamisme ala Muhammad Abduh, ia menentang pendapat Abduh yang anti-mazhab. Sebab itu Syech Achmad Katib seorang pengikut Syafi’i yang fanatik. Kepadanya pernah belajar beberapa ulama terkemuka di Indonesia seperti Syech Jamaludin Jambek, KH Hasyim Asy’ari pemimpin NU dan KH M. Dachlan pemimpin Muhammadiyah.
Dari kedua murid terakhir Syech Achmad Katib inilah muncul dua genre pemikiran Islam yang berbeda, modernis diwakili oleh Muhammadiyah dan tradisionalis oleh NU.[6] Muhammadiyah muncul sebagai akumulasi kejumudan pemikiran Islam yang dijalankan oleh kelompok tradisionalis yang menurut mereka terlampau sinkretis. Sehingga nilai-nilai Islam yang sesungguhnya mulai kabur di gerus oleh bid’ah yang ada dalam pelaksanaan tradisi. Munculnya kelompok modernis ini tidak terlepas dari pengaruh pemikiran pan Islamisme Muhammad Abduh yang dalam kerangka syari’ah bertemu dengan ajaran pembaharuan dan pemurnian Islam, Wahabiah di tanah Hijaz.
Adapun kelompok tradisionalis menganggap bahwa aliran pemikiran mereka yang sinkretis merupakan warisan dari ajaran Wali Songo yang menggunakan tradisi sebagai cara untuk beradaptasi dan mengerti terhadap realitas masyarakat Indonesia.
Muhammadiyah digolongkan sebagai modernis bukan hanya karena aktivitas sosialnya yang mengacu pada prinsip dan sistem modern. Tapi lebih jauh karena mereka berpendapat bahwa tidak perlu bermazhab, memilih salah satu mazhab karena sebagai muslim mereka berhak secara individual untuk memberikan tafsir atas Al Qur’an dan Hadits (ijtihad). Selanjutnya mereka menganggap bahwa diluar ajaran yang termaktub dalam Qur’an-Hadits adalah bid’ah Islam yang sesat.
Sementara NU, bagi mereka bermazhab adalah taklid kepada salah satu ulama abad pertengahan sebagai langkah selamat dari kesalah-pahaman atas tafsir terhadap Qur’an-Hadits. Selain itu, berijtihad untuk memahami Qur’an-Hadits secara mandiri membutuhkan kadar ilmu pengetahuan yang tidak dapat dijangkau oleh semua muslim.
Pada titik itulah perbedaan yang terjadi antara NU dan Muhammadiyah, yang pada 1935 akhirnya mengakhiri perbedaan dan duduk bersama dalam MIAI. Adapun persamaan mereka adalah bahwa keduanya merupakan organisasi sosial atau jam’iyyah yang tidak larut dalam urusan politik.[7]

Politik Islam-Islam Politik?
Islam politik di Indonesia muncul pada saat gerakan pan-Islamisme merambah dunia. Jatuhnya Khalifah Salim di Turki pada 1924 memicu secara langsung kemunculan pan-Islamisme di Indonesia. Kekalahan Islam dari gerakan nasionalis Kemal Pasha At Tatruk menimbulkan sentimen kubu Islam (Sarekat Islam) terhadap kubu Nasionalis di Indonesia.
Dalam kubu Islam politik sendiri, aliran pemikiran Islam terpecah menjadi dua, yaitu kubu Islam putih dan Islam Merah. Kubu Islam putih adalah kubu yang mempertahankan arah gerakannya sesuai dengan pakem ajaran Islam secara murni. Sedangkan kubu merah adalah Islam yang menggunakan analisa marxian (komunis)[8] dalam alur pergerakannya.[9] Adapun tokoh yang terlibat dalam Sarekat Islam putih adalah Cokroaminoto, Abdul Muis dan Agus Salim. Sementara dalam kelompok merah terdapat Semaun dan H. Misbach.
Sebenarnya antara kedua kubu mempunyai kecenderungan pemikiran yang sama. Keduanya melihat bahwa pemerintah Kolonial Belanda adalah kekuatan kapitalis (pemodal) yang menindas bangsa Indonesia. Namun demikian, kelompok Cokro beranggapan bahwa dalam masyarakat pribumi juga terdapat kaum pedagang kaya yang juga masuk dalam kategori kapitalis. Untuk itu ia membagi kapitalis dalam dua kelompok, yaitu kapitalis baik dan kapitalis buruk. Maka menurutnya, Islam hanya memerangi kapitalis yang buruk yaitu pemerintah kolonial Belanda karena terbukti telah menindas dan menjajah bangsa Indonesia. Adapun kapitalis pribumi adalah kapitalis yang baik dan tidak patut untuk diperangi.[10]
Dalam titik ini, kelompok merah, Semaun, berpendapat berbeda. Menurutnya semua kapitalis hakekatnya sama yaitu menindas. Bahkan Semaun menuduhkan bahwa para pedagang kaya (mayoritas anggota utama SI adalah pedagang) pribumi merupakan para penindas yang terselubung. Mereka menggunakan simbol Islam dan nasionalisme bangsa Indonesia untuk melindungi kepentingan ekonomi mereka.
Perbedaan dua genre pemikiran ini, berujung pada eliminasi kelompok merah dari kubu Sarekat Islam. Kelompok Islam putih menganggap bahwa ajaran Islam adalah ajaran otentik yang tidak dapat dicampur aduk dengan ajaran apapun, termasuk komunisme. Akhirnya kelompok Islam-komunis menghimpun pergerakan mereka dalam wadah yang lebih jelas yaitu Sarekat Rakyat. Dari gerakan inilah, banyak kelompok dan tokoh Islam menyalurkan aspirasinya melalui pemberontakan, pengeboman atau pemogokan. Bagi mereka kerangka berpikir Marxis dalam komunisme selaras dengan nilai-nilai Islam yang mereka pahami, yaitu Islam sebagai agama pembebas. Mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad sang pembawa Islam juga melakukan pembebasan semacam itu.[11]
Akhiran
Terlepas dari perdebatan Islam bukan Islam atau alasan apapun yang mengemuka. Dapat kita pahami bahwa ajaran Islam di Indonesia diterapkan dalam berbagai pemikiran yang berbeda, bahkan saling berhadapan. Hal utama yang harus kita pahami, semua perbedaan pemikiran itu hanya bermuara pada satu inspirasi yaitu ajaran Islam. Tabik !!!!

Daftar Referensi :
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942.
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit:Pemberontakan Komunis 1926 di Banten.
Suradi, Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam.
Nor Hiqmah, HM Misbach:Sosok dan Kontroversi pemikirannya.
Anthony Reid, Asia Tenggara Masa Kurun Niaga.
Tan Malaka, Islam dalam tinjauan MADILOG.
Tan Malaka, MADILOG.
APE Koerver, Gerakan Ratu Adil.
Dewi Yuliati, Semaun: Pers Bumiputera dan Radikalisasi SI Semarang.
De Graff, Islam-Cina di Nusantara.
Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Catatan Kaki :
[1] Lihat Anthony Reid dalam Asia Tenggara Masa Kurun Niaga, 1990.
[2] Baca HJ De Graff dalam Islam-Cina, 1990 atau Slamet Mulyana dalam Runtuhnya Kerajaan Majapahit, 1978.
[3] Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1980.
[4] Lihat Abdul Munir Mulkhan, Syech Siti Jenar, 2001.
[5] Kekalahan Panteisme dari Sunni dapat ditandai dengan kekalahan Hadiwijaya di Pajang dari Sutawijaya, peletak kekuasaan Mataram Islam di Jawa. Kemunculan aliran tasawuf terutama di Kalimantan dan Sulawesi, adapaun di Jawa aliran semacam itu terkadang berubah menjadi gerakan mesianisme atau ratu adil yang memberontak pada penguasa Kolonial.
[6] Deliar Noer adalah peletak dasar dikotomi modernis dan tradisionalis, menurut sebagian Indonesianis, dikotomi Islam semacam itu tidak lagi berlaku pada saat ini.
[7] lihat Sartono Kartodirdjo, 1986.

[8] Dalam analisa marxis, dikenal teori materialisme historis, yaitu sejarah ditentukan oleh persaingan antar kekutan material atau ekonomi, yaitu antara kelompok pemodal dan buruh, kelompok berkuasa dan yang dikuasai. Kedua kekuatan itu akan saling berhadapan, bersentuhan atau berdialektika hingga membentuk suatu bentuk baru (sintesis) yang mereka yakini sebagai masyarakat komunis. Lihat Frans Magnis Suseno, 2000.
[9] AP Koerver, 1977.
[10] Ibid., 1977.
[11] Lihat pemikiran Tan Malaka dan H Misbah, dalam Madilog dan surat kabar Medan Muslimin.

Comments

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante