Tentang Wahyono, mentor dan sahabatku (1 Agustus 1942 – 16 Juli 2009)






















hari ini aku pamit padamu
meninggalkan kiriman saran
biarkan saja air mengalir
karena kita
tak pernah tahu apa-apa


Wahyono
Jakarta, 6 Agustus 1967
=====================

Ya, hari itu engkau pamit kepada ku. Kamis, 16 Juli 2009 Wahyono mentor ku berpulang ke haribaan Tuhan yang Esa. Begitu cepat engkau pamit, padahal pagi itu, pagi yang cerah itu aku akan menemui mu. Tapi itulah janji, janji yang tak pernah kita inginkan tapi terucap begitu saja. Ingat kah pak Wahyono ucapku ketika bapak terbaring di rumah sakit, aku katakan aku akan menemui mu lagi dalam keadaan sembuh. Ya, pagi itu Tuhan telah menyembuhkan pak Wahyono dari segala rasa sakit, mengajak mu untuk beristirahat tinggalkan dunia dan segala kepenantannya ini.

Pagi itu aku sungguh tak tau diri. Aku bukan anak mu, meski pak Wahyono lah yang mengantarku untuk melamar pujaan hati ku. Aku bukan siapa-siapa, aku hanyalah anak kemaren sore di hadapan mu yang mencoba menghibur bapak tua di tengah himpitan aktivitas kantor yang menjemukan. Aku hanyalah anak muda yang baru kau temui kemaren hari, lalu dengan baik hati kau mulai mengajariku hidup, mengenalkan dunia mu, dunia museum, dunia puisi, dunia lukisan, dunia wacana kebudayaan dan kemudian mengarahkan aku untuk lebih berani mengambil sikap untuk tidak berkutat di satu tempat. ”pergilah dik, keluar lah dari museum ini, niscaya kamu akan akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar lagi di luar sana” begitulah ucapnya, meyakinkan aku untuk keluar dari Museum Bank Indonesia.

Pagi itu aku sungguh tak tau malu. Aku sesenggukan dalam do’a di hadapan jazad pak Wahyono yang telah beristirahat dengan tenang. Wajahnya berbinar, terdiam tanpa beban, sumringah puas seolah telah usai melahap seonggok gulai kepala ikan kesukaan mu. Wajahmu tampak tenang, damai dan syahdu. Raut itu pernah kau tunjukkan di hadapanku ketika engkau dengan bahagia memandangi putri semata wayangmu, Ratih.

Pagi itu pak, aku menemuinya. Tak ada yang bisa aku ucapkan. Kami berdua saling tak berkata-kata, hanya menangis sahaja. Sedih, engkau pergi dengan cepat. Meski kami tau, itu adalah waktu mu.

======================

Kapan aku bertemu pak Wahyono?
Juni 2004 tepatnya. Aku masih pegawai baru di Unit Khusus Museum Bank Indonesia (UKMBI). Suatu pagi aku melihat bapak tua, berdasi tak serasi, menenteng jaket kulit kumal, berjalan perlahan, dan melempar senyum lirih berucap ’...pagi...”. Aku tak pernah menegor mu, atau menyapamu mengajak berkenalan, hingga suatu hari teman kita, Astiningrum, pegawai pertama UKMBI yang menyapamu, memeberitahuku bahwa engkau adalah alumni arkeologi, FSUI. Sungguh bodohnya aku melewatkan itu.....

Setelah itu aku menemui mu, mengajak mu berkenalan, kita cepat menjadi akrab. Di sela-sela kantuk jam kantor aku kerap datang ke mejamu, bergurau berkisah tentang sastra, tentang UI. Barulah aku tau engkau anggota mapala UI M 10, kawan dekat Soe Hok Gie katamu. Aku tak percaya, sampai aku mencari nama mu dalam buku Gie, Catatan Harian Seorang Demonstran, aku bilang pada pak Wahyono, ”wah...pak nama bapak ada tuh di catatan harian Soe Hok Gie, tapi cuman sekali....cuman sekali”. Pak wahyono tak tampak kecewa, hanya tersenyum kecil, seraya dalam batinnya berujar ” sial ni anak muda, nggak percaya kalu gua temen akrab Soe Hok Gie...”

Lalu diskusi demi diskusi berlanjut. Kita berbicara seru tentang kebudayaan, tentang museum, tentang masa depan, tentang apa saja yang asyik. Hingga suatu saaat kita pernah berbicara serius tentang perkembangan Islam di Indonesia yang kau katakan akan disusun sebagai materi pameran sebuah museum di Kanada. Aku hanya menanggapi biasa saja, tapi ternyata engkau serius menulis dengan detail seluruh pendapat ku tentang Islam dan mengirimnya ke museum itu. Suatu pagi pak Wahyono menyampaikan kartu pos kepada ku, isinya ucapan terima kasih dari sebuah museum di Kanada, karena aku telah turut serta memberikan materi untuk pameran mereka tentang Indonesia.

Kita semakin akrab. Aku menganggapnya mentor. Dalam hal apa pun aku berkonsultasi kepadanya, termasuk tentang jodoh. Suatu pagi ia tersenyum kepada ku dan berkata ”dik, saya kok mimpi jual jari’ (kain) ke kamu....” ia tersenyum geli. Aku bertanya ”apa artinya pak?” ia tetap tersenyum dengan geli ” saya pingin kamu jadi anak mantu saya” mendengar itu aku terbahak, Pak Wahyono pun turut larut dalam tawa.

Pertengahan 2006, aku bertemu dengan kekasih ku, yang kemudian menjadi istri ku saat ini. Aku tanyakan hal ini kepada pak Wahyono. Maklum terkadang aku usil atau boleh dibilang jahat memanfaatkan keahlian pak Wahyono dalam melihat masa depan, atau menembus ”jati diri” seseorang.....Pak Wahyono menasehatiku, ”sudah kamu seriusin saja, kekasih baru mu itu perempuan yang tulus hatinya, ia mencintai kamu apa adanya. Jadi mulai sekarang, lupakan masa lalu mu, lepaskan dirimu dari rasa merasa bersalah karena meninggalkan yang dahulu....” nasehat itu sungguh berharga dan dua tahun kemudian aku menikahi perempuan itu.

=====================

Tahun 2006, aku mulai melihat pak Wahyono gelisah. Ia merasa secara intelektual masih mempunyai banyak gagasan yang ingin ia dedikasikan untuk orang banyak. Pak Wahyono berkata kepadaku bahwa ia merindukan pameran lukisan, yang dulu biasa ia lakukan. Sudah hampir sepuluh tahun ia vakum berkarya, maklum genre lukisannya adalah lukisan abstrak, abstrak yang sebenar-benarnya, yang mungkin hanya sedikit orang yang dapat menikmati.
Seperti yang dikisahkan kepadaku, dalam melukis pak Wahyono mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada 1957 pak Wahyono belajar melukis di Himpunan Budaya Surakarta dibawah asuhan pelukis S. Hartoko. Pada waktu menjadi mahasiswa arkeologi UI, ia belajar melukis dibawah bimbingan Dr. Budhihartono di FKUI dan dilanjutkan dengan mendirikan Sanggar Seni Lukis di Fakultas Sastra UI dan belajar melukis dibawah bimbingan Drs. M. Mofit.
Peristiwa terpenting yang dialami Pak Wahyono dalam dunia melukis terjadi pada tahun 1984, ketika ia bertemu seorang kritikus seni internasional, yaitu Prof. Seiichi Sasaki dari Tama University Jepang, dalam suatu kesempatan kunjungan penelitian lukisan kaca Indonesia. Sang Profesor, ketika melihat lukisan-lukisan Wahyono, berkata kepadanya “mengapa engkau tidak membuat lukisan yang keluar dari dalam dirimu sendiri?”. Sejak saat itu Wahyono yang semula melukis secara figurative-ekspresionis, mengubah objek lukisannya menjadi abstrak-ekspresionis.
Ini uniknya, Pak Wahyono melukiskan apa yang dilihat dengan “mata ketiga”-nya, yaitu warna-warni yang bergerak terus menerus, yang menggambarkan energi. Dan tepatnya pada 1989, lukisan Wahyono menjadi lukisan abstrak dengan warna-warni yang meriah, tapi bersuasana tenang dan damai. Itu aku-nya. Tapi hingga saat ini hanya beberapa karya pak Wahyono yang dapat aku pahami. Terkait dengan melukis itu pernah aku sampaikan kepadanya, bahwa dewasa ini dengan kecanggihan teknologi, para pelukis abstrak telah meramu karyanya dengan bantuan banyak media, termasuk elemen grafis. Makanya karya abstak kontemporer sekarang lebih beragam dan mungkin lebih dapat menyentuh sense masyarakat saat ini. Pak Wahyono, hanya diam, rupanya ia tetap meyakini “mata ketiga“- nya itu.
===================
Saya tak berhenti sampai disitu. Dalam hatiku, aku harus bisa membantu bapak sepuh ini untuk keluar dari kegelisahannya. Mulailah, diam-diam aku melakukan riset kecil ke Pusdok majalah Intisari, aku dapatkan banyak tulisan Pak Wahyono dalam arsip majalah Intisari. Lusa harinya aku sampaikan hasil riset ku, aku tunjukkan beberapa contoh tulisannya. Ia gembira sekali, bahkan beberapa tulisan pak Wahyono sudah lupa pernah menuliskannya.
Ide berkembang. Aku bilang, kita harus menerbitkan naskah pak Wahyono. Ia semangat sekali cuman kendala dana menjadi masalah. Tapi Tuhan sungguh welas asih kepada pak Wahyono. Suatu ketika ia mendapatkan tawaran barang antik (ini salah satu keahlian pak Wahyono) dari seorang langganannya. Kata orang itu barang kuno itu hanya terbuat dari sepuhan bahan kuningan, maka ia rela melepaskannya untuk Pak Wahyono hanya dengan beberapa ratus ribu saja. Pak Wahyono sepakat dan membelinya dalam keadaan tidak tau bahwa benda kuno itu ternyata terbuat dari emas murni!
Adalah pak Gatot, rekan pak Wahyono dari masa kerja di Museum Nasional dan kemudian bersama di UKMBI, yang memberitahu bahwa benda kuno itu setelah dibersihkan olehnya ternuata diketahui terbuat dari emas murni. Rejeki nomplok, pak Wahyono kemudian melepaskan benda kuno itu dengan nilai belasan juta! Dan hasil dari penjualan itulah tulisan-tulisan pak Wahyono diterbitkan.
Ia bahagia sekali. Terlahir kembali menjadi penulis. Bukunya Cerita dari Gedung Arca (2006), menjadi salah satu buku yang unik dan menarik karena membahas tema yang tidak pernah dibahas oleh penulis lainnya. Aku bersyukur, dapat membantu pak Wahyono menemukan permatanya yang hilang, kumpulan tulisan yang kemudian menjadi buku itu.
======================

Tahun 2008 pak Wahyono kembali gelisah, kali ini ia memikirkan koleksinya, siapa penerusnya yang akan merawat koleksinya. Ia berencana mencari rumah tersendiri untuk merawat koleksi-koleksinya terutama koleksi buku, lukisan dan benda-benda kuno miliknya. Aku menyarankan agar koleksi itu, asal dia mau, bisa dicari lembaga seni atau galeri yang mau menampung dan merawatnya. Tapi susah sungguh rupanya.

Keinginan untuk kembali melukis tiba-tiba muncul kembali. Katanya ia seolah mendapatkan energi baru untuk melukis. ”Warna-warna itu kembali muncul dik....” aku berpikir keras bagaimana caranya dapat memenuhi keinginan orang tua ini. Sampai kemudian pada suatu pagi hari ia datang ke meja kerjaku dengan bersemangat dan mengatakan ”dik, kumpulan puisi saya ditemukan teman saya di rak perpustakaan Cornell University, semalam ia mengirimkan copynya dalam bentuk pdf!”

Mendengar itu ide ku muncul, aku menyarankan agar beliau kembali melukis dengan menggunakan puisi sebagai dasar imajinasinya. Dan nantinya kita terbitkan antologi puisi dan lukisan abstrak sekaligus! Pak Wahyono setuju dan meny anggupi untuk melukis dengan segera. Setelah itu hampir setiap malam pak Wahyono kembali melukiskan puisi-puisinya. Hanya dalam hitungan beberapa hari, lukisan telah siap. Aku menjanjikan Sapardi Joko Damono, sang penyair legendaris itu yang akan memberikan kata pengantarnya. Semua berjalan lancar. Suatu saat JJ Rizal, kawan yang mencetak dan m. enerbitkan buku pak Wahyono berkata ” Win, kayaknya pak Wahyono semangat banged ni nerbitin buku yang kedua, kayak buru-buru mau pergi kemana gitu....”

Memang buku Salemba-Rawamangun (2008) adalah buku terakhir pak Wahyono. Penyair Sapardi menyatakan kepada ku ”puisi Wahyono ini lumayan, meski saya nggak cukup mengerti makna apa dalam lukisan abstraknya......”. Buku itu adalah pemuas dahaga terakhir Wahyono, ia rela mengorbankan uang yang ia punya untuk suatu karya yang ia tau pasti tak akan ada yang berminat membelinya, sebagaimana buku sebelunya. Aku berulang kali menegaskan itu. Pak Wahyono tak peduli. Ia sudah cukup puas dengan saranku untuk menerbitkan puisi dan lukisan. Seolah ia ingin katakan inilah aku Wahyono, si manusia bebas yang pernah hidup sebagai penulis, pelukis dan sekaligus penyair!

