(Gubernur) Bank Indonesia, Riwayat mu Kini













Apa yang diketahui oleh masyarakat tentang peranan Bank Indonesia? lembaga pencetak uang, pengawas bank, dan induk dari segala bank (bankers bank) di negeri ini. Sementara peranan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang harus menjaga stabilitas nilai rupiah serta mengendalikan inflasi kurang diketahui oleh masyarakat luas. Padahal, tugas yang terakhir ini adalah tugas utama Bank Indonesia sebagai bank sentral.

Terkait dengan hal ini menarik jika kita mengutip pendapat Ben Bernanke, Gubernur bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve System), yang kerap mengatakan bahwa dalam mengelola perekonomian negara, bank sentral hanya bertugas sebagai “pemeran pembantu”. Maka tak mengherankan jika kontribusi lembaga moneter ini kerap diabaikan. Ketika bank sentral berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dan berhasil memuwujudkan kondisi keuangan yang sehat, sering ka li pihak lainlah yang mendapat pujian, bukan bank sentral.

Pengalaman Bank Indonesia
Nasib semacam itu adalah pengalaman abadi yang dialami oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia. Sejarah selalu berulang, menempatkan Bank Indonesia pada tempat yang sama, tidak populer dan kambing hitam dari kebijakan perbankan atau moneter yang dianggap keliru. Lihatlah krisis ekonomi pada akhir pemerintahan Soekarno (1965-1966), Jusuf Muda Dalam, sebagai Gubernur bank sentral diadili karena dianggap berhaluan komunis dan turut membawa ekonomi Indonesia ke ambang kehancuran. Lalu krisis ekonomi di akhir pemerintahan Soeharto (1997-1998) juga telah menyeret Bank Indonesia sebagai satu-satunya terdakwa karena telah menggelontorkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) triliunan rupiah yang diniatkan untuk menyelamatkan perbankan dari kehancuran sistemik.

Kemudian yang paling mutakhir adalah kasus Century di akhir pemerintahan SBY-Kalla (2008-2009). Dalam rekomendasi pansus DPR, Bank Indonesia dinyatakan lalai dalam pengawasan Bank Century, sehingga bank tersebut bermasalah dan harus diselamatkan dengan dana 6,7 triliun rupiah yang dianggap merugikan Negara. Meskipun dalam kasus Century ini Bank Indonesia tidak sendirian, Menteri Keuangan juga menjadi tumpahan kesalahan atas kebijakan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang ia pimpin.
Malang betul nasib Bank Indonesia. Setelah mencoba berbenah pasca krisis 1997 dengan independensinya sebagai bank sentral (UU No. 23/1999), berusaha untuk lebih akuntabel dan terbuka, tapi citranya justru kembali terpuruk karena skandal aliran dana YPPBI yang dianggap menyalahi aturan. Beberapa mantan pimpinan Bank Indonesia diseret ke pengadilan lalu masuk penjara. Bahkan Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia pertama yang terpilih melalui mekanisme pemilihan dalam DPR, juga masuk penjara. Selanjutnya kelalaian dalam kasus Century menambah buruknya citra bank sentral sebagai otoritas moneter yang seharusnya disegani dan dipercaya.

Lowongnya Posisi Gubernur Bank Indonesia
Dalam kondisi citra bank sentral yang sedang terpuruk itu, Bank Indonesia seharusnya segera mempunyai figur pemimpin yang cakap dan mampu mengembalikan citra Bank Indonesia sebagai bank sentral yang kredibel dan dipercaya. Namun sayangnya, sejak pencalonan Boediono sebagai calon wakil presiden dan kemudian secara resmi berhenti sebagai Gubernur Bank Indonesia pada 16 Mei 2009, jabatan Gubernur Bank Indonesia praktis lowong. Saat itu, hampir setahun (13 -15 bulan) lebih, Bank Indonesia dipimpin oleh seorang DGS sebagai pelaksana tugas Gubernur Bank Indonesia. Tercatat dua orang DGS yang telah mengisi posisi pelaksana tugas Gubernur, yaitu Miranda Gultom yang kemudian digantikan oleh Darmin Nasution.

Mulanya pada saat pengunduran diri Boediono dari posisi Gubernur Bank Indonesia, pemerintah menjanjikan akan segera mengajukan calon Gubernur Bank Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun pada kenyataannya, hingga parlemen berganti, dan kabinet telah terbentuk, pengangkatan Gubernur Bank Indonesia belum juga dilakukan. Kemudian Presiden SBY juga mengatakan bahwa nama calon Gubernur Bank Indonesia akan segera diumumkan bersamaan dengan pengumuman nama pengganti Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dan pada 20 Mei 2010 Menteri Keuangan telah resmi diumumkan dan dilantik keesokan harinya. Tapi nama Gubernur Bank Indonesia tak kunjung diumumkan.

Baru setelah masa 15 bulan lowong, akhirnya seperti banyak diduga sebelumnya oleh banyak kalangan, Darmin Nasution lah yang terpilih sebagai Gubernur Bank Indonesia yang ke 14 dalam sejarah bank sentral. Dalam rapat Komisi XI DPR RI beberapa waktu yang lalu Darmin diterima secara aklamasi dengan beberapa catatan. Sebelumnya beberapa fraksi merasa keberatan dengan keputusan Presiden untuk mengajukan satu nama untuk calon Gubernur BI. Tapi akhirnya riak-riak itu terlewati, dari soal pajak hingga soal century yang berusaha dikaitkan dengan Darmin, tak mampu membendung langkah Darmin sebagai Gubernur BI. Pemerintah pun menyambut gembira hasil aklamasi DPR itu. Demikian setidaknya yang disampaikan oleh Hatta Rajasa, menko perekonomian saat ini.

Gubernur Bank Indonesia dalam Sejarah
Dalam sejarah bank sentral di Indonesia, ini adalah kali kedua posisi Gubernur bank sentral dijabat oleh pejabat sementara. Pernah pada suatu masa, yaitu awal tahun 60 an posisi Gubernur Bank Indonesia selama 15 bulan diisi oleh Menteri Keuangan Soetikno Slamet, dari September 1959 hingga Nopember 1960. Menanggapi mundurnya Mr. Loekman Hakim dari posisi Gubernur Bank Indonesia pada Agustus 1959, pemerintah segera mencari figur pimpinan bank sentral meski hanya untuk sementara. Pada saat itu sejarah mencatat bahwa kondisi politik dan ekonomi Indonesia sedang tak menentu. Sistem demokrasi dan ekonomi terpimpin Soekarno telah memicu mundurnya dua pemimpin bank sentral, yaitu Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang merasa “terintimidasi” secara politik sehingga harus bergabung bersama PRRI di Sumatra, dan Mr. Loekman Hakim yang merasa tidak dianggap lagi sebagai pemimpin otoritas moneter karena tidak dilibatkan dalam keputusan sanering (penurunan nilai uang) pada tahun 1959.

Pada masa Orde Baru, dimana tata kelola aparatur negara terselenggara dengan baik dan kondisi ekonomi berlangsung relatif stabil, tidak pernah terjadi satu kali pun kekosongan posisi Gubernur bank sentral. Dalam Dewan Moneter yang dipimpin oleh Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dapat bekerja dengan baik bersama menteri-menteri ekonomi lainnya. Meski figur gubernur bank sentral tidak menonjol dan praktis hanya dikenal tanda tangannya yang tertera pada uang kertas Indonesia, tetapi reputasinya terjaga dengan baik.

Memasuki periode reformasi, setelah Indonesia mengalami krisis, figur pemimpin bank sentral mulai dikenal luas oleh publik. Bukan karena pujian atau pengakuan atas kerja kerasnya dalam turut mengawal ekonomi Indonesia, tapi lacurnya dikenal karena berbagai kasus hukum yang mempersalahkan kebijakan yang telah mereka lakukan sebelumnya. Sejarah mencatat Soedradjad Djiwandono, Gubernur Bank Indonesia pada masa krisis diberhentikan oleh Presiden dan kemudian dituntut secara hukum karena telah melaksanakan kebijakan BLBI. Kemudian Syahril Sabirin, Gubernur Bank Indonesia pertama dalam masa independensi sempat mendekam beberapa saat dalam penjara karena skandal Bank Bali. Dan terakhir, Burhanuddin Abdullah yang akan mencalonkan diri untuk kedua kali sebagai Gubernur Bank Indonesia juga harus mendekam dalam penjara karena kasus aliran dana YPPBI. Dalam kasus Bank Century, Boediono Gubernur Bank Indonesia yang terakhir juga nyaris terseret dalam jerat hukum.

Pemerintah dan bank sentral
Dewasa ini meskipun kepemimpinan bank sentral di Indonesia sebagaimana diatur dalam undang-undang dilakukan secara kolektif, yaitu oleh suatu Dewan Gubernur, tetapi menunda-nunda pengangkatan Gubernur Bank Indonesia seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, adalah teladan kebijakan yang tak patut ditiru oleh pemerintah Indonesia di masa depan. Sebagaimana lazimnya yang terjadi pada negara-negara dengan kedudukan bank sentral sebagai otoritas moneter yang independen, figur dan eksistensi seorang gubernur bank sentral mau tidak mau dapat mempengaruhi kredibilitas perekonomian negara tersebut, terutama dalam ranah moneter dan perbankan.

Selama ini sebenarnya ada sesuatu yang belum selesai terkait dengan posisi Gubernur Bank Indonesia dalam komposisi tata negara Indonesia. Apakah Gubernur Bank Indonesia mempunyai posisi yang sederajat dengan Presiden sebagai kepala negara, yaitu sebagai pemimpin otoritas moneter yang berada di luar struktur pemerintahan. Namun hal ini kerap dimaknai keliru oleh berbagai kalangan yang menganggap bank sentral ingin diperlakukan istimewa sebagai negara dalam negara. Padahal bukan itu maksudnya, secara teori dalam negara demokrasi posisi otoritas moneter harus independen dari intervensi penguasa agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Sebagaimana lembaga tinggi negara lainnya, pemimpin Bank Indonesia harus berdiri tegak dan sejajar dengan Presiden sebagai kepala negara, meski pengangkatannya diusulkan oleh Presiden.

Mengenai hubungan ini, contoh yang baik dapat kita ambil dari pengalaman Presiden Amerika Ronald Reagen yang tak mau turut campur atas kepemimpinan The Fed, meski terjadi ketegangan antara pemerintahannya dengan Paul Volcker, Gubernur bank sentral saat itu. Bahkan menurut pengalaman Amerika, suatu hal lumrah jika misalnya Presiden terpilih dari suatu partai menunjuk seorang Gubernur bank sentral dengan latar politik yang berbeda, hanya karena pertimbangan kredibilitas dan profesionalisme semata.

Teladan seperti inilah yang harus kita jadikan contoh dalam pengelolaan bank sentral di negara kita. Dalam suasana politik apapun kita berharap pemerintah dapat berpikiran jernih untuk menjauhkan kalkulasi politik dari urusan moneter. Dengan demikian siapapun pemimpin bank sentral yang baru itu, adalah seorang profesional yang mampu menjalankan tugas bank sentral dalam menjaga tingkat inflasi, mengawasi sistem perbankan, sistem pembayaran nasional, dan menjaga nilai tukar rupiah. Semoga Darmin Nasution dapat menjadi sosok seperti yang kita harapkan itu.

Comments

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante