MUSEUM DAN IDENTITAS BANGSA












Baru-baru ini kalangan permuseuman di Indonesia mengadakan seminar Hari Museum Indonesia di Yogyakarta (Kompas, 24/04/10). Seminar itu antara lain bertujuan untuk menentukan hari Museum Indonesia yang diharapkan dapat menciptakan momentum bersama bagi seluruh museum di Indonesia dalam meningkatkan kualitasnya masing-masing. Sebagaimana kita ketahui, Hari Museum Dunia diperingati setiap tanggal 18 Mei. Di Indonesia sendiri, sejauh yang terpublikasi oleh media, perayaan hari jadi museum internasional itu tampaknya baru diperingati pada 18 Mei 2009 yang lalu. Agak terlambat memang, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali.

Dalam konteks kondisi permuseuman Indonesia saat ini, langkah untuk menentukan Hari Museum Indonesia memang cukup penting bagi permuseuman kita. Selain untuk merevitalisasi semangat dan kinerja dunia permuseuman Indonesia, langkah itu juga dapat memberikan identitas baru bagi dunia museum di Indonesia yang sebenarnya telah mempunyai sejarah yang cukup panjang.

Sejarah Museum di Indonesia
Dunia museum di Indonesia bukanlah hal yang baru, menurut beberapa sumber disebutkan bahwa sebelum Perang Dunia II masyarakat Indonesia telah dilanda epidemik permuseuman (Amir Sutaarga, 2000). Pendirian museum pada waktu itu banyak dilakukan atas partisipasi para pengusaha yang memanfaatkan sebagian keuntungan dari penjualan karet dan gula.

Jauh sebelum masa itu, di Indonesia telah berdiri suatu lembaga kebudayaan bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 24 April 1778 yang banyak mewariskan berbagai benda bersejarah, termasuk literatur kuno, yang kini tersimpan di Museum Nasional dan Perpustakaan Nasional di Jakarta. Pada tahun 1819 di Bogor dibuka suatu herbarium dan Museum Zoologi bersamaan dengan dibukanya Kebun Raya Bogor. Setelah itu Museum Geologi berdiri di Bandung beberapa tahun sebelum Perang Dunia II, dan menyusul kemudian Museum Sono Budoyo di Yogyakarta pada tahun 1935 (Pratameng Kusumo, 1985).

Mulanya museum di Indonesia bermula adalah sekedar tempat memamerkan benda-benda kuno (bersejarah) hingga kemudian menjadi lembaga yang berfungsi mengumpulkan, meneliti, merawat, menyajikan, dan mengkomunikasikan benda-benda alam dan budaya untuk kepentingan pengkajian, pembelajaran, dan rekreasi. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan minat masyarakat, museum mulai melakukan berbagai cara dalam penyajian koleksi yang bersifat kontekstual. Koleksi mulai ditampilkam dengan dukungan berbagai media, seperti media grafis, gambar, sketsa, skema, dan informasi tertulis.

Dengan cara itu diharapkan koleksi yang dipamerkan dapat dipahami dari berbagai sudut sejarah, latar dan fungsi sosial budaya, peranan dan penyebaran suatu benda bersejarah dalam masyarakat. Sentuhan teknologi pun tak luput dalam penyajian koleksi di beberapa museum di Indonesia yang juga sudah menggunakan berbagai perangkat multi media (audio-visual) yang lumayan modern, terutama museum-museum di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.

Konsep Museum Modern
Dewasa ini di Indonesia, khususnya Jakarta, telah banyak museum yang melakukan langkah maju seperti itu. Museum tidak hanya hadir sebagai tempat penelitian dan kajian ilmiah yang melulu serius dan reflektif. Tapi di luar itu museum adalah media komunikasi dari suatu lembaga atau suatu bangsa agar masyarakat luas dapat mengerti dan memahami citra diri mereka selama ini.

Dengan merangkul berbagai kalangan, para kurator museum bekerja sama dengan para seniman instalasi ruang, ahli teknologi, arsitek desain interior, pekerja grafis, dan ahli media dan komunikasi. Mereka bersama-sama mewujudkan suatu konsep museum yang lebih modern, dinamis, rekreatif, tanpa mengabaikan nilai-nilai edukasi yang bersandar pada pengkajian ilmiah. Sebut saja Museum Bank Indonesia (2007), Museum Polri (2009), serta beberapa museum lainnya yang juga mulai merevitalisasi kondisinya dengan mengikuti konsep yang lebih modern ini. Selain menyajikan keunikan sejarah, koleksi benda kuno yang langka, kemegahan dan keindahan gedung, mereka juga menyajikan nuansa yang berbeda dalam tata pamer mereka dengan bantuan berbagai kreasi, media seni dan teknologi tentunya.

Museum-museum modern itu, tidak saja menyajikan sesuatu pengetahuan yang serius, tapi lebih dari itu museum mereka hadirkan sebagai community center yang memberikan alternatif lain bagi dunia rekreasi dan hiburan di tengah hiruk pikuknya budaya konsumerisme yang terpusat di mall dan plaza perbelanjaan dewasa ini. Tak heran jika di dalam museum itu juga terdapat sejumlah area permainan bagi anak-anak yang mungkin belum dapat banyak mengerti berbagai informasi dalam museum.

Wajah museum yang buram dan beraura mistik, penuh dengan benda-benda sejarah yang berumur dan susah untuk ditelaah, kini sudah tak tampak lagi. Semua nuansa itu telah digantikan dengan suasana museum yang lebih ceria, desain interior yang modern dan nyaman seperti di mal atau café, serta grafis yang lebih atraktif bagi selera anak muda. Dan tata pamer koleksi yang lebih interaktif.

Siasat Museum dan Identitas Bangsa
Harus diakui bahwa museum-museum di Indonesia belum mempunyai koleksi yang fenomenal seperti lukisan Mona Lisa karya Leonado da Vinci (1506) yang tersimpan bersama 300.000 karya seni lainnya di Louvre, Paris, atau museum dengan bangunan artistik yang megah seperti kebanyakan bangunan museum di Eropa. Beberapa karya seni rupa karya para seniman Indonesia justru tersimpan di Galeri Nasional, Jakarta, atau tempat lainnya yang jarang publik mengetahuinya. Sementara itu museum negeri di Indonesia kebanyakan berisi benda-benda masa pra sejarah, batu-batu besar dengan tulisan yang nyaris tak dikenal lagi oleh masyarakat kita. Sehingga terdapat semacam “jarak” atau “ruang kosong” antara memori kolektif masyarakat dengan benda-benda bersejarah di museum kita.

Menyadari kenyataan ini, beberapa museum mulai mencari siasat untuk mengisi “jarak” dan “ruang kosong” itu. Selain dengan mulai menampilkan wajah museum yang lebih modern, juga dengan menyajikan berbagai program menarik yang dapat mendekatkan suasana batin masyarakat dengan koleksi museum. Beberapa museum mulai mengadakan workshop membatik atau membuat keramik atau juga membuat wayang, yang mencoba melibatkan masyarakat secara aktif agar mempunyai pengalaman langsung dalam mewujudkan sesuatu yang menjadi koleksi museum. Sejauh ini cara seperti itu cukup efektif dalam menarik minat masyarakat untuk mengunjungi museum. Karena mereka merasa dilibatkan, tidak hanya pasif sebagai penonton. Dengan cara itu pengunjung merasa berdialog dengan koleksi.

Selain itu, siasat lain yang harus dilakukan adalah bagaimana museum memberikan informasi sejarah yang lebih mengkisahkan keterlibatan peran masyarakat dalam sejarah suatu lembaga atau bangsa yang sedang dikisahkan. Seperti kita berkisah tentang Batavia atau Jakarta, hendaknya tidak melulu bercerita tentang bangsa kolonial saja, dan mengabaikan peranan sejarah bangsa –bangsa lain yang juga mempunyai peran di dalamnya. Ketika suatu lembaga menuturkan peranannya dalam sejarah, hendaknya tidak hanya dikisahkan sisi gemilang dari lembaga itu, melainkan juga harus mengkisahkan apa dampak peranan lembaga itu yang dirasakan oleh masyarakat luas. Dengan siasat inilah, dengan sendirinya masyarakat akan tergerak untuk mencintai museum, karena mereka melihat identitas mereka ada dalam informasi dan koleksi suatu museum. Dengan begitu, museum akan menjadi cermin bagi masyarakat Indonesia untuk senantiasa melihat kembali identitasnya sebagai sebuah bangsa.

Comments

Popular posts from this blog

Perbankan masa VOC

Museum Maritim Indonesia: Minidiorama dan Diorama Ruang (3)

Detik-Detik Menjelang Bubarnya Konstituante