======================
Aku sungguh tak tau dengan jelas bagaimana ihwal kehidupan keluarga Wahyono. Yang aku tau hanya samar-samar saja, pak Wahyono tinggal di sebuah rumah milik mantan istrinya bersama putri tunggalnya, Ratih, dan beberapa orang anak tirinya dari perkawinan sang istri dengan suaminya yang terdahulu.

Aku mendengar sayup, bahwa mantan istri pak Wahyono, ibunda Ratih, juga anggota Mapala UI, entah M berapa? Demikian bisik-bisik dua orang ibu sahabat karib pak Wahyono yang juga sahabat karib Soe Hok Gie, Tides dan lain-lain....

Dalam rentang 2004 hingga akhir hayatnya, aku hanya mengenal sosok Pak Wahyono yang saleh, religius, rajin beribadat ke gereja dan kerap mengikuti pertemuan aliran Kristen yang ia yakini. Kami kerap berdiskusi tentang agama, termasuk tentang Mario Teguh yang ia yakini sebagai seorang Kristen, hahahahaha. ”apa yang Mario sampaikan itu dik, sama dengan ajaran pendeta di gereja saya.....” demikian ujarnya suatu ketika. Aku mengangguk sahaja.

=========================

Tahun 2009 adalah tahun yang singkat bagi aku dan pak Wahyono. Di tengah berjalannya projek museum Polri, aku mengajak beliau untuk menjadi konsultan dalam pembangunan museum. Aku berniat untuk menulis bersama dengan pak Wahyono tentang dunia museum di Indonesia. Sayang belum kesampaian.

Sebelum pak Wahyono jatuh sakit, kita sempat jalan berdua dua kali. Yang pertama, kami bicara berdiskusi bersama tentang museum di sebuah rumah makan favorit beliau di daerah Tanah Abang, dan kedua kalinya aku mengajaknya untuk melihat perkembangan proyek museum Polri yang sedang berlangsung. Siang itu dengan lahap ia menyantap gulai kepala ikan kesukannya. Ia tampak menikmati, meski aku khawatir hal itu akan berakibat buruk bagi kesehatannya, terutama penyakit gula-nya. Tapi ia tampak bahagia, meski aku tak tau pasti apa yang berkecamuk di kepalanya. Hingga beberapa hari kemudian, pada saat-saat tak berdaya karena sakitnya ia terus mengirim sms kepada saya ” dik, saya sakit, saya di rawat di RS Harapan Kita” lalu berikutnya ”dik, saya harus masuk ICU.....”ia tampak berat masih menyisahkan hutang tulisan untuk buku yang akan kami susun berdua......padahal aku sudah katakan bahwa buku museum bukan segalanya, tapi kesehatan beliau adalah yang utama. Tapi itulah pak Wahyono.

Dan akhirnya Pak Wahyono pergi di pagi hari itu, aku bersedih dan membuka dua bukunya. Pada salah satu puisinya ia menuliskan:

aku berlabuh di tempat nan jauh
untuk mencari kembali matahari
tempatkan di singgasana
menggamit kita semua


Wahyono
Jakarta, 20 Juni 1966

============================

Hingga saat ini, nama pak Wahyono dalam phonebooks Hp ku belum terhapus. Setiap kali aku berkendara di wilayah Jombang-Ciater, aku teringat pak Wahyono. Ujarku dalam hati “pak Wahyono, saya sekarang tinggal dekat rumah bapak, tapi sayang bapak telah tiada, Andai saja…..kita pasti akan kerap bertemu, berbincang, berdiskusi…”

Selamat jalan pak Wahyono, mentor ku sahabat ku. Aku sungguh merindukan perbincangan kita dahulu………

somewhere, 28 Juli 2010

E

Comments

pelangipuj said…
Erwiinnn, sedih bgt bacanya. Jadi inget, aku jg suka nanya soal "dunia ketiga" ama pak Way. Kangen aroma kopi dalam gelas besar, kangen senyum dan tawa khasnya, hiks :(

Waktu kita pada nengok di ICU, Pak Way jg ketawa terus mpe perwatnya yg pada protes, blum boleh ketawa2.

RIP, Pak Way. Dimanakah kita bisa beli buku2 pak Way?

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante